Persepsi Masyarakat Terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan: Kajian Wacana Naratif.

(1)

DISERTASI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOS

RATU KIDUL

DI PESISIR BALI SELATAN

KAJIAN WACANA NARATIF

A.A. KADE SRI YUDARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii DISERTASI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOS

RATU KIDUL

DI PESISIR BALI SELATAN

KAJIAN WACANA NARATIF

A.A. KADE SRI YUDARI NIM 1290171002

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOS

RATU KIDUL

DI PESISIR BALI SELATAN

KAJIAN WACANA NARATIF

Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor Program Studi Linguistik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

A. A. KADE SRI YUDARI

1290171002

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL, 22 JANUARI 2016

Promotor,

Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. NIP 19610212 198803 1 001

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. Prof. Dr.I Nyoman Weda Kusuma, M.S. NIP 19440923 197602 1 001 NIP 19570618 198303 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Doktor Linguistik Direktur,

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof.Dr. Aron Meko Mbete Prof. Dr. dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K). 19470723197903 1 001 NIP 19590215198510 2 001


(5)

Disertasi ini telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal, 27 November 2015

Panitia Ujian Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 3938/UN.14.4/HK/2015 Tanggal, 16 November 2015

Susunan Panitia Penilai Disertasi Program Doktor (S-3) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S.

Anggota :

1. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. (Promotor) 2. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.(Kopromotor I) 3. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S.(Kopromotor II) 4. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

5. Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A. 6. Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si. 7. Dr. I Ketut Jirnaya, M.S.


(6)

vi

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : A. A. Kade Sri Yudari

NIM : 1290171002

Program. Studi : Program Doktor S-3 Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 27 November 2015. Materai 6000


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Om, Swastyastu,

Puji syukur, Asung Kerta Wara Nugeraha, penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa), penguasa dan pengatur alam semesta ini, atas segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan disertasi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap MitosRatu Kiduldi Pesisir Bali Selatan, Kajian Wacana Naratif.”

Proses penyelesaian disertasi ini telah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. Banyak kendala dan rintangan yang penulis hadapi selama penyelesaian disertasi ini. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya tulisan ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan moril dan materiil yang telah diberikan selama ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu secara keseluruhan.

Pertama-tama, ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum; Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S; selaku Promotor, Kopromotor I, dan Kopromotor II. Kolaborasi beliau bertiga telah banyak menginspirasi dan membuka cakrawala berpikir penulis sejak penyusunan proposal hingga tulisan ini selesai. Dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan dan rasa kekeluargaan, beliau bertiga telah mengalirkan banyak ilmu sekaligus pengalaman akademik kepada penulis. Tidak ada kekuatan dan kemampuan yang penulis miliki, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan memberikan balasan atas semuanya.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD, Rektor Universitas Udayana; Prof. Dr. dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; Prof. Dr. I Made Budiarsa, M.A sebagai Asisten Direktur I dan Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D sebagai Asisten Direktur II yang telah memberi kesempatan kepada penulis menempuh pendidikan S3 di Universitas Udayana. Demikian pula


(8)

viii

kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S; Prof. Dr. Aron Meko Mbete sebagai Ketua Program Studi Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan Dr. Drs. A.A. Putu Putra, M.Hum sebagai Sekretaris Program Studi, penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas segala fasilitas yang telah diberikan mulai dari awal perkuliahan sampai penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih sebagai Tim Penguji, pemikiran-pemikiran yang kritis serta bimbingan akademik sejak pelaksanaan Ujian Proposal sampai Ujian Tertutup telah diberikan oleh Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S; Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum; Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S; Prof. Dr. I Made Suastika, S.U; Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A.; Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si (Ida Pedanda Gede Rai Manuaba); Dr. I Ketut Jirnaya M.S. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga ditujukan kepada Rektor Universitas Hindu Indonesia, Dekan Fakultas Ilmu Agama Dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan, sekaligus membebaskan dan tidak membebani penulis dari tugas-tugas akademik.

Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada para senior di Universitas Hindu Indonesia, Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si; Prof. Dr. I Wayan Suka Yasa, M.Si; Dr. I Wayan Budi Utama, M.Si; I Gede Jaya Kumara, S.S,M.Hum; atas motivasi, dukungan moril, serta pencerahan melalui diskusi yang panjang. Demikian pula, para senior di Fakultas Sastra dan Budaya, Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum; Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.; Dr. Ni Made Suryati, M.Hum; Dr. I Putu Sutama, M.S; nara sumber dan para ‘Pemangku’ yang menjadi informan, penulis sampaikan terima kasih atas motivasi, doa restu, informasi, dan dukungan moril yang diberikan semoga ilmu serta informasi mengkristal dalam benak penulis.

Seluruh staf administrasi Program Studi Doktor Linguistik, Nyoman Sadra, S.S, I Gusti Ayu Supadmi, I Ketut Ebuh, S.Sos, Ida Bagus Suanda, S.Sos dan Dra. Ni Nyoman Sumerti penulis sampaikan terima kasih atas pelayanan yang diberikan sejak awal perkuliahan sampai disertasi ini selesai. Dengan kesabaran


(9)

dan suasana kekeluargaan mempermudah, mempercepat dan berlaku adil melayani mahasiswa sehingga semua merasa nyaman .

Dukungan moril dan materiil dari pihak keluarga inti; anak-anak, suami, yang menemani pada saat melalukan penelitian di sepanjang pesisir Bali Selatan. Menantu, terutama cucu tersayang yang setiap hari menemani penulis dalam suka maupun duka telah menginspirasi penulis agar secepatnya menyelesaikan studi. Dukungan moril juga diberikan oleh keluarga, terutama dari dr. I G. A. Suryadarma, Sp.PD K-GEH (kakak) dan kerabat lainnya yang telah memotivasi dari awal hingga akhir studi. Penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat membalas segala bantuan, nasihat dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Walaupun dengan segala daya dan upaya telah dilakukan untuk kesempurnaan disertasi ini, namun tetap saja tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan yang membutuhkan koreksi serta perbaikan. Dengan menyadari bahwa apa yang dilakukan ibarat setitik embun yang menetes di tengah padang pasir, atau ibarat cahaya lilin yang berusaha menyinari ruangan .di siang hari tanpa arti. Oleh karena itu, ketebalan tulisan tidak menjamin karya ini sempurna, justru kehadiran tulisan ini terbuka untuk menerima koreksi sebagai bentuk kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Untuk itu dengan tangan terbuka penulis senantiasa menantikan komentar dan koreksi dari semua pihak. Akhirnya, penulis menyerahkan hasil penelitian ini di tengah masyarakat, semoga bermanfaat.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 27 November 2015 Penulis,


(10)

x

ABSTRAK

“PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOSRATU KIDULDI PESISIR BALI SELATAN, KAJIAN WACANA NARATIF”

Berbagai gerakan spiritual muncul di Bali sebagai reaksi terhadap dunia modern yang menekankan pada hal-hal yang bersifat profan. Fenomena ini memberi indikasi telah terjadi perubahan sosial, baik dalam persepsi maupun pola pikir masyarakat di Bali. Untuk meraih peningkatan dan kesempurnaan religius, masyarakat mulai mencari jalan yang lebih praktis. Fenomena menarik tentang keberagaman dewasa ini, terlihat dari perhatian masyarakat terhadap dunia spiritual melalui model-model kearifan lokal yang dipandang berguna untuk mengatasi berbagai krisis sosial. Salah satu dari fenomena yang menjadi fokus kajian adalah wacana tentangRatu Kidul(RK) di Pesisir Bali Selatan. Oleh

karena itu, judul disertasi ini, “Persepsi Masyarakat Terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir

Bali Selatan, Kajian WacanaNaratif.” Ada empat rumusan masalah yang dikaji yakni; (a)

bagaimanakah struktur wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan?; (b) bagaimanakah fungsi wacana mitosRK di Pesisir Bali Selatan?; (c) apakah makna wacana mitosRK di Pesisir Bali Selatan?; (d) bagaimanakah persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitos

RKdi Pesisir Bali Selatan?

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan pragmatis. Penentuan informan dilakukan dengan sistem snow ball sampling dengan menentukan informan kunci terlebih dahulu, sedangkan untuk menjaring informasi sebanyak-banyaknya digunakan sistem purposive sampling. Pengumpulan data melalui teknik observasi partisipasi, dan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan metode deskriptif-naratif (wacana deskriptif-naratif) dan interpretatif dengan landasan teori yang sudah teruji antara lain: teori wacana naratologi; teori semiotika, teori mitos/mitologi, dan teori persepsi. Penyajian data menggunakan cara informal didukung dengan cara formal.

Hasil penelitian menunjukkan: struktur, fungsi dan makna wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan, meliputi; struktur formal (leksikal dan gramatikal). Sedangkan struktur naratif yang terdiri atas aspek instrinsik (tema, alur, tokoh, sudut pandang, amanat) dan ekstrinsik (geografi, histori, dan religi). Fungsi mitos RK meliputi fungsi wacana dan fungsi sosial, demikian juga makna mitos RK meliputi makna wacana dan makna sosial. Persepsi masyarakat terhadap wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan berbeda-beda. Ada tiga kelompok masyarakat pemuja yang dipengaruhi oleh faktor Ipoleksosbud. Implikasi wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan terhadap masyarakat, dapat mengubah sikap, perilaku, cara pandang dan alih profesi. Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan merupakan kearifan lokal yang diimplementasikan melalui tradisi ritual ber-yadnya dengan tujuan

penghormatan terhadap penguasa ‘laut’ melalui gerakan pelestarian sumber-sumber mata air. Wacana mitosRKterdiri atas elemen-elemen pendukung, seperti: teks verbal, dan non verbal yang meliputi; lukisan, patung/arca, gedong, ritual, doa, dan atribut ritual lainnya. Elemen-elemen itu membentuk wacana mitosRKyang diyakini kebenarannya.


(11)

ABSTRACT

“PUBLIC PERCEPTION TO THE MYTH OFRATU KIDULIN THE SOUTHERN COAST OF BALI, THE STUDY OF NARRATIVE DISCOURSE

Various spiritual movements emerge in Bali as a reaction to the modern world which emphasizes on the things of profane by nature. This phenomenon gives indication that there is a social change, either in perception or mindset of people in Bali. To achieve the religious improvement and perfectness, people try to seek a more practical way. The interesting phenomenon regarding the diversity recently is seen from people attention toward spiritual world through the models of local wisdom which is seen as useful to handle various social crises. One of the phenomena which in the focus of this study is the discourse aboutRatu Kidul(RK) in the southern coast of Bali. Therefore, the title of this

dissertation is, “Public Perception to the Myth of Ratu Kidul in the Southern Coast of Bali, the Study of Narrative Discourse”. There are four problem formulations being

studied namely; (a) how is the structure of RK myth discourse in the southern coast of Bali?; (b) how is the function of RK myth discourse in the southern coast of Bali?; (c) what is the meaning of RK myth discourse in the southern coast of Bali?; (d) how is public perception and implication of RK myth discourse in the southern coast of Bali?

The research was qualitative by nature with pragmatic approach. The setting of informant was conducted with snow ball sampling system by determining the key informant first, meanwhile to collect information as much as possible the system of

purposive sampling was being used. Data sampling was through observation technique, participation, and deep interview. Data analysis used descriptive-narrative method (narrative discourse) and interpretative with the basis of theory which has been tested among others: naratology discourse theory, semiotic theory, myth/mythology theory, and perception theory. Data presentation used informal way supported by formal way.

The result of research shows that: structure, function and meaning of RK myth discourse in southern coast of Bali includes: formal structure (lexical and grammatical). Meanwhile narrative structure consists of intrinsic aspects (theme, plot, actors, point of view, mandate) and extrinsic aspects (geography, history, and religious). The function of RK myth includes discourse function and social function, likewise the meaning of RK myth includes discourse meaning and social meaning. Public perception toward RK myth discourse in southern coast of Bali differs. There are three groups of worshipers influenced by the factor of ipoleksosbud. The implication of RK myth discourse in southern coast of Bali to the community can change the attitude, behavior, point of view and the shift of profession. The main finding from this research is that RK myth discourse in southern coast of Bali is a local wisdom which is being implemented through ritual

tradition of sacrifice with the aim to honor the ‘sea’ ruler through preservation activities

of the sources of water spring. RK myth discourse consists of supporting elements, such as: verbal text, and non-verbal which is including: statue/sculpture, building, ritual, prayer, and other ritual attributes. These elements form RK myth discourse which is believed to be true.


(12)

xii

RINGKASAN DISERTASI

Dalam menghadapi esensi keberagaman dan era globalisasi dewasa ini, masyarakat di Bali telah melakukan berbagai upaya untuk memahami pesan-pesan keagamaan melalui wacana spiritualitas. Hal ini merupakan paradigma atau format baru sebagai respons, akibat munculnya berbagai fenomena dan gerakan spiritual atas nama keberagamaan. Salah satu fenomena yang menarik tentang keberagaman itu adalah pengalihan perhatian terhadap dunia mistik dengan menggunakan model kearifan tradisional (lokal) yang dipandang dapat mengatasi berbagai krisis sosial masyarakat modern.

Modernitas berdampak terjadinya kehilangan harmoni baik dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam maupun dengan Tuhan sebagai bentuk hubungan sebab akibat yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Pada kondisi seperti ini, terkesan bahwa masyarakat dewasa ini sudah kehilangan makna hidup sehingga tidak mengetahui bagaimana berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam secara tepat.

Sebagai fenomena tidak dapat dipungkiri, ada keinginan beberapa kelompok untuk menyederhanakan ritus keagamaan, baik dari sisi konsep maupun biaya. Situasi ini telah menimbulkan pola pikir serta respons yang beragam bahwa untuk meraih peningkatan dan kesempurnaan spiritual, masyarakat tidak harus terpaku pada ritual semata. Namun, setelah muncul zaman krisis multidimensi, ada kerinduan masyarakat untuk mengenang dan melaksanakan kembali berbagai ritual sesaji yang selama ini dipertentangkan bahkan memodifikasinya, terutama yang berhubungan dengan dunia mistik melalui ritual ‘bhuta-yadnya.’

Fenomena seperti itu mengindikasikan telah terjadi proses perubahan sosial terhadap persepsi dan pola pikir masyarakat di Bali sebagai dampak dinamika modernisasi global karena merasa tidak puas dengan aturan formal yang membelenggu kehidupannya. Dampak globalisasi berakibat terjadinya persentuhan antar budaya yang melampaui batas-batas geografis, dan waktu, bergerak dengan cepat ke masa depan. Persentuhan antar budaya ini juga memberi implikasi pada tatanan sosio-kultural dengan segala kompleksitasnya.


(13)

Untuk memposisikan agama Hindu dalam konteks global dan agar tidak terjadi dilema antara menghilangkan peran tradisi yang sudah ada, memodifikasi dan mempertahankannya, harus ada jalan tengah. Idealnya, kehidupan beragama dan kesadaran religius masyarakat di Bali sudah semestinya berjalan seimbang dan harmonis sesuai dengan desa, kala, dan patra sehingga terjadi proses pelestarian budaya dan tradisi yang dinamis tanpa menimbulkan konflik yang berbau ‘sara.’

Tumbuh dan berkembangnya agama Hindu di Bali tidak terlepas dari peran cultural-hero, yakni pembaharu sistem kultural masyarakat Bali sebagai peletak dasar kehidupan beragama, seperti: Maharesi Markendya, Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha sehingga agama Hindu banyak mengadopsi tatanan keberagaman dari masa kejayaan kerajaan Majapahit yang bercorak mistik dan diramu dengan kearifan lokal. Ada tiga periode penting yang menjadi catatan sejarah masuknya peradaban dan agama Hindu ke Bali yakni: (a) zaman kejayaan kerajaan Kediri hingga Singosari di bawah raja Dharmawangsa Teguh (zaman Bali Kuno); (b) zaman penguasaan Majapahit dibawah raja Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada hingga masuknya Islam (zaman Bali Tengahan); (c) zaman kolonial hingga memasuki zaman Bali Modern dan globalisasi saat ini.

Masuknya kebudayaan dan agama Hindu-Kediri, Hindu-Majapahit (Hindu-Budha) ke Bali, telah menjadi sebuah tenunan yang berwarna-warni, bahan bakunya terdiri atas Hinduisme, budaya kerajaan, paham keagamaan rakyat yang sudah ada sebelumnya (kearifan tradisional), serta paham kepercayaan Jawa, yang datang berikutnya. Kearifan lokal (local wisdom) adalah merupakan kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh budaya baru pada saat dua budaya itu berhubungan.

Sebagai akibat dari fenomena itu terjadilah suatu proses akulturasi dimana kebudayaan yang sudah ada di Bali menerima pengaruh kebudayaan Jawa yakni sastra dan tradisi ritual penghormatan terhadap penguasa laut. Jalinan budaya ini membentuk harmoni, namun tetap memiliki ciri-ciri khas dari budaya dan tradisi Hindu sebelumnya.


(14)

xiv

Ramuan sastra dan tradisi budaya inilah yang menjadi pokok bahasan dalam disertasi ini yakni munculnya wacana mitos dan tradisi ritual untuk penghormatan/pemuliaan kepada Ratu Penguasa Laut Selatan yang dikenal dengan sebutan Ratu Kidul (RK). Peneliti telah berupaya menelusuri fenomena tentang wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan (pesisir Gilimanuk sampai pesisir Padangbai). Fenomena yang ditemukan dapat menginspirasi judul disertasi sehingga menjadi; “Persepsi Masyarakat Terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan, Kajian Wacana Naratif.” Dengan memahami latar belakang yang dipaparkan di atas, ada empat masalah yang telah dirumuskan untuk diteliti yakni; (a) bagaimanakah struktur wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan?; (b) bagaimanakah fungsi wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan?; (c) apakah makna wacana mitos RKdi Pesisir Bali Selatan?; (d) bagaimanakah persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan? Keempat permasalahan itu dianalisis menggunakan metode deskriptif-naratif dan interpretatif dengan kajian wacana naratif.

Sebagai landasan untuk berpijak dalam rangka pemecahan permasalahan penelitian, digunakan beberapa teori, yakni: teori wacana naratologi, teori semiotika, teori mitos/mitologi, dan teori resepsi. Pemilihan teori wacana naratologi sebagai kerangka pemahaman permasalahan didasarkan atas pertimbangan bahwa teori tersebut dapat menjadi payung dari keempat permasalahan yang dikaji. Naratologi merupakan seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan, yang berkembang atas dasar analogi linguistik. Konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, wacana dan teks, akan terlihat berbeda-beda sesuai dengan penggagasnya. Demikian halnya dengan teks mitos RK di pesisir Bali selatan, bentuk wacananya berbeda-beda sesuai persepsi masyarakat penghayat mitos.

Teori semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Penggunaan teori semiotika tidak terlepas dari teori struktural yang mendasari, khususnya dalam memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya yakni konsep triadik, dari C.S. Peircean. Faktor yang menentukan adanya tanda


(15)

dibedakan atas; (a) representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum; (b) object yaitu apa yang diacu terdiri atas, ikon (hubungan tanda dan objek karena serupa),indeks(hubungan tanda dan objek karena sebab akibat),

simbol (hubungan tanda dan objek karena kesepakatan); (c) interpretant (tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima). Dari ke tiga faktor penentu (tanda-tanda tersebut, yang dianalisis dalam tulisan ini adalah object. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan. Sehingga sebuah tanda dapat memiliki arti sangat banyak atau sama sekali tidak berarti. Pada analisis ini akan digunakan teori semiotika sosial karena memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, teks dipahami dalam kaitannya dengan konteks dimana tanda difungsikan. Oleh karena itu teori semiotika sosial sangat tepat digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang struktur, dan fungsi mitos

RKdi pesisir Bali selatan

Teori mitos/mitologi dari Roland Barthes, adalah untuk mendukung teori Semiotika dalam proses pemaknaan, tidak terbatas pada bahasa tetapi meliputi seluruh kehidupan dengan tetap berdasarkan pada konsep-konsep linguistik. Mitos pada dasarnya ‘mendistorsi’ makna dari sistem semiotik pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita sebenarnya. Mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa.

Teori resepsi dalam hal ini erat kaitannya dengan resepsi sinkronis terhadap penelitian karya sastra dan hubungannya dengan pembaca se-zaman. Teori ini erat kaitannya dengan sosiologi sastra. Resepsi sebuah karya diawali oleh persepsi masyarakat pembaca eksplisit maupun implisit. Persepsi memberikan perhatian pada aspek estetika, bagaimana karya sastra ditanggapi kemudian diolah sedangkan sosiologi memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling mempengaruhi antara sastra dengan masyarakat. Oleh karena itu teori resepsi digunakan untuk menganalisis permasalahan keempat. Meskipun persepsi dan pemahaman masyarakat pembaca berbeda-beda, tetapi konvensi yang sama memungkinkan untuk mengarahkan pada penafsiran yang relatif sama.


(16)

xvi

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang sifatnya kualitatif dengan pendekatan pragmatis. Lokasi yang dipilih adalah pesisir Bali bagian Selatan dengan data pertama yang ditemukan adalah dari hotel Inna Grand Bali Beach Sanur didukung data verbal dan nonverbal yang ditemukan di wilayah pesisir Bali Selatan berupa tempat pemujaan seperti Palinggihserta Gedong yang didirikan berdekatan dengan Pura Dang Kahyangan tertentu. Sebanyak ± 12-an (dua belasan) Pura Dang Kahyangan sebagai tempat pemujaan di pesisir Bali Selatan yang berkaitan dengan wacana mitos RK mewakili informasi masing-masing Kabupaten kecuali Kabupaten Bangli dan Buleleng.

Pendekatan pragmatis digunakan karena memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi yaitu tentang masyarakat sebagai pengontrol. Pendekatan pragmatis juga memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi wacana dalam masyarakat, tentang perkembangan dan penyebarluasannya. Wacana mitos RKdi pesisir Bali Selatan juga mempertimbangkan implikasi terhadap masyarakat melalui berbagai kompetensinya. Masyarakat dapat mempersepsi dan memberikan tanggapan-tanggapannya terhadap wacana RK, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi partisipasi dan wawancara mendalam secara berkolaborasi, selain tetap menggunakan acuan pustaka yang masih relevan dengan objek penelitian. Teknik penentuan informan menggunakan sistem snow ball sampling dengan menetukan informan kunci terlebih dahulu. Untuk menjaring informasi dari para informan sebanyak-banyaknya juga digunakan sistem purposive sampling. Setelah melakukan pengumpulan data dari sejumlah informan, maka wacana mitos RK

dikelompokkan menjadi dua versi yakni; pertama, versi wacana mitos RK yang diinspirasi oleh mitologi keberadaan dewa-dewi penguasa sumber mata air;kedua, versi kejawen di Bali yang terinspirasi dari pembangunan dan peristiwa kebakaran hotel Bali Beach Sanur. Kedua versi itu direkonstruksi menjadi teks mitos RK

yang utuh dengan merunut berdasarkan ketuaan teks (isi cerita) serta jarak dan lokasi keberadaannya. Analisis data dilakukan dengan cara mengidentifikasi, kategorisasi/klasifikasi,mengolah, menginterpretasi (menafsir) dan menyimpulkan


(17)

berbagai informasi yang diperoleh dari lapangan dengan tetap berpedoman pada landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya. Data yang telah dianalisis dapat disajikan dengan cara non formal yang didukung oleh cara formal berupa foto artifact, ritual, dan lampiran seperlunya.

Berdasarkan kerangka pemahaman dan metode penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, struktur, fungsi, dan makna wacana mitos RKdi pesisir Bali Selatan dapat dianalisis dari aspek tekstual dan kontekstual (sosial) dengan tetap memperhatikan unsur-unsur pengutuh wacana seperti kohesi dan koherensi teks. Melalui metode wawancara mendalam dengan para informan (nara sumber) ditemukan sejumlah persepsi terhadap wacana mitos dan tradisi RK. Dalam menganalisis struktur dan fungsi wacana mitosRK, tetap menggunakan acuan teks sebelum direkonstruksi.

Struktur wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan dibangun oleh elemen-elemen yang saling berkaitan, yakni teks verbal berupa penggalan cerita dan non verbal berupa: lukisan, patung, ritual, palinggih, gedong/kamar, doa, kereta kencana, dan atribut ritual lainnya. Elemen-elemen itu membentuk dunia wacana

RK menjadi mitos yang diyakini kebenarannya. Secara struktur, cerita mitos RK

yang asli diperkirakan pernah diterima, tetapi seiring perkembangan zaman sudah tidak utuh lagi karena sebagian berupa cerita-cerita lepas sesuai pemahaman dan persepsi masyarakat di Bali.

Ada tiga kelompok masyarakat yang mempersepsi mitos RK di Bali Selatan sesuai sudut pandang dan tradisi masing-masing, yakni: (a) kelompok Paranormal, mempersepsi RKsebagai sebuah kepercayaan terhadap ‘roh’ leluhur untuk membantu segala urusan duniawi; (b) kelompok Nelayan, mempersepsi RK

sebagai penguasa lautan yang dipercaya memberi keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani profesinya; (c) kelompok masyarakat Multikultur, mempersepsi

RK bermacam-macam sesuai kebutuhan masing-masing pemuja yang dihubungkan dengan keberadaan dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air serta pemberi kemakmuran sehingga muncul berbagai tradisi ritual penghormatan terhadap laut.


(18)

xviii

Wacana dari kedua versi menunjukkan adanya kesamaan visi, yakni: sama-sama memberi ekspresi terhadap kemampuan untuk melihat pada inti persoalan tentang keyakinan kepada Tuhan Sang Maha Pencipta alam semesta serta isinya dengan kepercayaan terhadap adanya ‘roh’ yang dipahami sebagai leluhur melalui gerakan pelestarian sumber mata air utamanya laut. Versi teks dikelompokkan, dianalisis struktur formal dan struktur naratifnya dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik. Secara kontekstual wacana mitos RK juga memiliki fungsi karena mengandung nilai-nilai, seperti: nilai keharmonisan, pengobatan, magis, persatuan, pendidikan, dan nilai pelestarian. Dengan melakukan deskripsi dan interpretasi terhadap teks yang membentuk struktur wacana mitos RK maka ditemukan beberapa makna konotatif teks seperti; makna teologis, filosofis, simbolis, dan makna mitologis.

Pemahaman dan persepsi terhadap teks menurut sudut pandang masyarakat pembaca sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: faktor ideologis, politis, ekonomi/pariwisata, dan faktor sosial budaya. Pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dipahami bahwa, wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan mengandung berbagai nilai. Terutama nilai pelestarian dan perlindungan terhadap ‘laut’ yang berimplikasi terjadinya beberapa perubahan pada masyarakat, yakni perubahan cara pandang terhadap hakikat Tuhan dan alam semesta, khususnya laut dan sumber air. Perubahan sikap dan perilaku yang meliputi: norma, etika, dan perlakuan terhadap laut, dari tidak peduli menumbuhkan sikap menghargai untuk melindungi laut, bahkan terjadi perubahan atau alih profesi di antaranya, banyak masyarakat yang beralih profesi menjadi paranormal/penekun spiritual dengan memuliakan RK sebagaisasuhunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wacana mitos tentang RK di pesisir Bali Selatan pada akhirnya mendapat tanggapan dan respon positif dari masyarakat yang multikultur.

Denpasar, 27 November 2015 Penulis,


(19)

GLOSARIUM

adi luhung : sesuatu yang sangat utama dan luhur.

ancangan : pelayan, abdi (makhluk halus).

angga sarira : badan kasar (tubuh) manusia.

ardha nareswari : perwujudan tunggal ‘purusa’ dan ‘pradana’

(berhubungan dengan konsep ‘sakthi’ dalam ajaran Hindu).

aswa siksa : ajaran/ ilmu melatih kuda.

atma : jiwa atau ‘roh’ yang bersemayam di setiap makhluk hidup.

bali aga : sebutan lain untuk penduduk asli Bali atau Bali mula.

bhakti : hormat, sujud, takwa.

bhatara-bhatari : perwujudan/manifestasi Tuhan Yang Mahaesa (dalam hal ini sebagai roh yang mencapai tingkat dewa sehingga disebut dewa pitara/leluhur

bhagawanta : Pandhita atau Pendeta penasihat raja.

bhuana alit : alam kecil (badan manusia) disebut mikrokosmos.

bhuana agung : alam semesta (jagat raya) disebut makrokosmos.

bhuta yadnya : kurban suci yang ditujukan kepada ‘bhuta kala’

canang : sesajen dari bahan janur atau daun pisang sebagai alas berisi daun’pelawa’ bunga, sirih, pinang, dan sebagainya.

caru : ritualbhuta-yadnyayang bertujuan menetralisir alam dari pengaruh negatif.

catus pata : jalan simpang empat (perempatan agung dan berkaitan dengan upacara tawur).

caka : tahun kalender Hindu.


