73
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP WACANA MITOS RATU KIDUL DI PESISIR BALI SELATAN
4.1 Gambaran Lokasi dan Objek Penelitian
Secara umum pulau Bali terdiri atas wilayah Bali Utara; wilayah Bali Barat; wilayah Bali Timur; wilayah Bali Tengah; dan wilayah Bali Selatan. Sebagaimana
telah diuraikan dalam bab III tentang lokasi penelitian dengan mengambil tempat di pesisir Bali Selatan, secara geografis ada 7 tujuh Kabupaten dan Kota di Bali yang
wilayahnya memiliki pesisir Selatan kecuali Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Bangli. Ke tujuh kabupaten dan kota itu, yakni: Denpasar, Badung, Gianyar,
Klungkung, Karangasem, Tabanan, dan Jembrana. Pemilihan lokasi ini tentu berdasarkan data-data yang ditemukan, baik dalam
bentuk informasi verbal berupa wacana mitos RK maupun data non verbal dari objek yang diteliti berupa tradisi ritual, tempat pemujaan, lukisan, benda-benda
magis, dan atribut ritual lain. Pesisir Bali Selatan meliputi wilayah pantai tepatnya dari pantai Gilimanuk, Pengambengan, hingga pantai Pengragoan terus ke arah Timur
pesisir Selatan Kabupaten Tabanan, sampai pesisir Selatan Kabupaten Karangasem, tepatnya di pantai Padangbai. Dalam penelitian ini, tidak termasuk bagian dari 7
kabupaten tersebut di atas yakni, pulau di seberang laut seperti; Nusa Penida, Nusa lembongan, Nusa Ceningan, dan pulau Menjangan.
73
74 Satu lokasi yang juga tidak termasuk wilayah pantai atau pesisir Selatan,
yakni wilayah perbatasan antara Kabupaten Jembrana dengan Kabupaten Buleleng adalah Desa Sumber Kelampok, Kecamatan Grokgak karena lokasinya di hutan Pura
Segara Rupek yang secara kebetulan informasinya diperoleh dari salah seorang informan
Mangku Nengah Sarba. Namun demikian, lokasi ini juga dijadikan contoh data untuk diteliti karena masih terkait dengan objek penelitian tentang
wacana mitos RK, berkaitan dengan keberadaan artifact dalam bentuk ‘lingga’. Penetapan lokasi dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar
tidak meluas tanpa arah dan tujuan, karena tidak menutup kemungkinan selain di pesisir Selatan, wacana mitos dan tradisi RK dapat juga berkembang, dilakukan di
tempat lain seperti di darat atau di pesisir Bali Utara, maupun Bali Timur. Jika ada wacana dan tradisi semacam, tentu memerlukan penelitian lebih lanjut terutama bagi
para peneliti yang berminat. Selain itu, pemilihan lokasi lebih mengarah pada wilayah pantai yang sering digunakan untuk melaksanakan berbagai tradisi ritual laut.
Lebih kurang 12-an dua belasan wilayah pantai yang memiliki kriteria tersebut dan berada di pesisir Bali Selatan menjadi contoh lokasi penelitian. Akan
tetapi, informasinya tetap dilakukan pemilihan dan pemilahan, sampai pada akhirnya satu wilayah pantai mewakili satu kabupatenkota. Setiap wilayah pantai yang diacu
selalu berkaitan dengan keberadaan sebuah Pura tempat suci. Kecuali Pura Segara Rupek Sumber Kelampok yang informasinya merupakan ‘Payogan’ Dang Hyang
Sidhi Mantra karena keberadaannya di tengah hutan. Terlepas dari keterkaitan tokoh spiritual yang legendaris itu, bahwa di tengah hutan areal Pura Segara Rupek
75 terdapat sebuah artifact dalam bentuk ‘lingga’ yang dikatakan sebagai tempat
pemujaan Kanjeng Ibu Ratu Kidul KRK sesuai penuturan salah seorang informan Gst. Mangku Laksana, wawanvara, 6 Juni 2014.
