Analisis Model Tenaga Kerja

diamati. Dalam Media Otonomi 2009, sebagian ekonom mensinyalir bahwa kecilnya pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi disebabkan karena moment pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersamaan dengan masa pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Karena pada permulaan desentralisasi fiskal perekonomian Indonesia baru pada tahap recovery sehingga imbas dari krisis masih terasa ketika diterapkannya otonomi daerah. Selain itu, sebagian lain mengatakan bahwa di era desentralisasi, banyak daerah yang kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan. Hal ini terlihat dari opini Badan Pemeriksa Keuangan BPK atas laporan keuangan daerah sejak 2004 hingga 2007 yang menunjukkan temuan yang mengecewakan. Dalam penelitian Suparno 2010, pengaruh dari desentralisasi fiskal juga dipengaruhi faktor lain seperti kinerja dari aparat pemerintah dan tidak efisiennya pengelolaan keuangan serta alokasi dana sebagai imbas dari besarnya dana transfer yang berlebihan. Sementara itu, peubah dummy krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan pertengahan tahun 2007 signifikan pada taraf nyata 10 dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.

5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja

Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap tenaga kerja menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,901 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 90,1 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model. Hasil pengolahan dengan menggunakan SAS.9.1.3 secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 2. Tabel 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009 Variabel Koefisien Prob Intercept 14,13741 ,0001 LOG W Upah -0,166272 0,0022 PEND Pendidikan 0,009185 0,0048 LOG G Pengeluaran Pemerintah 0,20475 0,0663 LOG INV Investasi 0,03691 0,0983 D1 Dummy Desentralisasi -0,01524 0,4181 D2 Dummy Krisis Ekonomi -0,17004 0,0004 R-Square Adj R-Square F-Value Prob Durbin Watson 0,90025 0,85491 19,85 ,0001 2,391973 Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel upah W, Pendidikan, pengeluaran pemerintah, investasi, dan dummy krisis ekonomi signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan memengaruhi kesempatan kerja yang diwakili dengan jumlah tenaga kerja. Variabel upah dalam hasil estimasi berpengaruh mengurangi tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,16. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan upah sebesar 1 persen maka kesempatan kerja berkurang sebesar 0,16 persen. Secara teori upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja labour cost terhadap seluruh biaya produksi total cost. Peningkatan upah menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha akan mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja agar total cost-nya tetap. Dalam jangka pendek peningkatan upah akan menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja. Tujuan utama dari perusahaan adalah memaksimalkan profit. Sehingga apabila upah tenaga kerja meningkat dan dinilai akan mengurangi laba maka perusahaan cenderung akan mengganti input yang relatif lebih murah. Selain itu, peningkatan upah juga akan meningkatkan biaya marginal perusahaan. Sumber: Mankiw, 2003 Gambar 5.1. Kurva Permintaan Tenaga Kerja Gambar 5.1. menunjukkan kura permintaan terhadap tenaga kerja. Titik keseimbangan awal adalah A dengan upah W1 dan tenaga kerja sebanyak L1. Kemudian terjadi kenaikan upah misalnya dengan peningkatan UMR, maka permintaan terhadap tenaga kerja akan berkurang ke L2. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan keuntungannya dan merubah produksinya menjadi padat modal. .Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang menyelesaikan pendidikan SMA ke atas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tenaga kerja dengan nilai koefisien 0,009. Berarti apabila terjadi kenaikan pada jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan di atas SMA maka akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,009 persen. Hal ini dapat dimengerti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kesempatan kerja pun akan semakin meningkat karena pendidikan merupakan salah satu indikator dalam menilai kualitas dari sumber daya manusia. Sehingga banyak perusahaan yang menetapkan standar minimum pendidikan untuk dapat bekerja di perusahaannya. Peubah pengeluaran pemerintah secara total terbukti signifikan untuk meningkatkan kesempatan kerja. Dari hasil estimasi pada model didapat bahwa setiap peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 persen di daerah yang bersangkutan dengan asumsi ceteris paribus. Semakin tinggi pengeluaran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik dan mendorong investasi sehingga perekonomian semakin maju. Selain itu, pengeluaran pemerintah yang dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek baru yang padat karya secara langsung akan menyerap tenaga kerja. Variabel modal swasta investasi berpengaruh signifikan meningkatkan tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,003. Hal ini berarti setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,003 persen. Investasi swasta menciptakan lahan usaha baru dan proyek-proyek yang dikerjakan memerlukan sumber daya manusia untuk mengerjakannya sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja dan membuka lebih banyak kesempatan kerja bagi masyarakat. Nilai koefisien investasi yang kecil kemungkinan disebabkan pengaruh dari teknologi. Variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini kemungkinan karena tingkat lapangan kerja yang tercipta selama ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja sehingga tingkat pengangguran masih tinggi Tabel 4.8. Hasil analisis ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suparno 2010 bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta pertahun. Sedangkan angkatan kerja dari tahun 2001-2008 rata-rata mencapai 1,9 juta orang sehingga penambahan lapangan pekerjaan belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja sehingga menciptakan pengangguran. Variabel dummy krisis ekonomi signifikan berpengaruh negatif terhadap tenaga kerja. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2007 mengurangi kesempatan kerja. Pada krisis tahun 1997 terjadi booming pengangguran, yaitu sebesar 44,44 persen akibat banyaknya perusahaan yang tidak mampu bertahan dari terjangan krisis ekonomi global saat itu. Tahun 1996 jumlah pengangguran di Jawa Barat adalah sekitar 683.818 jiwa dan melonjak menjadi hampir 1,2 juta jiwa tahun berikutnya. Tahun 1998 jumlah pengangguran di Jawa Barat terus meningkat menjadi 1,8 juta jiwa. Sejak tahun 2000 kondisi ketenagakerjaan mulai membaik yaitu turun menjadi 1,4 juta jiwa dan 1,3 juta jiwa pada tahun 2001.

5.1.3. Analisis Model Kemiskinan

Dokumen yang terkait

Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat

1 26 281

Dampak kebijakan fiskal terhadap perubahan struktur output dan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat

1 47 459

Dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan

0 9 436

Dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jawa Barat

4 23 106

Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat

0 16 563

Dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan

3 27 226

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL, PENGELUARAN PEMERINTAH, DAN PDRB TERHADAP KEMISKINAN PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL, PENGELUARAN PEMERINTAH, DAN PDRB TERHADAP KEMISKINAN Studi Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2002-2013.

0 3 12

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMISKINAN, TENAGA KERJA DANDESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI Analisis Pengaruh Tingkat Kemiskinan, Tenaga Kerja Dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Eks-Karesidenan Surakarta Tahun 2006-2

0 2 13

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMISKINAN, TENAGA KERJADAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN Analisis Pengaruh Tingkat Kemiskinan, Tenaga Kerja Dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Eks-Karesidenan Surakarta Tahun 2006-2010.

0 2 16

Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Barat.

0 0 6