Teori Semiotika. Landasan Teori .1 Teori Wacana Naratologi

45 fungsi. Wacana menampilkan makna sebagai hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan fungsi. Oleh karena itu, struktur naratif meliputi lisan dan tulisan, sastra dan non sastra Ratna, 2010:244. Wacana dibicarakan dalam struktur naratif secara keseluruhan melalui analisis dari keempat permasalahan wacana mitos RK, sedang teks dibicarakan dalam struktur naratif teks meliputi; unsur instrinsik dan ekstrinsik. Oleh sebab itu, teori wacana naratologi menjadi payung dan pedoman dalam menganalisis keempat rumusan masalah penelitian ini.

2.3.2 Teori Semiotika.

Kelahiran strukturalisme yang kemudian disusul oleh semiotika sebagai akibat stagnasi strukturalisme. Semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan strukturalisme. Hubungan keduanya bersifat kompleks sekaligus ambigu Ratna, 2010:96. Strukturalisme dan semiotika sesungguhnya merupakan dua teori yang identik. Strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedang semiotika pada tanda, namun dapat dioperasikan secara bersama-sama. Semiotika melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik. Semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan menjadi lebih efisien. Manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Manusia adalah homo semioticus. 46 Semiotika sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik tanda verbal maupun non verbal. Meskipun demikian, untuk kepentingan praktis di satu pihak, dan hubungan yang erat antara strukturalisme dan semiotika di pihak lain Ratna, 2010:163. Dua ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi tidak saling mengenal, adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Sassure ahli bahasa, sedangkan Peirce ahli filsafat dan logika yang juga menekuni bidang kealaman dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi, Peirce menggunakan istilah semiotika, dan dalam perkembangan selanjutnya istilah semiotika yang lebih populer Ratna, 2010:98. Konsep-konsep Saussure terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang memiliki dua sisi sebagai dikotomi, seperti: penanda dan petanda, parole dan langue, sintagmatis dan paradigmatis, diakronik dan sinkronik. Konsep Saussure, bersisi ganda yang ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan konsep Peirce, bersisi tiga sebagai triadik, ditandai oleh dinamisme internal. Dari segi cara kerjanya terdapat: a sintaksis semiotika; b semantik semiotika; c pragmatik semiotika. Apabila dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda dibedakan sebagai berikut: 1 Representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum, terdiri atas: a qualisigns, b sinsigns, tokens, c legisigns, types. 2 Object, yaitu apa yang diacu, terdiri atas : a ikon, b indeks, c simbol. 3 Interpretant, yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima terdiri atas: a rheme, b dicisigns, dicent signs, c argument. 47 Dari ketiga faktor di atas yang paling menonjol dalam ulasan disertasi ini adalah object, dan di antara elemen object yang terpenting ikon, sebab segala sesuatu merupakan ikon dan segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Artinya, ikonisitas selalu melibatkan indesikalitas dan simbolisasi dengan mengutamakan dominasinya dalam sebuah teks sastra. Ciri-ciri ikonisitas, yaitu persamaan dan kemiripan ternyata memberikan rasa aman dan dengan sendirinya menimbulkan daya tarik Ratna, 2010:101. Menurut Aart van Zoest 1993:5-7 dikaitkan dengan bidang yang dikaji, semiotika dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu: aliran semiotika komunikasi Umberto Eco, aliran semiotika konotatif Roland Barthes, aliran semiotika ekspansif Julia Kristeva. Penggunaan teori semiotika dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah semiotika konotatif yang dipelopori oleh Roland Barthes, atas dasar ciri-ciri denotasi dari mitos RK. Kemudian, diperoleh makna konotasinya, yaitu arti pada bahasa sebagai model kedua. Tanda-tanda tanpa maksud langsung, tetapi dikomunikasikan dan dimaknai, seperti contoh: terjadi tsunami, kerauhan, orang hilang atau tenggelam terseret ombak, dinyatakan sebagai pertanda bahwa RK rawuh datang merupakan salah satu bentuk indeks hubungan tanda dan objek karena sebab akibat pada wacana mitos RK di pesisir Bali selatan. Tanda dalam pengertian ini, yaitu object tentang apa yang diacu utamanya menggunakan tanda yang berupa ikon hubungan tanda dan objek karena serupa. Misalnya, beredarnya foto atau lukisan RK ke luar dari ombak yang menggulung. sedangkan berupa simbol hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, adanya 48 simbol negara melalui pemasangan bendera merah putih pada cotages 2401 Inna Grand Bali Beach Sanur, tentu atas dasar kesepakatan manajemen hotel. Teori semiotika dapat digunakan untuk menginterpretasi tanda, melalui pemaknaan simbol-simbol, indeks dan ikon yang terdapat dalam wacana mitos RK. Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan proses komunikasi, karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana tanda diciptakan dan tertanam. Sebuah tanda bisa memiliki arti sangat banyak, atau sama sekali tidak berarti. Inilah kemudian disebut semiotika sosial. Menurut salah seorang pelopor semiotika sosial Halliday dalam Ratna, 2010:118- 119 semiotika diberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Semiotika sosial mencoba memberikan penilaian pada gejala di balik objek. Dalam hubungan ini istilah sosial disejajarkan dengan kebudayaan. Implikasi pada hakikat teks sebagai gejala yang dinamis, dan ilmu tanda dalam kaitannya dengan konteks, tanda tersebut difungsikan. Implikasi lebih jauh, semiotika sosial sebagai ilmu, sedangkan teks dan konteks sebagai metode yang harus dilakukan dalam proses analisis dan pemahaman. Halliday, juga mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu: a medan, sebagai ciri-ciri semantik teks; b pelaku, yaitu orang-orang yang terlibat; c sarana, yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh 49 bahasa. Pendapat Halliday, inilah kemudian disejajarkan dengan model lain, yaitu: bentuk, fungsi, dan makna, dengan catatan bahwa, bentuk sejajar dengan sarana, fungsi sejajar dengan pelaku, dan makna sejajar dengan medan teks. Secara analogi teks bermakna dalam konteks sosial tertentu, konteks mendahului teks, reproduksi makna bersifat sosial. Dalam interaksi sosial pertukaran makna terlihat jelas, sebab dilakukan sekaligus melalui tanda-tanda verbal dan nonverbal. Oleh karena itu, sesuai rumusan masalah yang dikaji mengenai struktur dan fungsi wacana mitos RK di Bali Selatan lebih tepat menggunakan teori semiotika sosial yang didukung oleh semiotika konotatif. Sehingga pemahaman ikon, indeks, dan simbol yang muncul dari wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan dapat berimplikasi terhadap masyarakat pendukung. 2.3.3 Teori MitosMitologi. Roland Barthes, adalah penganut strukturalis dan pasca strukturalisme. Salah satu bukunya Mythologies 1985 menguraikan model pemikiran Barthes. Teori mitos yang dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa. Dalam buku tersebut Barthes membuat satu analisis dari fenomena- fenomena budaya umum pada masyarakat. Mitos pada dasarnya ‘mendistorsi ‘ makna dari sistem semiotik pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita sebenarnya. Menurut Barthes, mitos bersamaan dengan ideologi karena bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara ideologis. Mitos menjadikan yang historis menjadi natural, sesuatu yang alamiah. Buku tersebut 50 merupakan satu bentuk praktek dalam bidang budaya dan kesusastraan dengan menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mencari makna teks yang tersembunyi, dimana lingkungan dari konotasi itu adalah ideologi Susanto, 2011:103. Pengertian mitos tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan yang dalam bahasa Barthes, disebut ‘ tipe wicara’. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos. Satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain, digantikan oleh berbagai mitos yang lain pula. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah mitos diperlawankan dengan kebenaran. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada di sekelilingnya. Melalui mitos sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa tetapi mungkin tidak untuk masa yang lain Sobur, 2006:109. Menurut Barthes, ada empat ciri mitos, antara lain: 1 distorsif, dimana hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya laut disimbolkan sebagai ibu; 2 intensional, artinya mitos tidak ada begitu saja, tetapi sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan; 3 statement of fact, artinya mitos menaturalisasikan 51 pesan sehingga diterima sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi, sebagai sesuatu yang ada secara alami dalam nalar awam RK adalah penguasa lautan; 4 motivasional, artinya bahwa bentuk mitos mengandung motivasi, misalnya mengaitkan RK dengan tsunami dapat memotivasi masyarakat yang berada di pesisir selalu waspada. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya Barthes,1985: 99. Tanda-tanda tidak dipandang sebagai sesuatu yang polos dan murni tetapi merupakan sesuatu yang rumit dalam satu usaha memeroses atau mereproduksi ideologi. Dengan demikian, Barthes dapat dipandang sebagai seorang strukturalis dengan menerapkan dan mengadopsi pemikiran dari Ferdinand de Saussure yang ditarik ke persoalan semiologi, atau dipandang sebagai semiotik Barthes,1985:109- 115. Pemikiran Barthes tentang mitos tampaknya masih melanjutkan sesuatu yang diandaikan oleh Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dengan petanda. Akan tetapi, yang dilakukan Barthes oleh sesungguhnya melampaui apa yang dilakukan oleh Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, maka Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu yang dinyatakan sebagai mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif 52 tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan konsep ini merupakan sumbangan Barthes yang berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure yang hanya berhenti pada penandaan lapis pertama atau pada tataran denotatif semata Ratna, 2011:112. Untuk menginterpretasi makna wacana mitos RK di Bali Selatan digunakan teori mitologi Roland Barthes sebagai pendukung teori semiotika dengan pemahaman, untuk mencari makna teks harus melalui identifikasi, dan interpretasi bentuk wacana mitos RK dari masing-masing informan. Berbagai persepsi wacana para informan itu direkonstruksi, kemudian dilakukan interpretasi dan pemahaman untuk mengetahui makna wacana RK di pesisir Bali Selatan.

2.3.4 Teori Resepsi