menjadi hampir 1,2 juta jiwa tahun berikutnya. Tahun 1998 jumlah pengangguran di Jawa Barat terus meningkat menjadi 1,8 juta jiwa. Sejak tahun 2000 kondisi
ketenagakerjaan mulai membaik yaitu turun menjadi 1,4 juta jiwa dan 1,3 juta jiwa pada tahun 2001.
5.1.3. Analisis Model Kemiskinan
Hasil analisis ekonometrika yang diperoleh dirangkum pada Tabel 5.3 hasil analisis model ekonometrika lengkap dapat dilihat di Lampiran 3. Hasil
analisis menunjukkan bahwa hampir seluruh koefisien signifikan pada taraf nyata 10 kecuali Inflasi INF yang tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Selain
itu, model ini mampu menjelaskan keragaman masalah dengan cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi R-Square sebesar 0,76.
Tabel 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di Jawa
Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien
Prob Intercept
-33,5629 0,0212
LOG Y Pertumbuhan Ekonomi -0,045917
0,0005 LOG POP Populasi
0,237791 0,0003
INF Inflasi 0,601152
0,1224 D2 Dummy Krisis Ekonomi
0,428741 0,0023
R-Squared Adj R-Square
F-Value Prob
Durbin Watson 0,76492
0,63049 16,46
0,0049 2,25836
Dari hasil analisis diketahui variabel PDRB Y signifikan mengurangi kemiskinan dengan nilai koefisien 0,04 yang berarti bahwa setiap kenaikan pada
PDRB sebesar 1 persen maka kemiskinan akan menurun sebesar 0,4 persen dengan asumsi ceteris paribus.
Variabel populasi POP signifikan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan jumlah penduduk sebesar 1 persen di Provinsi Jawa Barat
akan menyebabkan kemiskinan meningkat sekitar 0,23 persen, cateris paribus. Apabila peningkatan populasi tidak dibarengi dengan peningkatan lapangan
pekerjaan dan stok pangan maka jumlah penduduk miskin di daerah tersebut akan bertambah.
Dalam model pertumbuhan Solow dijelaskan bahwa pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengurangi output per pekerja karena jumlah pekerja
yang sangat cepat akan membuat persediaan modal dibagi lebih banyak. Hal ini menyebabkan pada kondisi mapan steady state, setiap pekerja dilengkapi dengan
modal yang lebih sedikit. Akibatnya peningkatan output yang tercipta juga tidak akan sebanding dengan peningkatan jumlah pekerja Hukum Law of Diminishing
Return. Pada akhirnya tingkat upah akan mengalami penurunan yang mengakibatkan tingkat kesejahteraan ikut menurun sehingga semakin banyak
yang jatuh miskin. Variabel inflasi berpengaruh meningkatkan jumlah penduduk miskin di
Jawa Barat namun pengaruhnya tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini karena dampak dari meningkatnya inflasi tidak langsung membuat seseorang
menjadi miskin. Meningkatnya Inflasi akan berpengaruh terhadap harga dan menyebabkan daya beli masyarakat menurun, akibatnya perusahaan akan
mengurangi produksinya sehingga output menjadi turun. Perusahaan akan
mengkondisi penurunan output dengan mengurangi jumlah tenaga kerja untuk menghindari kerugian sehingga akan menciptakan pengangguran dan pada
akhirnya kemiskinan pun akan meningkat. Selain itu, inflasi juga mengakibatkan bunga riil yang diperoleh dari menyimpan uang di bank menjadi turun sehingga
daya beli masyarakat ikut menurun dan lebih miskin dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan pentingnya peran pemerintah dalam mengontrol inflasi.
Krisis ekonomi sebagai variabel dummy dalam penelitian ini signifikan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Banyak orang yang jatuh miskin akibat
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaan karena perusahaannya gulung tikar. Nilai tukar rupiah
terhadap dolar turun drastis menyebabkan harga-harga meningkat sedangkan pendapatan masyarakat menurun.
5.2. Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal