71 Adanya pengaturan pasal 24 ayat 1 tersebut, maka pelaku usaha yang
menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian danatau gugatan konsumen sekalipun tidak
memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan
perbuatan melanggar hukum. Dasar pertanggung jawaban ini terutama karena adanya syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut.
Adapun menyangkut substansi ayat 2 pasal 24, adalah tanpa adanya pengaturan dalam pasal ini pembebasan tanggung jawab seperti itu secara
otomatis berlaku. Secara “acontrario” sudah jelas dari pengaturan pasal 24 ayat 91 juga dapat berarti bahwa apabila pelaku usaha lain yang membeli barang
danatau jasa dari produsen pelaku usaha pihak pertama menjual kembali setelah melakukan perubahan atas barang danatau jasa tersebut, maka produsen pelaku
usaha pihak pertama dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian danatau gugatan konsumen.
C. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha Bila Terjadi Kerugian Terhadap Konsumen.
Apabila ada konsumen dalam menggunakan suatu produk atau jasa merasa dirugikan maka konsumen bisa meminta pertanggungjawaban pelaku usaha baik
secara perdata maupun pidana apabila memenuhi ketentuan dari pasal 19 ayat 1 yang menyebutkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
Universitas Sumatera Utara
72 2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Secara perdata pelaku usaha sesuai dengan ketentuan pasal 19 ayat 2
hanya dapat memberikan ganti kerugian berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bila diperhatikan ketentuan dari pasal 19 ayat 2 tersebut sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal
konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas
barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian
yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Untuk itu seharusnya Pasal 19 ayat 2 menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dapat berupa pengembalian uang
danatau penggantian barang atau jasa yang setara nilainya danatau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada
konsumen. Ini berarti rumusan antara kata “setara nilainya” dengan “perawatan kesehatan” yang ada sekarang tidak lagi menggunakan kata “atau” melainkan
“danatau”. Melalui perubahan seperti ini, kalau kerugian menyebabkan sakitnya konsumen, maka selain mendapat penggantian harga barang juga mendapat
perawatan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
73 Kelemahan dalam pasal tersebut di atas juga dapat terjadi pada konsumen
yang mengalami pembatalan tiket pesawat baik dari pihak konsumen maupun dari pihak pelaku usaha dalam hal ini maskapai penerbangan. Dimana pada umumnya
pihak maskapai penerbangan hanya akan mengganti tiket pesawat dengan tiket pesawat lainnya karena berpatokan pada isi pasal 19 ayat 2 tentang
pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya. Padahal kerugian yang mungkin di derita konsumen yang batal terbang
lebih besar dari pada harga tiket pesawat. Kelemahan yang juga sulit diterima karena sangat merugikan konsumen
yaitu ketentuan pasal 19 ayat 3 yang menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah transaksi. Apabila
dipertahankan, maka konsumen yang mengonsumsi barang di yang kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha,
walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Oleh karena itu, agar Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dapat
memberikan perlindungan yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan pelaku usaha, maka seharusnya Pasal 19 ayat 3 menentukan bahwa tenggang waktu
pemberian ganti kerugian kepada konsumen adalah 7 hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.
Apabila Pelaku Usaha tidak mengganti kerugian Konsumen sebagaimana dijelaskan Pasal 19 maka Pelaku Usaha dapat digugat oleh Konsumen
sebagaimana terdapat dalam Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu :
Universitas Sumatera Utara
74 “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1,ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui
badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Ketentuan pasal ini adalah sebagai langkah pemerintah dalam memberdayakan konsumen untuk menuntut haknya atas ganti kerugian terhadap
pelaku usaha. Bukan hanya karena telah adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tetapi lebih dari itu karena adanya pengaturan tempat pengajuan
gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen” baik itu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maupun melalui badan peradilan, dimana
sangat membantu konsumen dalam menunut haknya. Hal ini merupakan pengembangan dari ketentuan Pasal 118 HIR, sebab secara umum pengajuan
gugatan ganti kerugian dilakukan di wilayah hukum tergugat, dan ini berarti tempat pelaku usaha berdomisili.
Pembuktian terhadap ada tidaknya gugatan ganti kerugian dibebankan kepada pihak pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 :
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban
dan tanggungjawab pelaku usaha.” Pelaku usaha juga dapat dituntut secara pidana sebagaimana di atur dalam
ketentuan Pasal 61 sampai dengan 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dimana disebutkan pelaku usaha dapat dituntut secara pidana apabila melakukan
perbuatan yang dimaksud dalam pasal 62. selain dari pada itu apabila pelaku
Universitas Sumatera Utara
75 usaha terbukti melakukan perbuatan yang dimaksud maka dapat dijatuhi hukuman
tambahan sesuai dengan pasal 63 berupa : 1. Perampasan barang tertentu;
2. Pengumuman keputusan hakim; 3. Pembayaran ganti rugi;
4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau 6. Pencabutan izin usaha.
Ada tidaknya unsur tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan gugatan konsumen, pembuktian ada tidaknya tindak pidana tersebut
dibebankan kepada pelaku usaha yang terdapat pada Pasal 22 yaitu : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.” Pelaku usaha tidak selamanya harus bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen. Hal ini terdapat pada Pasal 27 UUPK tahun 1999, yaitu: 1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan 2. Cacat barang timbul dikemudian hari
3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang 4. Kelalaian yang disebabkan oleh konsumen
Universitas Sumatera Utara
76 5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 empat tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
58
58
Ibid hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
77
BAB IV IMPLEMENTASI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
dalam hal TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN PUTUSAN PN NO.
206PDT. G2006
A. Posisi Kasus Sengketa Konsumen dan Ecxelcomindo.
Penulis membahas tentang putusan terhadap sengketa antara John Parlyn yang bekerja sebagai wartawan Medan bisnis selanjutnya disebut Konsumen
dengan PT. Excelcomindo Pratama. Tbk selanjutnya disebut Pelaku Usaha dikarenakan Pelaku Usaha merupakan perusahaan jasa telekomunikasi yang
mempunyai jaringan luas dan ada di Indonesia. Adapun posisi kasus sengketanya adalah sebagai berikut :
Pada tanggal 31 Maret sempat beredar flyer regional West yang beredar di Kota Medan bukan skala nasional yang salah cetak ke sejumlah toko outlet.
Kesalahan tersebut adalah : promo tarif ngirit tercantum tanggal 1 April yang seharusnya 6 April. Isi dari flyer tersebut adalah salah satunya menyatakan bahwa
ada fasilitas Tarif Ngirit Malam sebesar Rp. 149 30 detik dan berlaku mulai 1 April 2006 sd 30 Juni 2006 tercetak sebagai disclaimer. Pada tanggal 3 April,
XL telah menarik flyers dari pasaran, dan menggantinya dengan yang baru. Tanggal 1 April 2006, Konsumen melihat flyers ini kemudian tertarik untuk
menggunakan karena beranggapan tarifnya lebih murah dari tarif Xplor. Kemudian dia membeli SP Bebas dan mencobanya pada tanggal 2 April 2006
Universitas Sumatera Utara