BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia menyakini bahwa semua yang diciptakan olehNya senantiasa berpasang-pasangan. Keadaan ini dapat dilihat dari
apa yang ada di muka bumi. Sebagai contoh diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, siang dan malam, langit dan bumi, negatif dan positif, terang dan gelap. Bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa yang paling sempurna di muka bumi yaitu manusia, juga diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodratnya manusia itu sebagai kurnia dari Tuhan
Yang Maha Esa yang saling mendekati, mencintai dan saling mengasihi. Sifat manusia yang memiliki nilai lebih daripada ciptaan Tuhan yang lainnya, diberi karunia untuk dapat
berkembang biak menjadi lebih banyak dengan dinamakan sebagai ikatan Perkawinan Malik, 2009:4.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi persyaratan serta tidak melanggar larangan dan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua dan paling pertama kali diatur
oleh aturan hukum sejak dahulu kala. Berbeda dengan aturan-aturan hukum yang ada di lembaga negara yang lainnya. Perkawinan itu suatu lembaga yang dimana hubungan antar dua jenis
manusia yang berlainan yang begitu penting dan senantiasa untuk hidup bersama. Pengertian tentang perkawinan mempunyai asas-asas yang memperkuat ikatan perkawinan dengan prinsip-
prinsip seperti tujuan perkawinan itu sendiri yakni membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal karena ikatan lahir dan batin yang saling membantu dan saling melengkapi.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga merupakan hubungan dari sebuah perkawinan yang terjalin. Setiap ikatan perkawinan yang telah dijalani, sepasang suami isteri sangat menginginkan adanya kehadiran
buah hati yang menjadi bentuk tujuan utama dilaksanakannya sebuah perkawinan. Keturunan- keturunan itu akan membentuk sebuah keluarga kecil yang memiliki kebahagiaan di setiap
rumah tangga. Ketika sepasang suami isteri dikaruniai anak dari bentuk buah perkawinan, maka akan menjadi keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau
belum kawin. Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk memberikan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan
pemeliharaan anak. Sejak era global yang semakin canggih, asas keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan,
mulai pudar di tengah-tengah keluarga beriringan dengan bergesernya fungsi-fungsi pokok keluarga sehingga perkawinan kandas di tengah jalan. Fungsi pokok keluarga itu merupakan
fungsi yang sulit dan digantikan oleh orang lain, sedangkan fungsi sosial relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan. Sehingga dapat dilihat dari angka perceraian di Indonesia
dianggap sebagai angka tertinggi di Asia-Pasifik. Sesuai data yang ada, rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Bahkan perceraian ini sudah
menjadi trend di tengah-tengah masyarakat luas. Jelas dengan apa yang kita lihat di berbagai alat komunikasi seperti televisi, koran, majalah ataupun internet banyak pasangan suami isteri yang
memutuskan ikatan perkawinan mereka di Pengadilan Agama. Nilai perkawinan pada zaman dahulu sangat tinggi. Ditandai dengan jarangnya terjadi
suatu perceraian. Perceraian yang dialami oleh pasangan suami isteri itu sebagai aib yang besar, tetapi sekarang seolah-olah perceraian itu dijadikan sebagai kebanggaan. Tidak ada yang
memastikan dengan bercerai mereka mendapatkan hidup yang lebih baik. Misalnya dengan soal
Universitas Sumatera Utara
anak, banyak pasangan suami isteri yang sudah bercerai berebut hak kuasa asuh. Sangat disayangkan anak yang menjadi korban atas perceraian yang dialami oleh kedua orangtuanya.
Anak yang tidak tahu menahu apa yang terjadi di tengah keluarga mereka harus merasakan ketidakutuhan fungsi keluarga yang komplit.
Orangtua yang bercerai tidak memperhatikan dampak yang akan dialami oleh anak jika terjadi retaknya hubungan antara ibu dengan ayah nya yang sudah berpisah. Banyak fenomena-
fenomena yang dialami oleh anak korban perceraian orangtuanya, salah satunya mengalami depresi berat yang membuat anak tersebut melakukan hal-hal yang tidak wajar. Banyak orangtua
mengalami kesulitan dalam memahami perilaku anak-anaknya yang terlihat tidak logis dan tidak sesuai dengan perasaan sehat ketika mereka memutuskan untuk bercerai. Saat anak-anak tidak
berkembang secara terpisah dari anggota komunitas yang lain, seluruh perilakunya, ungkapan bahasanya, pola bermainnya hingga emosi dapat terganggu sejalan dengan waktu ketika ia
mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah berpisah. Karena yang terpenting buat anak adalah mempunyai keluarga yang utuh dan asli.
Dr Sudibyo Alimoeso MA, Deputi KSPK BKKBN mengatakan tingginya data perceraian di Indonesia menjadi perihal serius karena keluarga merupakan pendidikan pertama
yang meletakkan dasar-dasar kepribadian, etika, dan moral anak-anak. Diharapkan pada setiap orang yang ingin menikah sekarang harus menata ulang niat perkawinan yang dimiliki, yakni
menjadikannya sebagai lahan ibadah kepada Tuhan dan sarana menjalani silaturahmi, atau saling memahami agar menjadi keluarga bahagia. Data Badan Peradilan Agama Badilag Mahkamah
Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah
tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Dan tingginya angka perceraian di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
merupakan angka yang tertinggi se-Asia Pasifik. Data tersebut selanjutnya, juga memperlihatkan bahwa 70 persen perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi
ketidakharmonisan. Angka perceraian di Indonesia adalah hal yang menyedihkan. Betapa banyak anak yang kemudian harus menjalani takdir hidup tak bersama ayah dan ibunya secara utuh. Di
samping itu, tak sedikit menjadi korban perebutan kuasa asuh. Padahal, hal itu membuat dampak negatif secara psikis http:www.bkkbn.go.idViewBerita.aspx?BeritaID=967 diakses pada
tanggal 4 Februari 2014 pukul : 14.37 WIB. Terdapat data dari Ditjen Badilag 2010, kasus perceraian dibagi menjadi beberapa aspek
yang menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu. Kemudian, ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi. Sedangkan
perceraian karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga mencapai 91.841 perkara. Tak hanya itu, Ditjen Badilag juga mengungkapkan, pemicu perceraian adalah masalah politik.
Tercatat ada 334 kasus perkara perceraian yang dipicu masalah politik. Adapun secara geografis, perkara perceraian paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni 33.684 kasus, disusul Jawa Timur
dengan 21.324 kasus. Di posisi ketiga adalah Jawa Tengah dengan 12.019 kasus. Namun, kalau terkait dengan pembagian harta atau anak, mediasi dari Pengadilan Agama cukup berhasil.
Sebanyak 80 mediasi berhasil http:news.detik.comread20110804124446169640210tingkat-perceraian-di-indonesia-
meningkat?nd992203605 diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul : 14.37 WIB. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara KPAID-SU merupakan
lembaga negara yang berkonsentrasi terhadap permasalahan anak. KPAID-SU itu sendiri ada sejak tahun 2006 sampai sekarang yang berawal berdiam di Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Lembaga ini ada karena semakin maraknya kasus tentang anak, sehingga masyarakat tidak tahu
Universitas Sumatera Utara
menahung harus kemana mereka mengadu ketika anak mereka tersangkut tentang apa yang dialami oleh anak mereka. Kemudian KPAID-SU menjadi dasar untuk memberikan jalan yang
terbaik buat anak. Adapun langkah yang pertama dilakukan oleh KPAID-SU dalam menerima segala pengaduan masyarakat. Jika sepasang suami isteri yang sudah bercerai tidak mendapatkan
keputusan yang menurut mereka itu baik ketika di Pengadilan, maka salah satunya akan mengadukan ke lembaga ini untuk menemukan jalan yang terbaik untuk anak.
Masyarakat berharap KPAID-SU dapat menjadi penengah dalam permasalahan yang dialaminya. Dengan cara mediasi, akan mempermudah kedua pihak untuk menemukan hasil
yang maksimal. Dan jika mediasi terus mengalami kegagalan maka lembaga ini akan melakukan rekomendasi ke Pengadilan Agama untuk menjadi pertimbangan yang memperberat terlapor
dalam menguasai hak kuasa asuh anak. Tetapi jika dalam mediasi tidak menemukan hasil atau buntu dalam penyelesaian masalah, akan dilakukannya surat kesepakatan yang menjadi
keputusan yang terbaik untuk anak. Jika itu dilanggar maka hak kuasa asuh yang dipegang oleh salah satu pihak akan di cabut dan diserahkan kepada pihak yang lain yang dapat mengasuh anak
dengan baik. Salah satu kasus yang di tangani oleh lembaga ini adalah perebutan hak kuasa asuh. Ini
jelas dari data yang datang dari masyarakat Sumatera Utara mengadu ke KPAID-SU bahwa tiap tahunnya angka perceraian terus meningkat. Sepanjang tahun 2012, KPAID-SU telah menerima
pengaduan masyarakat sebanyak 191 kasus. Jumlah tersebut meningkat sekitar 15 di banding tahun 2011 yang mencapai 163 kasus. Berdasarkan data yang dihimpun Harian Sumut Pos, dari
191 kasus tersebut, terbesar adalah masalah hak pengasuhan pada anak yang diperebutkan oleh kedua orang tua yang sedang dalam proses penceraian dan atau telah bercerai, angkanya
sebanyak 54 kasus atau lebih dari 28,27. Terbesar kedua adalah kekerasan seksual yang terdiri
Universitas Sumatera Utara
dari perkosaan 42 kasus dan pelecehan 10 kasus sehingga digabungkan mencapai 52 kasus atau lebih sekitar 27,23 dari total pengaduan masyarakat kepada KPAID-SU
www.sumutpos.comtingkat-perceraian-tinggi diakses pada tanggal 19 Februari 2014 pukul: 10.00 WIB. Ketua KPAID-SU Zahrin Piliang, menjelaskan, keadaan ini memperlihatkan betapa
anak-anak semakin kehilangan kesempatan diasuh oleh kedua orangtuanya. Tentu hal ini sedikit banyaknya akan berpengaruh pada proses tumbuh-kembang anak, namun hanya 1-2 peristiwa
perceraian bisa juga menjadi pemicu bagi sang anak untuk berkembang optimal, tetapi akan lebih optimal lagi jika kedua orangtuanya berkesempatan mengasuhnya secara bersama-sama.
Kasus perceraian yang lebih konkrit lagi dapat dilihat dari Pengadilan Agama yang ada di Kota Medan. Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa setiap
tahunnya kasus perceraian tidak jauh beda dengan data yang berasal dari kabupatenkelurahan yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari tahun 2011 Kota Medan mencatat kasus
perceraian berjumlah 1.900 kasus. Sementara tahun 2012 ada 2478 kasus perceraian. Jika dilihat sepanjang 2013, angka perceraian di Medan meningkat dengan 2785 perkara yang diterima. Dari
2785 kasus perceraian sepanjang tahun 2013, cerai talak atau perceraian karena permintaan suami sebanyak 594 kasus. Sedangkan cerai gugat atau perceraian karena permintaan istri
sebanyak 1804 kasus www.hariansib.comangka-perceraian-di-medan-meningkat diakses pada tanggal 5 Maret 2014 pukul: 15.00 WIB.
Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Medan, yang telah melaporkan data perceraian tahun 2012 lalu yang berjumlah 12.000 perceraian pasangan suami-isteri. Jika
diasumsikan setiap pasangan memiliki 2 dua orang anak maka jumlah anak yang diasuh orangtua sepihak berjumlah 24.000. Dalam hal ini yang paling menonjol melakukan perceraian
terutama di Pengadilan Agama Medan adalah usia yang relatif muda. Angka perceraian di
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Agama Medan pada awal tahun 2014 mengalami peningkatan. Pada Januari 2014, tercatat sebanyak 508 perkara, sementara bila dibandingkan dengan tahun 2013 angka perceraian
hanya 477 perkara. Dari data perkara gugatan cerai, baik yang dilakukan pihak suami maupun istri mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun lalu. Jumlah tersebut, terbagi dari berbagai
kelompok masyarakat, mulai dari pegawai negeri sipil PNS, masyarakat menengah ke bawah. Setiap kejadian pasti ada penyebabnya. Begitu juga dengan perceraian, tentu disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor yang paling mendominasi adalah faktor ekonomi, tidak ada tanggungjawab terhadap anak penelantaran dan faktor perselingkuhan. Data yang diperoleh PA
Medan, jumlah tersebut didominasi gugatan cerai dari pihak perempuan atau disebut cerai gugat yang mencapai 299 perkara selama bulan Januari 2014. Sedangkan cerai talak atau gugatan cerai
yang diajukan dari pihak lelaki sebanyak 155 gugatan. Ketua Panitera Muda PA Medan, Jumrik,SH, mengatakan, kami akan terus berusaha menekan angka tersebut, dengan melakukan
sosialisasi, bekerja sama dengan Kemenag serta pemerintah daerah, baik kecamatan maupun kelurahan agar angka perceraian khususnya di Medan menurun. Sementara itu, Sekertaris PA
Medan, Arwin SH, menyebutkan persidangan dalam sehari di PA Medan mencapai 50 - 70 kasus. Memang selama ini yang sidang di PA ada sekitar 50 hingga 70 kasus, apalagi kalau senin
bisa mencapai 70 yang sidang http:www.medanbisnis.comberitametropolitanharianmedanbisnisangka-perceraian-di-
awal-tahun-2014-meningkat diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.00 wib. Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda.
Anak-anak yang ayah-ibunya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah
atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga
Universitas Sumatera Utara
merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka. Bagi anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak
perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupannya di masa kini dan di masa depan.
Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa- masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang
terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah
membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta
jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut. Keputusan perceraian yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama, memberikan alasan-
alasan yang kuat ketika ingin menetapkan pengasuhan yang tepat untuk anak. Salah satu orang tua yang telah bercerai menginginkan agar anak-anak tersebut dapat diasuh sepenuhnya tanpa
melihat keadaan dari sianak. Tidak sedikit perebutan hak kuasa asuh mengakibatkan perselisihan dalam mengasuh anak. Misalnya, pihak ibu memohon agar hak kuasa asuh bisa ia dapatkan,
tetapi Pengadilan tidak memberikan jawaban sesuai dengan keinginan si ibu sehingga ini yang akan menimbulkan anak jadi bingung saat orang tuanya berselisih untuk mengasuh anak. Tidak
jarang juga, perceraian memberikan dampak terhadap anak untuk dapat merasakan kasih sayang yang utuh dari ayahibunya atau sebaliknya saat ayahibu ingin bertemu dengan anak
mendapatkan kesulitan untuk bisa berbicara kepada sianak. Ini dapat menyebabkan anak menjadi sulit untuk merasakan kehangatan pelukan dari ayahibunya.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan demikian bisa mempengaruhi psikologi anak baik secara sosial maupun kepribadiannya. Dengan perceraian yang dialami oleh orangtuanya perkembangan sosial anak
akan terganggu, anak lebih sering murung, tertutup dan agresif. Anak menutup diri dari lingkungan sosial karena ia merasa malu, cepat tersinggung jika teman-temannya mengolok-
oloknya, dan merasa rendah diri dengan mempunyai keluarga yang kurang lengkap. Ini dapat berdampak ke emosional si anak. Karena dalam perceraian yang menjadi korban pertama yang
merasakan adalah anak-anak. Jika perceraian merupakan yang terbaik dalam memecahkan permasalahan rumah tangga, janganlah anak yang sudah menjadi korban perceraian di tambah
lagi salah satu orang tuanya memberikan doktrin yang tidak baik tentang penyebab perceraian yang dialami. Ini yang dapat memperburuk keadaan dari si anak, karena anak akan membenci
ayah atau ibunya yang menjadi penyebab utama keluarganya pecah. Perilaku orang tua saat terjadinya pertemuan dengan anak pun perlu diperhatikan, karena
bisa saja anak yang dahulunya dekat dengan orang tuanya bisa berbeda dengan memiliki sifat yang kurang baik. Misalnya tidak ingin dibelikan sesuatu atau setiap berjalan memegang tangan
dan lain-lain. Disini peran orang tua ditunjukkan kepada anak, dengan membujuk atau berbicara secara pelan-pelan anak akan mengikuti apa yang diperintahkan orang tua kepada anak.
Menciptakan keakraban dan keharmonisan hubungan, menjaga komunikasi dan membantunya jika mengalami kesulitan itu dapat meluluhkan sifat anak yang keras.
Latar belakang yang telah dipaparkan diatas, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam dan mengetahui bagaimana pola pengasuhan anak korban perceraian ketika
orang tua telah bercerai sehingga peneliti ingin mengetahui dampak perceraian terhadap pola
pengasuhan anak. Adapun judul penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara”.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah