Daya Dukung Kawasan Terumbu Karang untuk WisataBahari Kategori Selam.
dapat persiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan Wiharyanto 2007
Dalam rangka pengembangan kawasan wisata bahari perlu diperhatikan kerentanan dari life-form pengisi substrat dasar kawasan yang akan dijadikan
lokasi wisata selam, karena masing-masing life-form mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas diving. Karang
bercabang coral branching paling sensitif terhadap dampak dari kegiatan diving yang tak terkontrol dibandingkan dengan karang massive, digitate, submasive
ataupun karang lunak Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Walters dan Samways 2001; Zakai dan Chadwick-Furman 2002; Hasler dan Ott 2008.
Karang lunak nampaknya kurang sensitif dibandingkan dengan jenis life-form lainnya Rielg dan Rielg 1996; Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000;
Tratalos dan Austin 2001 dan karang encrusting cenderung paling tidak sensitif
Rielg dan Rielg 1996; Schleyer dan Tomalin 2000. DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki
persentase tutupan karang dari jenis Acropora lebih tinggi 38–42 persen dari DPL Imburnos, DPL Tanadi, DPL Mansaswar dan DPL Kormansiwin yaitu
12–25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi diving di DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki kerentanan yang cukup
tinggi terhadap dampak kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan selam. Untuk itu pengelolaan wisata bahari di daerah ini sebaiknya dilakukan oleh penyelam
atau wisatawan yang sudah memiliki pengalaman. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi degradasi terumbu karang yang
ditandai dengan penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang akibat kegiatan penyelaman Schleyer dan Tomalin 2000.
Ekosistem terumbu karang adalah suatu kawasan yang cukup rentan terhadap pengembangan kegiatan pariwisata wisata bahari yang tidak
bertanggung jawab sehingga penggunaan konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu
karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas tersebut Salm 1986. Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal
jika pengelolaan kawasan sesuai pemanfaatannya berada di bawah konsep daya
dukung, sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung maka akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang Hawkins dan Roberts 1997.
Jika terjadi degradasi sumberdaya maka kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya
Ceballos - Lascurain 1991; Simon et al. 2004. Mengatasi dampak kerusakan terumbu karang akibat wisata bahari
dapat dilakukan dengan membuat kebijakan sebagai berikut: luasan terumbu karang yang dapat dimanfaatkan di DPL Indip yaitu 112 392 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 450 oranghari, luasan terumbu karang DPL Imburnos
yang dapat dimanfaatkan 68 262 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 273 oranghari, luasan terumbu karang DPL Warasmus yang dapat dimanfaatkan
104 550 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 418 oranghari, luasan terumbu karang DPL Ikwan iba yang dapat dimanfaatkan 104 550 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 418 oranghari, luasan terumbu karang DPL
Yendesner yang dapat dimanfaatkan 142 416 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 570 oranghari, luasan terumbu karang DPL Tanadi yang
dapat dimanfaatkan 27 200 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 109 oranghari, luasan terumbu karang DPL Mansawar yang dapat dimanfaatkan
7 957 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 32 oranghari, dan luasan terumbu karang DPL Kormansiwin yang dapat dimanfaatkan 61 950 m
2
dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 61 950 oranghari.
Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan yang mencakup penyusunan
pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator- indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Mengingat
Snorkelling dan diving merupakan kegiatan wisata yang hampir selalu
menghasilkan beberapa kerusakan fisik karang karena penyelam berdiri di atas terumbu karang, fin yang menyentuh karang, berlutut, atau terjadi trampling
karena berpegangan ataupun berbenturan dengan karang secara bersamaan Roger et al.
1988; Allison 1996. 5.5.2. Mengoptimalkan Pengelolaan Wisata Bahari.
Pengelolaan terumbu karang yang optimal untuk pengembangan wisata bahari harus memenuhi tiga unsur keberlanjutan yang implementasinya
mencakup tiga aspek yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya Yulianda 2010. Berdasarkan tiga aspek tersebut diatas dibuat tiga kebijakan,
yaitu: