30 dilihat, didengar, atau dirasakan oleh inderanya dalam bentuk sikap, pendapat, dan
tingkah laku yang disebut sebagai perilaku individu. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat khususnya dari
ketiga kelompok masyarakat dalam menilai, memahami tentang wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan.
2.2.3 Konsep Mitos
Mitos merupakan istilah yang dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan dapat dijelaskan dengan menggunakan berbagai konsep yang berbeda-beda.
Istilah mitos telah digunakan oleh para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Untuk mempermudah dalam uraian ini, mitos dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan
akar katanya, yaitu mite myth dan mitos mythos. Secara leksikal ‘mite’ berarti cerita tentang dewa, dan makhluk adikodrati lain yang di dalamnya terkandung
berbagai penafsiran, bahkan juga alam gaib. Dalam hal ini mite biasanya dibedakan dengan fabel, dan legende Danesi, 2012:167.
Menurut Noth dalam Ratna, 2011:110 secara etimologis ‘mitos’ berarti kata, ucapan, cerita tentang dewa-dewa. Namun, dalam perkembangan berikut mitos
diartikan sebagai wacana fiksional, dipertentangkan dengan logos wacana rasional. Pada zaman Yunani Kuno mitos dianggap sebagai cerita naratif yang dinamakan plot.
Mitos adalah prinsip struktur dasar dalam sastra yang memungkinkan hubungan antara cerita dengan maknanya.
Pada akhirnya, baik mite maupun mitos, sebagai ilmu pengetahuan sering disebut mitologi. Menurut Shipley dalam Ratna, 2011:110 mitos lebih banyak
31 dibicarakan dalam bidang religi tetapi dibedakan dari masalah-masalah yang bukan
dalam bentuk tindakan. Eliade 1975:2-4 mengatakan, sebagai gejala dasar kebudayaan, perubahan pandangan yang cukup mendasar terjadi sejak setengah abad
terakhir, para sarjana mulai melihat mitos dari sudut pandang yang berbeda. Pada zaman pencerahan, mitos dianggap memiliki nilai negatif, tetapi
sekarang mitos dianggap sebagai cerita yang sesungguhnya, cerita yang memiliki nilai-nilai sakral, patut dicontoh dan mengandung makna. Pengertian mitos di abad
modern seolah-olah kembali ke dalam pengertian semula pada zaman Yunani Kuno. Mitos dipelajari karena gejala tersebut benar-benar ada dalam masyarakat dan masih
hidup. Mitos merupakan model untuk bertindak, dan berfungsi memberikan makna
dan nilai bagi kehidupan. Penafsiran modern terhadap mitos tidak memandangnya sebagai benar atau salah, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki insight pemahaman
puitis tentang realitas. Mitos juga dipandang dapat menyatakan simbolisme arketipe yang terus menerus berulang disebabkan ketidaksadaran kolektif umat manusia.
Dengan kalimat lain, secara kosmogoni
mitos selalu ingin membuktikan
hubungannya dengan realitas. Memahami mitos bukan semata-mata untuk
memahami sejarah masa lalu tetapi jauh lebih penting justru untuk memahami kategori kehidupan masa kini Ratna, 2011:111.
Mitos itu mulia, karena dapat membantu menentukan sikap, dihadapan semesta yang tidak berhingga. Mitos menjelaskan dari mana, hendak menuju ke mana
eksistensi sebagai manusia, dan mitos juga dapat menjelaskan asal muasal peristiwa,
32 fenomena dunia serta dapat memandu kehidupan. Namun demikian, lahirnya
modernitas ternyata menyudutkan pola berpikir mitologis dan menggantikannya dengan pola berpikir saintifik yang rindu akan penjelasan sebab akibat materialistik
dan mekanistik Beerling, 1994:18. Sesungguhnya modernitas itu kering, karena dapat mencabut manusia dari
keberagamannya dengan mengganti cerita yang indah menjadi penjelasan yang menjemukan. Di dalam kekeringannya, modernitas kembali membutuhkan mitos,
bahkan modernitas perlu menjadi mitos baru sehingga terus bisa ditanggapi secara kritis, karena mitos dapat memberikan sentuhan personal dan estetik pada sains dan
modernitas Herusatoto, 2011:3-4. Oleh karena itu, alangkah baiknya modernitas dengan sains dan rasionalitasnya perlu merangkul mitos secara sungguh-sungguh
karena dapat membuat eksistensi manusia menjadi layak untuk dijalani Susanto, 1987:19.
Memahami mitos bukan semata-mata untuk memahami sejarah masa lalu, tetapi yang lebih penting justru untuk memahami kategori kehidupan masa kini yang
dikaitkan dengan makna, teladan dan nilai-nilai secara keseluruhan yang dihasilkan. Pada dasarnya pengertian mite dan mitos hampir sama, karena masyarakat sehari-
haripun percaya bahwa berbagai bentuk dongeng dan kepercayaan dapat memberikan nilai-nilai pendidikan. Perbedaannya, fungsi mite terbatas pada bentuk pemahaman
dalam kaitannya dengan cerita khayal sebagai akibat tidak langsung. Mitos memiliki akibat langsung terhadap keseluruhan tingkah laku individu
dan masyarakat pendukungnya. Keragaman mitos, yakni mitos yang sifatnya positif
33 merupakan energi kehidupan. Alam semesta menurut Barthes 1985:109 dipenuhi
oleh dugaan, saran, interpretasi, dalam pengertian yang lebih luas. Setiap objek, dalam posisi yang tertutup, dengan sengaja dirahasiakan dapat berubah ke dalam
bentuk oral, kelisanan yang secara bebas dapat ditafsirkan sebab tidak ada hukum yang melarangnya.
Pada dasarnya manusia hidup atas dasar mitos-mitos yang ada di sekelilingnya. Artinya, segala sesuatu adalah mitos, manusia hidup dalam alam mitos,
bahkan dikendalikan oleh berbagai macam mitos. Dalam analisis Levi-Strauss 2007:276-277, cenderung memanfaatkan model bahasa seperti dikembangkan oleh
Saussure, mitos sebagai langue bahasa umum dan parole ucapan individual, termasuk model diakronis dan sinkronis, sintagmatis, dan paradigmatis.
Mitos di abad ke-19 terbatas sebagai khayalan, sebagai langue dalam kerangka sejarah masa lampau diakronis, dalam konteks horizontal sintagmatis.
Sebaliknya, dalam visi kontemporer mitos adalah langue sekaligus parole, bahwa mitos yang dikondisikan melalui institusi social, tetapi dipahami dalam kehidupan
sekarang ini, bebas dari ikatan-ikatan masa lampau, lebih banyak bersifat sinkronis, dengan pemahaman dilakukan secara horizontal sekaligus vertikal sintagmatis dan
paradigmatis. Menurut Barthes 1985:109-115, mitos adalah bahasa yang tercuri stolen
language, teori dusta lie theory, mitos adalah wacana bahasa yang digunakan. Mitos tidak didefinisikan oleh objek, atau pesan, tetapi dengan cara bagaimana pesan
itu disampaikan atau diwacanakan. Oleh karena itu, mitos dianggap sebagai sistem
34 semiotik tingkat kedua sesudah bahasa, bahkan sebagai metabahasa. Akhirnya,
Barthes mengakui bahwa mitos tidak perlu disembunyikan, mitos harus diungkapkan, sebagai demitologisasi sekaligus demitifikasi.
Walaupun mitos RK disakralkan dengan berbagai ritual, namun masih perlu diungkap maknanya sehingga diketahui pesan apa yang ada di balik keyakinan dan
pelaksanaan ritual serta pendirian tempat-tempat pemujaannya di pesisir Bali selatan. Tidak ada gejala alam yang tidak memerlukan interpretasi mitis, demikian juga mitos
dapat memperkuat tradisi, bahkan merupakan motor dalam proses berpikir. Junus 1981:73-77, sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia, bentuk
mitos bermacam-macam. Mitos menimbulkan kecurigaan, benci, irihati, dendam, juga sebaliknya cinta, percaya diri, bertanggung jawab, mempertebal kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Mitos akan melahirkan mitos-mitos baru, petanda bahwa mitos tetap hidup dan dihidupkan oleh masyarakat pendukungnya.
Banyaknya deskripsi tentang konsep mitos, dalam penelitian ini berpedoman kepada pengertian mitos Roland Barthes. Dengan demikian mitos RK di pesisir Bali
Selatan, dapat dipahami sebagai model untuk bertindak, atau sistem semiotik tingkat kedua sesudah bahasa, sebab dalam implementasinya berfungsi menciptakan nilai-
nilai kehidupan bagi masyarakat. Kaitannya dengan kompleksitas kehidupan masyarakat, diperlukan interpretasi terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan.
Artinya, dengan memahami makna mitos RK, timbul rasa percaya atau sebaliknya terhadap fenomena yang sedang dan akan terjadi.
35
2.2.4 Konsep Ratu Kidul