Konsep pendirian Pura Segara juga dapat menjadi dasar wacana mitos RK yang diharapkan menjadi daya tahan religius terhadap pengaruh-pengaruh yang
merusak dari luar. Jika dideskripsikan, konsep pendirian Pura yang keberadaannya di pesisir pantai dapat menginspirasi adanya kearifan lokal Tri Hita Karana tiga hal
sebagai penyebab yang membuat hidup seimbang. Oleh karena itu, pada setiap wilayah pantai yang dianggap sakral sesuai aturan desa Pakraman selalu dibangun
Pura Segara, atau sebaliknya Pura Segara dibangun pada wilayah pantai yang sakral. Wilayah pantai yang terpilih menjadi lokasi penelitian, yakni: a pantai
Gilimanuk sampai Pengambengan wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Tirta Segara Rupek; b pantai Payan, Soka, Yeh Gangga, pantai Tanah Lot, wacana
RK berkaitan dengan keberadaan Pura Srijong, Pura Batu Bolong Beda dan Pura Tanah Lot; c pantai Berawa, Batu Bolong, hingga Peti Tenget wacana RK berkaitan
dengan keberadaan Pura Dalem Prancak dan Pura Peti Tenget-Canggu; d pantai Serangan wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Dalem Cemara, Dalem
Sakenan, Susunan Wadon dan Pura Tunggak Tiying; e pantai Mertasari wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Segara Tirta Empul-Mertasari dan Pura Dalem
Pengembak; f pantai Padanggalak wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Campuan Windhu Segara; g pantai Purnama, Saba dan Masceti wacana RK
berkaitan dengan keberadaan Pura Sukeluih Suun Kidul; h pantai Klotok wacana
76 RK berkaitan dengan keberadaan pelinggih Kanjeng Ratu Kidul di Pura Watu Klotok;
i pantai Padangbai wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Segara dan juga Pura Sakenan; j pantai Sanur wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Segara
dan kamar suci RK di hotel Bali Beach. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan sistem purposive
sampling, sedangkan untuk kepentingan analisis pertimbangannya satu lokasi wilayah pantai berikut Pura yang terkait dapat mewakili informasi satu kabupatenkota
sebagaimana disebutkan di atas. Pemilihan sistem purposive sampling dapat membantu mengklasifikasi informasi melalui bentuk-bentuk persepsi masyarakat
terhadap wacana mitos RK, sehingga memudahkan dan mempercepat analisis. Pada saat melakukan observasi awal, peneliti telah menentukan informan kunci untuk
mendapatkan informan berikutnya dengan sistem snow ball sampling. Setelah melakukan pemilahan dan pemilihan informasi data maka dilakukan
pengelompokan menjadi 2 dua versi berdasarkan ciri tertentu, yakni: versi pertama, wacana yang berkaitan dengan mitologi dewa-dewi penguasa sumber mata air yang
berkaitan dengan keberadaan beberapa Pura Dang Kahyangan dan wilayah pantai Selatan tempat dilaksanakannya tradisi ritual yang berhubungan dengan laut seperti
ritual Nyegara-Gunung, Mapakelem, Labuhan larung, Petik Laut, Melasti, Malukat. Wacana mitos RK juga ditemukan berupa
simbol-simbol, seperti: palinggih, patungarca, lukisan, kamar suci, gedong, doa, kereta kencana dan atribut ritual lain.
Ciri khas dari versi pertama, adalah tradisi ritualnya yang merupakan implementasi ajaran etika Hindu, Tri Hita Karana dan Tri Kaya Parisudha
77 selanjutnya disingkat THK dan TKP, bertujuan untuk memperoleh keseimbangan
kehidupan lahir dan bathin. Tradisi ritual yang dilaksanakan di laut sudah menjadi kearifan lokal yang mentradisi dan turun-temurun karena fungsi dan maknanya yang
besar terutama untuk keseimbangan kondisi alam buwana agung dan buwana alit, seperti tradisi surya-sewana oleh pendeta Hindu. Sejak mitos RK diwacanakan
muncul tradisi pengobatan atau penyembuhan melalui meditasi dan malukat untuk penyerapan energi positif laut yang lebih baik dilakukan pada saat fajar. Kegiatan-
kegiatan seperti itu setiap saat dilakukan oleh komunitas tertentu dan membuat masyarakat
meyakini kebenaran wacana mitos
RK yang sedang
menjadi perbincangan. Walaupun pada lokasi ke-12 Pura secara langsung tidak menyebut
nama RK dalam pemujaan, tetapi menggunakan nama yang berbeda-beda merupakan wujud manifestasi dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air.
Tradisi ritual untuk penghormatan kepada penguasa laut Kidul, telah berakulturasi dengan tradisi ritual yang sudah ada sebelumnya dan menjadi kearifan
lokal tentang pelestarian laut dan sumber-sumber mata air. Oleh karena itu, ciri khas versi pertama, adalah tradisi ritualnya yang merupakan implementasi dari ajaran Etika
Hindu, THK dan TKP, yakni ajaran untuk memperoleh keseimbangan hidup lahir dan bathin. Nama yang berbeda-beda sebagai wujud manifestasi dewa-dewi Hindu
penguasa sumber mata air, antara lain: di Pura Watu Klotok, palinggihnya bernama ‘Pelinggih Kanjeng Ratu Kidul’ dalam pemujaan disebut sebagai Ratu Sang Kala
Sunya Dewa Ketut Soma, 23 Maret 2014. Di Pura Dalem Sakenan dan Tunggak Tiying disebut sebagai ‘Ida Ratu Ayu Mas Kentel Gumi’ dan ‘Ratu Ayu Manik
78 Macorong Dane Gusti Blembong’ Mk. Sakenan, Mk. Tamat dan Mk. Wayan Lutur,
17 Juli 2015. Di Pura Dalem Prancak dan Pura Batu Bolong disebut sebagai ‘Ida Bhatari Solo’ dan ‘Ratu Biyang Sakti’ Mk Gede dan Mk. Ema, 12 Juli 2015. Di
Pura Dalem Pangembak disebut sebagai ‘Ratu Gede Sekaring Jagat’ Mangku Made Ranten, 3 Juni 2013. Di Pura Segara Tirta Empul Mertasari disebut ‘Ratu Ayu Mas
Manik Tirta’ Mangku Dalem Mertasari, 19 Maret 2014. Di Pura Candi Narmada Tanah Kilap disebut ‘Ratu Niyang Sakti’ I B. Adnyana, 5 Pebruari 2014. Di Pura
Luhur Sri Jong disebut ‘Ratu Biyang Sakti’ Mangku Gde Suada, 12 April 2014. Di Pura Tirta Segara Rupek disebut ‘Kanjeng Ratu Kidul’ Mangku Nengah Sarba, 13
Juni 2014. Di Pura Campuan Windhu Segara disebut sebagai ‘Bunda Ratu Kidul’ Mk. Alit Adnyana, 12 April 2014. Sesuai dengan informasi yang diperoleh, di Jawa
pun nama dan mitos RK sebagai penguasa laut Selatan berbeda-beda di setiap wilayah. Ada ± 110 nama RK dipaparkan oleh Sholikhin 2009:109-113.
Pemberian nama yang berbeda-beda kepada Ratu Kidul berdasarkan pada keadaan, kepribadian, kekuasaan dan tugasnya sebagai makhluk Tuhan. Penyebutan
nama yang berbeda-beda juga merupakan hal yang khas dalam sistem pemujaan menurut Hindu yang disebut dengan istilah Sahasra Nama seribu nama dewata. Hal
ini merupakan pengembangan dari personifikasi dan keberadaan Tuhan. Konsep Tuhan agama Hindu memiliki dua gambaran yang khas tergantung pada kebutuhan
dan selera para pemuja-Nya. Tuhan dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan menanggapinya melalui wujud tersebut, Tuhan juga dapat
menjelmakan diri-Nya di antara makhluk manusia. Kemudian, ada aspek Tuhan
79 lainnya sebagai Yang Mutlak yang disebut ‘Brahman’. Artinya besar tidak terbatas
transenden, namun juga bersifat immanen pada segala yang tercipta. Sebagaimana disebutkan dalam Rgveda, I.164.46 yaitu: ‘ekam sat viprah bahudha vadanti,’ artinya
kebenaran hanya satu, para bijak menyebutnya dengan berbagai nama. Versi berikutnya yakni versi 2 dengan lokasi hotel Inna Grand Bali Beach
Sanur yang awalnya bernama hotel Bali Beach Sanur dan pantai Padanggalak. Lokasi ini termasuk wilayah Kecamatan Denpasar Selatan dan Denpasar Timur Kota
Denpasar sebagai awal diperolehnya data tentang wacana dan tradisi RK di Bali. Disebutkan oleh informan kunci Mangku Wirya bahwa munculnya nama RK terkait
dengan pembangunan hotel yang digagas oleh mantan Presiden RI pertama Soekarno sekitar tahun 1963 dan peristiwa kebakaran hotel di awal tahun 1992.
Soekarno menggagas pendirian hotel Bali Beach bersamaan dengan hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu berdasarkan konsep keseimbangan dan keselarasan antara
alam laut dengan daratan untuk mencapai kesejahteraan hidup manusia. Pada tataran teologi, pandangan di atas merupakan salah satu wujud paham
pantheisme dengan konsep ‘manunggaling kawula lan gusti’ yang terimplementasi menjadi kearifan lokal ‘mamayu hayuning bawana,’ yaitu perilaku menuju
keselamatan dan kebahagiaan. Dengan melaksanakan konsep-konsep tersebut diharapkan kondisi alam semesta makrokosmos dengan kondisi fisik manusia
mikrokosmos tetap terjaga kelestariannya, Andre Mujiarto wawancara, setiap hari Minggu 2013.
80 Di hotel IGBB ada dua lokasi yang menjadi objek penelitian yang digunakan
untuk tempat pemujaan dan melaksanakan tradisi ritual RK, yaitu kamar nomor 327 dan Cottages nomor 2401. Salah satu informan kunci Jro Mangku Made Wirya 10
Mei, 2013 menuturkan, bahwa nama Bunda Ratu atau Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari Sekaring Jagat, diketahui muncul pertama kali pasca kebakaran hotel
yang berimplikasi pada penyakralan kamar nomor 327 dan cottages 2401. Hal itu juga dibenarkan oleh ‘pemangku’ dari kedua tempat tradisi RK dilaksanakan yaitu,
Ibu Agung Okawati 26 Oktober 2013 dan mantan ‘pemangku’ yang lain Dewa Putu Sudarsana 10 Januari 2013. Dari tempat inilah peneliti mendapat informasi
berikutnya, bahwa wacana mitos dan tradisi RK berkembang dan terdapat banyak tempat pemujaannya yang berada di pesisir Bali Selatan.
Tidak tertutup kemungkinannya terjadi tambahan informasi penting yang dimuat pada bagian ini, seperti informasi dari paranormal sebagai salah satu
komunitas pendukung wacana mitos dan tradisi ritual RK. Oleh karena itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang nara sumber Ida Ayu Armeli
dengan Ida Bagus Miyasa, 4 Juni 2015 suami-istri. Mereka menyebut RK sebagai Ratu Kanjeng Kidul. Fenomena dan informasinya pun semakin semarak dan variatif.
Informasi yang variatif itu berkembang, tidak terlepas dari peran dan keberadaan media serta kelompok-kelompokkomunitas spiritual yang ada di Bali terutama yang
menjalankan ilmu pengobatan dengan cara mistisgaib, seperti: perguruan-perguruan yang menggunakan sumber energi tenaga dalam dan ilmu kebathinan.
81 Informasi yang diperoleh pada perguruan-perguruan tersebut menunjukkan
ciri yang sama dengan yang terjadi di Jawa. Misalnya, menonjolkan warna yang serba hijau, juga sarana ritual bunga, buah, dan tumpeng yang menunjukkan
kejawaannya. Mengenai pemahaman dan penggunaan warna hijau di Bali justru dipandang sebagai pengikutpemuja RK. Hal ini sangat berbeda dengan di Jawa
bahwa warna hijau merupakan warna yang dilarang bila berada di pantai, dengan pemahaman sebagai bentuk pelanggaran dari sisi etika nyaman pada.
Dari perbedaan pemahaman tersebut, maka di Bali muncul pemahaman baru tentang warna merah. Itu sebabnya, pada daerah pantai tertentu dilarang memakai
baju berwarna merah saat matahari terik atau dipasang bendera merah pada wilayah pantai yang memiliki ombak ganas. Sisi teologi Hindu memandang, arah selatan
adalah tempat bersthana Dewa Brahma, dengan simbol warna merah yang berarti panas api. Pantulan terik matahari bertemu dengan warna merah akan terjadi tarik
menarik energi panas bumi sehingga dapat menyebabkan gelombang laut pasang menggulung benda yang ada di sekitarnya. Kuat dugaan bahwa pemasangan bendera
merah yang pada wilayah pantai tertentu merupakan tanda bahwa di tempat tersebut sering terjadi gelombang pasang secara tiba-tiba.
Contoh lain, keberadaan versi kejawen di Bali, bahwa pada Cottages 2401 terdapat ‘sampir’ sejenis selendang dan benda lain yang berkaitan dengan RK secara
khusus dikirim dari Keraton Solo, kata Ibu Agung Okawati. Dengan ciri dan kekhasan data serta informasi yang diperoleh, peneliti mengelompokkannya menjadi
versi ke dua atau versi Kejawen yang ada di Bali.
82 Hasil rekaman wawancara menunjukkan bahwa cerita mitos tentang RK di
Bali belum ditemukan secara mengkhusus teks khusus baik dalam sastra maupun purana. Namun demikian, beberapa nara sumber menjelaskan pernah membaca,
bahwa wacana tentang RK disinggung sekilas dalam cerita babad, yakni babad Sukawati disebut-sebut Ida Bhatara Kasuhun Kidul dan juga dalam buku babad Jawa
sebagai seorang putri raja Ida Bagus Miyasa, 4 Juni 2015. Setelah melakukan pengelompokan informasi menjadi 2 versi, maka untuk
proses pemaknaan kedua versi informasi dari para nara sumber disusun kembali atau direkonstruksi. Sama halnya dengan teknik pengumpulan data sebelumnya, pada saat
wawancara juga dilakukan teknik rekam dan catat suara maksimal. Rekonstruksi, dan penyusunan kembali informasi dari 2 versi diharapkan dapat menghasilkan makna
wacana mitos yang utuh tentang RK di Pesisir Bali Selatan. Demikian sekilas kondisi dan deskripsi lokasi serta proses pelaksanaan
penelitian. Dari hasil pengumpulan data, muncul bentuk-bentuk persepsi masyarakat tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Pada intinya menyatakan, bahwa
RK adalah kepercayaan akan adanya konsep ‘roh’ yang bereinkarnasi, dengan sengaja dihidupkan untuk membantu manusia mengatasi masalah kehidupan. Roh dimaksud
telah mencapai alam sorga yang dikenal sebagai ‘leluhur’. Kepercayaan terhadap leluhur merupakan kearifan lokal yang turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat
Bali pada umumnya. Penghormatan dilakukan karena jasa, pengabdian, kekuasaan, dan kekuatan gaibnya dalam membantu generasi penerusnya. Kondisi itu pula yang
83 menyebabkan pembuatan tempat pemujaan di pesisir Selatan karena dekat dengan
sumber mata air, yakni laut.
4.2. Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul