Para Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan a. Pekerja atau Buruh

54 Menurut imam Supomo dalam bukunya Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan menyebutkan Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. 71

2. Para Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan a. Pekerja atau Buruh

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan dan ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama sebelum Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah buruh pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor, yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan kantor pemerintah maupun swasta disebut karyawan atau pegawai White Collar, pembedaan yang membawa konsekunsi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah orang- orang pribumi. 72 Bahkan ada pandangan bahwa “White Collar”dikatakan adalah orang yang terhormat dan pantang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kasar sedangkan orang- orang “Blue Collar”, dikatakan adalah kuli kasar yang kedudukanya hampir sama 71 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, hal 8 72 Ibid, hal 33 Universitas Sumatera Utara 55 dengan budak yang harus tunduk dan patuh serta hormat kepada orang-orang “White Collar” disinilah letak kelicikan penjajah Belanda dahulu untuk memecah belah bangsa Indonesia sesuai dengan prisip devide et impera-nya, yang terkenal itu. 73 Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antar buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh, dalam Undang-Undang nomor 27 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah” Pasal 1 ayat 1 a. 74 Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana diusulkan oleh pemerintah, alasan pemerintah untuk merubah istilah tersebut karena dianggap istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Berangkat dari penyebutan istilah buruh seperti disebut diatas, menurut Lalu Husni dalam bukunya berjudul Hukum Ketenagakerjaan Indonesia istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak sama dengan buruh pada masa lalu yang hanya bekerja pada sektor nonformal seperti kuli, tukang dan sejenisnya tetapi juga disektor formal seperti Bank, Hotel, dan lain-lain. Karena itu lebih tepat jika menyebut istilah pekerja. 75 73 Agusfan Wahab, Hukum Perburuhan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, hal 40 74 Pasal 1 ayat 1a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 75 Ibid, hal 34 Universitas Sumatera Utara 56 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: 76 “Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah”. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial nasional menyebutkan: 77 “Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain”. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial menyebutkan: 78 “Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. 79 Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan lainya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apa pun ini perlu karena upah selama ini diidentikan dengan uang, padahal ada pula buruh atau pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. 76 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan 77 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 78 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial 79 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara 57 Dan dari penjelasan tersebut dapat diartikan dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja atau buruh.

b. Pengusaha

Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkahn bahwa majikan adalah”orang atau badan hukum yang mempekrjakan buruh”. Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial, Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan atau kelompok penekan dari buruh, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Karena itu lebih tepat disebut dengan istilah pengusaha. 80 Sehubungan dengan hal tersebut perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah pengusaha. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian pengusaha yakni: 81 1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri; 80 Undang-Undang Nomor 27 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 81 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara 58 2. Orang perseorangan, persekurtuan, atau, bdan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia. Selain pengertian pengusha Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga memberikan pengertian Pemberi kerja yakni perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain Pasal 1 angka 4. 82 Pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha khususnya bagi pekerja pada sektor informal. Sedangkan pengertian Perusahaan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah: a. Setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan buruh atau pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apa pun; b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain Pasal 1 angka 6. 83 82 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 83 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Universitas Sumatera Utara 59

c. Organisasi Pekerja atau Buruh

Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha, keberhasilan maksud ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka semakin kuat, sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerja diIndonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi. 84 Hak menjadi anggota Organisasi pekerja atau serikat pekerja merupakan hak asasi pekerja atau buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. 85 Demikian pula telah diratifikasikan oleh pemerintah Republik Indonesia Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai berlakunya dasar-dasar untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Kedua konvensi itu dapat dijadikan dasar hukum bagi pekerja atau buruh untuk berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh. 86 Selain pengertian serikat pekerja atau serikat buruh dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 disebutkan pula pengertian federasi serikat pekerja atau serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yaitu federasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja atau serikat buruh sedangkan 84 Ibid, hal 37 85 Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 86 Zaeni Ashadie, Hukum Kerja, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007, hal 22 Universitas Sumatera Utara 60 konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja atau serikat buruh. 87

d. Organisasi Pengusaha 1. KADIN Atau Kamar Dagang Dan Industri

Sejak zaman kolonial Belanda dunia usaha sudah berperan di Indonesia dengan wadah yang disebut Kamers Van Koophandel en Nijverhaid in Nederlandsc Indie berdasarkan Besluit Gubernur tanggal 29 Oktober 1863. Setelah kemerdekaan kebutuhan adanya dunia usaha dirasakan penting oleh pemerintah, sehingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1956 tentang Dewan dan Majelis Perniagaan dan Perusahaan yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 17. Dalam perkembangan selanjutnya dewan ini dipandang tidak sesuai lagi sehingga dibentuklah Musyawarah Pengusaha Nasional Swasta Banumas melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. Badan ini tidak lama berjalan karena dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Penetapan Dan Peraturan Presiden Republik Indonesia, termasuk Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tersebut. Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan Undang-Undang Nomor 49 Tahun1973 membentuk Kamar Dagang dan Industri KADIN. KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. 87 Pasal 182 ayat 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara 61 Tujuan KADIN adalah: 1. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukanya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional.

2. APINDO Atau Asosiasi Pengusaha Indonesia