Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) dalam Pembuatan Sosis dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai

(1)

IDRIS YANURIZAL SUKMANA C34070094

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

IDRIS YANURIZAL SUKMANA C34070094

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Nama : Idris Yanurizal Sukmana

NRP : C34070094

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Djoko Poernomo B,Sc Dr. Dra. Pipih Suptijah MBA NIP. 1958 0419 198303 1 001 NIP. 1953 1020 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 198503 1 002


(4)

IDRIS YANURIZAL SUKMANA. C34070094. Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah dalam Pembuatan Sosis dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai.

Di bawah bimbingan Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah MBA. 2012

Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Salah satu ikan yang cukup digemari adalah ikan nila merah. Upaya untuk meningkatkan konsumsi dan pendayagunaan hasil perikanan khususnya ikan nila merah, dengan cara diversifikasi olahan. Sosis merupakan makanan yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan hipertensi. Sosis yang terdapat di pasaran terbuat dari daging sapi dan ayam yang memiliki kandungan lemak relatif tinggi. Untuk menanggulangi hal tersebut maka diupayakan membuat sosis yang sehat dengan menggunakan bahan baku daging ikan nila merah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan diversifikasi produk perikanan, khususnya ikan nila merah menjadi produk olahan berupa sosis ikan, menentukan konsentrasi bahan pengikat (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Tahapan penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variabel yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan berupa pembuatan surimi terbaik dan penelitian utama berupa pembuatan sosis. Tujuan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan kekuatan gel yang terbaik pada surimi ikan nila merah. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali). Tujuan penelitian utama adalah menentukan konsentrasi bahan pengikat (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Hasil pencucian daging lumat yang menghasilkan karakteristik surimi terbaik ditambahkan ISP dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu konsentrasi ISP 10%, 13%, 16% dan 19%.

Berdasarkan analisis ragam dan Kruskal-wallis pada penelitian pendahuluan didapatkan frekuensi pencucian terpilih sebanyak dua (2) kali dengan hasil pengujian protein larut garam 6,67%, kekuatan gel 948,03 gf, uji gigit 8,47 dan uji lipat 4,73. Pada penelitian utama didapatkan sosis terbaik berdasarkan uji hedonik atau kesukaan adalah penambahan konsentrasi ISP sebesar 13% dengan nilai parameter warna 6,8, rasa 6,9, aroma 6,8, penampakan 6,77, tekstur 6,3. Sosis dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% memiliki karakteristik fisik uji lipat sebesar 3,67; uji gigit sebesar 6,27; kekuatan gel 314,23 gf; WHC 76,73 % serta kimia berupa stabilitas emulsi sebesar 69,48 % dan analisis


(5)

ditambahkan dalam adonan sosis perlu dikurangi untuk mengurangi kadar air dalam produk dengan mengatur kembali proporsi bahan-bahan yang ideal. Selain itu, perlu adanya penambahan bahan pewarna alami yang tidak merubah cita rasa untuk meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk sosis tersebut seperti umbi bit (Beta vulgaris), manggis (Garcinia mangostana), rosella (Hibiscus sabdariffa), kol ungu (Brassica oleracea) dan wortel (Daucus carota). Adapun dalam pengujian uji emulsi dapat menggunakan spektrofotometer untuk melihat kestabilan emulsi secara mikroskopis.


(6)

Idris Yanurizal Sukmana dilahirkan di Cianjur pada tanggal 24 Januari 1990 dari pasangan Ir. Kurnianto MM (Alm) dan Drh. Uswatun Chasanah sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Pertiwi 1 pada tahun 1995 dan dilanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu Sekolah Dasar. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2001 di SDN 2

Teladan Rawa Laut, Bandar Lampung. Sebelumnya, penulis bersekolah di SD Negeri 1 Palembang dan SD Negeri Bangka 3. Penulis melanjutkan

pendidikan formal ke tingkat Sekolah Menengah Pertama. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun ajaran 2001/2002 dan melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 3 Bogor sampai tahun ajaran 2003/2004. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Bogor sampai dengan tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dengan jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam kepengurusan Himpunan Profesi HIMASILKAN sebagai staff divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia pada periode 2009 dan melanjutkan kepengurusan selanjutnya sebagai Ketua Umum pada periode 2010. Selain itu, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) tahun 2010.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang

berjudul “PEMANFAATAN SURIMI IKAN NILA MERAH

(Oreochromis sp) DALAM PEMBUATAN SOSIS DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI” dengan dosen


(7)

(8)

iii

Skripsi ini berjudul “PEMANFAATAN SURIMI IKAN NILA MERAH

(Oreochromis sp) DALAM PEMBUATAN SOSIS DENGAN

PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI” yang merupakan salah satu syarat kelulusan pada Program Strata-1 Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1 Bapak Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Ibu Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan laporan skripsi.

2 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl. Biol selaku penguji yang telah memberikan saran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan laporan skripsi.

3 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Kepala Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4 Bapak Zacky, Ibu Emma dan Bapak Arya selaku laboran laboratorium Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Departemen Biokimia yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

5 Isabel Patricia, Nisa Nantami dan Salman Alfaris atas kebersamaan yang luar biasa, dimana kita saling mendukung di kala lelah, saling berbagi di kala suka cita. Terimakasih atas jalinan persaudaraan yang semakin terjalin, semoga kita selalu mengingat setiap langkah-langkah yang telah kita lalui bersama. 6 Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff, dosen dan Tata

Usaha (TU), serta teman-teman 43, 44 dan 45 yang telah memberikan dorongan dan semangat.

7 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Terima kasih atas bantuan dan bimbingannya selama pelaksanaan dan penyusunan skripsi


(9)

iv

diharapkan dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2012


(10)

v

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Merah ... 3

2.2 Surimi ... 4

2.3 Sosis ... 5

2.4 Bahan Pembantu ... 7

2.4.1 Bahan pengisi dan pengikat ... 7

2.4.2 Lemak ... 7

2.5 Bahan Tambahan ... 8

2.5.1 Air ... 8

2.5.2 Gula ... 8

2.5.3 Garam ... 9

2.5.4 Lada putih... 9

2.5.5 Bawang putih ... 10

2.5.6 Bawang merah ... 11

2.5.7 Jahe ... 11

2.6 Emulsi ... 11

2.7 Selongsong... 14

3 METODOLOGI ... 16

3.1 Waktu dan Tempat... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 16

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.3.1 Penelitian pembuatan gel ikan nila merah ... 17

3.3.2 Penelitian pembuatan sosis ikan nila merah... 19

3.4 Prosedur Analisis ... 21

3.4.1 Rendemen ... 21

3.4.2 Uji organoleptik ... 21


(11)

vi

3.4.7 Uji stabilitas emulsi ... 23

3.4.8 Analisis proksimat ... 23

3.4.9 Analisis data ... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) ... 27

4.1.1 Rendemen ... 27

4.1.2 Uji lipat... 28

4.1.3 Uji gigit ... 28

4.1.4 Protein larut garam ... 30

4.1.5 Kekuatan gel... 31

4.2 Penelitian Pembuatan Sosis Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) ... 32

4.2.1 Karakteristik sensori... 32

4.2.1.1 Warna ... 33

4.2.1.2 Rasa ... 34

4.2.1.3 Aroma ... 35

4.2.1.4 Penampakan ... 36

4.2.1.5 Tekstur ... 37

4.2.2 Karakteristik fisik ... 38

4.2.2.1 Uji lipat ... 38

4.2.2.2 Uji gigit ... 40

4.2.2.3 Kekuatan gel ... 41

4.2.2.4 Water holding capacity ... 42

4.2.3 Karakteristik kimia ... 44

4.1.3.1 Stabilitas emulsi ... 44

4.1.3.2 Proksimat ... 45

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(12)

vii

Nomor Halaman

1 Jenis-jenis sosis ... 6

2 Spesifikasi persyaratan mutu lada putih ... 10

3 Rendemen daging dan surimi ikan nila merah ... 27


(13)

viii

Nomor Halaman

1 Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) ... 3

2 Emulsi minyak dalam air ... 12

3 Diagram alir penelitian pembuatan gel ikan nila merah (Oreochromis sp) .. 18

4 Diagram alir penelitian pembuatan sosis ikan nila merah ... 20

5 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan nila merah ... 28

6 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan nila merah ... 29

7 Histogram nilai rata-rata uji protein larut garam ... 30

8 Histogram nilai rata-rata uji kekuatan gel gel ikan nila merah ... 31

9 Histogram nilai rata-rata parameter warna sosis ikan nila merah... 33

10 Histogram nilai rata-rata parameter rasa sosis ikan nila merah ... 34

11 Histogram nilai rata-rata parameter aroma sosis ikan nila merah ... 35

12 Histogram nilai rata-rata parameter penampakan sosis ikan nila merah ... 36

13 Histogram nilai rata-rata parameter tekstur sosis ikan nila merah ... 37

14 Histogram nilai rata-rata parameter uji lipat sosis ikan nila merah ... 39

15 Histogram nilai rata-rata parameter uji gigit sosis ikan nila merah ... 40

16 Histogram nilai rata-rata parameter kekuatan gel sosis ikan nila merah ... 41

17 Histogram nilai rata-rata parameter WHC sosis ikan nila merah ... 43 18 Histogram nilai rata-rata parameter stabilitas emulsi sosis ikan nila merah . 44


(14)

ix

Nomor Halaman

1 Perhitungan T-statistik uji gigit dan uji lipat ... 52

2 Perhitungan ANOVA uji gigit dan uji lipat ... 52

3 Perhitungan Duncan uji gigit dan uji lipat ... 53

4 Perhitungan protein larut garam ... 53

5 Analisis ragam PLG ... 54

6 Data kekuatan gel pendahuluan ... 54

7 Analisis ragam kekuatan gel pendahuluan ... 54

8 Kurva Texture Analyze gel ikan nila merah pencucian 1 kali ... 55

9 Kurva Texture Analyze gel ikan nila merah pencucian 2 kali ... 55

10 Kurva Texture Analyze gel Ikan nila merah pencucian 3 kali ... 56

11 Perhitungan T-statistik uji kesukaan sosis ... 56

12 Perhitungan ANOVA uji kesukaan ... 57

13 Perhitungan Duncan sosis ikan ... 58

14 Data stabilitas emulsi ... 59

15 Analisis ragam stabilitas emulsi ... 59

16 Data kadar air sosis ikan nila merah ... 60

17 Data WHC sosis ikan nila merah ... 60

18 Analisis sidik ragam WHC sosis ikan nila merah ... 61

19 Data kekuatan gel utama ... 62

20 Analisis ragam kekuatan gel utama... 62

21 Perhitungan proksimat ... 63

22 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 10% ... 63

23 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 13% ... 63

24 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 16% ... 64

25 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 19% ... 64

26 Grafik kenormalan protein larut garam ... 65


(15)

x


(16)

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang beralih ke produk perikanan yang dianggap aman untuk dikonsumsi.

Salah satu produk perikanan yang cukup digemari adalah ikan nila merah. Produksi budidaya nila dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kenaikan sekitar 19,91 % per tahun, dari 46.627 ton pada 2000 menjadi 97.116 ton pada 2004. Produksi ikan nila tahun 2007 mencapai 206.904 ton, dan tahun 2008 telah mencapai 220.900 ton. Produksi ikan nila tahun 2009 ditargetkan sebesar 295.000 ton. Tahun 2005, di Jawa Barat mampu memproduksi sebanyak 49.092 ton ikan nila atau sekitar 21,24 % dari total produksi ikan air tawar di propinsi tersebut. Produksi ikan nila menduduki urutan kedua dari 13 jenis ikan yang dibudidayakan. Permintaan ikan nila dalam setahun bisa mencapai 200.000 ton (Poernomo 2009).

Seiring perkembangan aktivitas dan kesibukan saat ini, makanan cepat saji sangat diminati oleh masyarakat luas. Sosis merupakan bahan makanan yang dikenal sejak 500 tahun sebelum masehi, terutama di kawasan jepang. Istilah sausage (sosis) berasal dari bahasa latin salsus yang berarti digarami atau lebih jelasnya pengawetan dengan garam. Sosis merupakan produk emulsi daging ikan giling yang digarami, ditambah bahan pengisi dan minyak serta bumbu-bumbu, bersifat kenyal dengan bentuk silinder berukuran seragam dengan menggunakan pembungkus khusus (Price, 1986).

Sosis dibuat dikarenakan berbagai hal, yaitu melihat aktivitas masyarakat saat ini yang begitu sibuk sehingga ingin mengkonsumsi makanan yang praktis. Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan


(17)

hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Sosis yang terdapat di pasaran terbuat dari daging sapi dan ayam yang memiliki kandungan lemak relatif tinggi (Suratmo, 2008).

Untuk menanggulangi hal tersebut maka diupayakan membuat sosis yang sehat dengan menggunakan daging olahan ikan. Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya mengandung mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh. Protein dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita yang telah rusak. Selain itu, protein merupakan bagian utama dari susunan (komposisi) tubuh kita. Protein dalam ikan berguna untuk mempercepat pertumbuhan badan (baik tinggi maupun berat), meningkatkan daya tahan tubuh, mencerdaskan otak atau mempertajam pikiran dan meningkatkan generasi/keturunan yang baik. Ikan memiliki kadar protein yang tinggi yaitu sekitar 20 %. Di samping itu protein yang terkandung dalam ikan mempunyai mutu yang baik, sebab sedikit mengandung kolesterol dan sedikit lemak.

Oleh karena itu, upaya pengembangan produk olahan ikan perlu ditingkatkan, melihat kegemaran masyarakat saat ini lebih menyukai makanan yang praktis. Selain itu, juga meningkatkan daya terima masyarakat terhadap ikan nila merah dan meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk olahan perikanan khususnya produk olahan ikan nila merah.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain mengembangkan diversifikasi produk perikanan, khususnya ikan nila merah menjadi produk olahan berupa sosis ikan, menentukan konsentrasi bahan emulsifier (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah


(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Merah

Ikan nila merah (Oreochromis sp) berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini diintroduksi dari Afrika untuk didatangkan ke Indonesia oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BPPAT) pada tahun 1969 dan menjadi ikan peliharaan populer di kolam air tawar serta beberapa waduk di Indonesia. Nila merah merupakan nama khas yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan. Ikan nila merah potensial untuk dikembangkan karena pertumbuhannya yang cepat, disukai masyarakat karena enak dagingnya. Ikan ini, juga merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar dunia (Suyanto, 1994).

Klasifikasi ikan nila (Anonim, 2008) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Su-kelas : Acanthopterigii Ordo : Perchomorphi Famili : Cichilidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis sp

Gambar ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan nila merah (Oreochromis sp) Sumber : Anonim 2008


(19)

2.2 Surimi

Surimi merupakan produk antara atau produk intermediate yang terbuat dari hasil pencucian daging ikan. Terdapat dua perbedaan antara surimi dan daging lumat yaitu, kapasitas pembentukan gel untuk membentuk tekstur yang diinginkan dan daya tahan dalam penyimpanan beku yang dapat ditambahkan gula sebagai cryoprotectants (Sonu, 1986). Setelah menjadi daging lumat, daging lumat dicuci dengan air tawar. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan yang larut air seperti protein sarkoplasmik, enzim pencernaan, bahan organik low-molekuler seperti trimetilamin oxide serta lemak dan darah untuk meningkatkan warna, aroma serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda, 1992). Surimi merupakan bahan utama dari berbagai variasi pangan olahan seperti kamaboko, chikuwa, satsumage, sosis ikan dan bola ikan (bakso), berkontribusi lebih 50% dari total bahan produksi yang digunakan. Kualitas dari produk akhir bergantung pada kualitas surimi yang digunakan. Gel merupakan karakteristik utama dari produk berbasis surimi (Nopianti, 2011).

Proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi. Frekuensi pencucian dapat memengaruhi kekuatan gel. Proses pencucian sangat diperlukan dalam tahapan pembuatan surimi untuk mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan beku. Efektifitas pencucian dapat ditentukan oleh kandungan ion garam inorganik, protein larut air serta komponen non protein yang hilang dari jaringan otot atau surimi tersebut (Matsumoto, 1992).

Pembentukan protein gel ada beberapa tipe atau macam yang dibentuk oleh ikatan polipeptida. Pemanasan menyebabkan molekul saling tidak berikatan dan interaksi antara intermolecular membentuk suatu matriks seperti gelasi. Matriks ini mempunyai system yang cukup kompleks meliputi tipe-tipe protein, lemak dan bahan-bahan lainnya seperti garam, nitrit, gula. Ada tiga tipe multi-komponen gel yaitu, filled, mixed dan kompleks. Untuk filled gel, satu makromolekul membentuk gel matriks ketika molekul lainnya berperan sebagai pengisi pada ruang interstitial. Molekul yang sudah terisi dapat mempengaruhi tekstur dan daya ikat air. Pada kompleks gel, matriks protein dapat dibentuk akibat interaksi lebih dari satu komponen. Sebagai contoh, fibrinogen berinteraksi dengan myosin selama gelasi dan ini dapat terjadi ketika plasma darah


(20)

ditambahkan pada daging olahan. Sedangkan mixed gels terbentuk akibat proses gelasi dengan perbedaan fraksi dari protein daging atau penambahan gelling agent

(Foegeding, 1988).

2.3 Sosis

Sosis merupakan bahan makanan yang dikenal sejak 500 tahun sebelum masehi, terutama di kawasan jepang. Istilah sausage (sosis) berasal dari bahasa latin salsus yang berarti digarami atau lebih jelasnya pengawetan dengan garam. Pembuatan sosis dimulani dengan proses yang sederhana yaitu proses penggaraman dan pengeringan (Price, 1986). Berikut adalah cara pembuatan sosis:

1) Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan sosis harus dalam keadaan segar dan mempunyai mutu yang baik. Selanjutnya dilakukan penyiangan. Setelah itu daging dicuci bersih.

2) Daging ikan yang didapat kemudian digiling sehingga menghasilkan daging lumat halus. Dengan menggunakan mixer, daging lumat tersebut dicampur dengan bahan tambahan seperti tepung sebagai bahan pengisi dan minyak sebagai fase diskontinyu yang melembutkan tekstur. Dapat juga ditambahkan emulsifier seperti soy protein/lesitin atau protein yang lain serta bumbu yang sudah disiapkan. Penambahan bumbu/bahan dilakukan berturut-turut dan sedikit demi sedikit sampai adonan tercampur homogen.

3) Adonan yang sudah homogen dimasukkan kedalam stuffer, kemudian dimasukkan kedalam casing/selongsong sosis serta diikat sesuai keinginan. 4) Selanjutnya dimasak dengan air pada suhu 400-50 0C selama 20 menit

kemudian perebusan dilanjutkan dengan suhu 800-90 0C sampai matang selama 30 menit.

5) Sosis yang sudah matang digunting dari ikatan benangnya, kemudian disimpan dalam tempat yang dingin.

Sosis dibagi atas enam kategori berdasarkan atas metode pembuatannya yaitu, sosis segar, sosis asap tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis tidak dimasak tetapi diasap dan bola daging (Price, 1986). Berikut adalah penjelasan karakteristik dan contohnya dapat dilihat pada Tabel 1.


(21)

Tabel 1 Jenis-jenis sosis

No. Jenis sosis Karakteristik Contoh

1 Sosis segar Daging segar, tidak dikuring, digiling, berbumbu,

dibungkus, dimasak sebelum dihidangkan

Sosis babi segar, bratwurst, bockwurst

2 Sosis kering, semi kering

Daging kuring, mengalami fermentasi pengeringan, dapat diasap sebelum pengeringan atau dapat pula dihidangkan secara langsung

Pepperoni,chorizor, dry salami, dry cervelet, thuringer, soft salami,

mortadella, soft cervelat

3 Sosis masak Dikuring atau tidak, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak dan kadang-kadang diasap, dapat langsung dihidangkan

Sosis hati, braunschweiger

4 Sosis masak dan diasap

Daging kuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak melalui pengasapan, dapat langsung dimasak

Frankfurters, bologna, cotto salami

5 Sosis tidak dimasak tetapi diasap

Daging segar, dikuring atau tidak, dibungkus, diasap, harus dimasak sebelum dihidangkan

Mettwurst,kielbasa

6 Bola daging (cooked meat specialtres)

Daging mutu tinggi, dikuring atau tidak dimasak, jarang diasap, dapat langsung dihidangkan

Loaves,head cheese,Scrapple


(22)

2.4 Bahan Pembantu

Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, citarasa untuk mengendalikan keasaman, kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa. Bahan pembantu yang digunakan adalah bahan pengisi, bahan pengikat, lemak dan bahan tambahan lainnya.

2.4.1 Bahan pengisi dan pengikat

Bahan pengisi yang umum digunakan dalam sosis adalah tepung, biji-bijian dan pati yang diekstraksi dari tepung-tepungan, salah satunya tepung tapioka. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi amilopektin bertanggung jawab atas keteguhan gel. Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin berperan dalam produk olahan. Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan maka semakin lekat produk olahannya (Winarno, 1997).

Tepung tapioka atau tepung kanji adalah tepung yang terbuat dari ubi kayu atau singkong. Pembuatan dilakukan dengan cara diparut, diperas, dicuci, diendapkan, diambil sari patinya, lalu dijemur/keringkan. Sifat tepung kanji, apabila dicampur dengan air panas akan menjadi liat/seperti lem. Tepung tapioka disebut juga tepung kanji atau tepung sagu (sagu singkong). Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis kue karena sifat yang dimiliki tepung tersebut. Adapun sifat fisikimia pati tapioka adalah sebagai berikut, rasio amilosa dan amilopektin adalah 17% amilosa dan 83% amilopektin, bentuk granula semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut, ukuran 5-35 µm, suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64 oC, kristalisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm, kelarutan 31% (Nita, 2011).

2.4.2 Lemak

Sumber-sumber lemak dan minyak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sumber dari tumbuh-tumbuhan yang meliputi biji-bijian dari tanaman tahunan seperti kedelai, biji kapas, kacang tanah, rape seed dan bunga matahari serta pohon-pohon yang menghasilkan minyak seperti pohon palem penghasil minyak


(23)

zaitun dan minyak kelapa. Sumber lainnya adalah sumber hewani meliputi babi, sapi, sardine, ikan herring (Buckle et al. 1978).

Perbedaan utama antara lemak nabati dan lemak hewani adalah kandungan sterolnya, dimana lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol (Winarno, 1997).

Lemak dan minyak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Lemak dan minyak yang digunakan dalam makanan sebagian besar adalah trigliserida merupakan ester dari gliserol dan berbagai asam lemak. Komponen-komponen lain yang mungkin terdapat, meliputi fosfolipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti klorofil dan karotenoid. Peran daripada lemak dalam makanan manusia dapat merupakan zat gizi yang menyediakan nafsu makan atau dapat membantu memperbaiki tekstur dari bahan yang diolah. Istilah lemak biasanya digunakan untuk campuran trigliserida yang berbentuk padat pada suhu ruangan sedangkan

minyak berarti campuran trigliserida cair pada suhu ruangan (Buckle et al. 1978).

2.5 Bahan Tambahan

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan ini antara lain garam, jahe, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah, ISP.

2.5.1 Air

Air merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan dalam proses pembuatan pangan. Dalam pengolahan dibutuhkan air yang bermutu lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan air minum untuk meminimalisir kontaminan dan semua bahan-bahan di dalam air yang mungkin dapat mempengaruhi penampakan, rasa dan stabilitas hasil akhir, penyesuaian pH pada tingkat yang diinginkan, dan mutu air yang konsisten (Buckle et al. 1978).

2.5.2 Gula

Pemberian gula akan mempengaruhi citarasa yaitu meningkatkan rasa manis, kelezatan, dapat mempengaruhi aroma, tekstur daging dan mampu


(24)

menetralisir garam yang berlebihan serta penambahan energi. Selain itu, gula juga memiliki daya larut yang sangat tinggi, kemampuan mengurangi keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan meningkatkan air sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan citarasa pada makanan. Penambahan gula akan juga akan mempengaruhi pelepasan gas karena lepasnya gas CO2 dalam gelembung-gelembung besar (Buckle et al. 1978).

2.5.3 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada pembuatan suatu produk. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan, dan tradisi daripada keperluan. Makanan yang mengandung garam

kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi (Winarno, 1997). Selain itu, garam juga berfungsi sebagai pengawet karena

garam berperan sebagai penghambat selektif terhadap mikroorganisme pencemar tertentu. Garam mempengaruhi aktifitas air (Aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh racunnya. Penambahan garam akan menyebabkan kondisi anaerobic yang terbentuk (Buckle et al. 1978).

2.5.4 Lada putih

Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin. Persyaratan mutu lada putih menurut SNI (2005), dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.


(25)

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu lada putih

Sumber: SNI (1995)

2.5.5 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin, yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin seperti thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B,

vitamin C. Namun mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo, 1999).

No Jenis uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

1 Cemaran binatang - Bebas dari serangga hidup maupun mati serta bagian-bagian yang berasal dari binatang Bebas dari serangga hidup maupun mati serta bagian-bagian yang berasal dari binatang

2 Warna - Putih

kekuning-kuningan Putih kekuning-kuningan, putih keabu-abuan atau putih kecoklat-coklatan 3 Kadar benda asing,

(b/b)

% Maks. 1,0 Maks. 1,0

4 Kadar biji enteng, (b/b)

% Maks. 2.0 Maks. 3,0

5 Kadar cemaran

kapang, (b/b)

% Maks. 1,0 Maks.1,0

6 Kadar lada berwarna kehitam-hitaman. (b/b)

% Maks. 1.0 Maks. 2.0

7 Kadar air, (b/b) % Maks. 13.0 Maks.14,0

8 Kadar piperin, (b/b) % Dicantumkan sesuai dengan hasil analisa

Dicantumkan sesuai dengan hasil analisa 9 Kadar minyak atsiri,

(v/b)

% Dicantumkan sesuai dengan hasil analisa

Dicantumkan sesuai dengan hasil analisa


(26)

2.5.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.)

Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin (Wibowo, 1999).

2.5.7 Jahe (Zingiber officinale)

Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka keperluan lainnya. Kegunaan jahe antara lain dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sifat khas jahe disebabkan terdapatnya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Minyak atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1-3%. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan zingiberol. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas yang tidak menguap. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri dan resin. Pemberi rasa pedas dalam jahe yang utama adalah zingerol. Bagian tumbuhan jahe yang digunakan adalah rimpang. Kandungan kimia dari rimpang jahe yaitu minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren. Disamping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang, 2008).

2.6 Emulsi

Emulsi adalah suatu disperse atau suspense cairan dalam cairan yang lain dengan molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Pada suatu emulsi terdapat tiga bagian utama, yaitu bagian yang terdispersi terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari lemak dikenal dengan


(27)

fase diskontinu, bagian kedua disebut media pendispersi dikenal sebagai fase kontinu yang biasanya terdiri dari air dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Senyawa ini molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut (Winarno, 1997).

Pada perkembangannya memang diketahui bahwa sosis merupakan emulsi minyak dalam air (o/w). Dalam emulsi sosis, lemak atau minyak berperan sebagai fase diskontinyu sedangkan air berperan sebagai fase kontinyu dan protein sebagai emulsifier. Kriteria terpenting dalam pembuatan sosis adalah kestabilan emulsi. Suatu emulsi dikatakan stabil apabila partikel-partikel yang terdispersi tidak atau sedikit mempunyai kecenderungan untuk bersatu lagi sehingga terbentuk lapisan yang terpisah (Wilson, 1981).

Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air maka dapat lebih membantu terjadinya disperse minyak dalam air. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak terjadilah emulsi air dalam minyak. Cara kerja dari emulsifier yakni bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang non polar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak sedangkan bagian yang polar menghadap kepelarutan (air) (Winarno, 1997). Berikut adalah gambar emulsi minyak dalam air dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Emulsi minyak dalam air Sumber : Anonim, 2008


(28)

Partikel lemak biasanya berukuran subselular yang tersuspensi dalam protein. Hal ini dapat terjadi karena adanya ikatan hidrophilik yang saling berikatan dalam air dan ikatan lipophilik yang saling berikatan dalam lemak. Protein sarkoplasma dan myofibril dapat membentuk emulsifikasi. Protein myofibril akan lebih dahulu diserap ke dalam permukaan lemak atau air. Protein myofibril, myosin, akan terpisah dari aktin di dalam protein yang siap untuk diserap. Ketika protein myofibril terlibat dalam proses emulsifikasi, protein tersebut akan kehilangan kemampuan untuk mengikat air. Ketika partikel lemak tersebut diselubungi oleh protein maka emulsi tersebut sudah terbentuk, emulsi ini akan stabil ketika terjadi denaturasi protein pada saat pemasakan. Protein myofibril akan membentuk gel yang kompak sedangkan protein sarkoplasmik akan membentuk gel yang lemah. Oleh karena itu, protein sarkoplasmik tidak berkontribusi dalam kestabilan produk (Price, 1986).

Protein myofibril berfungsi untuk mengikat air dalam pembesaran struktur protein. Kemampuan mengikat air akan meningkat dengan meningkatnya jumlah muatan negative seperti meningkatnya pH di bawah titik isoelektik. Penambahan garam dan alkali phosphates akan meningkatkan pembesaran struktur protein. Gerakan mekanikal selama meningkatnya pembesaran struktur protein akan membantu ekstraksi protein terlarut yang membentuk permukaan lemak. Pembesaran dan eksrtraksi protein akan lebih efektif pada temperature dingin sekitar 30C (Rust, 1986).

Salah satu bahan pengemulsi adalah isolat soy protein (ISP) atau isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandunan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95 %. Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam biaya, nutrisi dan proses. Isolat soy protein memberikan emulsifikasi dan viskositas yang tinggi serta stabil pada konsentrasi garam yang tinggi dalam proses brining. Selain itu, isolat soy protein dapat digunakan untuk menggantikan porsi protein larut garam, bahan


(29)

pengikat lemak dan air, menstabilkan emulsi dan menjaga struktur protein pada masakan daging isolat soy protein mengandung pengikat air dan lemak sebagai pembentuk tekstur produk emulsi (Young, 1980).

Struktur isolat soy protein mengandung sedikitnya 80% protein yang terdiri dari globulin, conglycinin dan glycinin. Conglycinin merupakan kuartener trimerik glycoprotein dengan berat molekuler 141 sampai 171 kdaltons, tersusun dari tiga subunit yang terikat oleh interaksi hydrophobic. Conglycin memiliki dua rangkaian intramolekular disulfide dan mengandung 5% karbohidrat. Dengan demikian, conglycinin mengandung amphiphilik untuk membentuk aktivitas permukaan dan ikatan rasa yang baik. Glicinin terdiri dari dua unit, 6-hydrophobical yang berasosiasi dengan bagian rantai acidic disulfide dan subunit dasar. Amidasi dari jumlah residu aspartic dan glutamic untuk tingkat kelarutan alkali dari subunits dasar. Subunit acidic mempunyai rata-rata satu sampai tiga ikatan disulfide pel mole dan lebih stabil terhadap panas daripada subunit dasar serta mempunyai satu sampai dua residu cystein. Glicinin mengandung dua unsur, gugus thiol bebas yang terdapat pada permukaan dan dapat dilibatkan dalam pertukaran thiol-disulfida. Contohnya, dalam gelatin formasi dari intermolekuler-disulfida menghasilkan ikatan yang meningkat, tapi menyebabkan polimerisasi dan mengurangi kemampuan ekstraksi dan kelarutan (Kinsella, 1979).

2.7 Selongsong

Selongsong (casing) merupakan pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Terdapat tiga jenis selongsong (casing) yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet, contohnya adalah casing usus sapi ataupun usus kerbau. Casing kolagen biasanya dibuat dari regenerasi lapisan corium kulit jangat daging sapi. Keuntungan dari penggunaan selongsong ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak


(30)

dimakan. Saat ini telah dikembangkan polyamid casing, yaitu selongsong yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak (Astawan, 2008).

Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk serta ukuran sosis yang diperlukan. Selongsong atau casing yang digunakan dalam pembuatan sosis ada beberapa macam, yaitu selongsong alami dan selongsong artificial atau buatan. Selongsong alami dibuat dari kolagen. Selongsong alami dibuat dari saluran pencernaan hewan antara lain, sapi, domba atau kambing. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan sehingga penyimpanan dilakukan dalam perendaman air garam dan direndam selama sehari penuh dalam refrigerator. Hal ini menyebabkan selongsong lebih lembut dan mudah untuk diisi. Setelah pengisian, selongsong sebaiknya dikemas dengan air garam dan disimpan. Selongsong buatan terdiri dari selongsong kolagen, plastik atau selulosa dan sintetik fibrosa. Selongsong kolagen bersifat alami, dapat dimakan dan memiliki kekuatan elastisitas yang lebih besar. Penggunaan selongsong kolagen digunakan untuk meningkatkan pendapatan dan produksi dalam waktu yang lebih singkat. Selongsong plastik atau selulosa mempunyai elastisitas yang kuat tetapi tidak dapat dimakan. Selongsong sintetik mempunyai kekuatan elastisitas tinggi dan cukup mahal. Selongsong ini dapat diisi tanpa terjadi putus ditengah (Anonim, 2008).


(31)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Agustus 2011 bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia, Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, talenan, baskom, kain blacu, termometer, mortar, timbangan digital, food processor, grinder, stuffer, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, destilator, tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse dingin, syringe, selongsong lemak, labu lemak dan kondensor, homogenizer, pipet, autoclave, texture analyzer, kertas Whatman no.1.

Bahan yang digunakan meliputi ikan nila merah (Oreochromis sp) yang didapatkan dari kolam Budidaya Perairan Darmaga dengan ukuran size 4 dan harga RP. 16.000/kg, gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih, lemak sapi, air es, jahe, STPP 0,25%; H2SO4 pekat, NaOH 40%, N2S2O3 5%, asam borat (H3BO3) 4%, HCL 0,02 N.

3.3 Metode Penelitian

Tahapan penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variabel yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.


(32)

3.3.1 Penelitian pembuatan gel ikan nila merah

Tujuan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan kekuatan gel yang terbaik pada surimi ikan nila merah. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan penambahan cryoprotectant berupa STPP 0,25% untuk tiap perlakuan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hasil terbaik yaitu dengan pengujian uji lipat, uji gigit, protein larut garam dan kekuatan gel. Selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut pada penelitian utama.

Prosedur penelitian pendahuluan sebagai berikut, pertama-tama ikan nila merah disiangi dengan menghilangkan sisiknya dan dicuci bersih. Selanjutnya ikan di-fillet untuk mendapatkan slice daging yang diteruskan dengan skinless atau penghilangan kulit. Daging fillet yang didapatkan selanjutnya digiling dengan menggunakan meat grinder. Untuk mendapatkan surimi, daging lumat dicuci dengan air es dengan perbandingan daging lumat dan air es, 1 : 3. Frekuensi pencucian adalah sebanyak 1 kali, 2 kali dan 3 kali sebagai perlakuan pendahuluan. Selanjutnya setiap perlakuan pencucian ditambahkan cryoprotectant berupa STPP 0,25% dari bobot daging dan dilanjutkan dengan pencampuran menggunakan food processor dan didapatkan surimi yang siap diuji. Diagram alir penelitian pendahuluan berupa pembuatan gel ikan nila merah dapat dilihat pada Gambar 3.

Ikan nila merah

Pem-fillet-an Penyiangan sisik

Penggilingan Pencucian

Penghilangan kulit (skinless)


(33)

Gambar 3 Diagram alir penelitian pembuatan gel ikan nila merah (Oreochromis sp).

Pencucian 1 kali, 2 kali dan 3 kali dengan air es. Perbandingan air es dan daging : 3 : 1 ± 10 menit

Penambahan cryoprotectant 0,25%

Surimi Uji Protein Larut

Pencampuran sampai homogen

Penambahan garam

Pencampuran sampai homogen

Pemasukan dalam cetakan gel

Perebusan dengan suhu 400-50 0C selama 20 menit dilanjutkan suhu 800-90 0C selama 30

menit

Penirisan dan pendinginan

Gel ikan nila merah

Uji Lipat Uji Gigit Uji Kekuatan


(34)

3.3.2 Penelitian pembuatan sosis ikan nila merah

Tujuan penelitian utama adalah menentukan konsentrasi bahan pengemulsi (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Hasil pencucian daging lumat yang menghasilkan karakteristik surimi terbaik ditambahkan ISP dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu konsentrasi ISP 10%, 13%, 16% dan 19%. Prosedur penelitiannya adalah pertama-tama ikan nila merah disiangi dengan menghilangkan sisiknya dan dicuci bersih. Selanjutnya ikan di-fillet untuk mendapatkan slice daging yang diteruskan dengan skinless atau penghilangan kulit. Daging fillet yang didapatkan selanjutnya digiling dengan menggunakan meat grinder. Untuk mendapatkan surimi, daging lumat tersebut dicuci dengan air es dengan perbandingan daging lumat dan air es, 1 : 3 selama 10 menit. Frekuensi pencucian menggunakan perlakuan pencucian terbaik dalam penelitian pendahuluan Selanjutnya ditambahkan cryoprotectant berupa STPP 0,25% dari bobot daging dan dilanjutkan dengan pencampuran menggunakan food processor dan didapatkan surimi.

Dilanjutkan dengan pencampuran bumbu-bumbu seperti gula halus, garam, bawang merah, bawang putih, lada, jahe, tepung tapioka, lemak sapi dan ISP sebagai perlakuan. Bahan-bahan diadon dan dimasukkan dalam stuffer untuk dicetak. Selanjutnya, adonan yang telah dicetak direbus dengan suhu 400-50 0C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan perebusan kedua dengan suhu 800-90 0C selama 30 menit. Sosis yang sudah masak selanjutnya didinginkan dan ditiriskan. Sosis ikan nila merah siap untuk diuji.

Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi ISP (Isolat Soy Protein) terbaik yaitu dengan pengujian sensori (warna, rasa, aroma, tekstur, penampakan), uji lipat dan uji gigit. Selain itu, dilakukan pula analisis kimia untuk mengetahui proksimat dari sosis ikan terbaik yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat serta uji emulsi, WHC dan kekuatan gel. Diagram alir pembuatan sosis ikan pada penelitian utama berupa pembuatan sosis ikan nila merah dapat dilihat pada Gambar 4.


(35)

Gambar 4 Diagram alir penelitian pembuatan sosis ikan nila merah (Oreochromis sp).

Pencampuran Ikan nila

Penyianga

Pe-fillet-an dan skinless

Penggilingan

Gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih, jahe, tepung tapioka, lemak sapi,

Pemasukan dalam selongsong

Sosis nila merah

Uji Organoleptik, Uji Proksimat, Uji Emulsifier Uji Kekuatan Gel Uji Water Holding capacity

 Penambahan ISP 10%

 Penambahan ISP 13%

 Penambahan ISP 16%

 Penambahan ISP 19%

Pendingin

Perebusan dengan suhu 400-50 0Cselama 20 menit dilanjutkan suhu 800-90 0C selama 30

Pencucian terbaik Daging lumat

Surimi


(36)

3.4 Prosedur Analisis

Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif. Analisis obyektif yang dilakukan meliputi analisis kimia dan analisis fisik. Analisis kimia meliputi analisis proksimat dilakukan untuk sosis daging ayam (pembanding), sosis nila merah dengan hasil penerimaan panelis terbaik yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Sedangkan analisis secara subyektif dengan cara uji organoleptik.

3.4.1 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan nila dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berikut:

Rendemen daging (%) = bobot daging x 100% bobot total

3.4.2 Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Dalam penelitian ini digunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan uji perbandingan berpasangan yaitu dengan cara menyajikan sosis ikan yang dihasilkan dengan sosis daging yang komersial dengan pemberian kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan daya oles. Parameter rasa dinilai pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma sosis. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat selai dimakan, dan uji lipat dilakukan dengan melipat sosis dan diamati kondisinya.

3.4.3 Daya mengikat air (DMA) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992)

Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan di kertas saring dan dijepit dengan carverpress,


(37)

yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Berat air : Luas area basah  8,0

0,0948

3.4.4 Kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002)

Kekuatan gel dapat diukur dengan alat Reoner RE-3305 dengan luatan amatan 400 x 0,01 mm; sensitifitas 0,5 v; kecepatan putar mesin 0,5 mm/s dan kecepatan mencetak grafik 40 mm/min. Kekuatan gel memiliki satuan gramforce (gf). Nilai konversi yang digunakan sebesar 25 gf.

3.4.5 Analisis protein larut garam (PLG) (Wahyuni 1992)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). Setelah itu disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 0C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. sebanyak 1 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode mikro Kjeldahl.

Kadar PLG (%) = Keterangan:

A = Volume titrasi HCl sampel (ml) B = Volume titrasi HCl blanko (ml) fp = faktor pengenceran

3.4.6 Uji lipat dan uji gigit (Shaviklo 2006)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji Lipat dan uji gigit dapat dilakukan dengan tangan dan gigitan menggunakan gigi depan. Uji lipat dilakukan dengan melipat contoh irisan dengan tebal ± 5 mm secara perlahan sampai terlihat retakan-retakan. Hasil irisan tersebut dilipat dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati kondisinya. Hasil pengamatan pada bagian lipatan dikonversikan dengan score


(38)

sheet yang telah disediakan. Uji gigit dapat dilakukan dengan menggigit contoh dengan gigi depan untuk mengevaluasi elastisitas contoh. Hasil pengamatan pada bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan.

3.4.7 Uji emulsi ( Sathe dan Salunkhe 1981 diacu dalam Wahyuni 1992)

Uji emulsi ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas panas emulsi. Sampel sebanyak 10 gram disuspensikan ke dalam 50 ml air. Tambahkan minyak, aduk-aduk di dalam ruang waring blender berkecepatan tinggi selama 2 menit. Emulsi dituangkan ke dalam tabung-tabung sentrifuse. Kemudian tabung sentrifuse ditempatkan dalam penangas air 25 °C selama 30 menit, sebelum disentrifus. Selanjutnya tabung-tabung sentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 145 rpm. Stabilitas emulsi dilakukan dengan cara suspense yang telah diaduk dalam waring blender (seperti pada pengukuran aktivitas emulsi) dituangkan ke dalam dua tabung sentrifuse. Emulsi tersebut dipanaskan pada suhu 80 °C selama 30 menit, lalu didinginkan dalam penangas air 25 °C, sebelum disentrifus. Sentrifus dilakukan selama 30 menit. Aktifitas emulsi dinyatakan dalam %. Stabilitas emulsi dinyatakan dalam % campuran emulsi setelah pemanasan.

3.4.8 Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap ikan patin meliputi: kadar air, abu, protein dan lemak.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 1020-105 0C selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Kemudian cawan dan sampel seberat 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 1020-105 0C selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air:


(39)

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Tahap yang dilakuakan adalah cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram yang telah dihomomogenkan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 105 0C sampai tidak berasap. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan abu porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Perhitungan kadar abu:

% Kadar abu: x 100% Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.


(40)

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

Perhitungan jumlah nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = x 100%

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

% Kadar lemak = x 100%

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)


(41)

3.4.9 Analisis Data (Steel and Torrie 1980)

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis konsentrasi Isolat Soybean Protein adalah analisis Kruskal-Wallis. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistical Package For Social Science (SPSS) pada komputer.

Model Rancangan : Yij = µ + Ai + Ɛij Keterangan :

Yij : Respon pengaruh A taraf ke-i pada ulangan ke-k µ : Nilai tengah umum/rataan

Ai : Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

Ɛij : Pengaruh galat percobaan

Bentuk hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut :

H0 : Perbedaan konsentrasi ISP tidak memberikan pengaruh terhadap mutu sosis ikan nila merah yang dihasilkan

H1 : Perbedaan konsentrasi ISP memberikan pengaruh terhadap mutu sosis ikan nila merah yang dihasilkan

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut. Data hasil diuji di analisa menggunakan statistik nonparametrik Kruskal Wallis. Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjtkan dengan uji Multiple Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang di analisis.


(42)

4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian terbaik pada surimi ikan nila merah. Penelitian ini berupa perhitungan rendemen, uji lipat, uji gigit, pengujian protein larut garam dan kekuatan gel. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan penambahan cryoprotectant berupa STPP 0,25% untuk tiap perlakuan.

4.1.1 Rendemen

Rendemen merupakan bagian yang dapat dimanfaatkan dari suatu individu atau biota. Semakin tinggi rendemennya maka nilai ekonomisnya pun akan semakin tinggi pula. Hasil perhitungan rendemen daging dan surimi ikan nila merah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rendemen daging dan surimi ikan nila merah (Oreochromis sp)

Bobot (gr) Rendemen

daging (%)

Bobot daging lumat dibagi 3 (gr)

Bobot surimi Ikan

utuh

daging (fillet)

Frekuensi pencucian

6000 1500 25 1 2 3 1 2 3

500 500 500 389 378 367

Rendemen Surimi (%) 19,45 18,9 18,35

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa rendemen daging ikan nila merah sebesar 25%, sedangkan rendemen surimi ikan nila yang dihasilkan berturut-turut sebesar 19,45%; 18,9%; 18,35%. Rendemen daging lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Filho (2010) sebesar 30%-35%. Hal ini dapat disebabkan oleh habitat atau lingkungan dan cara makan. Setelah pencucian, rendemen akan semakin berkurang akibat pelepasan atau hilangnya komponen-komponen lain seperti darah, lemak, serta protein larut air. Semakin banyak frekuensi pencucian maka akan menurunkan bobot surimi yang dihasilkan (Suzuki 1981).


(43)

4.1.2 Uji lipat

Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para panelis (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat diketahui nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian uji lipat. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 5.

4,67

4,57

4,73

4,45 4,5 4,55 4,6 4,65 4,7 4,75

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 5 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 4,73 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 4,57. Berdasarkan Gambar 5. dapat dilihat bahwa tendensi penilaian uji lipat terhadap produk gel ikan mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Uji lipat dapat dikaitkan dengan kemampuan elastisitas produk. Elastisitas produk sosis atau produk berbasis gel dapat disebabkan oleh kandungan protein myofibril yaitu aktin dan miosin, kualitas air cucian, pH daging, temperatur air, kadar air, kekuatan ionik dan tendensi hidrophilik (Sonu, 1986).

4.1.3 Uji gigit

Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk mengevaluasi resiliensi dan elastisitas surimi oleh para panelis. Uji gigit dilakukan


(44)

dengan cara menggigit bagian contoh yang memiliki ketebalan ± 5 mm dengan menggunakan gigi bagian depan dan dikonversikan ke dalam tabel yang telah disediakan (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat diketahui nilai Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian uji gigit. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 6.

8,47b

7,27a

7,53a

6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 6 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 6 menunjukkan surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali berbeda nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 3 kali. Nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai uji gigit yang terbesar yaitu, 8,47 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,27. Menurut Cross (1986) mengatakan bahwa prinsip pengujian atau evaluasi yang berkaitan dengan tekstur atau keempukan dapat dianalisis atau dieliminasi oleh para panelis yang dapat dievaluasi saat itu juga. Panelis cenderung menyukai perlakuan pencucian kedua dengan nilai tertinggi uji gigit sebesar 8,47 yang tidak terlalu keras maupun tidak terlalu lunak. Kondisi produk seperti ini dapat terjadi karena perbedaan jumlah jaringan daging, jumlah simpanan lemak, temperatur contoh dan lama waktu produk tersebut diuji. Hal-hal ini biasanya saling berhubungan saat pengujian.


(45)

4.1.4 Protein larut garam

Protein larut garam adalah protein yang akan larut dalam larutan garam tertentu berupa protein miofibril. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketaihui nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian protein larut garam. Berikut adalah hasil pengujian protein larut garam dapat dilihat pada Gambar 7.

5,13 6,67

6,92

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram nilai rata-rata uji protein larut garam surimi ikan nila merah (Oreochromis sp)

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 1 kali menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 6,92 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali sebesar 5,13. Kandungan protein larut garam atau myofibril dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas air pencucian antara lain kekuatan ionik atau konsentrasi garam inorganik, pH dan temperature. Kekuatan ionik air pencucian dapat menyebabkan daging akan cenderung mengembang. Jika kekuatan ionik air tersebut kecil maka sel-sel daging akan mengembang sehingga sulit mengeluarkan air dari surimi akan menyebabkan kandungan air surimi yang relatif tinggi (Toyoda, 1992). Hal itulah yang diduga menyebabkan semakin banyak frekuensi pencucian akan menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut. Menurut Hossain (2004) mengatakan bahwa pada proses pencucian yang berlebihan setelah protein sarkoplasmik telah dihilangkan dari daging. Pencucian selanjutnya akan


(46)

menyebabkan kehilangan lebih lanjut protein myofibril dari daging. Oleh karena itu, akan meningkatkan penggunaan air cucian dan treatment buangan air cucian serta kehilangan protein myofibril lebih lanjut.

4.1.5 Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu indeks kualitas produk yang dapat diukur berdasarkan spesies, musim dan perlakuan lainnya dengan satuan gf atau g force (Kongpun, 1999). Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui nilai Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian kekuatan gel. Berikut adalah hasil pengujian gel ikan terhadap kekuatan gel yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.

638,13a 948,03b

940,96b

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali Gambar 8 Histogram nilai rata-rata uji kekuatan gel

gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 8 menunjukkan kekuatan gel surimi dengan frekuensi pencucian 3 kali berbeda nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 2 kali, sedangkan kekuatan gel dengan pencucian 1 kali dan 2 kali tidak berbeda nyata terhadap kekuatan gel. Nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai kekuatan gel yang terbesar yaitu, 948,03 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali sebesar 648,13.


(47)

Jumlah frekuensi pencucian dapat diperlukan bergantung pada jenis ikan, komposisi dan tingkat kesegaran ikan yang ingin di proses. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan yang larut dalam air seperti protein sarkoplasmik, enzim pencernaan dan bahan organik molekular rendah setra menghilangkan lemak dan darah untuk meningkatkan kualitas warna dan aroma serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Secara umum, kekuatan gel akan meningkat sampai dengan pencucian kedua. Hal ini dapat terjadi karena diduga fungsi dari konsentrasi protein myofibril sudah tercapai pada level tertingginya sehingga proses pencucian selanjutnya tidak diperlukan untuk meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Selain itu, peningkatan konsentrasi protein dapat menyebabkan peningkatan pada kekuatan gel surimi serta kandungan lemak yang relatif tinggi dapat menurunkan kekuatan gel surimi (Reinheimer, 2010). Kandungan lemak pada daging pun akan semakin menurun ketika frekuensi pencucian ditingkatkan (Pattaravivat et al., 2008).

Menurut Sonu (1986) mengatakan bahwa peningkatan kekuatan gel dapat dilakukan dengan cara frekuensi pencucian ditingkatkan atau ditambah tetapi kenaikan kekuatan gel dapat juga dipengaruhi oleh kualitas air cucian yaitu daya isoelektrik yang berhubungan dengan tingkat tendensi hidrophilik. Jika tingkat tendensi hidrophilik rendah dapat menyebabkan penurunan kekuatan gel dan meningkatkan kadar air dalam surimi.

4.2 Penelitan Pembuatan Sosis Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)

Penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan produk sosis yang terbaik. Penelitian ini berupa uji kesukaan atau hedonik, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, Water Holding Capacity, stabilitas emulsi dan proksimat. Perlakuan pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai.

4.2.1 Karakteristik sensori

Pengujian sensori berupa uji hedonik atau uji kesukaan dapat dilakukan untuk menentukan kualitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia. Parameter yang dilakukan uji meliputi parameter warna, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Mutu sensorik pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau dapat diukur dengan proses pengindraan yaitu penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan


(48)

dengan ujung jari tangan atau pendegaran dengan telinga. Mutu organoleptik mempuyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk (Soekarto, 1990).

4.2.1.1 Warna

Warna adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig < 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter warna pada produk sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian sosis ikan nila merah terhadap karateristik warna yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9.

5,87a 6,33b

6,8c 7,07c

0 1 2 3 4 5 6 7 8

ISP 10% ISP 13% ISP 16% ISP 19%

Gambar 9 Histogram nilai rata-rata parameter warna sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 10% dan 13% tidak berbeda nyata dengan karakteristik warna sosis yang dihasilkan, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP sebesar 16% dan 19%. Sedangkan perlakuan penambahan konsentrasi protein sebesar 16% dan 19% saling berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP 10% dan 13%.


(49)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan isolat protein kedelai mengakibatkan warna produk sosis menjadi semakin gelap atau mengarah pada warna kecoklatan. Menurut Wilson (1981) penambahan bahan tambahan aditif atau bahan lainnya akan menyebabkan perubahan warna seperti bahan tambahan isolat protein kedelai. Penambahan ini akan berdampak pada warna produk yang akan semakin gelap atau kecoklatan serta memunginkan untuk mempercepat proses browning pada produk tersebut.

4.2.1.2 Rasa

Rasa adalah sesuatu sesuatu sensasi yang didapatkan oleh indera pengecap atau pencicip manusia berupa asin, asam, pahit, manis dan gurih. Rasa merupakan parameter yang sangat menentukan apakah produk tersebut dapat diterima atau tidak meskipun parameter lainnya sudah diterima atau baik. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter rasa sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil uji hedonik sosis ikan nila merah terhadap parameter rasa dapat dilihat pada Gambar 10.

6,13a 6,73b

6,9b 7,27c

5,4 5,6 5,8 6 6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4

ISP 10% ISP 13% ISP 16% ISP 19%

Gambar 10 Histogram nilai rata-rata parameter rasa sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)


(50)

Gambar 10 menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13% dan 16% tidak berbeda nyata terhadap parameter rasa pada produk sosis ikan nila merah, sedangkan berbeda nyata dengan penambahan ISP sebesar 10% dan 19%. Perlakuan penambahan isolat protein kedelai 10% berbeda nyata dengan penambahan isolat protein kedelai 19%.

Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai tertinggi terdapat pada penambahan isolat protein kedelai 10% sebesar 7,27 dan akan semakin menurun dengan seiringnya penambahan isolat protein kedelai. Rasa isolat protein kedelai yang cenderung pahit akan berakibat pada penurunan penerimaan panelis terhadap produk tersebut. Konsentrasi penggunaan ikan nila merah sebagai bahan baku utama yang semakin berkurang dapat menyebabkan rasa sosis atau produk akan semakin berkurang atau menghilang dan muncul rasa pahit. Selai itu, rasa produk pun dapat dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bumbu-bumbu yang ditambahkan. 4.2.1.3 Aroma

Aroma adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Aroma sangat menentukan penerimaan produk tersebut terhadap konsumen karena tanpa melihatnya pun konsumen dapat membayangkan seperti apa produk tersebut. Berikut adalah hasil pengujian parameter aroma sosis ikan nila merah pada Gambar 11.

6,8

6,7

6,57 6,6

6,45 6,5 6,55 6,6 6,65 6,7 6,75 6,8 6,85

ISP 10% ISP 13% ISP 16% 1SP 19%

Gambar 11 Histogram nilai rata-rata parameter aroma sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)


(51)

Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig >0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Aroma sosis ikan cenderung sama yaitu, aroma khas ikan nila yang cukup kuat serta dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan sosis ikan. Selain itu, aroma dapat disebabkan oleh bahan baku yang digunakan dan penggunaan metode pemasakan serta perlakuan sebelum pemasakan (Cross, 1986).

4.2.1.4 Penampakan

Penampakan adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Penampakan merupakan gabungan dari intrepretasi warna ataupun bentuk. Berikut adalah hasil pengujian kesukaan parameter penampakan sosis ikan nila merah yang dapat dilihat pada Gambar 12.

6,73

6,77

6,7

6,63

6,55 6,6 6,65 6,7 6,75 6,8

ISP 10% ISP 13% ISP 16% ISP 19%

Gambar 12 Histogram nilai rata-rata parameter penampakan sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)

Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig >0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Penampakan sosis ikan nila merah cenderung sama yaitu, kompak dan lentur. Penambahan isolat protein kedelai befungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur dan flavour produk


(52)

sehingga memengaruhi penampakan produk (Mervina, 2009). Selain itu, penambahan isolat protein kedelai dapat meningkatkan struktur akhir produk daging, menstabilkan proses emulsifikasi sehingga didapatkan produk yang stabil (Young, 1985).

4.2.1.5 Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas atau mutu suatu produk. Tekstur dapat dihubungkan dengan keadan atau sifat penyerapan air (juiciness) dan keempukan dari produk tersebut. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian kesukaan parameter tekstur sosis ikan nila merah yang dapat dilihat pada Gambar 13.

7,3d 6,93c

6,3b 5,5a

0 1 2 3 4 5 6 7 8

ISP 10% ISP 13% ISP 16% ISP 19%

Gambar 13 Histogram nilai rata-rata parameter tekstur sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13%, 16% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 16% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 16% berbeda nyata


(53)

dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 13% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 19% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 13% dan 16%.

Dapat dilihat pada Gambar 13 nilai tertinggi atau perlakuan yang paling disukai oleh panelis terhadap parameter tekstur adalah penambahan isolat protein kedelai sebesar 19% dengan nilai 7,3 dan akan semakin menurun seiring dengan perlakuan yang dilakukan. Kinsella (1985) bahwa isolat protein kedelai yang digunakan dalam pembuatan sosis dapat meningkatkan daya ikat air yang dapat menyebabkan kenaikan nilai tekstur. Kenaikan nilai tesktur pun akan seiring atau berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang dapat menentukan nilai tekstur atau keempukan yaitu, gigitan pertama pada saat kunyahan pertama, kemudahan produk untuk pecah ke bentuk fragmen dan jumlah residu yang tersisa setelah mengunyah. Perubahan keempukan dan sifat air produk sangat berhubungan. Produk atau daging sedikit tidak berair akibat memperpanjang proses pemasakan, begitupun dengan kempukan produk (Cross, 1986).

Adapun protein kedelai akan bercampur dengan produk untuk meningkatkan karakteristik tekstur. Efek penambahan tofu yang terbuat dari kacang kedelai berpengaruh pada peningkatan tekstur emulsifikasi gel dengan penambahan bubuk tofu. Penambahan tersebut akan meningkatkan kekuatan dan stabilitas struktur gel matriks serta retensi kelembaban. Selain itu, akan mengakibatkan struktur gel lebih tebal dan berisi (Panyathitipong, 2010).

4.2.2 Karakteristik Fisik

Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur dengan alat-alat tertentu Pengujian ini dapat dilakukan untuk menentukan kualitas elastisitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia antara. (Soekarto, 1990). Pengujian

karakteristik fisik berupa uji lipat, uji gigit, kekuatan gel serta water holding capacity.

4.2.2.1 Uji lipat

Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para


(1)

Lampiran 19 Data kekuatan gel utama

Perlakuan Ulangan Kekuatan gel (gf) Jarak (mm)

ISP 10% 1 236.1 9.722

ISP 10% 2 251.4 9.498

ISP 10% 3 253.8 9.608

ISP 13% 1 304.1 8.635

ISP 13% 2 319.5 8.715

ISP 13% 3 319.1 9.095

ISP 16% 1 290.9 7.325

ISP 16% 2 329.1 8.333

ISP 16% 3 347.3 8.092

ISP 19% 1 420.5 9.915

ISP 19% 2 478.8 9.915

ISP 19% 3 474.1 10

Lampiran 20 Analisis ragam kekuatan gel utama Sumber

Keragaman

df Rata-rata f hitung f tabel

Kode 3 233948.12 45.72 0

Galat 8 511.702

Total 12

Perlakuan N Subset

A B C

ISP 10% 3 247.1

ISP 13% 3 314.2333

ISP 16% 3 322.4333


(2)

Ulangan Kadar air

Kadar abu

Kadar Protein

Kadar Lemak

Kadar Karbohidrat

1 80.88 0.76 11.16 0.77 6.43

2 80.97 0.75 11.25 0.77 6.26

Rata-rata 80.925 0.755 11.205 0.77 6.345

Lampiran 22 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 10%

Lampiran 23 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 13%


(3)

Lampiran 24 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 16%

Lampiran 25 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan


(4)

C1 P e rc e n t 12 10 8 6 4 2 0 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0,789 6,247 StDev 2,518 N 6

A D 0,199 P-Value

PLG

Normal

Lampiran 27 Grafik kenormalan kekuatan gel (Pendahuluan)

C1 P e rc e n t 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0,707 845,7 StDev 176,3 N 9

A D 0,235 P-Value

Kekuatan gel Pendahuluan


(5)

Lampiran 28 Grafik kenormalan stabilitas emulsi C1 P e rc e n t 72 71 70 69 68 67 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0,811 69,58 StDev 0,8779 N 8

A D 0,203

P-Value

Stabilitas Emulsi

Normal

Lampiran 29 Grafik kenormalan Water Holding Capacity

C2 P e rc e n t 85 80 75 70 65 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0,531 73,70 StDev 3,923 N 8

A D 0,284 P-Value

WHC


(6)

C1

P

e

rc

e

n

t

500 400

300 200

100 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1

Mean

0,133 335,4 StDev 82,17

N 12

A D 0,536 P-Value

Kekuatan gel Utama