70
6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Adopsi Konservasi
Dilihat dari kriteria ekonomi, berdasarkan hasil regresi logit pada Tabel 15 dari delapan variabel yang dimasukan ke dalam model, empat variabel bertanda
positif umur, status kepemilikan lahan, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng, dan empat variabel bertanda negatif pendidikan petani, luas lahan,
jumlah tanggungan keluarga, dan pengalam bertani. Dilihat dari kriteria statistik, luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan
pengalaman bertani secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Selain itu, faktor lain yang tidak berpengaruh secara
signifikan pada keputusan petani adalah umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga.
Variabel tingkat kecuraman lereng memiliki P-value 0,021 berpengaruh nyata secara si
gnifikan pada taraf nyata α = 0,05. Koefisien tingkat kecuraman lereng memiliki tanda positif, artinya semakin tinggi kecuraman lereng, peluang
untuk melakukan konservasi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, maka diharapkan semakin
tinggi kesediaan petani untuk melakukan konservasi, karena semakin tinggi kecuraman lereng, maka potensi erosi pun semakin besar yang akhirnya akan
menurunkan produktivitas. Nilai odds ratio pada variabel tingkat kecuraman lereng sebesar 1,133, artinya semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, peluang
untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina 2007a yang
menyatakan peluang petani Pangalengan untuk melakukan konservasi meningkat seiring dengan meningkatnya kecuraman lereng.
71 Variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai
P-value yang lebih kecil dari α = 0,20, yaitu 0,171. Nilai odds ratio pada variabel
pendapatan adalah 1,00, artinya pengaruh pendapatan terhadap peluang petani untuk melakukan konservasi sama dengan peluang petani tidak melakukan
konservasi. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang tidak merangkum penerimaan petani dari keseluruhan hasil produksi.
Variabel status kepemilikan lahan memiliki P-value 0,046 berpengaruh nyata secara signifikan
pada taraf nyata α = 0,05. Variabel ini mempunyai tanda positif, artinya status lahan milik dapat meningkatkan peluang petani untuk
mengadopsi pola konservasi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio untuk status kepemilikan lahan sebesar 13,233. artinya, peluang petani
pemilik untuk melakukan konservasi lebih besar dibandingkan dengan petani penyewa.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina 2007a mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi di
Pangalengan. Status sewa lahan yang berdurasi pendek menyebabkan kurangnya insentif untk melakukan konservasi di lahan yang diusahakannya. Manfaat dari
menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, kerugian dari tidak menerapkan konservasi pun tidak akan
terasa dalam jangka pendek. Selain itu, menurut Reijntjes 1992 bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan,
perangsang-perangsang untuk
menginvestasikan dalam
praktek-praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah.
72 Variabel luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan
petani dalam mengadopsi pola konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan P-value 0,184 yang nilainya lebih k
ecil dari taraf nyata α = 0,20. Variabel ini memiliki koefisien yang bertanda negatif, artinya peningkatan luas lahan dapat mengurangi
peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, yaitu luas lahan diharapkan berpengaruh secara positif terhadap
adopsi pola konservasi. Nilai odds ratio pada variabel luas lahan adalah sebesar 0,009, artinya apabila luas lahan semakin meningkat, maka peluang petani untuk
tidak mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang untuk mengadopsi konservasi.
Berdasarkan pengamatan lapang seperti ditunjukkan pada bab gambaran umum, rata-rata luas lahan garapan petani konservasi lebih luas dibandingkan
petani non-konservasi Tabel 12. Selain itu, luas lahan yang ada di Kecamatan Pasirwangi untuk lahan pertanian terbatas, sehingga jika petani ingin memperluas
lahan garapan ushatani kentang, petani banyak memanfaatkan lahan di lereng pegunungan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang sebenarnya tidak cocok
untuk usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata luas lahan garapan petani yang terbesar berada pada tingkat kecuraman lereng lebih
dari 30 persen. Tabel 16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai
Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Tingkat Kecuraman Lereng
Jumlah Petani persen
Rata-rata Luas Lahan Garapan ha
14 44
0,292 15-30
42 0,294
31 14
0,551 Sumber : Data primer,diolah 2012
73 Salah satu alasan mengapa luas lahan bertanda negatif atau tidak sesuai
dengan harapan karena di daerah penelitian dengan semakin meningkatnya luas lahan garapan, maka petani kentang membutuhkan modal yang lebih banyak
terutama untuk biaya tenaga kerja. Peningkatan biaya ini disebabkan oleh semakin tinggi kecuraman lereng pengelolaan usahatani semakin sulit sehingga
lebih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Disamping itu pada lahan berlereng untuk mempertahankan produktivitas yang sama petani harus menambahkan
pupuk yang tidak sedikit sehingga memerlukan tambahan biaya yang besar. Variabel pengalaman berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai
p-value yang lebih kecil dari α = 0,15, yaitu 0,138. Koefisien ini bertanda negatif,
yang berbeda dengan hipotesis awal bahwa pengalaman akan berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Pengalaman memiliki nilai odds ratio sebesar 0,924.
ini artinya bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi lebih kecil dari peluang petani tidak mengadopsi.
Pengalaman berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi karena pengalaman yang dimasukkan dalam model adalah lama bertani petani
melakukan usahatani kentang, bukan melakukan usahatani dengan konservasi. Rata-rata lama bertani petani yang melakukan konservasi lebih tinggi daripada
petani yang tidak melakukan konservasi, yaitu 25,29 tahun dan 16,81 tahun Tabel 9. Terhambatnya penerimaan praktik adopsi konservasi karena banyak petani
yang enggan mencoba inovasi baru akibat kurangnya informasi yang mereka dapat sehingga masih berfikir bahwa apa yang mereka lakukan selama bertahun-
tahun adalah usaha terbaik untuk melakukan usahatani kentang. Semakin banyak pengalaman, petani semakin mengetahui risiko produksi dan biaya yang harus
74 ditanggung. Berdasarkan pengalaman petani, untuk melakukan konservasi, yaitu
membuat guludan searah kontur sulit dalam pengerjaan sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Selain itu dalam pengelolaan tanaman, seperti
penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan juga saat panen pun memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, dan menurut petani penanaman searah kontur
akan menimbulkann penyakit, karena adanya genangan air yang terhambat oleh guludan.
Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga yang termasuk faktor internal dalam mempengaruhi keputusan petani tidak berpengaruh
nyata terhadap kesediaan petani mengadopsi konservasi. Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai p value yang lebih besar
dari α = 0,20, yaitu masing-masing sebesar 0,669, 0,509, dan 0,259. Jumlah Tanggungan Keluarga memiliki nilai odds ratio sebesar 0,687
dengan koefisien yang beratnda negatif. Artinya peluang petani untuk melakukan adopsi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi, atau semakin banyak
jumlah tanggungan petani, maka peluang adopsi semakin kecil. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa jumlah tanggungan keluarga dapat menurunkan
peluang adopsi konservasi. Tidak berpengaruh nyatanya jumlah tanggungan keluarga terhadap keputusan adopsi konservasi karena rata-rata jumlah
tanggungan keluarga petani di Kecamatan Pasirwangi hampir sama antar petani yaitu sebanyak 3 orang Lampiran 3, sehingga jumlah tanggungan keluarga
bukan penentu keputusan adopsi. Variabel umur memiliki nilai odds rasio sebesar 1,027. Artinya dengan
meningkatnya umur petani, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi
75 daripada tidak mengadopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Siregar 2006 dan Lapar dan Pandey 1999. Namun, secara statistik umur tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan adopsi konservasi. Pendidikan memiliki
nilai odds rasio sebesar 0,837. Artinya semakin tinggi pendidikan petani peluang mengadopsi konservasi cenderung lebih kecil daripada tidak mengadopsi
konservasi. Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak
berpengaruh karena mayoritas petani di Kecamatan Pasirwangi adalah petani pengikut Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010. Status ini
mengakibatkan petani hanya mengikuti usaha-usaha yang telah secara nyata memberikan hasil yang lebih baik bagi petani lain yang telah menjalankan inovasi
baru, karena menghindari risiko yang mungkin didapat. Selain itu, tidak signifikannya variabel-variabel tersebut kemungkinan terkait dengan sifat dan
karakteristik teknik konservasi tersebut yang merupakan program pemerintah, sehingga kesadaran pentingnya konservasi sangat kurang.
6.2. Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang