dengan pemanfaatan dibawah konsep daya dukung, dan sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung, akan sangat meningkatkan kerusakan
terumbu karang Hawkins dan Roberts 1993. Daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan
dengan daya dukung lingkungan biofisik dan sosial terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya Mc Neely 1994. Daya dukung ekowisata juga diartikan
sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana objek wisata jika terjadi kemerosotan sumberdaya,
kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberi dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya Ceballos - Lascurain 1991; Simon et
al. 2004.
Perhitungan daya dukung lebih sering diterapkan untuk batas kegiatan wisata Clark 1996 in Yulianda et al.2010. Konsep daya dukung digunakan untuk
mengurangi dampak kerusakan dari kegiatan selam di Great Barrier Reef Australia dengan menghasilkan nilai daya dukung 205 orang per hari di area yang
luasnya 10.29 Ha Harriot 2002. Sedangkan penggunaan waktu untuk aktifitas penyelaman diasumsikan bahwa lamanya penyelaman yaitu 300 hari pertahun
pada lokasi tertentu setara dengan keberadaan 13 – 20 penyelam perlokasi selam perhari, dengan waktu penyelaman yang baik dalam sehari adalah 8 jam, maka
penggunaan waktu terbaik untuk penyelam adalah 2 penyelam perlokasi perjam Dixon et al. 1993 dan Hawkins et al. 1997.
5.5. Strategi
Pengelolaan Sumberdaya
Terumbu Karang
untuk Pengembangan Wisata Bahari.
Pentingnya DPL sebagai penopang keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sebagai pendukung ekonomi lokal seringkali dinilai rendah,
padahal besaran nilai ini berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dan stakeholder dalam alokasi sumberdaya yang efesien dan
optimal serta berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang dalam kawasan konservasi dan kemungkinan proses pengembangannya sebagai kawasan
wisata bahari, akan berjalan baik jika ada kerjasama antar para stakeholder. Terutama bagi para stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung dalam proses pengelolaan. Tindakan pengontrolan perlu dilakukan terhadap jenis kegiatan yang memanfaatkan
kawasan terumbu karang dan upaya pengembangannya yang harus selaras dengan kondisi kawasan.
Penentuan keberhasilan atau kegagalan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat di suatu tempat tidak dengan otomatis dapat diterapkan di
tempat lain. Kemungkinan kesamaan kondisi sumberdaya alam di dua daerah yang sama persis, namum kerena masyarakatnya berbeda maka pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat akan berbeda pula. Sehingga keberhasilan DPL-BM di suatu daerah tidak dapat langsung di terapkan di daerah lain,
perbedaan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya di masing-masing daerah mempengaruhi strategi kebijakan yang akan diterapkan Nikijuluw 2002.
Strategi pengembangan wisata bahari untuk diving diarahkan berdasarkan potensi biofisik kawasan. Pariwisata bahari harus dikelola secara seimbang antara
tujuan ekonomis dan ekologis dalam menjamin keberlanjutan kegiatan. Sebagai contoh strategi pengelolaan yang dilakukan di Great Barrier Reef Australia
dalam mengurangi dampak kerusakan yakni dengan melakukan pembatasan musim, pengukuran ukuran grup wisatawan dengan izin dan kontrol pemandu,
penzonasian kawasan serta pengaturan dan pembatasan perizinan pengelolaan Harriot 2002.
5.5.1. Mengatasi Kerusakan Terumbu Karang.
Ekosistem terumbu karang sebagai media wisata mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkait
a n den
g an
pem a
nfa a
t a
n non-eks t
r a
kti f,
dalam hal ini pari w
isata ,
maka upaya p e
l esta
r ia
n al
a m p
a d
a eko sistem t
e rumbu
k arang yan
g ada
h any
a a kan menamp
akka n
has i
l yang d
ih ara
p kan
b ila
pengembangan p a
r iw
isata yang dil a
ku ka
n te
rk o
ntrol dengan
b ai
k . S
em e
nt a
r a
perencanaan penggunaan kawasan ter f
ormul as
ikan deng a
n b aik
dan b e
n a
r ,
se rt
a upaya pemantauan dan pengendalian atas k
e mun
g kinan d
a m
pa k
negatif y a
ng timbu l
dengan sela l
u melakukan upaya pen eg
akan hukum sec a
ra t
erarah dan konsiste n. Karena pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup dapat
dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup tersebut
dapat persiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan Wiharyanto 2007
Dalam rangka pengembangan kawasan wisata bahari perlu diperhatikan kerentanan dari life-form pengisi substrat dasar kawasan yang akan dijadikan
lokasi wisata selam, karena masing-masing life-form mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas diving. Karang
bercabang coral branching paling sensitif terhadap dampak dari kegiatan diving yang tak terkontrol dibandingkan dengan karang massive, digitate, submasive
ataupun karang lunak Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Walters dan Samways 2001; Zakai dan Chadwick-Furman 2002; Hasler dan Ott 2008.
Karang lunak nampaknya kurang sensitif dibandingkan dengan jenis life-form lainnya Rielg dan Rielg 1996; Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000;
Tratalos dan Austin 2001 dan karang encrusting cenderung paling tidak sensitif
Rielg dan Rielg 1996; Schleyer dan Tomalin 2000. DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki
persentase tutupan karang dari jenis Acropora lebih tinggi 38–42 persen dari DPL Imburnos, DPL Tanadi, DPL Mansaswar dan DPL Kormansiwin yaitu
12–25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi diving di DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki kerentanan yang cukup
tinggi terhadap dampak kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan selam. Untuk itu pengelolaan wisata bahari di daerah ini sebaiknya dilakukan oleh penyelam
atau wisatawan yang sudah memiliki pengalaman. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi degradasi terumbu karang yang
ditandai dengan penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang akibat kegiatan penyelaman Schleyer dan Tomalin 2000.
Ekosistem terumbu karang adalah suatu kawasan yang cukup rentan terhadap pengembangan kegiatan pariwisata wisata bahari yang tidak
bertanggung jawab sehingga penggunaan konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu
karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas tersebut Salm 1986. Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal
jika pengelolaan kawasan sesuai pemanfaatannya berada di bawah konsep daya