18
4.2.1. Sektor rumah tangga
Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan
pribadi. Konsumsi energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok penggunaan sektor transportasi.
Berdasarkan data pangsa pemakaian energi final walaupun tidak melakukan aktivitas produksi yang bersifat komersial, sektor rumah tangga
merupakan sektor pemakai energi final terbesar diantara sektor lainnya Hidayat 2005 : 5.
Pada tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 56, 5 dari total energi final. Memasuki tahun 1995, proporsi pemakaiannya mulai menurun
menjadi 49,5 dan kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2000 tingkat pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini
bukan dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga. Namun lebih disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang
pesat, sehingga menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar.
Di kawasan ASEAN pun, pemakaian energi oleh rumah tangga Indonesia merupakan yang terbanyak bila dibandingkan dengan negara anggota
ASEAN lainnya. Berdasarkan data ASEAN Energy Review Hidayat, 2005 , pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor komersial Indonesia
mengkonsumsi energi sebesar 52 dari konsumsi energi total yang
19
dikonsumsi oleh rumah tangga dan sektor komersial di ASEAN. Sementara konsumsi energi negara lainya seperti Thailand sebesar 20,9, Malaysia
11,2, Filipina 10,6, Singapura 4,7 dan Brunei hanya 0,8. Berdasarkan jenis energi yang digunakan tercatat bahwa minyak tanah
merupakan jenis energi terbesar kedua yang mereka konsumsi setelah kayu bakar. Pangsa konsumsi minyak tanah dari total energi final yang dikonsumsi
oleh rumah tangga selama tahun 1990-2000 berkisar antara 16 - 18
4.2.2. Sektor industri
BBM merupakan energi dominan yang digunakan untuk aktivitas produksi oleh sektor industri. Selama tahun 1990-2000 tingkat konsumsi BBM sektor
industri terhadap total konsumsi BBM dalam negeri rata-rata sebesar 21.8 setiap tahunnya.
Konsumsi BBM oleh sektor industri senantiasa mengalami kenaikan. Peningkatan terbesar terutama terjadi pada jenis minyak solar. Minyak bakar
dan minyak tanah. Namun memasuki tahun 1998 konsumsi BBM sektor industri mengalami penurunan sebesar 4.3. Hal ini berlanjut hingga tahun
1999 konsumsinya turun sebesar 6.2. Terjadinya penurunan ini merupakan efek dari krisis ekonomi yang mulai melanda pada pertengahan tahun 1997.
Sejak krisis ekonomi, banyak industri yang menghentikan produksinya, sementara yang lain walaupun tetap berproduksi namun dengan kapasitas
yang lebih rendah dari sebelumnya. Kejadian seperti ini banyak terjadi pada industri makanan dan minuman, industri tekstil, pakaian jadi, industri kulit,
20
dan barang dari kulit. Memasuki tahun 2000 konsumsi BBM di sektor industri kembali meningkat, bahkan pertumbuhan nya terbilang tinggi yaitu
23.5 . Dalam lingkup mikro perlu diwaspadai bahwa peningkatan pemakaian
energi di sektor industri dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari pertanian ke industri
saja. Namun lebih jauh dari itu diduga karena terjadi pemborosan pemakaian energi di sektor ini.
Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 telah membuat kurs rupiah terdepresiasi sangat tajam. Keadaan ini sangat memukul industri dalam
negeri yang selama ini masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap mesin-mesin produksi impor, sehingga banyak di antara mereka yang tak
mampu untuk mengup-grade mesin-mesin produksinya. Sehingga banyak yang beroperasi hanya mengandalkan mesin-mesin tua yang tentu saja sangat
boros bahan bakar. Indikasi ini bisa dilihat dari nilai intensitas energi pada tahun 1997 yaitu 4.196, nilai ini mengalami lonjakan yang cukup besar dari
tahun 1996 yang hanya 2.637. Intensitas energi yang semakin besar berarti pemakaian energi tidak
efisien. Bila dilihat hubungan nilai tambah sektor industri dengan pemakaian energi, ternyata sebelum dan sesudah krisis ekonomi mengalami perubahan.
Pada masa sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan nilai tambah lebih besar dari pertumbuhan pemakaian energi. Namun semenjak tahun 1998, yang
terjadi sebaliknya, pertumbuhan pemakaian energi lebih besar dari
21
pertumbuhan nilai tambahnya. Hal ini khusus terjadi pada industri makanan, industri tekstil, industri kertas, dan industri kimia.
Selain itu ada dugaan bahwa pemakaian energi di sektor industri lebih besar dari data yang disajikan oleh departemen energi dan sumber daya
mineral. Selama ini konsumsi energi di sektor industri khususnya untuk BBM dicatat dengan pendekatan dari sisi supply yaitu berdasarkan pasokan
langsung dari Pertamina. Padahal kalau kita menyimak berita di media massa, ternyata selama ini banyak penyelewengan penggunaan BBM oleh
sektor industri yaitu berupa pengalihan jatah BBM rumah tangga ke sektor industri. Hal ini terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup besar,
yakni BBM untuk sektor industri sudah tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Jadi sebenarnya intensitas energi di sektor industri yang
menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian energi akan lebih besar dari angka yang ada.
4.2.3. Sektor transportasi