infrastr u
ktu r yang
berasos i
asi d
e n
ga n
wis ata b
a h
a ri dapat men
ye babk
a n
kerus a
kan pa
d a lokasi penye
l aman i
tu se n
dir i.
Pengemban ga
n wisata bahari dan pener a
p a
n batas pelestarian mela
l ui
kapasi t
as daya dukung atau toleransi batas perubahan s a
ngat tergantung pada situas
i kondisi lin
gk ungan perairan. Damp
a k yang berp
e ngaruh pada
kual i
tas lingkungan laut j
uga akan berdampak pada w i
sata b a
har i baik yang
berdiri se ndir
i, maupun yang tid
a k berhubung
an l
a ngsun
g d
eng an p
a r
iw isata,
tapi m
em ili
k i
efek yang men gga
n gg
u D
avis d
a n Tisd
e ll
19 96
. Selanjutn y
a d
i ta
m b
a hkan oleh de Vantier d
a n
T ur
a k
2 004
b a
h w
a d ar
i pe rs
p e
ktif e
stetis sosial ken
ya manan mengendalikan jum
la h penyelam dilakukan
dengan mengatur jumlah r
a ta-rat
a pen
y e
la m sehingga penyelam memp
e r
o l
e h
keny a
m a
nan ketika menyel
am. Berbagai ak
t i
f itas wisata bahari seperti diving dan snorkeling yang tidak
terkontrol, dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang baik dari peralatan seperti tabung diving
, fin
dan kamera underwater .
Aktifitas gerakan penyelam seperti kayuhan fin dapat menyebabkan pengadukan sedimen didekat k
a rang
Zakai dan
Chadwick 2002. Begitu juga beberapa in t
eraksi dan kontak y a
ng kompleks d
a ri kegiat
a n penyelam terhadap terumbu
k arang seperti tipe
pen y
elam a
n ,
kondisi al a
m lok a
si h
a mp
a r
a n karang
, arus, tipe komunitas karang
dan kharakteristik lainnya yang beragam antara lokasi, pengalaman tingkah
l a
ku peny e
lam ,
tingkat kerusakan karang, konsentras i
penumpukan penyelam, pemisahan
a ktifitas selam, akses ke lokasi selam
, berjalan di karang pada
snork e
ling ,
tambatan atau j
angkar kapal dan ukuran dari lokasi selam ,
yan g
kesemuan y
a dapat mempengaruhi da y
a dukung, dan sangat pen ti
ng diperhatikan dalam men
e ta
p kan jumlah penyelam per lokasi Barker dan Roberts 2003.
Beberapa penelitian tentang daya dukung carryng capacity terumbu karang dan dampak yang diakibatkan oleh penyelam terhadap terumbu karang
telah dilakukan di Laut Merah Mesir, Laut Karibia dan di Great Barrier Reef Australia Davis dan Tisdell 1995;
Ha wk
i n
s dan Robert 19
9 7;
dan Jameson et al. 1999. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa daya dukung untuk wisata bahari,
tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penyelam, tapi tergantung juga pada tipe penyelam, latihan dan pendidikan mereka, tipe pertumbuhan karang, dan struktur
komunitas karang. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa kerusakan karang dapat diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, penyelam amatir dan
beberapa kasus pembangunan infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari. Daya dukung kawasan Daerah Perlindungan Laut untuk kegiatan wisata
diving dan snorkeling dapat diestimasi dengan menggunakan angka yang
direkomendasikan Ha
wk i
n s dan
Robert 1997 yaitu 5 000 – 6 000 penyelam
perlokasi pertahun, bergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat digunakan. Sebaliknya Dixon et al. 1993 memberi batasan yaitu 4 000 – 6 000
penyelam perlokasi pertahun, hal ini disebabkan karena penyelaman sebelumnya telah memberi dampak kerusakan pada struktur komunitas karang di Banaire
Laut Karibia.
2.6. Aspek Sosial Wisata
Menurut Bater et al. 2001, pembangunan pariwisata berkelanjutan hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik good
governance yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia
dan isu lain yang lebih luas. Hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai solusi pembangunan terbaik, termasuk pembangunan
pariwisata. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui
prinsip-prinsipnya yang dielaborasi, yaitu: 1. Partisipasi.
Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata,
mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi
untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang
telah disusun sebelumnya. 2. Keikutsertaan Para PelakuStakeholder Involvement.
Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok
sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihak- pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan
menerima dampak dari kegiatan pariwisata. 3. Kepemilikan Lokal.
Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan
seperti hotel, restoran, dsb. seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk
setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisniswirausahawan setempat dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut,
keterkaitan linkages antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.
4. Penggunaan Sumberdaya yang Berkelanjutan. Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumberdaya yang
berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui irreversible
secara berlebihan. Perlu dukungan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan dan pelaksanaan sehingga pembagian
keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumberdaya alam dan buatan dapat
dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.
5. Mewadahi Tujuan-tujuan Masyarakat. Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan
pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung atau wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama
dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.
6. Daya Dukung. Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi
daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan
lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara reguler
sehingga dapat
ditentukan penyesuaianperbaikan
yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas wisata harus mencerminkan batas
penggunaan yang dapat ditoleransi limits of acceptable use. 7. Monitoring dan Evaluasi.
Kegiatan monitoring dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta
pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan
tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal. 8. Akuntabilitas.
Perencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan
masyarakat lokal
yang tercermin
dalam kebijakan-kebijakan
pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seperti tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan
bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan. 9. Pelatihan.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program - program pendidikan dan pelatihan untuk membekali
pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational
dan profesional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain
yang relevan. 10. Promosi.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscap, sense of place,
dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman
wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung.