Daya Hambat Minyak Kayu Putih dan Komponen Flavor Penyusun Cajuput Candy Terhadap Akumulasi Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus secara in vitro

(1)

DAYA HAMBAT MINYAK KAYU PUTIH DAN KOMPONEN PENYUSUN FLAVOR CAJUPUT CANDY TERHADAP AKUMULASI BIOFILM Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus SECARA IN

VITRO

IDHAM FITRIADI NURRAMDHAN F24062009

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Idham Fitriadi Nurramdhan. F24062009. Daya Hambat Minyak Kayu Putih dan Komponen Flavor Penyusun Cajuput Candy Terhadap Akumulasi Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus secara in vitro. Di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. dan Drg. Boy M. Bachtiar, MS, Phd. 2010

RINGKASAN

Cajuput oil yang mengandung 10% senyawa kristalin fenolic,

3,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon diduga mampu mencegah karies gigi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan komponen flavor penyusun cajuput candy

dalam mencegah pembentukan biofilm secara in vitro oleh bakteri penyebab karies gigi, yaitu Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus. Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap kedua spesies tersebut.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menumbuhkan bakteri uji di dalam tissue culture plate 96 Well dan menambahkan perlakuan pada setiap

well. Pada penelitian pertama terdapat enam formula yang diujikan yaitu formula

komponen cajuput candy, formula kombinasi komponen flavor, dan formula komponen flavor secara tunggal. Formula komponen cajuput candy terdiri dari sukrosa (d%), glukosa (c%), minyak kayu putih (x%), minyak peppermint (y%). Formula kombinasi komponen flavor terdiri dari minyak kayu putih (x%) +

peppermint (y%), sementara untuk flavor tunggal yaitu minyak kayu putih (x%)

dan peppermint (y%).

Penelitian kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm oleh mikroba uji. Pada penelitian ini terdapat tiga formula uji yaitu minyak kayu putih x-0,2%, x%, dan x+0,1%. Pengujian mutu sensori secara hedonik juga dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap konsentrasi minyak kayu putih yang dianggap berpotensial menghambat pembentukan biofilm kedua spesies.

Hasil menunjukkan bahwa adanya formula permen kayu putih tidak meningkatkan pembentukan biofilm dari Streptococcus mutans serotipe c bahkan formula permen masih dapat menekan pembentukan biofilm dibandingkan dengan kontrol. Fenomena yang berbeda terlihat pada hasil pengujian dengan

Streptococcus mutans serotipe d. Pada bakteri ini formula cajuput candy belum

dapat menekan pembentukan biofilmnya.

Pengujian komponen secara tunggal (tanpa sukrosa) menunjukkan bahwa minyak peppermint memiliki efektifitas daya hambat lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atsiri kayu putih. Dari keseluruhan pengujian komponen flavor hasil menunjukkan bahwa kombinasi komponen flavor cajuput candy memiliki efektivitas yang paling baik bila dibandingkan dengan komponen tunggal.

Hasil penelitian pengaruh konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm kedua spesies menunjukkan dengan konsentrasi 0,5%, minyak atsiri kayu putih telah mampu menghambat pembentukan biofilm kedua mikroba uji yaitu S. mutans c dan d. Penurunan populasi bakteri tersebut semakin nyata dengan meningkatnya konsentrasi minyak atsiri kayu putih.


(3)

Hasil yang diperoleh dari penelitian mengenai jumlah sel mikroorganisme yang terdapat didalam cairan tiap well menunjukkan bahwa semua perlakuan mampu menekan pertumbuhan kedua spesies.

Formula D yang terdiri dari minyak atsiri kayu putih dengan konsentrasi x+0,1% dan minyak peppermint y% memperoleh nilai hedonik 6,91 (agak suka menuju suka) untuk aroma dan 6,77 (agak suka menuju suka) untuk rasa. Variasi flavor dengan konsentrasi minyak kayu putih x+0,1% dan minyak peppermint y% merupakan variasi terpilih dan secara sensori lebih disukai.


(4)

DAYA HAMBAT MINYAK KAYU PUTIH DAN KOMPONEN FLAVOR PENYUSUN CAJUPUT CANDY TERHADAP AKUMULASI BIOFILM

Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

IDHAM FITRIADI NURRAMDHAN F24062009

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DAYA HAMBAT MINYAK KAYU PUTIH DAN KOMPONEN FLAVOR PENYUSUN CAJUPUT CANDY TERHADAP AKUMULASI BIOFILM

Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IDHAM FITRIADI NURRAMDHAN F24062009

Dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1988 di Bandung

Menyetujui, Bogor, Agustus 2010

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. Dosen Pembimbing I

Drg. Boy M. Bachtiar, MS, Phd Dosen Pembimbing II Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Daya Hambat Minyak Kayu Putih dan Komponen Flavor Penyusun Cajuput Candy Terhadap Akumulasi Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus secara in vitro” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, Agustus 2010 Yang Membuat Pernyataan,

Nama : Idham Fitriadi Nurramdhan NRP : F24062009


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Idham Fitriadi Nurramdhan, dilahirkan di Bandung, 16 Mei 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Ajat Sudrajat dan Titik Cartika.

Pendidikan formal ditempuh penulis di TK Harapan Bangsa Bandung (1993-1994), SD Kartika XI-10 Bandung (1994-2000), SLTPN 1 Kadungora Garut (2000-2003), dan SMUN 1 Leles Garut (2003-2006). Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di tahun 2006.

Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis terlibat di berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah menjabat sebagai Staff Kesekretariatan DPM TPB IPB (2006-2007), Ketua Angkatan UKM LISES Gentra Kaheman IPB (2006-2007), Staff Budaya, Olahraga dan Seni (BOS) Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB (2007-2008), Ketua Bidang Kajian Kebudayaan UKM LISES Gentra Kaheman (2007-2008), Ketua Umum UKM LISES Gentra Kaheman (2008-2009). Disamping itu, penulis pun banyak terlibat dalam kepanitian, penulis pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Konser Jazz Kedubes Belanda-IPB “Mike del Ferro Trio”(2009), Ketua Panitia “Miracle of Arts for Agriculture in IPB Contest”(2008), Ketua Panitia PAMITRAN 2007 UKM LISES Gentra Kaheman (2007), Koordinator Acara Konser Jazz Kedubes Belanda-IPB “Aurelia Saxophone” (2010), Koordinator Acara Festival Olahraga dan Seni IPB (FOTRANUSA)(2009), Koordinator Acara “Konser Kolaborasi UKM Seni IPB” (2007), dan banyak lagi kepanitiaan lainnya.

Penulis pun aktif mengabdi sebagai Asisten Praktikum M.K. Fisika Dasar TPB IPB dari tahun 2007-2010 dan sebagai Asisten Dosen M.K. Sosiologi Umum TPB IPB dari tahun 2008-2009. Disamping kegiatannya yang padat, penulis banyak mengikuti kompetisi ilmiah tingkat nasional, dan menjuarai beberapa kegiatan seperti Peraih Perak pada PIMNAS XXIII di UNMAS Bali Kategori


(8)

Presentasi (2010), Peraih Perak pada PIMNAS XXII di UNIBRAW Malang Kategori Presentasi (2009), Peraih Perunggu pada PIMNAS XXII di Unibraw Malang Kategori Poster (2009), Juara 1 LCPIA POLINELA Lampung Tk. Nasional (2010), Juara 1 Lomba Poster Ilmiah UGM Tk. Nasional (2010), Juara 1 Kompetisi Inovasi Agroteknologi Tk. Nasional (2009), dan Juara 1 Lomba

Business Plan Competition Tk. Nasional BGTC 4th FEM IPB. Penulis

mendapatkan dua kali penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi Kategori Kegiatan Ekstra Kulikuler dari Rektor IPB dengan S.K. No. 085/I3/KM/2010 dan No. 145/I3/KM/2009.

Penulis pun memiliki bakat dalam kegiatan kesenian dan sempat terlibat dalam beberapa kegiatan Nasional dan Internasional, diantaranya sebagai Pengisi Acara pada Acara ”Sprakling Indonesia 2009” di USM Penang Malaysia (2009), Pemeran Utama ”Karnadi Bandar Bangkong” KSM V (2008), Pengisi Acara Kebudayaan ”Drama Tari Lutung Kasarung” DEPBUDPAR Kab. Bandung (2006), dan sebagai Pengisi acara pada ”Pemecahan Rekor MURI Rampak Seruling dengan Peserta Terbanyak”(2008).

Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Daya Hambat Minyak Kayu Putih dan Komponen Flavor Penyusun Cajuput Candy Terhadap Akumulasi Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus secara in vitro”. Penulisan ini terlaksana dengan bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny. Wijaya, M.Agr dan Drg. Boy M. Bachtiar, MS, Phd.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., pemilik segala cinta, kasih sayang, rahmat, dan segala yang ada di alam semesta ini. Atas rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DAYA HAMBAT MINYAK KAYU PUTIH DAN KOMPONEN FLAVOR PENYUSUN CAJUPUT CANDY TERHADAP AKUMULASI BIOFILM Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus SECARA IN VITRO ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor.

Dukungan dan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak sangatlah berarti bagi penulis. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof.Dr.Ir.C. Hanny Wijaya, M.Agr. dan Drg.Boy M. Bachtiar, MS.,Phd. yang

dengan kesabaran membimbing, mengarahkan, dan mencurahkan ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.

2. Dr.Dra.Suliantari MS. yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Orang tua ku yang selalu mencurahkan doa dan kasih tiada taranya kepada penulis

Semoga hadirnya karya ilmiah ini dapat menjadi referensi bagi beberapa pihak untuk terus mengembangkan minyak kayu putih sebagai salah satu minyak atsiri khas Indonesia yang perlu diperluas lagi pemanfaatnya.

Bogor, Agustus 2010 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Minyak Kayu Putih (Cajuput Oil) ... 5

B. Permen ... 7

C. Sukrosa ... 8

D. Syrup Glukosa ... 9

E. Minyak Peppermint ... 10

F. Cajuput Candy ... 10

G. Karies Gigi ... 11

H. Streptococcus mutans ... 14

I. Streptococcus sobrinus ... 17

J. Biofilm ... 18

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 21

A. Bahan dan Alat ... 21

B. Metode Penelitian ... 21

1. Tahap Persiapan ... 22

a. Streilisasi alat dan bahan ... 22


(11)

c. Pembenihan S. mutans dan S. sobrinus ... 24

2. Pengujian Pembentukan Biofilm... 26

3. Analisis Kuantitatif Kedua Spesies ... 28

4. Uji Sensori (Carpenter et al., 2000) ... 28

5. Pengolahan Data ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Pengaruh Komponen Cajuput Candy Terhadap Pembentukan Biofilm S. mutans Serotipe c dan d ... 31

B. Pengaruh Konsentrasi Minyak Atsiri Kayu Putih Terhadap Viabilitas Sel dan Laju Pembentukan Biofilm S. mutans Serotipe c dan d ... 37

C. Analisis Kuantitatif S. mutans Serotipe c dan S. mutans Serotipe c ... 42

D. Penilaian Organoleptik Secara Hedonik ... 44

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih ... 6

Tabel 2. Karakteristik Grup Mutan Streptococci ... 15

Tabel 3. Perlakuan Pengujian Biofilm Penelitian Pertama ... 24

Tabel 4. Perlakuan Pengujian Biofilm Penelitian Kedua ... 24

Tabel 5. Formula Flavor Cajuput Candy untuk Uji Hedonik ... 29

Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi Minyak Atsiri Kayu Putih terhadap Pembentukan Biofilm S. mutasn serotipe c. ... 38

Tabel 7. Pengaruh Konsentrasi Minyak Atsiri Kayu Putih terhadap Pembentukan Biofilm S. mutasn serotipe d. ... 39


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Karies Gigi ... 13

Gambar 2. Diagram Penguraian Glukosa ... 13

Gambar 3. Streptococcus mutans ... 16

Gambar 4. Hubungan Filogenetik Bakteri Streptococci Oral ... 18

Gambar 5. Pembentukan Biofilm Pada Permukaan Gigi ... 20

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Cajuput Candy... 23

Gambar 7. Pembagian Well dan Perlakuan ... 27

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Cajuput Candy untuk Uji Hedonik ... 30

Gambar 9. Grafik Hubungan Pembentukan Biofilm Streptococcus mutans Serotipe c dan d dengan perlakuan Komponen Cajuput Candy ... 33

Gambar 10. Pengaruh Komponen Flavor Terhadap Daya Hambat Biofilm Streptococcus mutans Serotipe c ... 35

Gambar 11. Pengaruh Komponen Flavor Terhadap Daya Hambat Biofilm Streptococcus mutans Serotipe d ... 36

Gambar 12. Jumlah Streptococcus mutans serotipe c dalam Fase Planktonik ... 43

Gambar 13. Jumlah Streptococcus mutans serotipe d dalam Fase Planktonik ... 44

Gambar 14. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Cajuput Candy ... 46

Gambar 15. Histogram Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Cajuput Candy ... 47


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pengujian Pada Tiga Kali Ulangan ... 56

Lampiran 2. Analisis Normalitas Menggunakan Kolmogrof-simirnof 58

Lampiran 3. Uji F dengan Menggunakan ANOVA ... 60

Lampiran 4. Uji Lanjut DUNCAN ... 61

Lampiran 5. Formulir Uji Hedonik ... 62

Lampiran 6. Hasil uji hedonik rasa dan aroma ... 63

Lampiran 7. Hasil Uji Kruskall-Wallis ... 67

Lampiran 8. Uji Lanjut Multiple Comparison ... 68

Lampiran 9. Tissue Culture Plate 96 well ... 70

Lampiran 10. Elisa Reader ... 71

Lampiran 11. Prinsip Pembacaan Elisa Reader ... 71

Lampiran 12. Hasil Pewarnaan dengan Crystal Violet 0,5% ... 72


(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu penyakit dalam rongga mulut yang dapat merusak gigi atau menyebabkan kehilangan gigi-gigi dalam waktu relatif muda adalah penyakit karies gigi. Karies gigi merupakan masalah gigi yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Berdasarkan survey kesehatan gigi yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Gigi Republik Indonesia pada tahun 1994, prevalensi karies gigi pada anak usia 14 tahun sebesar 73,2% dengan indeks DMF-T sebesar 2,69. Data ini menunjukkan bahwa karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang dominan di negara Indonesia (Yuyus et al., 1993).

Kavitas yang terbentuk akibat karies gigi mengindikasikan adanya proses demineralisasi yang secara bertahap melarutkan email (permukaan gigi sebelah luar yang keras) dan terus berkembang ke bagian dalam gigi (dentin). Proses demineralisasi ini berkaitan dengan aktifitas metabolisme mutans streptococci(Clarke, 1924 di dalam Yuyus et al., 1993). Kelompok bakteri ini merupakan bagian dari flora mulut, namun karena perannya dalam proses karies gigi, maka Streptococcus mutans harus dipandang sebagai patogen penyebab utama demineralisasi gigi pada manusia dan hewan.

Streptococcus mutans adalah species streptococcus oral yang paling

banyak menyebabkan gigi berlubang di seluruh dunia (Nugraha, 2008). Mayoritas bakteri rongga mulut yang terdapat di plak gigi adalah

streptococcus oral. streptococcus dibagi menjadi empat kelompok utama

yaitu S. mutans, S. salivarius, S. angionosus dan S. mitis. S. mutans dan S.

sobrinus dapat ditemukan pada manusia dan S. mutans merupakan salah

satu mikroorganisme yang paling sering ditemukan dan diisolasi dari rongga mulut. S. mutans serotipe c merupakan bakteri penyebab utama karies gigi pada manusia (Jawetz et. al, 1995).


(16)

Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dengan membersihkan gigi secara teratur. Proses karies gigi juga dapat dicegah dengan cara mengubah kondisi mikroflora, misalnya dengan menggunakan chlorhexidine dan

flouride, mengurangi konsumsi gula dan sukrosa, mengurangi jumlah

makan, serta meningkatkan salivary flow. Dalam beberapa tahun terakhir ini berbagai jenis herbal telah diuji-cobakan sebagai bahan alami pencegah karies gigi. Salah satu bahan fikofarmaka yang dapat mencegah karies adalah senyawa antiseptik yang terdapat pada cajuput oil (Mount & Hume, 2006). Cajuput oil atau minyak kayu putih berasal dari tanaman kayu putih

(Melaleuca leucadendron) yang merupakan salah satu tanaman khas dari

Indonesia dan termasuk ke dalam tanaman penghasil minyak atsiri (Farrell, 1990). Bahan baku minyak kayu putih cukup melimpah di Indonesia, namun penggunaannya masih terbatas sebagai minyak atsiri yang diolah menjadi minyak gosok untuk anak-anak.

Cajuput oil yang memiliki kemiripan dengan eukaliptus-flavor atau minyak essensial yang banyak digunakan dalam pembuatan permen-ternyata dapat juga dimanfaatkan sebagai salah satu komponen dalam pembuatan produk konfeksioneri (Halimah, 1997). Pemanfaatan cajuput oil dalam pembuatan produk konfeksioneri dapat memberikan nilai tambah pada produk tersebut karena cajuput oil mengandung senyawa-senyawa yang dapat menghangatkan tubuh. Selain mengandung senyawa-senyawa yang dapat menghangatkan tubuh, cajuput oil pun memiliki kandungan senyawa-senyawa antiseptik yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikroba. Guenther (1990) menyebutkan bahwa cajuput oil mengandung 10% senyawa kristalin fenolic, 3,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon yang diduga sebagai senyawa antimikroba. Dharma (1985) juga menyatakan bahwa minyak kayu putih adalah obat yang sangat disukai sebagai obat luar untuk sakit mulas, sakit kepala, sakit gigi, sakit telinga, kejang dan kaku pada kaki, berbagai jenis nyeri dan luka bakar. Selain sebagai obat luar, minyak kayu putih digunakan pula sebagai obat dalam (internal).

Pengolahan cajuput oil menjadi cajuput candy ternyata dapat diterima secara organoleptik oleh konsumen (Halimah, 1997). Berdasarkan


(17)

penelitian Halimah (1997) formulasi terbaik yang dapat diterima konsumen adalah 60 bagian sukrosa, 50 bagian glukosa dan 40 bagian air. Komposisi flavour yang dapat diterima adalah 100 bagian cajuput oil, 14.2 bagian

pappermint dari 0.9% total bahan. Karena permen merupakan salah satu

makanan yang banyak disukai oleh masyarakat, yang dicirikan dari ragam, bentuk, rasa, warna dan jenis yang terdapat dipasaran, maka pengembangan produk permen dengan minyak kayu putih sebagai salah satu komponen flavor memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dipasarkan. Disamping itu sifat antimikroba dalam minyak kayu putih diharapkan mampu menjadi salah satu pendukung pencegahan karies gigi.

Konsumsi permen berkaitan erat dengan tingkat konsumsi sukrosa sehari-hari. Sukrosa merupakan bahan baku utama pembuatan permen, umumnya permen mengandung 70-80% sukrosa. Sukrosa banyak dikonsumsi orang karena rasa manisnya yang enak, bahan dasarnya mudah diperoleh, dan biaya produksinya cukup murah. Disisi lain, hasil data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa sukrosa adalah komponen terbesar yang berpotensi menaikkan angka insiden karies gigi (Suwelo, 1988). Peran sukrosa ini disebabkan karena sintesis karbohidrat ini oleh mikroorganisme flora mulut lebih cepat daripada gula lainnya, seperti glukosa, fruktosa, dan laktosa, sehingga cepat diubah oleh mikroorganisme dalam rongga mulut menjadi asam. Peran mikroorganisme ini dapat dihambat, misalnya dengan mengubah kondisi lingkungan di dalam mulut. Oleh karena itu, pemberian minyak kayu putih diharapkan dapat mencegah dan mengurangi karies gigi pada konsumen permen.

Biofilm merupakan komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi yang terorganisasi dalam struktur tiga dimensi, serta tertutup oleh matriks ekstraselluler yang disekresikan oleh bakteri tersebut. Lapisan polisakarida inilah yang akan menjadi tahap awal pembentukan massa lengket yang disebut dengan plak. Dengan terbentuknya plak pada permukaan gigi maka proses karies gigi telah dimulai, ditandai dengan dihasilkannya asam laktat yang akan mendemineralisasi email gigi.


(18)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis sejauh mana senyawa antimikroba yang terkandung di dalam cajuput candy dapat menekan pembentukan biofilm bakteri penyebab karies gigi, mutan streptococci.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan komponen-komponen penyusun cajuput candy dalam menekan pembentukan biofilm, oleh bakteri penyebab karies gigi, yaitu Streptococcus mutans dan

Streptococcus sobrinus secara in vitro. Penelitian juga untuk mengetahui

pengaruh konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap pertumbuhan kedua spesies tersebut.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK KAYU PUTIH (CAJUPUT OIL)

Menurut Ketaren (1990), minyak kayu putih adalah hasil penyulingan dari daun kayu putih segar dan ranting (terminal branchlet) dari beberapa spesies Melaleuca. Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri (Esential oil) disebut juga ethereal atau volatile oil yaitu minyak yang mudah menguap dan memiliki bau khas, yang diperoleh dari tanaman tersebut. Beberapa jenis spesies yang mampu menghasilkan minyak kayu putih komersial antara lain

Melaleuca leucandendron LINN., Melaleuca cajeputi Roxb., Melaleuca

viridiflora Gartn. dan Melaleuca minor Sm.

Minyak atsiri berasal dari daun minyak kayu putih yang diperoleh melalui proses penyulingan. Daun yang digunakan adalah daun yang berasal dari tanaman muda (tidak lebih dari 6 bulan) sebab kandungan minyaknya lebih tinggi. Pemalsuan minyak kayu putih banyak sekali terjadi dan umumnya dilakukan dengan penambahan minyak tanah atau bensin (Heyne, 1985).

Warna minyak kayu putih adalah hijau bening, yang disebabkan karena tembaga dari ketel-ketel penyulingan minyak kayu putih dan senyawa organik yang kemungkinan adalah klorofil. Warna hijau minyak atsiri disebabkan karena tembaga, maka warna tersebut dapat dipisahkan dengan minyak kayu putih aslinya dengan menggunakan larutan asam tartarat pekat. Namun apabila warna hijau tersebut disebabkan karena klorofil atau bahan organik lainnya, maka minyak itu dapat dipucatkan dengan menggunkan karbon aktif. Proses rektifikasi juga dapat mengeliminasi warna. Namun demikian, rektifikasi minyak kayu putih tidak dilakukan di daerah-daerah produksi.

Menurut James (1989) warna minyak kayu putih bervariasi, dari tidak berwarna, kuning sampai hijau dengan aroma champor yang aromatik dan rasa champor yang pahit, mengandung 10% senyawa kristalin


(20)

fenolic,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon. Senyawa ini dianggap memiliki daya antiseptik menurut Guenther (1990).

Minyak kayu putih kadang-kadang dicampur dengan asam lemak atau dengan kerosen oleh petani produsen atau pedagang perantara. Bau minyak kayu putih sedemikian kerasnya sehingga saat dilakukan penambahan kerosen atau asam lemak, minyak kayu putih tersebut tidak menunjukkan perubahan bau. Uji sederhana yang digunakan oleh pedagang pribumi adalah dengan cara mengocok minyak kayu putih di dalam botol. Jika terbentuk busa dan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan tidak segera hilang, hal ini menandakan bahwa adanya penambahan kerosen atau bensin kedalamnya.

Unsur yang mengandung aroma kemungkinan terbentuk dari hijau daun (chlorophyl). Unsur tersebut bersatu dengan glukosa menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Di tempat tertentu, khususnya bunga, tumbuhan menghasilkan zat penawar (enzim) yang menyerbu glukosida sehingga mengakibatkan terciptanya minyak atsiri. Komponen penyusun minyak kayu putih dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih

No. Komponen Rumus Molekul Titik Didih (oC)

1 Cineol C10H18O 174-177

2 Terpineol C10H17OH 218

3 Pinene C10H18 156-160

4 Benzaldehyde C6H5O 179,9

5 Limonene C10H16 175-176

6 Sesquiterpene C15H24 230-277

Sumber : Ketaren, 1990

Menurut Budavari (1989) minyak kayu putih mengandung 50-60% sineol, L-pinene, terpineol, valeric, butyric, benzoic dan aldehid lainnya. Komponen-komponen fenol ini memiliki titik didih yang cukup tinggi sehingga tidak volatil ketika pengalami proses pemasakan.


(21)

Penggunaan minyak kayu putih sebagai obat-obatan dan wangi-wangian dapat dilakukan secara langsung ataupun digunakan sebagai bahan baku dalam industri obat dan wewangian (Ketaren, 1990). Menurut Dharma (1985), kayu putih (berupa simplisia maupun minyak) dipakai sekurang-kurangnya di 23 negara dan tercantum dalam daftar prioritas WHO mengenai simplisia yang paling banyak dipakai di dunia.

Minyak kayu putih adalah obat yang amat disenangi sebagai obat luar untuk sakit mulas, sakit kepala, sakit gigi, sakit telinga, kejang dan kaku pada kaki, berbagai jenis nyeri, encok, masuk angin, penyakit kulit, luka baru serta luka bakar (Dharma, 1985). Selain sebagai obat luar, minyak kayu putih digunakan pula sebagai obat dalam (internal). Menurut Guenther (1990), khasiatnya sebagai obat oles bagi penderita sakit kepala kemungkinan disebabkan karena memiliki cooling effect. Sebagai obat internal, minyak tersebut berfungsi sebagai anthelmintic (obat cacing) dan terutama efektif sebagai obat demam. Minyak kayu putih digunkan pula sebagai ekspektoran dalam kasus laryngitis dan bronchitis.

B. PERMEN

High Boiled sweets (hard candy) mencakup produk lollipop,

medicated sweets, permen berisi ditengahnya, permen kacang, candy canes.

High Boiled sweets mempunyai tekstur yang keras, penampakan yang jernih

dan biasanya terdiri dari komponen dasar sukrosa dan sirup glukosa serta bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan untuk memberikan rasa dan penampakan yang lebih baik (Jackson, 1995). Menurut Slater (1986), boiled

sweets pada dasarnya adalah merupakan campuran dari gula, sirup glukosa

atau sirup gula invert, air, flavor dan pewarna. Menurut Jackson (1995), komponen mayor yang digunakan di dalam industry konfeksioneri adalah gula pasir (sukrosa) atau gula bit.

High Boiled sweets dengan kandungan total solid sebanyak 97%

memberikan tekstur yang baik dan memberikan umur simpan yang optimal, akan tetapi jika semua hanya terdiri dari sukrosa maka akan menjadi lewat


(22)

jenuh, sehingga karbohidrat ini menjadi tidak stabil. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan campuran sukrosa dengan sirup glukosa (Dziedzic, 1984). Sirup glukosa yang digunakan dapat meningkatkan viskositas dari permen sehingga permen tetap tidak lengket dan mengurangi migrasi molekul karbohidrat. Permen yang jernih dapat dihasilkan dengan kandungan air yang rendah dan penambahan sirup glukosa yang akan mempertahankan viskositas yang tinggi. Selain gula sebagai bahan dasar, isomalt, lactitol, maltitol atau hidrolisat pati yang terhidrogenisasi dapat pula digunakan sebagai substitusi (Jackson, 1995).

Menurut Dziedzic (1984), produksi high Boiled sweets dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu open pan, vacuum cooker dan continues

cooker. Setiap metode mempunyai perbedaan dalam hal perbandingan antara

sukrosa dan sirup glukosa yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang optimum dan mencegah kristalisasi sukrosa.

Menurut Jackson (1995) dua masalah yang dapat terjadi pada hard

candy adalah stickiness dan graining. Stickness terjadi karena meningkatnya

kadar air sebagai akibat penggunaan gula invert, sehingga permen lebih bersifat higroskopis. Masalah ini diatasi dengan mengunakan sukrosa dan sirup glukosa. Tetapi rasio antara sukrosa dan sirup glukosa perlu disesuaikan karena kesalahan rasio dapat menyebabkan graining (mengkristal). Tetapi penyimpanan pada suhu dan RH tinggi tetap menimbulkan masalah kelengketan dan graining, karena permen menyerap air, sehingga RH penyimpanan harus dijaga agar tidak lebih dari 45%. Hard Candy diharapkan tidak lengket atau tidak mengkristal ketika diterima oleh konsumen, maka ketepatan formula dan pengontrolan proses sangat penting.

C. SUKROSA

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk dalam golongan karbohidrat, memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhydrous dan larut dalam air. Pada suhu 20oC, kelarutannya dalam air mencapai 67.7% w/w (Nicol, 1982). Menurut Jackson (1995), sukrosa adalah disakarida, dapat


(23)

berubah menjadi dua molekul monosakarida, yang diketahui sebagai dekstrosa (alfa-D-glukosa) dan laevulose (beta-D-fruktosa). Garam-garam mineral yang terdapat dalam gula komersial dapat berfungsi sebagai penghambat perubahan sukrosa menjadi gula-gula invert.

Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembentuk citarasa, sebagai substrat bagi mikroba dalam proses fermentasi, bahan pengisi dan pelarut (Nicol, 1982).

Peningkatan kadar sukrosa akan meningkatkan kekentalan. Menurut Jackson (1995) penambahan asam dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi sukrosa yang tereduksi, sehingga menyebabkan produk menjadi lengket. Penggunaan sukrosa dalam pembuatan hard candy umumnya sebanyak 50-70% (Lawrence, 1991).

D. SIRUP GLUKOSA

Sirup glukosa merupakan bahan yang sering digunakan didalam berbagai industri seperti konfeksioneri, pengawet, frozen desserts dan minuman (Mc Donald, 1984). Menurut Jackson (1995), sirup glukosa bukan merupakan produk yang murni tetapi merupakan campuran dari glukosa, maltosa dan dekstrin.

Pernyataan untuk kandungan glukosa dan sirup, umumnya digunakan

dextrosa equivalent atau sering disingkat DE (Maiden, 1970). Secara

komersial DE adalah kandungan gula pereduksi yang dinyatakan sebagai persen dekstrosa terhadap padatan kering. DE tidak menyatakan kandungan glukosa yang sebenarnya dari produk tetapi berhubungan dengan kandungan gula pereduksi dari semua jenis gula yang terdapat dalam produk (Maiden, 1970).

Menurut Bernard (1989), sirup glukosa dengan nilai DE yang rendah akan mempunyai viskositas yang tinggi dan kemanisan yang rendah. Sirup glukosa mempunyai sifat higroskopis yang rendah sehingga dapat digunakan sebagai pelindung pada hard candy. Menurut Dziedzic (1984), sirup glukosa


(24)

yang umum digunakan adalah 42 DE baik yang dihasilkan dengan asam maupun kombinasi asam-enzim.

E. MINYAK PEPPERMINT

Minyak peppermint adalah flavor yang sudah popular dan sering digunakan di dalam industri konfeksioneri, popularitas minyak peppermint

disebabkan oleh sudah semakin banyaknya penelitian-penelitian tentang berbagai jenis tanaman yang menghasilkan minyak peppermint dan perkembangan cara-cara destilasi dan pemurnian dari minyak tersebut. Minyak peppermint yang sekarang beredar adalah minyak peppermint dalam bentuk campuran, dan untuk industry konfeksioneri biasabya menggunakan minyak peppermint yang memberikan harum bunga lembut (Bernard, 1989).

Minyak peppermint termasuk flavor alami yaitu flavor yang terdapat pada daun-daunan, diperoleh dengan cara mikrobiologi atau secara fisik yaitu ekstraksi, destilasi atau pemekatan (Jackson, 1995). Kegunaan minyak

peppermint cukup luas, biasanya dicampur dengan minyak Spearmint dan

juga bisa dicampur dengan flavor-flavor yang umum seperti minyak

Eucalyptus, Methyl salicylate dan Anethole (Wright, 1991).

F. CAJUPUT CANDY

Cajuput candy termasuk ke dalam produk konfeksioneri. Produk

konfeksioneri adalah produk makanan yang mengandung gula sebagai komponen utamanya. Komponen lain seperti gum, pektin, gelatin, starch, susu, mentega atau lemak lainnya dan cokelat memberikan tekstur khusus (Lawrence, 1991). Suhu dan waktu pemanasan berperan dalam menghasilkan rasa, tekstur dan flavor produk akhir (Lawrence, 1991).

Cajuput candy tergolong kedalam jenis high boiled sweets (hard

candy) mempunyai tekstur yang keras, penampakan yang jernih dan biasanya

terdiri dari komponen dasar sukrosa dan sirup glukosa serta bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan untuk memberikan rasa dan penampakan yang lebih


(25)

baik (Jackson, 1995). Campuran falvor dengan perbandingan minyak kayu putih dengan peppermint (100 : 14,2) sebanyak 0.9% ditambahkan kedalam adonan permen pada suhu kurang sedikit dari 140oC dan adonan permen tersebut berada didalam wadah pemasak yang terbuat dari stainless steel, merupakan hasil yang disukai atau terpilih (Halimah, 1997).

Penelitian Halimah (1997) menyatakan bahwa cajuput candy memiliki flavor top note yang baik, karena kesan pertama yang diberikan telah mencirikan karakteristik flavor itu sendiri, tetapi campuran flavor tersebut kurang dapat bertahan lama pada permen. Oleh karena itu cajuput candy

kemudian disempurnakan melalui penelitian Kindly (1997) yang mencari campuran komponen flavor yang tepat, baik dengan mengubah perbandingan maupun dengan penambahan komponen lain sehingga menjadi flavor yang lebih baik.

Berdasarkan hasil uji hedonik, yang dianilisan secara statistika, ternyata ada 3 buah komposisi formula yang terpilih yaitu formula 1 yang terdiri dari minyak kayu putih 0.5% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 6.4 (agak suka menuju suka), formula 2 yaitu minyak kayu putih 0.5% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) + menthol (50% propilen glikol ) 0.2% (v/w) + maltol (50% propilen glikol) 0.1% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 6.35 (agak suka menuju suka), dan formula 3 yaitu minyak kayu putih 0.7% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 5.8 (netral menuju agak suka) (Kindly, 1997).

G. KARIES GIGI

Karies gigi (kativasi) adalah daerah yang membusuk di dalam gigi, yang terjadi akibat suatu proses yang secara bertahap melarutkan email

(permukaan gigi sebelah luar yang keras) dan terus berkembang ke bagian dalam gigi. Di dalam mulut, bakteri, sisa makanan, dan saliva menyatu membentuk plak yang menempel pada gigi. Plak mulai menyatu dengan gigi sekitar 20 menit setelah makan, jika plak tidak dibersihkan secara rutin maka


(26)

akan timbul karies. Karies gigi yang tidak tertangani akan menghancurkan struktur internal gigi dan memicu keropos gigi (Kapner, 2003).

Proses karies gigi berawal ketika bakteri normal pada rongga mulut beraktivitas dan berkumpul disekitar gigi membentuk masa lengket berwarna krem yang dikenal sebagai plak (Wikipedia, 2006). Bakteri yang membentuk plak ini kemudian menghasilkan asam laktat yang dapat menyebabkan demineralisasi (melarutnya) email gigi. Asam laktat ini dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat (Todar, 2002). Demineralisasi adalah proses yang berjalan dinamis, apabila kondisi asam ternetralkan dengan adanya mineral penting dari saliva, obat kumur, pasta gigi maka remineralisasi dapat muncul dan memperbaiki kondisi gigi yang mengalami karies (Wikipedia, 2006).

Karies gigi berkaitan erat dengan S. mutans karena bakteri ini merupakan penyebab munculnya plak pada hewan dan manusia. Karies gigi mulai dikaitkan dengan S. mutans setelah sukrosa menjadi salah satu komponen pangan pada diet manusia. Bakteri dapat menghasilkan H2S, NH3,

toksin, enzim dan antigen lain yang dapat menimbulkan efek radang. Menurut Loesche (1986) diyakini bahwa S.mutans bertindak sebagai inisiasi infeksi dan berperan pada terjadinya lesio dini pada gigi.

Streptococcus mutans mempunyai sutau enzim yang disebut glukosil

transferase di atas permukaannya yang dapat menyebabkan polimerisasi glukosa pada sukrosa dengan pelepasan dari fruktosa, sehingga dapat mensintesa molekul glukosa yang memiliki berat molekul yang tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1,6) dan alfa (1,3). Pembentukan alfa (1,3) ini sangat lengket, sehingga tidak larut dalam air. Hal ini dimanfaatkan oleh bakteri Streptococcus mutans untuk berkembang dan membentuk plak pada gigi. Gigi yang mengalami karies dapat dilihat pada Gambar 1.


(27)

Gambar 1. Karies Gigi (Wikipedia, 2006)

Enzim yang sama kemudian melanjutkan untuk menambahkan banyak molekul glukosa ke satu sama lain untuk membentuk dextran yang mana memiliki struktur sangat mirip dengan amylose dalam tajin. Dextran bersama dengan bakteri melekat dengan erat pada enamel gigi dan menuju ke pembentukan plak pada gigi. Hal ini merupakan tahap dari pembentukan rongga atau lubang pada gigi. Skema dari penguraian glukosa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.


(28)

Apabila proporsi S.mutans pada plak gigi mencapai 2-10% maka individu tersebut memiliki resiko yang tinggi terhadap karies gigi, sedangkan jika proporsinya kurang dari 0.1% maka resiko terhadap karies gigi kecil (Mount & Hume, 2006). Menurut Mount & Hume (2006) karies dapat diobati dengan cara : mengubah kondisi mikroflora dengan menggunakan chlorhexidine dan flouride, mengurangi konsumsi gula dan sukrosa, mengurangi jumlah makan, serta meningkatkan salivary flow.

H. Streptococcus mutans

Mayoritas bakteri rongga mulut yang terdapat di plak gigi adalah streptococci oral. Streptococci dibagi menjadi empat kelompok utama yaitu

Streprococcus mutans, Streptococcus angionosus dan Streptococcus mitis.

Kelompok Mutans streptococci terbagi lagi menjadi spesies Streprococcus mutans (serotipe c, e, f), Streprococcus sobrinus (serotipe d,g), Streprococcus

cricetus (serotipe a), Streprococcus rattus (serotipe b), Streprococcus ferrus

(serotipe c), Streprococcus macacae (serotipe c) dan Streprococcus downei

(serotipe h) (Marsh, 1999). Serotipe ini dibedakan berdasarkan karbohidrat dinding selnya dan hibridisasi DNA (Loesche, 1986, Michaek & Childers, 1990). Karakteristik grup mutan streptococcus ditunjukkan pada Tabel 2.

Streptococcus mutans pertama kali diperkenalkan oleh J. Killian

Clarke pada tahun 1924 (Wikipedia, 2006). Streptococcus mutans merupakan salah satu mikroflora normal pada tubuh manusia. Habitat utamanya adalah gigi, namun bakteri ini juga ada pada saliva, lidah, dan membran mukosa rongga mulut (Gronroos, 2000). Streptococcus mutans termasuk grup viridans sterprococci, bakteri gram positif, anaerob fakultatif, non motil, tumbuh baik pada suhu 18-400C, dan merupakan kontributor dalam pembusukan gigi (Sato, 2004).


(29)

Tabel 2. Karakteristik Grup Mutan Streptococci

Spesies Mol% G + C Serotipe Polisakarida Dinding Sel

S. mutans 36-38 c, e, f Rha, Glc

S. rattus 41-43 b Rha, Gal, Gro

S. sobrinus 44-46 d, g Rha, Glc, Gal

S. cricetus 42-44 a Rha, Glc, Gal

S. downei 41-42 h Belum diketahui

S. macacae 35-36 c Belum diketahui

S. ferus 43-45 c Rha, glc

Sumber : Gronross, 2000

Pada media perbenihan Brain Heart Infusion Broth (BHIB) bakteri ini berbentuk kokal gram positif dalam rantai, sedangkan dalam media perbenihan agar basa berbentuk batang dan kokal. Media selektif lainnya untuk Streprococcus mutans adalah TYS20B (tryphase soy with sucrose and bacitracin), GSYB (Glucose-sukrose-tellurite-bacitracin), MSB (mitis salivarius with bacitracin) dan TYCSB (tryptone-yeast extract-cystein with sucrose and bacitracin) (Jawetz, 1995). Menurut penelitian TYCSB merupakan media paling sensitive dan selektif untuk kultur Streprococcus

mutans (Wan, 2002).

Streptococcus mutans merupakan bakteri utama yang terlibat pada

pembentukan plak gigi dan karies. Streptococcus mutans melekat dengan baik pada permukaan gigi, perlekatan ini diprakarsai oleh adanya molekul adhesin bakteri yaitu glikosil transferase yang berikatan dengan reseptor inang pada permukaan gigi yaitu salivary glicoprotein (Todar, 2002). Streptococcus

mutans menggunakan sukrosa untuk memproduksi dekstran melalui enzim

dextransucrase. Dekstran melekatkan bakteri-bakteri yang berkoloni disekitar

gigi dan membentuk massa berwarna krem dan lengket yang disebut plak. Kemudian bakteri memfermentasi karbohidrat seperti sukrosa, glukosa, dan


(30)

fruktosa menjadi asam laktat. Kombinasi plak gigi dan asam laktat yang menciptakan kondisi asam pada gigi serta melarutkan email gigi memicu terjadinya karies (Mount & Hume, 2006).

Klasifikasi S. mutans menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah: Kingdom :Monera

Divisio :Firmicutes Class :Bacilli

Order :Lactobacilalles Family :Streptococcaceae Genus :Streptococcus Species : Streptococcus mutans

Gambar 3. Streptococcus mutans (Wikipedia, 2006)

Michalek dan Mc Ghee (1982) menyatakan bahwa media selektif untuk pertumbuhan Streptococcus mutans adalah agar Mitis Salivarius, yang menghambat kebanyakan bakteri mulut lainnya kecuali Streptococcus. Penghambatan pertumbuhan bakteri mulut lainnya pada agar Milis Salivarius disebabkan karena kadar biru trypan. Di samping itu, media ini juga mengandung kristal violet, telurit dan sukrosa berkadar tinggi. Streptococcus mutans yang tumbuh pada agar Mitis Salivarius memperlihatkan bentuk koloni halus berdiameter 0,5 - 1,5 mm, cembung, berwarna biru tua dan pada pinggiran koloni kasar serta berair membentuk genangan di sekitarnya. Seperti bakteri streptococcus lainnya, bakteri ini juga bersifat gram positif, selnya berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 1 mm dan tersusun


(31)

dalam bentuk rantai. (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Streptococcus mutans

tumbuh dalam suasana fakultatif anaerob (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Menurut Wan (2002) dalam keadaan anaerob, bakteri ini memerlukan 5% CO2 dan 95% nitrogen serta memerlukan amonia sebagai sumber nitronen agar dapat bertahan hidup dalam lapisan plak yang tebal. Streptococcus

mutans menghasilkan dua enzim, yaitu glikosiltransferase dan

fruktosiltransferase. Enzim-enzim ini bersifat spesifik untuk subtsrat sukrosa yang digunakan untuk sintesa glukan dan fruktan. Pada metabolisme karbohidrat, enzim glikosiltransferase menggunakan sukrosa untuk mensintesa molekul glukosa dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1-6) dan alfa (1-3) (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Ikatan glukosa alfa (1-3) bersifat sangat pekat seperti lumpur, lengket dan tidak larut dalam air. Kelarutan ikatan glukosa alfa (1-3) dalam air sangat berpengaruh terhadap pembentukan koloni Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Ikatan glukosa alfa (1-3) berfungsi pada perljfekatan dan peningkatan koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan pembentukan plak dan terjadinya karies gigi. (Roeslan, 1988).

I. Streptococcus sobrinus

Streptococcus sobrinus adalah salah satu anggota dari grup mutan

streptococcus dan berhabitat di permukaan gigi. Bakteri ini memiliki diameter 0,5 mm, berpasangan atau berbentuk rantai. Koloni pada agar sukrosa berdiameter 1 mm, kasar, saling bertumpukkan, kadang-kadang terdapat runtuhan glukan disekitar koloni. Beberapa strain menunjukkan α hemolisis atau non hemolisis pada agar darah. S. sobrinus dapat memfermentasi manitol, inulin, dan laktosa namun bervariasi pada kemampuan memfermentasi sorbitol, melibiose, dan raffinose. S. sobrinus tidak memproduksi ammonia dari arginin serta tidak menghidrolisis eskulin. Habitat primer S. sobrinus adalah pada gigi manusia. Setelah berkolonisasi pada gigi, bakteri ini dapat terdeteksi di saliva, lidah, membran mukosa oral, bahkan gigi palsu dan peralatan kedokteran gigi (Gronroos, 2000). Hubungan


(32)

filogenetik S. sobrinus dengan bakteri streptococcus oral lainnya ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Filogenetik Bakteri Streptococcus Oral (Gronroos, 2000)

S. sobrinus bersifat patogen pada hewan coba dan merupakan salah

satu penyebab utama karies gigi pada manusia (Sneath et al., 1986, Michael

et al., 1990). S. sobrinus umumnya ditemukan bersama-sama dengan S.

mutan. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang berbeda mengenai

keberadaan S. sobrinus. Prevalensi S. sobrinus di laporkan dalam jumlah yang sedikit, namun pada subjek spesifik prevalensinya lebih tinggi dibandingkan

S. mutan (Gronroos, 2000).

J. BIOFILM

Biofilm adalah komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan organic dan non organik yang terorganisasi dalam struktur tiga dimensi, serta tertutup oleh matriks ekstraselluler (polisakarida), yang disekresikan oleh bakteri itu sendiri maupun diperoleh dari lingkungan tempat mikroorganisme tersebut tumbuh (Marsh, 1999).

Permukaan gigi biofilm oral dimulai dengan pembentukan dental plak. Dental plak adalah lapisan polisakarida semi transparan yang melekat dengan

anginosus group

S. anginosus S. constellatus S. intermedius

S. oralis S. mitis S. gardonii S. sanguis S. parasanguis

S. vestibularis S. salivarius S. mutans

S. sobrinus

mitis group

salivarius group


(33)

kuat pada permukaan gigi dan mengandung mikroorganisme beserta produk metabolisnya (Mount, 2005). Pembentukan dental plak sendiri dimulai dari terbentuknya pelikel pada permukaan gigi, dua jam setelah pembersihan gigi (Samaranayake, 2002). Pelikel adalah lapisan organik tipis yang tidak memiliki struktur dan melekat pada permukaan email yang terbentuk dari protein saliva (Roberson, 2002). Fungsi pelikel adalah untuk melindungi email, menurunkan friksi antar gigi, dan menyediakan matriks untuk remineralisasi email. Berbagai protein saliva yang terdapat pada pelikel adalah glikoprotein (mucin) yang berfungsi untuk mengaglutinasi bakteri dan lisozim yang melisis dinding sel bakteri. Hasil akhir dari proses ini akan mengakibatkan pelepasan peptidoglikan dari dinding sel bekteri yang akan mengaktifkan komplemen dan immunoglobulin untuk mengaglutinasi bakteri (Roberson, 2002).

Kelompok organisme pioneer pada kolonisasi awal adalah coccid dan

rods Gram positif yang kemudian diikuti oleh coccid dan rods Gram negatif

dan yang terakhir adalah flaments, fusobacteria, spirilis, dan spirochaetes (Samaranayake, 2002). Tahap selanjutnya adalah koagregasi atau koadhesi mikroorganisme baru pada bakteri yang sudah melekat sebelumnya, sehingga mengakibatkan meningkatnya keanekaragaman mikroflora plak. Kemudian bakteri-bakteri yang melekat ini akan bermultiplikasi membentuk biofilm. Fase penting lainnya dalam pembentukan plak adalah sintesa polimer ekstraselluler oleh bakteri-bakteri yang melekat yang berperan sebagai sumber makanan dan memfasilitasi agregasi atau adhesi bakteri (Marsh, 1999).

Bakteri yang telah melekat memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari biofilm dan memasuki fase planktonik pada saliva. Bakteri-bakteri pada fase ini akan memfasilitasi terbentuknya kolonisasi baru di tempat lain (Marsh, 1999). Pembentukan biofilm dapat dilihat pada Gambar 5.


(34)

(35)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak kayu putih 100%,

peppermint, propilen etil glikol, glukosa, sukrosa, biakan Streptococcus

mutans serotipe c, biakan Streptococcus mutans serotipe d (sobrinus), air

destilata, Medium kultur Brain Heart Infusion (BHI), Phosphate Buffer Saline

(PBS), SDS (Sodium Dodecyl Sulphate) 1%, kristal violet 0,5%, etanol 95%, dan Nutrient agar (NA) bahan-bahan ini diperoleh dari Laboratorium Oral Biologi, FKG UI.

Alat yang digunakan adalah gloves, masker, kertas tissue, bunsen, timbangan analitik, beaker glass 250 ml, erlenmeyer 250 ml, corong kaca, tabung eppendorf 1,5 ml, api bunsen, scrapper merk Ninc, vortex, mikropipet 1 µl, mikropipet 10 µl, mikropipet 50 µl, mikropipet 100 µl, mikropipet 1000µl, Tissue Culture Plate @ 96 sumur, microplate, microplate reader, inkubator, cawan petri, tabung reaksi.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi kedalam dua penelitian utama. Pertama, penelitian bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan komponen penyusun cajuput candy dalam menekan pembentukan biofilm Streptococcus

mutans serotipe c dan Streptococcus mutans serotipe d (sobrinus) pada

permukaan sumur atau sumur. Pada penelitian pertama ini akan dilihat bagaimana pengaruh sukrosa, glukosa, minyak kayu putih, dan peppermint

terhadap pertumbuhan kedua mikroba uji. Pertumbuhan mikroba uji akan dilakukan dengan membaca nilai optical density (OD) menggunakan

microplate reader. Nilai OD adalah nilai atau tingkat kemampuan gelombang

cahaya untuk menembus suatu larutan atau suspensi. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin banyak biofilm bakteri yang terdispersi dalam suspensi (Honda, 2005).


(36)

Penelitian utama kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm oleh kedua mikroba uji. Minyak kayu putih adalah salah satu komponen utama penyusun cajuput candy. Menurut Budavari (1989) minyak kayu putih mengandung komponen aktif yang terdiri dari 50-60% sineol, L-pinene, terpineol, valeric, butyric, benzoic dan aldehid lainnya, komponen-komponen aktif ini yang diduga sebagai komponen yang mampu menghambat pertumbuhan akumulasi biofilm kedua mikroba uji. Pertumbuhan mikroba akan uji dilihat dari nilai OD melalui microplate reader. Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah semakin tinggi konsentrasi minyak kayu putih maka pertumbuhan akumulasi biofilm mikroba uji akan semakin besar terhambat. Pada penelitian kedua ini dilakukan pengujian pada tiga konsentrasi. Penentuan besarnya konsentrasi minyak kayu putih yang diuji, berdasarkan penelitian Halimah (1997) dan Kindly (1997) yaitu konsentrasi yang sudah teruji secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen.

Kedua penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menumbuhkan bakteri uji di dalam Tissue Culture Plate dan menambahkan perlakuan pada setiap sumur. Dari penelitian ini, diharapkan adanya hasil yang menyatakan bahwa minyak kayu putih memiliki kemampuan untuk menghambat pembentukan biofilm. Adapun tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

a. Strerilisasi alat dan Bahan

Cawan petri, tabung reaksi, erlemenyer, pipet, spatula, media NA, dan seluruh alat dan bahan (kecuali cajuput candy) yang akan digunakan untuk pengujian disterilisasi di dalam autoclave selama 30 menit dengan mengatur tekanan sebsesar 15 dyne/cm3 (1 atm) dan suhu sebesar 1210C setelah sebelumnya dicuci bersih, dikeringkan dan dibungkus dengan kertas. (Hadioetomo, 1993).


(37)

b. Pembuatan Formula Uji

Permen minyak kayu putih (cajuput candy) yang akan diuji kemampuan mencegah karies gigi merupakan formulasi terbaik yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu Halimah (1997) dan Kindly (1997). Diagram alir pembuatan permen minyak kayu putih dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Cajuput candy

Penelitian ini tidak memerlukan pemasakan pada formula

cajuput candy yang akan diujikan, sehingga formula yang digunakan

adalah formula dalam bentuk cair. Cajuput candy tersusun dari dua komponen yaitu komponen utama dan komponen flavor. Komponen utama terdiri dari c bagian sukrosa, d bagian sirup glukosa, e bagian air, sementara komponen flavor terdiri dari komponen flavor primer yaitu minyak kayu putih dan komponen flavor sekunder peppermint.

Aduk merata sampai 110oC Sukrosa

Air Mineral

Tambahkan Glukosa Aduk merata sampai 150oC

Tambahkan minyak kayu putih dan

peppermint

Cetak


(38)

Penelitian pertama digunakan tiga perlakuan uji yaitu pengujian terhadap formula permen minyak kayu putih, kombinasi komponen flavor, pengujian tunggal minyak kayu putih, dan minyak peppermint, formula perlakuan yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perlakuan Pengujian Biofilm Penelitian Pertama Perlakuan Sukrosa

(v/w)*

Glukosa (v/w)*

Minyak Kayu Putih (v/w)*

Minyak

Peppermint

(v/w)* Kontrol - - - -

A d% c% x% y%

B - - x% y%

C - - x% -

D - - - y%

*)Data dapat diperoleh pada dosen pembimbing

Penelitian kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm oleh kedua species. Pemilihan konsentrasi minyak kayu putih didasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halimah dan Kindly (1997) yang sudah secara nyata dapat diterima oleh konsumen. Formula perlakuan yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 4. Pelarut yang digunakan padav formula uji ini adalah propylene etilen glycol.

Tabel 4. Perlakuan Pengujian Biofilm Penelitian Kedua Perlakuan Minyak Kayu Putih (v/w)*

Kontrol - D x-0,2% E x% F x+0,1% *)Data dapat diperoleh pada dosen pembimbing

c. Pembenihan S. mutans dan S. sobrinus

Penelitian ini akan mengunakan dua jenis mikroba utama yang mampu membentuk biofilm pada permukaan gigi yaitu S. mutans


(39)

diambil sekitar 1 ose selanjutnya digoreskan pada medium NA dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dengan kondisi anaerobik (kadar CO2 5% dan kelembaban 95%) di dalam anaerobik jar. Setelah

masa inkubasi, ambil 2 koloni tiap bakteri dan ditumbuhkan pada 5 ml media kultur BHI selanjutnya diinkubasi kembali selama 24 jam di suhu 370C dengan kondisi anaerobik (kadar CO2 5% dan kelembaban

95%).

Medium kultur BHI yang telah ditumbuhi oleh bakteri uji selanjutnya di ukur nilai OD dengan menggunakan microplate ELISA

reader. Microplate ELISA reader adalah alat yang berfungsi untuk

mengukur tingkat kemampuan gelombang cahaya untuk menembus suatu larutan atau suspensi, apabila didalam larutan medium kultur BHI banyak ditumbuhi oleh mikroba uji maka nilai OD akan semakin tinggi. Panjang gelombang yang digunakan pada poengukuran ini adalah 490 nm.

Tahapan pengukuran konsentrasi mikroba uji adalah sebagai berikut, pertama medium kultur BHI yang telah ditumbuhi oleh mikroba uji diambil sebanyak 200 µl lalu ditempatan kedalam sumur, selanjutnya sumur disimpan didalam mikroplate Elisa reader yang telah diset pada panjang gelombang 490 nm. Kedua, setelah diketahui nilai konsentrasi tiap mikroba uji maka selanjutnya dilakukan pengenceran untuk mendapatkan konsentrasi mikroba uji yang seragam pada semua perlakuan, nilai konsentrasi yang akan diujikan adalah 106. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan larutan PBS. Untuk mengetahui besarnya volume mikroba uji teruji yang harus ditambahkan, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus :

V1M1 = V2M2

Keterangan :

V1 = Volume awal mikroba uji


(40)

V2 = Volume yang dibutuhkan untuk melakukan perlakuan (96

sumur x 150 µl = 14,4 ml)

M2 = Konsentrasi mikroba yang diharapkan (106)

2. Pengujian Pembentukan Biofilm

Berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Yamanaka (2004), maka larutan bakteri, PBS, dan BHI selanjutnya diiisikan ke dalam Tissue

Culture Plate 96 sumur sebanyak 150 µl. Penelitian ini menggunakan dua

spesies mikroba, oleh karena itu Tissue Culture Plate yang ada dibagi menjadi dua bagian terlebih dahulu. Bagian kanan akan diisi oleh

Streptococcus mutans serotipe d dan sebelah kiri Streptococcus mutans

serotipe c.

Pengujian dilakukan dengan memasukkan perlakuan ke dalam setiap sumur yang tersedia. Pada sumur baris pertama tidak diberikan perlakuan apapun dan bertindak sebagai kelompok kontrol. Sumur baris kedua diberi 50 µl formula uji A yang mengandung sukrosa, glukosa, minyak kayu putih, dan minyak peppermint. Sumur ketiga diberi 50 µl formula kombinasi komponen flavor yang terdiri dari minyak kayu putih

dan peppermint (formula uji B). Sumur ketiga diisi formula uji C yang

merupakan pengujian untuk komponen flavor tunggal minyak kayu putih, dan sumur keempat diisi oleh komponen flavor tunggal minyak

peppermint (formula D). Blanko pada pengujian ini hanya berisi media

yang tidak ditumbuhi oleh mikroba dan tidak diberikan perlakuan.

Penelitian berikutnya adalah pengujian pengaruh konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm kedua spesies. Maka sumur pada baris kelima, keenam, dan ketujuh hanya diisi oleh komponen flavor tunggal minyak kayu putih, pada konsentrasi yang telah dibuat pada formula uji yaitu formula D, E, dan F. Pembagian sumur dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.

Tissue Culture Plate yang sudah terisi tersebut selanjunya

diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC, dengan kondisi anaerobik (kadar CO2 5% pada kelembaban 95%) selama 24 jam (Yamanaka, 2004).


(41)

Setelah 24 jam inkubasi semua cairan yang ada pada tiap sumur dibuang dengan menggunakan pipet sehingga meninggalkan biofilm yang melekat pada dasar sumur. Tiap sumur yang mengandung biofilm kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan PBS yang bertujuan untuk membersihkan sisa setiap perlakuan.

Gambar 7. Pembagian Sumur dan Perlakuan

Tahap selanjutnya adalah tahap pemberian kristal violet 0,5% terhadap biofilm yang menempel di dasar sumur. Setiap sumur diisi dengan cristal violet 0,5% sebanyak 200 µl, dan ditunggu selama 15 menit untuk kemudian dicuci dengan air sebanyak 200 µl. Sumur yang telah terwarnai kemudian diangin-anginkan pada suhu ruang dengan kondisi steril. Setelah kering, sumur kemudian ditambahkan etanol 95% sebanyak 200 µl yang bertujuan untuk melepaskan kristal violet yang masih menempel pada sel bakteri. Setelah biofilm terlepas didapatkan suspensi biofilm dan etanol. Mikroplate yang telah berisi suspensi selanjutnya dimasukkan kedalam microplate reader/ELISA reader pada panjang gelombang (λ) 490 nm.

Pengukuran ini akan menghasilkan nilai OD. Nilai OD adalah nilai atau tingkat kemampuan gelombang cahaya untuk menembus suatu

S. mutans Seotipe C S. mutans Seotipe D

Kontrol Formula A Formula B Formula C Formula D Formula E Formula F Blanko


(42)

larutan atau suspensi. Semakin tinggi nilainya, maka semakin banyak biofilm bakteri yang terdispersi dalam suspensi SDS tersebut (Honda, 2005).

3. Analisis Kuantitatif Kedua Spesies

Pengujian ini dilakuan untuk mengetahui jumlah mikroba yang terdapat pada cairan sisa pembentukan biofilm. Mikroba yang terhitung pada cairan sisa ini adalah mikroba yang terdispersi pada fase planktonik, dalam kondisi pada mulut ini diibaratkan sebagai mikroba yang mengalir pada saliva. Metode yang digunakan adalah metode hitungan cawan. Menurut Hadioetomo (1993) metode hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jadi jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terkandung di dalam cairan.

Tahap pertama, cairan yang didapatkan dibaca terlebih dahulu konsentrasinya dengan menggunakan Elisa Reader, selanjutnya cairan diencerkan pada media steril PBS. Cairan yang telah terencerkan selanjutnya diambil 1 µl dan diteteskan diatas media agar NA dan diratakan dengan hockey stick. Media kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada kondisi anaerobic (kadar CO2 5% pada kelembaban 95%) dengan

suhu 370C. Mikroorganisme akan tumbuh dan membentuk koloni. Selanjutnya koloni dihitung dan dikalikan dengan faktor pengenceran yang dilakukan.

4. Uji Sensori (Carpenter et al., 2000)

Uji sensori merupakan identifikasi, pengukuran secara ilmiah, analisis dan interpretasi dari elemen-elemen pada suatu produk yang dapat dirasakan oleh panca indera (penglihatan, penciuman, pengecapan, sentuhan dan pendengaran). Uji sensori pada penelitian ini menggunakan uji penerimaan atau uji hedonik yang bertujuan untuk mengevaluasi daya terima panelis terhadap produk yang dihasilkan. Skala hedonik yang


(43)

digunakan berkisar antara 1-9 dimana : (1) amat sangat tidak suka; (2) sangat tidak suka; (3) tidak suka; (4) agak suka; (5) normal; (6) agak suka; (7) suka; (8) sangat suka; (9) amat sangat suka.

Uji sensori menggunakan 70 orang panelis tidak terlatih. Panelis yang dipilih diambil secara acak mulai dari usia anak-anak, dewasa, dan tua. Panelis akan diminta untuk mencoba enam jenis cajuput candy yang sebelumnya telah diberikan kode oleh peneliti. Panelis diminta untuk mengulum dan mencium permen satu persatu, setiap pergantian permen panelis akan dinetralkan dengan mencuci mulut menggunakan air mineral yang disediakan oleh peneliti. Parameter yang digunakan pada uji hedonik ini adalah parameter aroma dan rasa. Contoh score sheet penilaian organoleptik dapat dilihat pada lembar Lampiran 1.

Uji sensori secara hedonik ini menggunakan 6 formula flavor

cajuput candy yang memiliki perbedaan pada konsentrasi minyak kayu

putih. Formula flavor cajuput candy pada uji ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Formula Flavor Cajuput Candy untuk Uji Hedonik Formula Minyak Kayu Putih * Peppermint*

A x - 0,2% y% B x - 0,1% y%

C x % y%

D x + 0,1% y% E x + 0,2% y% F x + 0,3% y%

*)Data dapat diperoleh pada dosen pembimbing

Diperlukan pengujian lanjut untuk mengetahui mutu sensori permen minyak kayu putih pada rentang konsentrasi minyak atsiri kayu putih yang lebih tinggi pula. Rentang konsentrasi minyak atsiri kayu putih yang dipilih pada pengujian lanjut ini ada 6 dengan campuran komponen flavor sekunder minyak peppermint. Tingkat konsentrasi yang dipilih ini dianggap berpengaruh terhadap penghambatan pembentukan biofilm yang


(44)

potensial bagi kedua spesies. Prosedur pembuatan permen minyak kayu putih dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Cajuput Candy untuk Uji Hedonik

5. Pengolahan Data

Pada penelitian kedua mengenai pengaruh konsentrasi minyak kayu putih terhadap pembentukan biofilm kedua spesies akan didapatkan data numeric. Data ini selanjutnya diuji dengan SPSS 13.00. Pada tahap pertama, hitung normalitas distribusi galat dengan menggunakan kolmogrof-simirnof untuk mengetahui sebaran data pada kondisi normal atau tidak. Jika sebaran data tidak normal akan dilakukan transformasi data agar sebarannya menjadi normal. Uji statistik yang digunakan untuk sebaran data normal adalah uji parametrik dan uji perbedaan yang digunakan adalah oneway ANOVA, dengan uji lanjut Duncan. Jika sebaran data tetap tidak normal, akan digunakan uji non-parametrik.

d % sukrosa + e % air

Dimasak sampai 1100 C

Ditambah c % glukosa

Dimasak sampai 1380C

Penambahan formula flavor

Pencetakan

Pengemasan


(45)

Pengujian sensori secara hedonik akan menghasilkan data non-parametrik, data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan kruskall-wallis dengan uji chi-square.


(46)

A. PENGARUH KOMPONEN PENYUSUN CAJUPUT CANDY TERHADAP PEMBENTUKAN BIOFILM Streptococcus mutans SEROTIPE C dan D

Karies merupakan penyakit multifaktorial yaitu suatu penyakit yang terjadi karena adanya interaksi antara gigi, karbohidrat terutama jenis sukrosa, bakteri penyebab karies terutama Streptococcus mutans, dan faktor waktu yang berhubungan dengan diet, kebiasaan perawatan atau pembersihan gigi geliginya. Apabila salah satu dari keempat faktor ini tidak ada, maka proses karies tidak akan terjadi. Oleh karena itu adanya interaksi faktor di atas perlu dicegah agar gigi dapat tetap sehat dan berada dalam mulut selama mungkin.

Cajuput candy adalah produk konfeksioneri khas Indonesia, yang

tersusun dari dua komponen, yaitu komponen utama dan komponen flavor. Komponen utama adalah sukrosa, glukosa, dan air, sedangkan komponen flavor berupa minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint. Menurut Suwelo (1988) sukrosa adalah komponen makanan yang mampu menaikkan indikasi karies gigi paling besar. Sedangkan minyak atsiri kayu putih berdasarkan penelitian Penfold dan Grant (1922) di dalam Cade (1957) dilaporkan memiliki kemampuan germisidal. Adanya kompoenen minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint dalam cajuput candy diharapkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans serotipe c dan d sebagai bakteri pembentuk karies.

Gula adalah salah satu komponen utama penyusun permen minyak atsiri kayu putih. Gula terutama jenis sukrosa merupakan media yang sangat baik untuk tumbuh kembang bakteri terutama Streptococcus mutans, Bakteri

Streptococcus mutans yang mempunyai habitat utama di plak gigi ini

merupakan kuman yang dominan menyebabkan karies gigi. Streptococcus

mutans di dalam plak gigi akan memetabolisme gula atau karbohidrat


(47)

merupakan awal untuk terjadinya demineralisasi email yang lebih lanjut menjadi lesi karies (Todar, 2002).

Komponen cajuput candy yang diujikan terhadap kedua jenis bakteri tersebut dibagi menjadi dua bentuk yaitu kombinasi (gabungan beberapa komponen) dan tunggal (satu komponen). Komponen yang diujikan secara kombinasi terdiri dari dua : 1) sukrosa, glukosa, minyak atsiri kayu putih, dan minyak peppermint, 2) komponen flavor yang terdiri atas minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint. Sementara yang diuji tunggal adalah minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint. Dalam penelitian ini juga digunakan kontrol positif yaitu media yang sudah ditumbuhkan oleh mikroba target tanpa penambahan kompoenen cajuput candy.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini terlihat bahwa adanya formula penyusun permen kayu putih tidak meningkatkan pembentukan biofilm dari

Streptococcus mutans serotipe c bahkan formula permen masih dapat

menekan pembentukan biofilm dibandingkan dengan kontrol (Gambar 2). Fenomena yang berbeda terlihat pada hasil pengujian dengan Streptococcus

mutans serotipe d. Pada bakteri ini formula cajuput candy belum dapat

menekan pembentukan biofilm, karena pada kondisi yang sama nilai absorbansi formula lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Komponen sukrosa yang menjadi komponen utama di dalam cajuput

candy pada kondisi normal akan meningkatkan pertumbuhan bakteri

Streptococcus mutans serotipe c dan d. Hal ini sesuai dengan pemaparan

diawal, bahwa sukrosa merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan kedua mikroba ini (Suwelo, 1988). Akan tetapi kondisi tersebut tidak berlaku untuk pertumbuhan biofilm Streptococcus mutans serotipe c yang telah diberikan perlakuan formula permen dengan komposisi d% sukrosa dan c% glukosa, e% air, minyak atsiri kayu putih x% (v/w) dan

peppermint y% (v/w). Hasil ini menunjukkan bahwa komponen sukrosa

didalam cajuput candy tidak meningkatkan pembentukan biofilm S. mutans

serotipe c, komponen flavor diduga sebagai salah satu faktor yang mampu menekan pembentukan biofilm oleh spesies ini. Grafik hubungan absorbansi


(48)

biofilm Streptococcus mutans serotipe c dan d dengan perlakuan untuk komponen sukrosa dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Hubungan Pembentukan Biofilm Streptococcus mutans serotipe c dan d dengan Perlakuan Komponen Penyusun

Cajuput candy.

Keberadaan komponen flavor yaitu minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint diduga menjadi faktor utama yang mampu menghambatan pembentukan biofilm oleh setiap serotipe mutans. Penghambatan yang dilakukan oleh komponen-komponen ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kandungan fenolik yang dimiliki komponen tersebut (Guenther, 1990). Menurut Cade (1957) beberapa jenis minyak atsiri memiliki sifat bakterisidal, fungisidal dan germisidal sehingga sering digunakan untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme.

Sumitra dan Sharma (2005) melaporkan bahwa minyak kayu putih atau cajuput oil spesies E. Teriticornis memiliki aktivitas antibakteri terhadap enam jenis bakteri uji yaitu Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,

Escherichia coli, Miccrococcus luteus, Proteus mirabilis dan Alcaligenes

faecalis). Komponen antibakteri minyak kayu putih akan melakukan proses

100%*

100%*

72,73%*

115,85%*


(49)

penghambatan melalui perusakan struktur sel atau dengan menghambat jalur respirasi kimia seperti degradasi dinding sel, merusak membran sel, atau menurunkan aktivitas protease ekstraselluler (Burt, 2004).

Akan tetapi dalam penelitian ini untuk mikroba uji S. mutans serotipe d ternyata komponen flavor ini tidak berhasil menghambat pembentukan biofilmnya. Polisakarida penyusun dinding sel S. mutans serotipe d menurut Gronroos (2000) lebih kompleks dibandingkan dengan S. mutans serotipe c, sehingga dibutuhkan lebih banyak senyawa antibakteri untuk merusak sistem metabolisme S. mutans serotipe d. Oleh karena itu S. mutans serotipe d berhasil melewati fase lag dibandingkan S. mutans serotipe c. Fase lag adalah fase dimana sel kehilangan metabolisme dan enzim sebagai akibat kondisi tidak menguntungkan yang dipertahankan sebelumnya, beradaptasi terhadap lingkungan baru, dan berakumulasi hingga kondisi yang membolehkan pertumbuhan dilanjutkan kembali (Jawetz et al., 2005). Hal ini dapat terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam (Levinson, 2004).

Penelitian berikutnya dibagi menjadi dua perlakuan yaitu perlakuan dengan melihat kombinasi komponen flavor (minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint) dan pengujian tiap komponen secara tunggal. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 8 nampak bahwa perlakuan kombinasi komponen flavor memberikan nilai absorbansi (0,024) yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (0,074) dan perlakuan komponen flavor secara tunggal. Hal ini menunjukkan adanya sinergitas antara komponen flavor cajuput candy didalam perlakuan kombinasi komponen flavor.

Pada pengujian komponen secara tunggal hasil yang ditunjukkan oleh pemberian minyak peppermint memiliki nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan minyak atsiri kayu putih, keduanya berada lebih rendah dari kontrol. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa minyak

peppermint memiliki efektifitas daya hambat pembentukan biofilm lebih

tinggi dibandingkan dengan minyak atsiri kayu putih. Grafik pengaruh minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint ini dapat dilihat pada Gambar 10.


(50)

Gambar 10. Pengaruh Komponen Flavor Terhadap Daya Hambat Biofilm

Streptococcus mutans Serotipe c

Dari keseluruhan pengujian komponen flavor hasil menunjukkan bahwa kombinasi komponen flavor cajuput candy memiliki efektivitas yang paling baik bila dibandingkan dengan komponen tunggal. Menurut Pelczar et. al (1993) suatu pangan dapat saja mengandung beberapa jenis komposisi yang mengandung komponen antioksidan dan antimikroba yang saling berinteraksi dan saling memperkuat tingkat efektifitas atau dikenal sebagai efek sinergis. Kombinasi komponen flavor cajuput candy ternyata memiliki efek sinergis bila dibandingkan dengan penggunaan secara tunggal, meskipun nilai pengukuran tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai komponen

peppermint tunggal.

Perlakuan serupa diujikan pula untuk mikroba uji Streptococcus

mutans serotipe d (Gambar 11). Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa

ada perbedaan aktifitas minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint

terhadap kemampuan untuk menghambat pembentukan biofilm Streptococcus

mutans serotipe d dengan serotipe c. Pada S. mutans c minyak peppermint

menunjukkan penurunan pembentukan biofilm yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan minyak atsiri kayu putih, namun pada serotipe d

MK [x%] dan MP [y%]

MK [x%] MP [y%]

100%*

32,43%* 48,65%* 35,14%* 0,026 + 0,003 0,036 + 0,002

0,024 + 0,004 0,074 + 0,004


(51)

nampak bahwa minyak kayu putih lebih menghambat dibandingkan minyak

peppermint. Kombinasi minyak atsiri kayu putih dan minyak peppermint

memiliki kemampuan menghambat biofilm lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atsiri kayu putih sendiri.

Gambar 11. Pengaruh Komponen Flavor Terhadap Daya Hambat Biofilm

Streptococcus mutans Serotipe d

Minyak atsiri selain digunakan sebagai bahan pengawet pada makanan, seperti minyak atsiri jahe, kayu manis dan kunyit, minyak atsiri digunakan pula pada produk-produk kosmetika dan farmasi, karena kemampuannya membunuh bakteri dan jamur penyebab penyakit. Berdasarkan penelitian Camberlain (1887) di dalam Cade (1957) melaporkan untuk pertama kali adanya aktivitas anti mikroorganisme minyak atsiri dengan penelitiannya yang membuktikan bahwa minyak atsiri kayu manis mampu membunuh spora dan sel vegetatif Bacillus anthraxis. Dari penelitian diatas dapat terlihat adanya potensi minyak atsiri sebagai zat antimikroba

Minyak atsiri kayu putih berdasarkan penelitian Penfold dan Grant (1922) di dalam Cade (1957) dilaporkan memiliki kemampuan germisidal yang disebabkan oleh senyawa kimia penyusun minyak atsiri kayu putih seperti simen, thimol, menthol, menthon, borneol, citronelol, safrol dan isosafrol. Hasil penelitian Myera dan Thienes (1925) yang dikutip oleh Cade

MK [x%] dan MP [y%]

MK [x%] MP [y%]

100%*

59,76%* 62,19%* 71,95%* 0,059 + 0,004 0,051 + 0,001

0,049 + 0,007 0,082 + 0,003


(52)

(1957) menunjukkan bahwa senyawa thimol memiliki sifat membunuh khamir, dan lebih kuat dibandingkan dengan larutan fenol 1%. Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minyak atsiri kayu putih dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh perbedaan konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap pertumbuhan dan pembentukan biofilm.

B. PENGARUH KONSENTRASI MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH

TERHADAP VIABILITAS SEL DAN LAJU PEMBENTUKAN BIOFILM S. mutans SEROTIPE C dan D

Penelitian selanjutnya dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap viabilitas sel dan laju pembentukan biofilm S. mutans c dan d. Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga konsentrasi minyak atsiri kayu putih terpilih yaitu 0,5%, 0,7% dan 0,78%. Pemilihan tingkat konsentrasi ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Halimah dan Kindly (1997) bahwa pada taraf konsentrasi tersebut permen minyak atsiri kayu putih dapat diterima secara baik oleh konsumen melalui uji organoleptik. Berdasarkan penelitian ternyata pada konsentrasi 0,5%, minyak atsiri minyak atsiri kayu putih telah mampu menghambat pembentukan biofilm kedua mikroba uji yaitu S. mutans c dan d (Tabel 6). Penurunan populasi bakteri tersebut semakin nyata dengan meningkatnya konsentrasi minyak atsiri kayu putih.

Pada Tabel 6. terlihat bahwa semakin meningkatnya konsentrasi minyak atsiri kayu putih kemampuannya dalam menghambat pembentukan biofilm S. mutans c semakin besar. Data yang diperoleh kemudian diuji kenormalannya dengan menggunakan kolmogrov simirnof, ternyata setelah diuji data menyebar normal dengan nilai p>0,150. Data yang telah normal kemudian diuji F dengan menggunakan alat uji ANOVA atau analisis of

varian pengujian ini untuk melihat apakah ada pengaruh perbedaan

konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap pembentukan biofilm, ternyata setelah diuji pada taraf 5% terlihat ada perbedaan nyata antara kontrol dan perlakuan yang digunakan. Agar diperoleh informasi lebih lanjut mengenai


(53)

data yang diperoleh, lalu dilakukan uji lanjut Duncan. Ternyata hasilnya, konsentrasi yang satu dan konsentrasi yang lain berbeda nyata pada taraf 5%, begitu pula dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi minyak atsiri kayu putih yang tidak terlalu besar. mampu menurunkan kemampuan mikroba S. mutans c untuk membentuk biofilm pada permukaan gigi yang cukup signifikan.

Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi Minyak atsiri kayu putih Terhadap Pembentukan Biofilm S. mutasn serotipe c.

Jenis

Mikroba Perlakuan OD490 nm

Persen Penghambatan

S.mutans

(serotipe c)

a. Kontrol

b. M. atsiri kayu putih [x-0,2%]

c. Minyak atsiri kayu putih [x%]

d. Minyak atsiri kayu putih [x+0,1%]

0,074 + 0,004

0,056 + 0,004

0,036 + 0,002

0,022 + 0,003

0%

24,3%

51,4%

70,3%

Hal serupa terlihat juga pada hasil pengujian perbedaan konsentrasi minyak atsiri kayu putih terhadap pembentukan biofilm S. mutans serotipe d, hanya saja penurunan pada mikroba ini tidak terlalu signifikan dibandingkan mikroba uji pertama. Hasil pengujian untuk mikroba ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Sama halnya dengan S. mutans serotipe c, untuk S. mutans serotipe d pun dilakukan tahap pengujian yang sama (Tabel 7), dan menunjukkan bahwa setiap perlakuan menunjukkan hal yang berbeda nyata pada taraf 5%. Penurunan viabilitas sel S. mutans serotipe c dan d yang disebabkan oleh komponen fenol yang dimiliki oleh minyak atsiri kayu putih, seperti simen, cineol, terpineol, pinene, bezaldehyde, limonene, sesquiterpene, thimol, menthol, menthon, borneol, citronelol, safrol dan isosafrol yang tergolong senyawa anti mikroorganisme (Davis et al., 1973).


(54)

Tabel 7. Pengaruh Konsentrasi Minyak atsiri kayu putih Terhadap Pembentukan Biofilm S. mutasn serotipe d.

Jenis

Mikroba Perlakuan OD490 nm

Persen Penghambatan

S.mutans

(serotipe d)

a. Kontrol (tanpa perlakuan)

b. Minyak atsiri kayu putih [x-0,2%] c. Minyak atsiri kayu

putih [x%]

d. Minyak atsiri kayu putih [x+0,1%]

0,082 + 0,003

0,071 + 0,002

0,051 + 0,001

0,037 + 0,002

0%

13,4%

37,4%

54,9%

Menurut Pelczar dan Reid (1972) beberapa grup senyawa kimia utama yang memiliki sifat anti mikroorganisme adalah : (1) fenol dan senyawa fenolik, (2) alkohol, (3) halogen, (4) logam berat, (5) zat warna, (6) deterjen, (7) senyawa amonium kuartener, (8) asam dan basa, serta (9) gas khemosterilan. Senyawa fenolik tersebut diduga dilepaskan oleh minyak atsiri kayu putih ke dalam medium kontak dan mengganggu sistem pertahanan kedua jenis mikroba uji. Kerja dari senyawa antimikroorganisme ada beberapa cara yaitu : (1) merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan lisis, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, (3) menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, (4) menghambat kerja enzim di dalam sel (Gronroos, 2000)

Senyawa-senyawa fenol seperti simen, cineol, terpineol, pinene, bezaldehyde, limonene, sesquiterpene, thimol, dan menthol diduga membunuh S. mutans serotipe c dan d dengan merusak membran selnya. Hal ini akan berakibat terjadinya kebocoran sel S. mutans serotipe c dan d yang ditandai dengan keluarnya makromolekul seperti protein dan asam nukleat dari dalam sel. Terjadinya kebocoran nutrient sel S. mutans serotipe c dan d diduga karena rusaknya ikatan hidrofobik komponen penyusun membran sel seperti protein dan fosfolipida, serta larutnya komponen-komponen yang


(55)

berikatan secara hidrofobik, yang berakibat meningkatnya permeabilitas sel. Sehingga memungkinkan masuknya senyawa-senyawa fenol dan ion-ion organik ke dalam sel dan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat, yang mengakibatkan kematian sel (Ingram, 1981).

Hidrofobisitas permukaan sel merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam pelekatan bakteri mulut ke permukaan gigi. Yamanaka

et al. (2004), menunjukkan bahwa dengan berkurangnya permukaan

hidrofobik pada mutan S. sanguinis dan S. mutans, menyebabkan pelekatan bakteri pada s-HA beads tidak terjadi. Sifat hidrofobik dari s.mutans diyakini berkaitan dengan permukaan protein selnya. Matsumoto et al. (2000), telah melaporkan bahwa ekstrak polifenol teh oolong dapat menghambat pelekatan bakteri ke permukaan gigi dengan mengurangi tingkat hidrofobisitas permukaan sel Streptococcus mutans.

Senyawa fenolik diduga mampu memutuskan ikatan silang (cross

linkage) peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel S. mutans

serotipe c dan d. Selanjutnya senyawa-senyawa tersebut akan menginaktifkan enzim glukopeptida transpeptidase dan karboksi peptidase yang berperan dalam sintesa peptidoglikan (Ingram, 1981). Kemampuan senyawa fenolik di dalam minyak atsiri kayu putih untuk menembus dinding sel S. mutans

serotipe c akan jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan dinding sel S.

mutans serotipe d. Hal ini dikarenakan polisakarida penyusun dinding sel S.

mutans serotipe d lebih kompleks dibandingkan S. mutans serotipe c yang

hanya tersusun dari dua polisakarida saja (Gronroos, 2000).

Kerusakan pada membran sel barakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolism, seperti biosintesa protein dan asam nukleat, enzim yang berperan dalam penyerapan senyawa-senyawa tertentu, degradasi makanan dan biosintesa peptidoglikan. Hal ini dapat terjadi karena enzim-enzim tersebut terdapat pada membran sel.

Senyawa fenolik diduga mampu mengganggu proses respirasi bakteri

S. mutans serotipe c dan d di dalam memperoleh energy, yaitu dengan


(1)

Lampiran 8. Uji Lanjut Multiple Comparison

Multiple Comparisons

Tukey HSD

-1.457* .190 .000 -2.00 -.91 -1.557* .190 .000 -2.10 -1.01 -2.300* .190 .000 -2.85 -1.75 -1.600* .190 .000 -2.15 -1.05 -.986* .190 .000 -1.53 -.44 1.457* .190 .000 .91 2.00

-.100 .190 .995 -.65 .45

-.843* .190 .000 -1.39 -.30

-.143 .190 .975 -.69 .40

.471 .190 .134 -.07 1.02 1.557* .190 .000 1.01 2.10

.100 .190 .995 -.45 .65

-.743* .190 .002 -1.29 -.20 -.043 .190 1.000 -.59 .50 .571* .190 .034 .03 1.12 2.300* .190 .000 1.75 2.85 .843* .190 .000 .30 1.39 .743* .190 .002 .20 1.29 .700* .190 .004 .15 1.25 1.314* .190 .000 .77 1.86 1.600* .190 .000 1.05 2.15

.143 .190 .975 -.40 .69

.043 .190 1.000 -.50 .59 -.700* .190 .004 -1.25 -.15 .614* .190 .017 .07 1.16 .986* .190 .000 .44 1.53 -.471 .190 .134 -1.02 .07 -.571* .190 .034 -1.12 -.03 -1.314* .190 .000 -1.86 -.77 -.614* .190 .017 -1.16 -.07 -1.386* .209 .000 -1.98 -.79 -1.514* .209 .000 -2.11 -.92 -2.257* .209 .000 -2.86 -1.66 -.971* .209 .000 -1.57 -.37 -.843* .209 .001 -1.44 -.24 1.386* .209 .000 .79 1.98

-.129 .209 .990 -.73 .47

-.871* .209 .001 -1.47 -.27 .414 .209 .353 -.18 1.01 .543 .209 .100 -.06 1.14 1.514* .209 .000 .92 2.11

.129 .209 .990 -.47 .73

-.743* .209 .006 -1.34 -.14 .543 .209 .100 -.06 1.14 .671* .209 .018 .07 1.27 2.257* .209 .000 1.66 2.86 .871* .209 .001 .27 1.47 .743* .209 .006 .14 1.34 1.286* .209 .000 .69 1.88 1.414* .209 .000 .82 2.01 .971* .209 .000 .37 1.57 -.414 .209 .353 -1.01 .18 -.543 .209 .100 -1.14 .06 -1.286* .209 .000 -1.88 -.69

.129 .209 .990 -.47 .73

.843* .209 .001 .24 1.44 -.543 .209 .100 -1.14 .06 -.671* .209 .018 -1.27 -.07 -1.414* .209 .000 -2.01 -.82

-.129 .209 .990 -.73 .47

(J) perlakuan MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 1% PP 0,2% MK 0,5% PP 0,2% MK 0,6% PP 0,2% MK 0,7% PP 0,2% MK 0,8% PP 0,2% MK 0,9% PP 0,2% (I) perlakuan

MK 0,5% PP 0,2%

MK 0,6% PP 0,2%

MK 0,7% PP 0,2%

MK 0,8% PP 0,2%

MK 0,9% PP 0,2%

MK 1% PP 0,2%

MK 0,5% PP 0,2%

MK 0,6% PP 0,2%

MK 0,7% PP 0,2%

MK 0,8% PP 0,2%

MK 0,9% PP 0,2%

MK 1% PP 0,2% Dependent Variable

aroma

rasa

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.

MK x-0,2% MP y%

MK x-0,1% MP y%

MK x% MP y%

MK x+0,1% MP y%

MK x+0,2% MP y%

MK x+0,3% MP y%

MK x-0,2% MP y%

MK x-0,1% MP y%

MK x% MP y%

MK x+0,1% MP y%

MK x+0,2% MP y%


(2)

Homogeneous Subsets

aroma

Tukey HSD

a

70

4.61

70

5.60

70

6.07

6.07

70

6.17

70

6.21

70

6.91

1.000

.134

.975

1.000

perlakuan

MK 0,5% PP 0,2%

MK 1% PP 0,2%

MK 0,6% PP 0,2%

MK 0,7% PP 0,2%

MK 0,9% PP 0,2%

MK 0,8% PP 0,2%

Sig.

N

1

2

3

4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 70.000.

a.

rasa

Tukey HSD

a

70

4.66

70

5.50

70

5.63

5.63

70

6.04

6.04

70

6.17

70

6.91

1.000

.100

.100

1.000

perlakuan

MK 0,5% PP 0,2%

MK 1% PP 0,2%

MK 0,9% PP 0,2%

MK 0,6% PP 0,2%

MK 0,7% PP 0,2%

MK 0,8% PP 0,2%

Sig.

N

1

2

3

4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 70.000.

a.

MK x-0,2% MP

y%

MK x+0,3% MP

y%

Mk X-0,1% MP

y%

MK x-0,2% MP

y%

MK x+0,3% MP

y%

Mk X+0,2% MP

y%


(3)

(4)

Lampiran 10. Elisa Reader


(5)

(6)