IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Ekonomi Jawa Barat
Salah satu indikator yang sering digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi adalah PDRB. Pada kurun waktu analisis, yaitu 1993 hingga 2009,
PDRB Jawa Barat mengalami peningkatan kecuali pada tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi yang mengguncang hampir seluruh negara di Asia termasuk
Indonesia. Tabel 4.1.
Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009
Tahun PDRB Miliar
Laju Pertumbuhan Ekonomi 1993
63.302,07 7,05
1994 68.723,87
8,18 1995
75.060,29 10,83
1996 81.877,46
8,05 1997
86.338,02 6,00
1998 70.704,31
-17,77 1999
64.897,27 2.30
2000 67.942,44
4,90 2001
70.560,23 2,59
2002 73.414,88
4,79 2003
77.069,52 4,53
2004 81.087,52
5,47 2005
86.067,03 4,22
2006 91.340,81
6,02 2007
97.422,98 6,48
2008 103.204,89
5,83 2009
107.325,99 4,30
Sebelum desentralisasi Setelah desentralisasi
72.355,72 87.499,32
3,69 4,91
Sumber: BPS diolah
Tabel 4.1. menunjukkan perkembangan PDRB Jawa Barat sejak tahun 1993 hingga 2009. Hampir tidak terlihat perubahan yang signifikan terhadap
pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebelum dan sesudah dilaksanakannya desentralisasi fiskal. Sebelum masa desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhan
PDRB per tahun adalah sebesar Rp.5,21 triliun dan setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan pada tahun 2001, rata-rata pertumbuhan PDRB Jawa Barat yaitu
sebesar Rp. 4,37 triliun. Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 sangat terasa bagi perekonomian
Jawa Barat. Hal ini terlihat dari merosotnya PDRB per kapita Jawa Barat hingga Rp.15 triliun pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi pada masa itu
sebesar-17,77 persen. Proses recovery pasca krisis dimulai sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan PDRB yang kembali positif walaupun tidak sebesar tahun-
tahun sebelumnya. Mengawali tahun 1999, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan 2,3 persen. Kondisi ini mampu dipertahankan dalam periode 2001-2004 sehingga keadaan perekonomian saat itu
dapat dikatakan stabil. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat berada pada angka 4,22 persen dan naik hingga mencapai 6,02 persen pada tahun
berikutnya. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi 6,48 persen dan turun menjadi 5,83 persen pada tahun 2008. Keadaan tersebut dinilai cukup bagus mengingat
terjadinya krisis ekonomi global pada pertengahan 2007. Badan Keuangan Dunia IMF bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,7 persen. Di
beberapa negara maju laju pertumbuhannya hanya 0,5 hingga 1,7 persen.
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan
Lapangan Usaha Tahun 2007 –2009 Trilyun Rupiah
Lapangan Usaha 2007
2008 2009
[1] [4]
[5] [6]
I. Primer 16,09
15,48 14,84
1. Pertanian
13,14 12,67
13,11
2. Pertambangan 2,95
3,16 2,93
II. Sekunder 46,62
53,06 54,68
3. Industri 40,79
45,89 48,55
4. Listrik, Gas, dan Air 3.09
2,98 2,86
5. Bangunan 2,71
3,03 3,25
III. Tersier 34,68
35,73 37,83
6. Perdagangan
18,42
19,69 20,82
7. Pengangkutan 5,14
5,49 6,30
8. Lembaga Keuangan 2,91
3,11 2,89
9. Jasa-jasa 8,23
7,50 7,75
PDRB 97,42
103,21 107,33
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2007-2009
Adapun sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap PDRB adalah sektor sekunder industri, listrik, gas, air, dan bangunan. Pada tahun 2007
sektor sekunder mampu menyumbang Rp. 46,62 trilyun sedangkan tahun 2008 sebesar Rp. 53,06 triliun atau mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 6,44
triliun. Tahun 2009 sektor sekunder memberikan kontribusi sebesar Rp. 54,68 triliun atau meningkatb 1,62 dari tahun sebelumnya.
Kondisi perekonomian Jawa Barat dapat pula dilihat dari laju inflasi daerah. Inflasi menggambarkan kondisi makro perekonomian suatu daerah karena
dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan pola investasi. Semakin tinggi tingkat inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun dan investasi akan
terhambat sehingga memengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 2009 dari 7 kota di Jawa Barat yang dipantau tingkat inflasinya, Kota Tasikmalaya tercatat inflasinya paling tinggi, yaitu sebesar 4,17
persen disusul Kota Cirebon 4,11 persen. Sedangkan tingkat inflasi paling rendah yaitu Kota Sukabumi sebesar 3,49 persen.
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2008
Gambar 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007
Laju inflasi Jawa Barat tahun 2002-2007 yang diwakili oleh tiga kota menunjukkan tren yang berfluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan inflasi
yang cukup tinggi hingga berada di atas level 15. Selain itu, gambaran pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam realisasi
APBD dalam Kajian Regional Provinsi Jawa Barat sebelum desentralisasi fiskal 1997-2000 dan setelah desentralisasi fiskal 2005-2009 yang dikeluarkan Bank
Indonesia Tabel 4.3 menunjukkan peningkatan. Rata-rata proporsi belanja tidak langsung pemerintah Jawa Barat lebih dari 60 persen dari total belanja. Pada
tahun 1997 belanja tidak langsung sebesar Rp.987,39 miliar atau 68,51 persen dan meningkat menjadi Rp.1.532,71 miliar atau 68,72 persen dari keseluruhan belanja
pemerintah tahun 1998. Tahun 1999 proporsi anggaran belanja tidak langsung naik menjadi 71,06 persen dan 74,84 persen pada tahun berikutnya. Sedangkan
pada tahun 2006 proporsi belanja tidak langsung sebesar 69,45 persen dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 71,29 persen. Dalam APDB 2009 Provinsi
Jawa Barat untuk anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp.5.388,57 miliar atau 65,20 persen.
Tabel 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2009
Tahun Belanja Tidak
Langsung Miliar
Belanja Langsung
Miliar Total
Belanja Miliar
Proporsi Belanja Tidak Langsung
1997 987,39
453,86 1.441,25
68,51 1998
1.532,71 697,50
2.230,21 68,72
1999 2.312,41
944,23 3.256,64
71,06 2000
3.091,97 1.039,47
4.131,44 74,84
2006 3.374,40
1.484,37 4.858,77
69,45 2007
3.661,38 1.610,68
5.272,06 69,44
2008 4.313,02
1.736,99 6.050,01
71,29 2009
5.388,57 2.876,10
8.264,67 65,20
Sebelum desentralisasi
Setelah desentralisasi
1.981,12 4.184,34
783,76 1.927,03
2.764,88 6.111,37
70,78 68,84
Sumber : Kajian Regional Provinsi Jawa Barat tahun 1997-2009
4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat