Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut

(1)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan. Sektor pertanian merupakan penyedia kebutuhan pangan, penyedia bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Upaya peningkatan sektor pertanian merupakan langkah strategis dalam pembangunan nasional mengingat peranannya yang besar dalam mendukung pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya.

Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6,5 persen yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,6 persen (Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011). Dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2011 sektor pertanian menyumbang 14,7 persen terhadap PDB nasional (Badan Pusat Statistik (BPS), 2012). Sektor pertanian berkaitan erat dengan wilayah pedesaan. Berdasarkan data BPS (2012) sekitar 46 persen masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non-pangan, peternakan, dan perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama.

Selain sebagai penghasil produk pertanian, sektor pertanian juga memberikan produk sampingan (multifungsi) antara lain: perlindungan terhadap lingkungan (penanggulangan erosi, pengendalian banjir, pendaurulangan air, penambatan karbon, penyangga kenaikan suhu udara, pembersih udara), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, penyangga gejolak ekonomi (economic buffer), serta pelestarian nilai budaya pedesaan. Berbagai fungsi (multifungsi) dari


(2)

2 pertanian memberikan manfaat tidak saja untuk petani sebagai penyedia jasa, tetapi juga masyarakat luas yang berada di sekitarnya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

Lahan pertanian Indonesia terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Lahan Kering mendominasi luas lahan di Indonesia. Pada tahun 2007, hampir 82 persen dari luas lahan keseluruhan merupakan lahan kering dan hampir semua pulau didominasi oleh lahan kering (Lampiran 1). Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia, baik ditinjau dari luas areal maupun peluang produksi komoditas yang diusahakan. Peluang produksi tersebut tidak hanya untuk tanaman pangan tetapi juga untuk tanaman hortikultura, tanaman industri, dan tanaman perkebunan.Pada usahatani berbasis lahan kering, usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan khususnya unggas.

Berbagai usahatani yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi adalah tanaman semusim dan tahunan seperti teh, kina, kopi, kayu manis dan lainnya. Tanaman semusim yang dominan ditanam adalah jagung, kentang, ubi jalar, kubis, tomat, buncis, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis tanaman seperti kentang, kubis, tomat, cabe, buncis, wortel, dan lainnya hanya dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu, sehinga terdapat sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut. Selain itu, kemajuan cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup nyata adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi


(3)

3 kurang berkembang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran terbesar di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Jenis sayuran unggulan di Jawa Barat meliputi bawang merah, cabe merah, kentang, kubis, dan tomat. Diantara komoditas hortikultura lainnya, kentang merupakan tanaman yang banyak diusahakan petani. Kentang dipilih karena nilai ekonomis kentang yang tinggi dan harga yang cenderung stabil. Selain itu, kentang merupakan komoditas yang memiliki daya tahan simpan cukup lama, yaitu sampai 5 tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2003)

Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Kontribusi kentang di Kabupaten Bandung dan Garut masing-masing adalah sebanyak 56,52 persen dan 36,53 persen dari total produksi Jawa Barat. Dari kedua sentra produksi kentang tersebut, pada tahun 2010 Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan Kabupaten Bandung yang hanya memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha. Namun berdasarkan data luas panen, produksi dan produktivitas, Kabupaten Garut mengalami perkembangan yang negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010, persentase penurunan produksi kentang lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas lahan (Tabel 1).


(4)

4 Tabel 1. Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung dan Garut

Tahun 2006-2010 No

Kabupaten /Kota

Produktivitas (Ton/Ha)

2006 2007 (%)* 2008 (%)* 2009 (%)* 2010 (%)* 1 Bandung 19,55 19,60 0,03 20,21 0,03 20,34 0,01 20,48 0.01 2 Garut 22,67 22,95 0,01 23,30 0,02 23,25 -0,00 21,74 -0.07 Keterangan : * perkembangan

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)

Luas area panen di Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 12,86 persen. Selain itu, produksi kentang dari tahun ke tahun pun mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 13,05 persen. Penurunan produksi kentang yang lebih tinggi daripada penurunan luas area tanam berimbas pada menurunnya produktivitas kentang sejak tahun 2009 hingga tahun 2010 (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010

Tahun Luas panen

(Ha) (%)*

Produksi

(Ton) (%)*

Produktivitas

(Ton/Ha) (%)*

2006 4.427 100.378 22,67

2007 5.139 16,08 117.942 17,50 22,95 1,22

2008 5.833 13,50 135.910 15,23 23,30 1,52

2009 5.083 -12,86 118.175 -13,05 23,25 -0,22

2010 6.442 26,74 140.029 18,49 21,74 -6,50

Keterangan : * perkembangan

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)

Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga adanya dipengaruhi beberapa faktor seperti cuaca, perubahan iklim, dan tingkat efisiensi faktor produksi yang masih kurang efisien, serta degradasi lingkungan. Selain itu, faktor lain yang diduga sangat berpengaruh adalah karena terjadinya erosi. Erosi menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan.


(5)

5 Sehingga untuk mengatasinya petani memberikan pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi (Haryati dan Erfandi, 2011). Oleh karena itu, untuk melestarikan sumber daya lahan didaerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007a).

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Garut merupakan salah satu tempat yang memanfaatkan lahan pegunungan untuk pertanian. Jenis tanah andisol yang mendominasi bagian utara Kabupaten Garut memberikan peluang terhadap potensi usaha sayur mayur.1 Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng yang curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm th-1) dan pengusahaan yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Sehingga walaupun menguntungkan, namun usahatani tanaman semusim pada lahan pegunungan, memiliki dampak negatif.

Menurut Abdurrachman dan Sutono dalam Katharina (2007a), di areal pertanian, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan konservasi tanah. Hal ini terjadi karena pengelolaan tanah dilakukan pada waktu sebelum tanam, dan setelah panen, sehingga tanah menjadi terbuka terhadap pukulan air hujan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan yang cenderung turun (Arsyad, 2000), hal ini ditunjukkan oleh produksi yang


(6)

6 cenderung terus menurun dari tahun ke tahun, seperti ditunjukkan pada pertanaman kentang di Kabupaten Garut.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi yang dapat menahan laju erosi dan memperbaiki produktivitas tanaman kentang. Menurut Dewi dan Hendayana (2002) keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan petani. Sehingga pada tahun 2006 menteri pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/Ot.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan (Departemen Pertanian, 2006).

Namun pada praktiknya, di Kabupaten Garut, sebagian besar petani belum menerapkan praktek konservasi tanah. Tidak diterapkannya kaidah-kaidah konservasi oleh petani sangat dipengaruhi oleh kondisi finansial petani (Sabarman, 2006) dan faktor sosio-kultural, meliputi kurangnya sumberdaya yang layak, tenaga kerja, kematangan perencanaan, dan peralatan (Joseph et al, 2012). Selain itu, rendahnya penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi disebabkan berbagai alasan seperti tingginya biaya pembuatan dan pemeliharaan (Lapar et al, 1999), kekhawatiran akan menurunnya produksi tanaman sayuran akibat terjadinya peningkatan kelembaban tanah dan berkurangnya populasi tanaman (Haryati dan Erfandi, 2011). Petani mengggap bahwa penerapan teknik konservasi hanya memberikan tambahan kerja, tetapi tidak memberikan tambahan pendapatan (Ladamay, 2010).


(7)

7 Selain erosi, saat ini pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan kepada masalah besarnya pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah, sampai sangat tinggi. Sering kali suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Pemberian satu atau dua unsur yang berlebihan sering disebabkan oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan atau berdasarkan rekomendasi dari produsen pupuk (Haryati dan Erfandi, 2011).

Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani, status kepemilikan, sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan efisien. Selain lahan, faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya (Nahraeni, 2012).

Dari penjabaran di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi?

2. Bagaimana nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran tinggi?


(8)

8 1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang

dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi

2. Menghitung nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaaat akademik yang memperkaya penelitian ekonomi pertanian. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pengambil kebijakan dan pemerhati pertanian dalam pengembangan pertanian di lahan kering, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan petani kentang.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi pola konservasi dengan komoditas kentang sebagai obyek penelitian. Analisis hanya dilakukan untuk satu musim tanam kentang dalam rentang waktu antara Juli 2010 – Juni 2011. Penelitian dilakukan di Kecamatan Pasirwangi sebagai salah satu sentra produksi kentang terbesar di Kabupaten Garut.


(9)

9 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami. Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.

2.1.1 Jenis Lahan Kering

Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan kering dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi (elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan 56,7 juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak, berombak bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi umumnya bergelombang, berbukit, sampai bergunung (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan relief atau bentuk wilayah, lahan kering dibedakan menjadi lahan datar berombak dengan lereng 3-8


(10)

10 persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering. Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500 mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

2.2. Erosi

Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995 dalam Ladamay 2010). Keadaan lahan seperti ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua, yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya, dan turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan membuka lahan baru, serta munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak.


(11)

11 Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi masa kekeringan. Dampak tidak langsung erosi off-site yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000).

Erosi yang terbanyak terjadi adalah erosi yang disebabkan oleh air. Erosi oleh air terjadi dimana tanahnya terbuka terhadap terpaan butir air hujan (erosi percikan), terhadap aliran air yang meluas sehingga terkikisnya permukaan tanah secara merata (erosi kulit), atau terhadap aliran air yang terkumpul dalam suatu alur (erosi alur dan erosi parit). Menurut Rahim (2003) terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi erosi, yaitu: (1) energi, meliputi hujan, air limpasan, angin, kemiringan, dan panjang lereng, (2) ketahanan, meliputi erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah),dan (3) proteksi yaitu penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi.

Selain itu, Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pada dasarnya faktor-faktor penyebab erosi dibedakan atas; (1) faktor-faktor-faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuhan yang tumbuh diatas tanah, sebagai sifat-sifat tanah seperti kesuburan, ketahanan agregat, kapasitas infiltrasi dan panjang lereng, serta (2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng. Pengendalian erosi sangat bergantung pada pengelolaan yang baik melalui upaya penutupan lahan atau penanaman tanaman penutup tanah yang baik disertai dengan penyeleksian tindakan pembajakan atau pengelolaan tanah yang tepat.


(12)

12 2.3. Biaya Erosi Tanah

Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan (Katharina, 2007a).

Menurut Barbier (1996), dari persfektif petani, ada dua komponen utama yang menjadi biaya dari erosi tanah, yaitu biaya langsung dan output yang hilang. Biaya langsung adalah biaya bagi petani untuk upaya (contohnya tenaga kerja), material, peralatan, struktur fisik, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk melakukan konservasi tanah. Output yang hilang adalah kehilangan dari output saat ini karena menggunakan lebih sedikit tanah atau lahan saat ini.

Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di lokasi (on site), menurut Barbier (1996) antara lain adalah pendekatan perubahan produktivitas (productivity change approach) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach). Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan usahatani setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi rendah. Metode pendugaan biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach) adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang yang


(13)

13 ditunjukkan dengan penggunaan pupuk. Pendekatan biaya pengganti didasarkan pada asumsi bahwa erosi tanah dan aliran permukaan menyebabkan terjadinya pencucian hara dan efektivitas pupuk bagi tanaman lebih rendah yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi. Pemberian pupuk buatan atau pupuk organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari dari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman terus-menerus adalah cara-cara untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kesuburan tanah (Arsyad, 2000). 2.4. Konservasi

Salah satu cara pengendalian erosi yang tepat untuk digunakan yaitu dengan melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selain untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, usaha konservasi tanah ditujukan untuk memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Selanjutnya, menurut Arsyad (2000), konservasi tanah tidak berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2005), teknik pengendalian erosi dapat dibagi dua, yaitu mekanis dan biologis atau vegetatif. Namun keduanya sering digabung sehingga lebih efektif. Pengendalian erosi secara mekanis dapat dilakukan dengan menerapkan teras


(14)

14 baku dan teras gulud. Secara teknis, teras baku merupaka pengendalian erosi yang efektif. Teras baku memotong panjang lereng dan menghambat laju permukaan aliran permukaan, sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat. Teknik konservasi menggunakan teras gulud dianggap lebih mudah dan lebih sederhana dalam pembuatannya dibanding teras baku. Teras gulud merupakan modifikasi dari guludan untuk bertanam ubi jalar pada lahan-lahan datar yang diterapkan pada lahan miring. Secara vegetatif, teknik pengendalian erosi yang dapat digunakan adalah strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan pertanaman lorong,

2.5. Konsep Usahatani

Menurut Prof. Tb. Banchtiar Rifai (1960) dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Soekartawi et al. (1985) menyatakan bahwa usahatani merupakan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Pada awalnya manusia mengenal usaha bertani dengan cara-cara yang sederhana dengan tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri (subsisten). Disini, bertani dipandang sebagai suatu cara hidup (way of life) daripada suatu bisnis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983).

2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani

Berusahatani akan dinilai pada biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh oleh petani. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan yang akan diperoleh untuk usahanya. Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki


(15)

15 nilai positif dan semakin besar nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga luar serta sarana produksi lain termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah, 2011). Beberapa istilah yang biasanya dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1985), yaitu: 1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan

produk usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani

4. Penerimaan kotor usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

5. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. 6. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani

dengan pengeluaran total usahatani.

Menurut Soekartawi (2002) Biaya usahatani dapat di bedakan atas:

1. Biaya tunai, merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani, meliputi biaya tetap misalnya pajak, dan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, obat-obatan dan biaya untuk pembayaran tenaga kerja luar keluarga.


(16)

16 2. Biaya yang diperhitungkan, merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti biaya untuk sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga yang dinilai berdasarkan upah yang berlaku, penggunaan benih dari hasil produksi sebelumnya dan penyusutan dari sarana produksi.

Analisis terhadap pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk mengukur efisisensi usahatani terhadap penerimaan yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Rasio atau R-C Rasio). Analisis R-C rasio digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usahatani berdasarkan keuntungan finansial, yang menunjukan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran tertentu dalam satu satuan biaya. Semakin besar nilai R-C rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.

Kelayakan usahatani berdasarkan besarnya nilai R-C rasio dapat dikatakan layak apabila nilai R-C rasio lebih besar dari satu, nilai ini berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Secara sederhana kegiatan usahatani tersebut dapat dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila nilai rasio R-C rasio lebih kecil dari satu, artinya tambahan biaya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Sedangkan jika nilai rasio R-C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian


(17)

17 2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut

Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan di Jawa Barat yang banyak ditanam di daerah dataran tinggi karena kentang cocok ditanam pada ketinggian 500-3000 mdpl. Selain itu, tanaman kentang cocok ditanam pada jenis tanah Andosol dan Grumosol dengan tekstur sedang dan struktur gembur, dengan pH tanah 5,0 – 6,5. kondisi iklim yang cocok untuk tanaman kentang adalah tempat dengan curah hujan 1000 mm/th dan temperatur 15-25°C (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat, 2003) .

Jawa Barat mengalami penurunan luas panen tanaman kentang sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Hal ini diikuti dengan penurunan produksi pada tahun yang sama. Namun, pada tahun 2009 luas panen dan produksi kentang mengalami peningkatan, masing-masing 10,60 persen dan 9,84 persen dari jumlah tahun 2008. Berbeda dengan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman kentang di Jawa Barat mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga tahun 2008, namun terus mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2011. Hal ini terjadi karena pada tahun 2007 dan 2008, laju penurunan luas panen lebih besar dari laju penurunan produksi. Sedangkan pada tahun 2009 hingga 2011, laju penurunan luas panen lebih kecil daripada laju penurunan produksi (Tabel 3).

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Jawa Barat Tahun 2006-2011

Tahun Luas Panen (Ha) Perubahan (persen) Produksi (Ton) Perubahan (persen) Produktivitas (Ton/Ha) Perubahan (persen)

2006 17.242 349.157 20,25

2007 16.479 - 4,43 337.369 -3,38 20,47 1,10

2008 13.873 -15,81 294.564 -12,69 21,23 3,71

2009 15.344 10,60 323.543 9,84 21,09 -0,69

2010 13.553 -11,67 275.100 -14,97 20,30 -3,74 2011 11.327 -16,42 220.154 -19,97 19,44 -4,25 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2010-2011)


(18)

18 Jawa Barat memiliki beberapa sentra produksi kentang, yaitu di Bandung dan Garut, dengan kecamatan utama yaitu Lembang, Kertasari dan Cimenyan untuk Kawasan Bandung, dan Pasirwangi, Cikajang, Cisurupan, Samarang, dan Bayongbong untuk Kawasan Garut. Selain itu, pada tahun 2010 Jawa Barat sedang mengembangkan Majalengka, Bandung Barat, Kuningan, Cianjur, dan Sumedang untuk menjadi sentra produksi kentang (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010).

Kabupaten Garut merupakan penghasil kentang terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung. Namun, dibandingkan dengan Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi sejak tahun 2006 hingga 2010 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010, dengan luas panen 6.442 hektar, produksi kentang yang dihasilkan di Kabupaten Garut adalah 140,029 ton. Dengan kata lain pada tahun 2010 produktivitas kentang adalah 21,74 Ton/Hektar. Produksi ini masih dapat dikembangkan, karena Kabupaten Garut masih memiliki 3400 hektar area yang masih berpotensi untuk ditanami kentang (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut, 2009).

2.6. Adopsi Inovasi

Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental sejak seorang mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan proses itu memerlukan waktu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000). Dalam hal mengambil keputusan, seseorang dapat menerima atau menolak inovasi. Bila ia menerima inovasi (mengadopsi) artinya ia


(19)

19 menggunakan ide baru, barang baru, dan praktek baru dan menghentikan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Namun, sebelum mengambil keputusan inovasi, biasanya petani memperoleh keyakinan akan keberhasilan metode itu. Terdapat lima tahap proses adopsi yaitu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000) :

1. Tahap kesadaran; seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.

2. Tahap menaruh minat; seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.

3. Tahap penilaian; seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa datang mencobanya atau tidak.

4. Tahap percobaan; seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan apakah sesuai dengan situasi dirinya.

5. Tahap penerimaan (adopsi); seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.

2.7. Pengambilan Keputusan Adopsi

Penerapan teknik pengendalian erosi pada lahan-lahan pertanian pada umumnya belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga sistem pertanian yang lestari dan berwawasan lingkungan belum tercapai. Aspek-aspek sosial dan ekonomi, termasuk peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan kelembagaan penyuluhan, khususnya penyuluh konservasi tanah, perlu mendapat perhatian yang lebih besar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan


(20)

20 Agroklimat, 2005). Namun, peran yang paling penting tetap dipegang oleh para petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian.

Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa cara yang ditempuh suatu rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha tani tergantung pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah anggota keluarga, usia, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, kebutuhan, pengalaman bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antaranggota rumah tangga. Selain itu, pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani meliputi faktor-faktor yang kompleks, termasuk ciri biofisik usahatani, ketersediaan dan kualitas input luar dan jasa serta proses sosioekonomi dan budaya di dalam masyarakat. Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani merupakan pusat sekaligus obyek pengambilan keputusan. Rumah tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang bisa digolongkan sebagai produktivitas, keamanan, kesinambungan, dan identitas.

Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu:

1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur, maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. Masih terdapat berbagai pertentangan akan pendekatan mana yang terbaik, sebagai contoh adalah faktor pendidikan digunakan untuk mengukur opportunity cost terhadap pekerja pada investasi teknologi agroforestri

2. Resources endowment, digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada teknologi baru. Contoh:


(21)

21 kepemilikan aset, seperti lahan, tenaga kerja, ternak, dan tabungan. Umumnya resources endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi 3. Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya

atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar, transportasi dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi

4. Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Contohnya kualitas lahan, kemiringan lahan dan ukuran lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah (seperti tingginya tingkat erosi) akan berkorelasi positif dengan kesediaan untuk menerima adopsi teknologi.

5. Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan.

Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi yakni: 1. Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan

petani yang lebih muda.

2. Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi


(22)

22 pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru.

3. Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.

4. Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

5. Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

6. Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status).

7. Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinas-dinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani. 8. Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovesai maka akan semakin

lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh yang paling cepat diterima, hingga yang paling rumit:


(23)

23 a. Perubahan hanya dibahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau

pelaksanaan (misalkan : varietas baru suatu benih)

b. Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam alat atau bahan (misal: perubahan dalam rotasi tanaman)

c. Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping)

d. Perubahan total kegiatan usaha (misal dari usaha tanaman ke peternakan) Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek pertanian, seperti:

a. Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibading modal kecil.

b. Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekan, maka akan lebih cepat diadopsi.

c. Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi d. Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya,

lebih lambat diadopsi

e. Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan.

9. Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi.


(24)

24 2.8. Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi teknologi konservasi telah banyak dilakukan di beberapa lokasi seperti Pangalengan, Garut, dan Gunung Kidul. Selain itu, topik mengenai adopsi teknologi konservasi pun telah dilakukan di berbagai Negara seperti Zimbabwe dan Sri Lanka.

Pertanian komunal dihadapkan pada tantangan mengupayakan peningkatan produksi sebaik seperti melestarikan sumberdaya alam. Produktivitas yang rendah, degradasi lahan, sumberdaya pertanian yang tidak memenuhi syarat, dan ketidaklayakan teknik pertanian menandai pertanian komunal di Zimbabwe. Joseph et al. (2012) melakukan penelitian untuk memastikan faktor apa yang mempengaruhi adopsi praktik konservasi pertanian di area pertanian komunal Madziva, Zimbabwe, dan menilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis dari praktik konservasi tersebut. Fungsi produksi transidental digunakan untuk mengestimasi efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis, sedangkan untuk menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi konservasi digunakan model regresi logit.

Berdasarkan data dari 75 petani terpilih, didapat nilai Marginal Physical Product (MPP) dan Value of Marginal Product (VMP) yang masing-masing mengindikasi efisiensi teknis dan ekonomis. Teknik konservasi pertanian efisien secara teknis karena MPP > 0, dan nilai VMP menunjukkan terjadinya efisiensi ekonomi. Petani dapat menutupi investasi awal mereka dalam satu atau dua tahun, sehingga investasi dalam konservasi pertanian dikatakan berhasil. Namun, hanya 27 persen petani yang mengadopsi konservasi pertanian. Usia, luas lahan, dan


(25)

25 lama pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan adopsi teknologi konservasi.

Menurut Lapar dan Pandey (1999) degradasi lahan di dataran tinggi Asia adalah sebuah masalah yang serius yang menjadi kendala dalam keberlanjutan dalam pertanian. Meskipun beberapa teknologi konservasi lahan sudah dibangun dan dipromosikan, namun adopsinya belum tersebar. Sebuah analisis ekonomi mikro dari adopsi konservasi kontur oleh petani dataran tinggi di Philipina dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan adopsi. Hasil empiris dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa adopsi dipengaruhi oleh beberapa karakteristik usahatani dan petani dan kepentingan relatif dari faktor tersebut berbeda untuk setiap daerah. Biaya tinggi saat pembuatan, perawatan dan kehilangan lahan untuk konservasi dianggap sebagai kendala utama untuk melakukan adopsi oleh non-adopter.

Komoditas kentang merupakan tanaman yang menarik secara ekonomi, tetapi menyebabkan erosi tanah di daerah perbukitan di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Untuk mengatasi terjadinya erosi yang serius dibutuhkan program konservasi tanah. Namun, belum ada penelitian tentang konservasi tanah dan tingkat adopsi konservasi tanah. Oleh karena itu, Bandara dan Thiruchelvam (2008) menganalisis faktor yang mempengaruhi pemilihan adopsi praktik konservasi tanah oleh petani kentang di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Tujuan dari penelitian ini mencari perbedaan tentang konservasi tanah, tingkat adopsi, dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani di Nuwara Eliya. Analisis data menggunakan multinomial logit. Hasil menyatakan bahwa 30 persen, 52 persen, dan 18 persen dari petani kentang mengkonservasi tanahnya pada tingkat baik,


(26)

26 rata-rata dan buruk. Tingkat adopsi konservasi lahan yang baik dapat meningkatkan produksi kentang dan pendapatan petani kentang. Biaya usahatani dipengaruhi oleh adopsi program konservasi petani. Peluang adopsi dipengaruhi positif dan signifikan oleh pendidikan, dan luas lahan. Sekitar 60 persen dari petani kentang mempunyai pendirian yang baik kearah pentingnya meningkatkan konservasi tanah. Kepemilikan lahan merupakan faktor penting untuk konservasi lahan. Pendekatan training (pelatihan), penyuluhan, dan subsidi konservasi direkomendasikan untuk meningkatkan konservasi lahan guna keberlanjutan pengusahaan kentang.

Katharina (2007a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan Jawa Barat. Hasil analisis menggunakan model logit menunjukkan kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota keluarga dewasa berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan, semakin tinggi peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang petani untuk melakukan adopsi konservasi tanah. Jumlah anggota keluarga di Pangalengan berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga, semakin rendah peluang untuk mengadopsi teknik konservasi tanah.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2006) bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk


(27)

27 mengkonservasi atau tidak mengkonservasi lahan dan untuk mengevaluasi secara simultan pengaruh keputusan mereka terhadap output. Penelitian menggunakan data petani sawah sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian menunjukkan hanya 13,5 persen petani yang mengkonservasi lahannya. Hasil dari spesifikasi logit, faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani mengkonservasi (atau tidak mengkonservasi) adalah jumlah output yang dihasilkan, persepsi kualitas lahan, jumlah anggota keluarga petani, dan usia petani. Dengan menggunakan pendekatan instrument variabel ditemukan bahwa keputusan untuk mengkonservasi atau tidak, mempengaruhi secara nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Output juga dipengaruhi oleh luas areal dan jumlah kredit. Salah satu saran yang diajukan agar usahatani berkelanjutan adalah pemerintah memperbaiki akses petani terhadap kredit mikro.

Keuntungan finansial dari konservasi pertanian belum dapat diprediksi. Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk konservasi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi hasil yang didapatkan sangat berfluktusi pada wilayah yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Hardjanto (2010), pendapatan usahatani konservasi di Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat lebih kecil daripada pendapatan usahatani non-konservasi. Hal ini terjadi karena belum diperhitungkannya nilai jasa lingkungan.

Sabarman (2006) meneliti aspek ekonomi (fungsi produksi) usahatani akar wangi, yaitu pola petani, introduksi, dan konservasi. Hasil analisis finansial dari ketiga pola menunjukkan bahwa pola usahtani petani, introduksi, dan konservasi layak untuk dikembangkan karena B-C rasio > 1, NPV positif dan IRR di atas bunga bank (15 persen/tahun). Berdasarkan penelitian, dari ketiga pola tersebut,


(28)

28 pola konservasi memeberikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp 17.220.000 pertahun diikuti oleh pola usahatani petani dengan pendapatan Rp 13.740.000 pertahun. Sedangkan pola usahatani introduksi menghasilkan pendapatan sebesar Rp 10.185.000 pertahun dengan luasan satu hektar.

Selain dapat mempengaruhi pendapatan petani, kegiatan konservasi lahan pun dapat menurunkan tingkat erosi lahan. Dewi dan Handayana (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Rejosari Kecamatan Semin kabupaten Gunung Kidul.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, tingkat erosi menurun antara 3,75 persen sampai 86,68 persen dengan rata-rata 75,20 persen. Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan dampak potensial, yaitu perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali, sehingga dengan dilakukannya penanaman tanaman tahunan produkstif yang komersial seperti jambu mete, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.

Topik penelitian mengenai perhitungan nilai ekonomi pengendalian erosi telah dilakukan oleh Yana (2010) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menentukan nilai ekonomi pengendalian hutan terhadap erosi. Analisis dilakukan


(29)

29 dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, yaitu melalui harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang. Nilai ekonomi pengendalian erosi melalui pendekatan biaya pengganti di lima lokasi penelitian seluas 8.060,6 ha sebesar Rp 3.596.806.591 per tahun.

Beberapa penelitian mengenai adopsi sistem konservasi telah banyak diteliti di berbagai tempat. Namun, di Kecamatan Pasirwangi penelitian mengenai adopsi konservasi pada usahatani kentang belum pernah dilakukan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mengadopsi konservasi merupakan aplikasi dari teori dan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada karena menghitung nilai ekonomi dari sistem konservasi usahatani kentang yang dilakukan petani.


(30)

30 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian merupakan struktur pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

3.1.1. Model Regresi Logit

Di sebagian besar survey mengenai perilaku manusia, tanggapan yang banyak diberikan berbentuk kualitatif, dapat berupa jawaban ya atau tidak sebagai pilihan. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini disebut peubah biner. Ketika satu atau lebih explanatory variabel dalam model regresi adalah binary, hal ini dapat digambarkan sebagai dummy variable. Namun ketika dependent variable berupa peubah biner, maka penyelesaiannya akan menjadi lebih kompleks ketika kita membangun model karena binary choice model mengasumiskan bahwa individu dihadapkan pada pilihan diantara dua alternatif pilihan yang tergantung pada karakteristik mereka. Untuk menyelesaikan masalah yang memiliki pilihan biner, terdapat beberapa model yang dapat digunakan, yaitu: liner probability model, model logit, dan model tobit (Pindyck and Rubinfeld, 1998).

Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani dalam menerapkan pola konservasi digunakan model fungsi logit. Model logit digunakan karena dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah digunakan serta parameter koefisiennnya mudah diinterpretasikan (Juanda, 2009). Alat analisis ini telah banyak digunakan Siregar (2006), Katharina (2007a), Bandara dan Thiruchelvam (2008), dan Joseph et al. (2012). Secara teoritis,


(31)

31 model Logit didasarkan pada cumulative logistic probability function dan dispesifikasikan menjadi (Pindyck and Rubinfeld, 1998):

Dari persamaan 7, diperoleh

Selanjutnya, dengan membaginya dengan Pi, diperoleh

Dengan mendefinisikan , maka diperoleh:

Dengan menggunakan logaritma natural dari kedua sisi, diperoleh:

Atau dari persamaan (1) diperoleh

Pi = Peluang melakukan pilihan-1 1-Pi = Peluang tidak melakukan pilihan-1

α,β = Parameter dugaan Xi = Peubah bebas

3.1.2. Pengambilan Keputusan Adopsi

Rogers dan Schoemaker (1986) dalam Nahraeni (2000) menyatakan bahwa terdapat empat paradigma proses keputusan inovasi yaitu tahap pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Pada tahap keputusan seseorang


(32)

32 terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani, dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait.

Lebih lanjut, Rogers (1983) menyatakan bahwa seluruh variabel diatas berpengaruh positif terhadap adopsi kecuali umur, dogmatis, dan fatalism. Berdasarkan penelitian mengenai adopsi, ada hasil penelitian yang mendukung dan tidak mendukung karakteristik dari kategori adopter tersebut. Adopsi suatu teknologi petani berkaitan erat dengan perilaku petani sebagai pengelola usahatani yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Karakteristik pengambilan keputusan itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan


(33)

33 keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan.

Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu, Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di

Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat.

Jumlah Tangggungan Keluarga berpengaruh negatif terhadap keputusan konservasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tanah semakin besar dengan harapan meperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, sehingga diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008). Pengalaman bertani berpengaruh positif terhadap keputusan petani untuk mengadopsi konservasi. Petani yang


(34)

34 berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012)

Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi, artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek-praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah (Reijntjes, et al. 1992).

Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008).

Petani dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah mengadopsi konservasi, karena memiliki modal yang cukup untuk mengadopsi suatu teknik


(35)

35 konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan inovasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik, maka modal untuk usatani berikutnya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

Adopsi terhadap konservasi bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000) erosi bergantung pada iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, tanah, dan manusia. Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah panjang lereng dan kemiringan lereng. Semakin tinggi kecuraman lerang, maka semakin meningkatkan potensi terjadinya erosi. Sehingga kecuraman lereng diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lapar dan Pandey (1999) serta Katharina (2007a) yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras baku maupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar.

Pengaruh tumbuh-tumbuhan (vegetasi) terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepsi hujan oleh tanjuk tanaman, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, stabilitasi struktur dan proporsi tanah, dan transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan berbeda terhadap erosi. Faktor manusia menentukan perlakuan dalam penguasaan tanah, faktor tersebut antara lain, luas lahan


(36)

36 pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status pengusahaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil pertanian, akses kredit, dan akses pasar Arsyad (2000). Keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial yang berasal dari dalam diri petani dan faktor ekonomi yang berasal dari luar usahataninya (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000).

3.1.3. Nilai Ekonomi Konservasi

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani dikurangi jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani adalah penerimaan dari produk usahatani baik yang dijual maupun yang tidak dijual dikurangi nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan (Soekartawi et al.,1985).

Biaya atau cost juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai di dalam usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani. Biaya total adalah seluruh nilai yang dikeluarkan bagi usahatani, baik tunai maupun yang diperhitungkan.

Rumus penerimaan, biaya dan pendapatan adalah :

………...………... (7) ………...………... (8)

... (9) ... (10) ... (11)


(37)

37 ... (12) Dimana :

TRtunai = Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah)

TRtotal = Total penerimaan semua produksi usahatani (Rupiah)

TCtunai = Total biaya tunai usahatani (Rupiah)

TCtotal = Total biaya usahatani (Rupiah)

π = Pendapatan (Rupiah)

Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rupiah) Py = Harga output (Rupiah)

Y = Jumlah produksi (Kg)

TVC = Total biaya variabel (Rupiah) TFC = Total biaya tetap (Rupiah)

Nilai ekonomi konservasi merupakan tambahan pendapatan (incremental net benefit) yang diperoleh oleh petani jika melakukan konservasi. Sehingga nilai ekonomi konservasi merupakan perbedaan total pendapatan usahatani kentang konservasi dan non-konservasi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah yang memiliki luas lahan kering terbesar di Provinsi Jawa Barat, namun belum digunakan secara optimal. Kentang merupakan salah satu komoditas andalan yang dapat ditanam di dataran tinggi. Namun, usahatani kentang dilakukan di dataran tinggi dengan tingkat kemiringan lereng lebih dari 15 persen sehingga pengusahaannya masih dianggap menimbulkan masalah karena dapat menyebabkan erosi tanah. Masalah yang diakibatkan erosi, dapat dilihat dari penurunan produktivitas kentang di


(38)

38 Kabupaten Garut dari tahun ke tahun dan akhirnya menurunkan pendapatan petani. Untuk itu, perlu diadakan suatu upaya konservasi untuk dapat meminimalisir terjadinya erosi yang lebih besar.

Pola konservasi untuk mencegah laju erosi pada usahatani kentang sudah banyak disosialisasikan oleh para pakar dan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Namun, kenyataannya tidak semua petani melakukan pola konservasi yang dianjurkan. Sehingga, perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi pola konservasi atau tidak mengadopsi. Pendekatan dilakukan melalui wawancara kepada petani secara langung dan dianalisis dengan model logit.

Faktor ekonomi sangat mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan usahatani. Jika sistem usahatani tertentu dianggap lebih menguntukan dari sisi pendapatan, maka petani lebih mudah untuk mengadopsi sistem usahatani tersebut. Salah satu cara melihat manfaat dari sistem usahatani konservasi adalah adanya nilai ekonomi yang dihasilkan. Penghitungan nilai ekonomi konservasi dianggap perlu dilakukan agar dapat terlihat secara riil manfaat dari sistem konservasi. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari wawancara langsung terhadap petani.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu merumuskan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatan adopsi konservasi. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan keterkaiatan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari petani


(39)

39 sebagai unit sampel dan data sekunder yang berasal dari instansi terkait. Alur proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional Usahatani

Permasalahan:

Penggunaan lahan dengan kemiringan lebih dari 15 persen menyebabkan erosi Produktivitas kentang menurun sehingga pendapatan petani menurun

Faktor-faktor adopsi pola konservasi

Rekomendasi Kebijakan untuk Meningkatkan Adopsi Pola Konservasi dan Pendapatan Usahatani Peluang :

Permintaan Kentang lebih besar dari Penawaran

Kentang merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi Garut merupakan salah satu sentra penghasil kentang terbesar di Jawa Barat

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006

Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan

Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani

konservasi

Usahatani non-konservasi

Pendapatan usahatani

Pendapatan usahatani


(40)

40 3.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hipotesis.

1. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi adalah pendidikan, luas lahan yang digarap, pendapatan tunai petani, status kepemilikan lahan, tingkat kecuraman lahan usahatani, dan pengalaman bertani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga dan umur petani berpengaruh negatif terhadap keputusan adopsi konservasi. 2. Sistem konservasi usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi memiliki


(41)

41 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kentang terbesar kedua di Jawa Barat. Kecamatan terpilih yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Pasirwangi, karena merupakan salah satu kecamatan yang memiliki luas panen kentang terbesar di Kabupaten Garut namun memiliki produktivitas yang lebih rendah dibanding sentra produksi lainnya. Selain itu Kecamatan Pasirwangi memiliki karakteristik kemiringan lahan yang bervariasi (Tabel 4). Tabel 4. Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang

Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009

Kecamatan

Kemiringan Lahan (%) Kentang

0-2 2-5 15-40 > 40

Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha) Cikajang 437 985 6.458 4.615 1.407 30.710 21,83 Pasirwangi 702 1.502 1.526 940 1.042 20.976 20,13 Cisurupan 1.596 2.001 1.843 2.648 551 11.768 21,36 Samarang 1.029 812 2.842 1.288 338 9.403 27,82 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2012

Selanjutnya dari 12 desa yang ada, dipilih dua desa sebagai lokasi penelitian yang dapat mewakili karakteristik yang diinginkan, yaitu desa Barusari dan desa Padaawas. Kedua desa tersebut dipilih karena hampir di setiap dusun para petani mengembangkan komoditas kentang (Badan Ketahan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Pengambilan data primer dilakukan selama bulan Juni 2011 – Juli 2011.


(42)

42 4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data cross section. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada petani melalui kuesioner dan pengamatan lapang. Data primer yang diambil adalah data yang diperlukan dalam analisis pendapatan dan biaya erosi dalam usahatani kentang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi pola konservasi. Data tersebut meliputi data mengenai karakteristik petani (umur, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga), luas lahan, kecuraman lereng, tingkat produksi, penerimaan, penggunaan input, dan lainnya. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, dan literatur-literatur yang relevan dalam penelitian, seperti jumlah produksi kentang dari tahun ke tahun, luas panen usahatani kentang, produktivitas kentang, penggunaan pupuk ideal untuk pertanaman kentang, dan sebagainya. 4.3 Kerangka Sampling dan Penentuan Responden

Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah simple random sampling. Pada penelitian ini, responden adalah petani kentang dataran tinggi yang menanam kentang pada periode antara September 2010 sampai Juni 2011. Data dikumpulkan dari PPL (Petugas Penyuluh Lapang) Desa Barusari dan Padaawas. Berdasarkan data dari PPL didapatkan 120 nama petani kentang yang dijadikan kerangka sampling. Nama-nama tersebut diberi nomor urut 1-120 dan kemudian dilakukan pengundian agar nama-nama tersebut memiliki peluang yang sama untuk menjadi responden. Sehingga terpilih 50 petani kentang yang dijadikan responden. Jumlah ini dianggap sudah memenuhi batas minimum


(43)

43 sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik dari populasi. Karakteristik Desa Padaawas dan Desa Barusari tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011

Kriteria Desa Kemiringan (%) Ketinggian (dpl) Infrastruktur Jarak ke Pusat kecamatan (Km) Tanaman Utama*) Jumlah Responden (orang) Padaawas 0 - >40 500 - >1000 baik 2

Kentang-kubis-tomat 27 Barusari 2 - >40 500 - >1000 Kurang baik 3,5

Kentang-kubis-tomat 23 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2012)

Keterangan : * urutan pertama menunjukkan tanaman utama 4.4 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui survey dan wawancara langsung kepada petani kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. 4.5 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi menggunakan Excell. Analisis yang dilakukan yaitu analisis nilai ekonomi konservasi dan untuk melihat faktor yang mempengaruhi adopsi digunakan model Logit. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0. Berikut ini tabel keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 6. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Mengidentifikasi

faktor-faktor yang mempengaruhi

keputusan petani untuk mengadopsi konservasi

Data sekunder dan data primer melalui

wawancara dan peninjauan lapang

Analisis menggunakan model regresi logistik dengan

menggunakan maximum likelihood estimator (MLE) 2 Menghitung nilai

ekonomi konservasi usahatani kentang

Data sekunder dan data primer melalui

wawancara dan peninjauan lapang

Analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang (perbedaan pendapatan usahatani konservasi dan non-konservasi)


(44)

44 4.5.1 Model Regresi Logistik

Untuk melihat peluang petani dalam mengadopsi pola konservasi, dilakukan model regresi logit. Berdasarkan teori ekonomi dan analisis empiris, faktor-faktor yang diduga berpengaruh adalah umur, pendidikan formal petani, status kepemilikan lahan, pendapatan petani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, tingkat kecuraman lahan, dan pengalaman bertani. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka model logit dapat dijabarkan sebagai berikut:

Keterangan:

Pi = peluang kesediaan petani mengadopsi pola konservasi (Pi = 1 jika

petani mengadopsi konservasi, dan Pi = 0 jika petani tidak

mengadopsi konservasi

1 – Pi = peluang ketidaksediaan petani mengadopsi pola konservasi

Zi = keputusan petani

β0 = intersep

βi = parameter peubah (i = 1, 2, 3, …, 10)

UMR = umur (tahun)

PDKN = lamanya petani menempuh pendidikan formal (tahun) LLHN = luas lahan garapan (Ha)

SLHN = status kepemilikan lahan D = 1, lahan milik sendiri; D = 0, lainnya


(45)

45 JTK = jumlah tanggungan keluarga (jiwa)

CURM = tingkat kecuraman lahan usahatani (persen) PLMN = pengalaman bertani (tahun)

Pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan metode pendugaan kemungkinan maksimum atau maximum likelihood estimator (MLE). Pendugaan MLE memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan parameternya) berbeda membangkitkan contoh-contoh berbeda; suatu conoth apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang)nya lebih besar berasal dari beberapa populasi daripada populasi lainnya (Juanda, 2009).

4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi

Persamaan berdasarkan teori ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh rumusan yang ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang

Deskripsi Perhitungan

A. Jumlah Produksi Kentang (Kg)

B. Jumlah Kentang yang Dijual (Kg)

C. Harga Kentang (Rp)

D. Penerimaan Total A * C

E. Penerimaan Tunai B * C

F. Biaya Tunai :

Benih (Rp)

Pupuk Organik (Rp)

Pupuk An-organik (Rp)

Pestisida (Rp)

Tenaga Kerja Luar Keluarga (Rp)

Ajir dan Mulsa (Rp)

Bahan Bakar (Rp)

Pajak (Rp)

G. Biaya Diperhitungkan :

Sewa Lahan (RP)

Penyusutan Alat (Rp)

Tenaga Kerja Dalam Keluarga (Rp)

H. Biaya Total F + G

I. Pendapatan Tunai E – F


(46)

46 Selanjutnya, diperoleh rumusan untuk menghitung nilai ekonomi konservasi (Incremental Net Benefit) yang ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi

Deskripsi Sistem Penanaman

Konservasi Non Konservasi

A Penerimaan 1 3

B Biaya 2 4

C Net Benefit dengan Konservasi (Rp) 1-2 D Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) 3-4 E Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp) C-D 4.5.3. Pengujian Hipotesis

1. Uji Multikolinearitas

Uji asumsi klasik yang sering dipergunakan dalam regresi linear berganda adalah uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Dari keempat uji tersebut, uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi berkaitan dengan nilai residualnya, sedangkan uji multikolinearitas berkaitan dengan variabel bebasnya. Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut (Juanda, 2009). Regresi logistik adalah regresi di mana variabel terikatnya adalah dummy, yaitu 1 dan 0. Dengan demikian, residualnya yang merupakan selisih antara nilai prediksi dengan nilai sebenarnya tidak perlu diuji. Sehingga pada regresi logistik, uji asumsi klasik yang perlu dilakukan adalah uji multikolinearitas. Pada pengujian multikolinearitas, indikasi adanya korelasi yang kuat antara variabel independen, ditunjukkan dengan angka korelasi yang melebihi 0,8 (Gujarati, 2004).


(47)

47

2. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test

Uji ini digunakan untuk menguji kelayakan model regresi. Jika nilai signifikasi Hosmer and Lemeshow’s Test lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol maka terima hipotesis nol, artinya model regresi layak digunakan untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati.

3. Uji Likelihood Ratio

Untuk menguji apakah model logit secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan kualitatif (Y), statistik uji yang digunakan adalah dengan likelihood ratio. Uji Likelihood ratio adalah uji secara keseluruhan model logit dimana rasio fungsi kemungkinan modelUR (lengkap) terhadap

fungsi kemungkinan modelR (H0 benar) (Juanda, 2009). Hipotesis yang

digunakan adalah:

H0: β2= β3= … = βn

H1: minimal ada βj≠ 0, untuk j= 2,3, … n

Statistik uji-G dibawah ini menyebar menurut sebaran khi-kuadrat dengan derajat bebas (k-1)

Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis Ho ditolak (model signifikan)


(48)

48 4. Omnibus Test of Model Coefficient

Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel yang diuji secara simultan berpengaruh terhadap variabel independent. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope pada model sama dengan nol harus ditolak jika nilai signifikasi pada nilai Chi-square lebih kecil dari 0,05.

5. Uji Wald

Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata

terhadap pilihannya, dapat menggunakan statistik uji Wald yang serupa dengan statistik uji-t atau uji-Z dalam regresi linear biasa (Juanda, 2009). Hipotesis yang diuji adalah:

H0: βj= 0, untuk j= 2,3, …, n

H1: βj≠ 0

Statistik uji yang digunakan adalah: Dimana βj = koefisien regresi

Se (βj) = standard error of β(galat kesalahan dari β)

6. Odds Ratio

Kajian hubungan antara variabel kategorik dikenal adanya ukuran asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar variabel kategorik. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odds ratio. Odds ratio sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan-1 terhadap peluang terjadinya pilihan-0 alternatifnya (Juanda, 2009). Secara matematis dapat ditulis:


(1)

96 Lampiran 4. Hasil Output Regresi Logit dengan SPSS 16.0

Classification Tablea,b

Observed

Predicted KONSERV

Percentage Correct

0 1

Step 0 KONSERV 0 0 14 .0

1 0 36 100.0

Overall Percentage 72.0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig. Step 1 Step 18.002 8 .021

Block 18.002 8 .021

Model 18.002 8 .021

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 41.293a .302 .435

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 6.964 8 .541

Classification Tablea

Observed

Predicted KONSERV

Percentage Correct

0 1

Step 1 KONSERV 0 8 6 57.1

1 3 33 91.7

Overall Percentage 82.0


(2)

97

Variables in the Equation

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)

Step 1a UMR .026 .062 .182 1 .669 1.027

PNDKN -.178 .270 .436 1 .509 .837

LLHN -4.727 3.557 1.766 1 .184 .009

SLHN 2.583 1.296 3.972 1 .046 13.233

PDPT .000 .000 1.875 1 .171 1.000

JTK -.375 .332 1.276 1 .259 .687

CURM .125 .054 5.322 1 .021 1.133

PNGLMN -.079 .053 2.198 1 .138 .924

Constant .981 3.296 .089 1 .766 2.666 a. Variable(s) entered on step 1: UMR, PNDKN, LLHN, SLHN, PDPT, JTK, CURM, PNGLMN.

Correlation Matrix

Constant UMR PNDKN LLHN SLHN PDPT JTK CURM PNGLMN Step

1

Constant 1.000 -.671 -.546 -.113 .071 .188 -.428 -.163 .096 UMR -.671 1.000 -.066 -.239 .228 .101 .093 .320 -.622 PNDKN -.546 -.066 1.000 .339 -.509 -.471 .262 -.375 .382 LLHN -.113 -.239 .339 1.000 -.491 -.799 .320 -.379 .223 SLHN .071 .228 -.509 -.491 1.000 .597 -.494 .654 -.352 PDPT .188 .101 -.471 -.799 .597 1.000 -.325 .407 -.292 JTK -.428 .093 .262 .320 -.494 -.325 1.000 -.309 -.015 CURM -.163 .320 -.375 -.379 .654 .407 -.309 1.000 -.279 PNGLMN .096 -.622 .382 .223 -.352 -.292 -.015 -.279 1.000


(3)

98 Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian


(4)

99 RIWAYAT HIDUP

Dinda Asyifa Devi dilahirkan di Garut pada tanggal 5 September 1990 putri dari pasangan Bapak Entang Sutarsa, S. Pd, M. Pd dan Ibu Dr. Ir. Wini Nahraeni, M. Si. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1996 penulis memulai studinya di SDN Brawijaya Kota Sukabumi dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kota Sukabumi dan lulus pada tahun 2004, melalui program akselerasi. Setelah itu penulis melanjutkan sekolah di SMAN 3 Kota Sukabumi, dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan studi dengan menjadi mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi dalam kampus, yaitu Shariah

Economic Student Club (SES-C) FEM IPB sebagai bendahara divisi Riset pada

periode 2008-2009, dan bendahara divisi Sharia Research and Education (Shar-e) pada periode 2009-2010. Selain itu, penulis aktif di Ikatan Keluarga Mahasiswa Sukabumi (IKAMASI).


(5)

RINGKASAN

DINDA ASYIFA DEVI. Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Dibimbing oleh SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan karena merupakan penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia yang terus bertambah, penyedia bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja atau penciptaan kesempatan kerja dan sebagai jaminan pendapatan bagi sebagian besar penduduk, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Besarnya manfaat sektor pertanian membuat kegiatan pertanian dilakukan di lahan sawah serta lahan kering. Tanaman semusim yang dominan ditanam di lahan kering adalah jagung, kentang, kubis, tomat, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis tanaman seperti kentang, tomat, buncis, wortel, dan lainnya hanya dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu, sehinga terdapat sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010 Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan Kabupaten Bandung yang hanya memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha. Berdasarkan data luas panen, produksi dan produktivitas, di Garut mengalami perkembangan yang negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010 persentase penurunan produksi lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas lahan. Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga oleh terjadinya erosi. Erosi menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk melestarikan sumberdaya lahan di daerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi, dan (2) menghitung nilai ekonomi dari usahatani kentang yang melakukan konservasi. Penelitian dilakukan di Desa Padaawas dan Desa Barusari Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Lokasi ini dipilih secara tertuju (purposive) karena merupakan salah satu sentra penghasil kentang terbesar di Kabupaten Garut dengan kemiringan lahan yang beragam. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah simple random sampling. Jenis data yang digunakan adalah data cross section. Pengambilan data primer dilakukan selama bulan Juni 2011 – Juli 2011. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada petani kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner. Metode analisis yang digunakan yaitu model logit untuk melihat faktor yang mempengaruhi adopsi konservasi dan analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0.


(6)

iv Pada penelitian ini petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur). Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada alur-alur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012). Berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola konservasi sebanyak 36 petani (72 persen), dan yang tidak melakukan pola konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja.

Dilihat dari kriteria ekonomi, hasil analisis regresi logit menunjukkan umur, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan status kepemilikan lahan yang merupakan variabel dummy, mempunyai tanda positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi konservasi. Artinya, jika umur petani, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng meningkat, maka peluang petani untuk mengadopsi konservasi meningkat. Dummy status kepemilikan lahan menunjukkan bahwa petani pemilik memiliki peluang untuk melakukan adopsi konservasi lebih tinggi dibandingkan petani penyewa. Pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman memiliki tanda negatif. Artinya, peningkatan pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman, akan menurunkan peluang petani melakukan adopsi konservasi. Variabel yang sesuai dengan hipotesis yaitu status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan jumlah tanggungan keluarga. Selanjutnya berdasarkan kriteria statistik, variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α = 20 persen yaitu status kepemilikan lahan, luas lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani.

Usahatani dengan konservasi memberikan pendapatan atas biaya tunai dan atas biaya total yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani tanpa konservasi. Dilihat dari aspek lingkungan pendapatan total dapat menunjukkan nilai ekonomi konservasi. Nilai ini didapat dengan menghitung selisih pendapatan atas biaya total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai ekonomi konservasi usahatani kentang sebesar Rp 10.163.428,60.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan saran (1) Perlu dilakukan penyuluhan yang membahas mengenai konservasi secara lebih mendalam tidak hanya fokus pada budidaya tanaman. Hal ini perlu dilakukan agar petani lebih paham mengenai manfaat yang dapat diterima dan biaya yang harus ditanggung secara lebih jelas sehingga tingkat adopsi konservasi dapat meningkat, (2) Penyuluhan lebih baik diarahkan pada petani yang menggarap lahan di kecuraman lahan tinggi karena memiliki peluang adopsi konservasi yang lebih tinggi, dan (3) Pemerintah perlu memperkecil laju konversi tanah agar mengurangi perambahan lahan kehutanan sehingga satus penguasalahan menjadi jelas dan adopsi konservasi dapat dilakukan dengan lebih baik.