(20)

xx

kematian atau melaksanakan upacara pitra yadnya.

desa, kala, patra : konsep yang dihubungkan dengan tempat, waktu dan keadaan dalamdesa pakraman.

desa pakraman : wilayah kesatuan adat, yang memiliki tradisi sosial budaya ditandai dengan adanyakahyangan tiga.

dewa-dewi : sinar suci Tuhan Yang Mahaesa.

dewata nawasanga : sembilan dewa perwujudan Tuhan sebagai penguasa sembilan penjuru angin.

disiwi : dipuja, dijunjung.

Ista dewata : pemujaan terhadap dewa sebagai sinar suci Tuhan Yang Mahaesa menurut fungsi dan kedudukannya.

jaba tengah : bagian Pura yang letaknya di halaman tengah antarajaba sisidanjeroan.

jukung : perahu yang menggunakan layar atau sampan bercadik.

jumbuhing gusti : roh yang ada dalam diri manusia menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.

kajeng :hari ketiga dalam ‘tri wara’.

kanjeng : gelar kehormatan, yang terkemuka.

kakawin : karangan (karya sastra) yang dibangun oleh bait-baitwiramadan dapat dilagukan.

kejawen : istilah untuk menyebut kelompok masyarakat yang melaksanakan adat dan kepercayaan Jawa.

kembang telon : tiga jenis bunga (mawar, cempaka, kenanga) yang dipahami sebagai ‘telu teluning atunggal’ karena

memiliki kekuatan yang luar biasa

kerawuhan : kondisi trans, mirip dengan kesurupan (kerasukan roh).

kliwon : hari kelima dalam ‘panca wara’.

labuhan : sebuah ritual dengan cara membuang,


(21)

laut, danau, atau kawah).

laku : jalan, arah menuju (spiritual).

lelana/lelono : berkelana (dalam hal ini melakukan perjalanan spiritual).

lingga cala : lambang dewa Siwa berbentuk batu bulat panjang (sthanadewa Siwa pada gunung-gunung).

lingga yoni : lambang Siwa dengan ‘sakthinya’ yang berbentuk batu bulat panjang terpancang pada suatu lubang berbentuk lingkaran.

makrifat : kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya

mamayu hayuning bawana : ‘laku’ (orang Jawa) untuk menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup.

manunggaling kawula gusti : Sang pencipta adalah tempat kembali semua roh makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan.

malukat : ritual ruwatan (penyucian diri secara lahir dan bathin).

mapakelem : ritualyadnyadengan menenggelamkan sesaji di laut atau danau.

mulat sarira : memahami sesuatu dengan cara introspeksi diri.

muput : memimpin dan menyelesaikan ritual tertentu.

nabe : guru suci (pendeta yang memberi petunjuk kerohanian dan harus diterima dengan patuh oleh calon pendeta walaupun sudah ditasbihkan menjadi pendeta).

neduh : ritual permohonan maaf kepada Sang Maha Pencipta agar tidak terjadi bencana alam atau wabah penyakit.

niskala : tidak terlihat (tidak kasat mata).


(22)

xxii

odalan : perayaan hari jadi yang dilaksanakan setiap enam bulan (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali.

panca maha bhuta : lima unsur zat alam yang membentuk fisik manusia (pertiwi, apah, teja, bayu, akasa).

panca yadnya : lima jenis korban suci upacara keagamaan dalam agama Hindu.

pasupati : melakukan ritual untuk mendapatkan berkah kekuatan gaib dari dewa Siwa.

paramatma : Tuhan Yang Mahaesa.

payogan : tempat untuk beryoga.

palinggih : tempat suci untuk pemujaan kepada dewa-dewi, dan orang suci (leluhur).

pamangku : orang suci yang memimpin ritual pada sebuah Pura tertentu.

pangruatan : ritual pembersihan untuk perbuatan yang dianggap dosa dan membahayakan.

pasimpangan : bangunan suci tempat memuja dewa, karena pura asli tempatnya jauh.

pejati : sesajen yang biasa digunakan dalam

persembahyangan ketika pertama kali mendatangi sebuah tempat pemujaan ( bentuk permakluman).

pingit : angker, rahasia, dan memiliki kekuatan gaib.

pralingga : arca yang merupakan simbol kedudukan dewa atau leluhur.

purana : cerita kuno tentang riwayat, silsilah, asal-usul penciptaan.

purusa-pradhana : istilah dalam filsafat Hindu untuk menyatakan dualitas yang saling berhubungan dalam konsep

Samkhya (jiwa ketuhanan dan alam semesta). ratu : raja, panggilan kehormatan bagi orang berkasta.


(23)

reinkarnasi : penjelmaan kembali ke dunia dengan segala karmanya (lahir kembali).

rwa bhineda : dua yang berbeda namun saling melengkapi agar kondisi tetap seimbang.

sekala : nyata (kasat mata).

siwalingga : dewa Siwa dipuja dalam bentuk lingga atau pallus.

sidhi : sakti, bertuah, dan memiliki energi yang berkekuatan tinggi.

sukma sarira : badan halus sebagai wujud perasaan dan pikiran.

surya sewana : pemujaan kepada Dewa Surya yang dilakukan oleh para pendeta pada saat fajar /pagi hari.

tat twam asi : konsep toleransi dan persaudaraan dalam Hindu, yang bermakna menjadikan semua makhluk sama, sederajat dan bersaudara. Kami/dia adalah Aku.

tri hita karana : tiga hal yang menyebabkan hidup harmonis atau bahagia karena adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),hubungan manusia dengan manusia(pawongan),dan hubungan manusia dengan lingkungan(palemahan).

tri kaya parisudha : tiga aktivitas dalam kehidupan manusia untuk penyucian dan pengendalian diri (berpikir, berkata, berbuat).

tri mandala : tiga tingkatan halaman dalam sebuah Pura (utama, madya, nista).

tri murti : sebutan terhadap ketiga perwujudan Tuhan (brahma, wisnu, siwa).

tri rna : tiga jenis pemuliaan dalam kehidupan yang dilakukan terhadap (dewa, pitara, rsi).

unen-unen : binatang atau makhluk halus kepunyaan pura yang dianggap keramat.


(24)

xxiv DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL LUAR ... i SAMPUL DALAM... ii PRASYARAT GELAR ... iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi UCAPAN TERIMA KASIH...vii-ix ABSTRAK ...x ABSTRACT ...xi RINGKASAN DISERTASI ...xii-xviii GLOSARIUM... xix-xxiii DAFTAR ISI...xxiv-xxviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 9 1.3 Tujuan Penelitian ... 10 1.3.1 Tujuan Umum ... 10 1.3.2 Tujuan Khusus ... 11 1.4 Manfaat Penelitian ... 12 1.4.1 Manfaat Teoretis ... 12 1.4.2 Manfaat Praktis ... 13 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 13


(25)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN, TEORI DAN MODEL PENELITIAN ... 16 2.1. Kajian Pustaka ... 16 2.2. Deskripsi Konsep ... 25 2.2.1 Konsep Folklor, Tradisi Lisan,Kearifan Lokal, dan Sastra Lisan... 25 2.2.2 Konsep Persepsi... 28 2.2.3 Konsep Mitos ... 30 2.2.4 KonsepRatu Kidul... 35 2.2.5 Konsep Wacana Naratif ... 38 2.2.6 Konsep Spiritualitas . ... 41 2.3. Landasan Teori... 43 2.3.1 Teori Wacana Naratologi ... 43 2.3.2 Teori Semiotika... 45 2.3.3 Teori Mitos/Mitologi ... 49 2.3.4 Teori Resepsi... 52 2.4. Model penelitian... 55

BAB III METODE PENELITIAN ... 59 3.1 Rancangan Penelitian ... 59 3.2 Lokasi Penelitian... 62 3.3 Jenis dan Sumber Data ... 63 3.3.1 Jenis Data ... 63 3.3.2 Sumber Data... 64 3.4 Teknik Penentuan Informan... 65 3.5 Instrumen Penelitian... 66 3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 67 3.7 Metode dan Teknik Analisis Data... 70 3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian ... 72


(26)

xxvi

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PERSEPSI

MASYARAKAT TERHADAP WACANA MITOSRATU KIDUL

DI PESISIR BALI SELATAN. ... 73 4.1 Gambaran Lokasi dan Objek Penelitian ... 73 4.2 Bentuk-bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Wacana MitosRK... 83 4.2.1 Kelompok Masyarakat dengan Profesi Paranormal ... 84 4.2.2 Kelompok Masyarakat dengan Profesi Nelayan ... 86 4.2.3 Kelompok Masyarakat Multikultural... 88 4.3 Rekonstruksi Wacana MitosRKdi Pesisir Bali Selatan . ... 95

BAB V STRUKTUR WACANA MITOSRATU KIDULDI PESISIR BALI SELATAN ... 102 5.1 Struktur Formal Wacana MitosRKdi Pesisir Bali Selatan... 102 5.1.1 Aspek Kohesi ... 105 5.1.2 Aspek Koherensi . ... 115 5.2 Struktur Naratif Wacana MitosRKdi Pesisir Bali Selatan ... 120 5.2.1 Aspek Instrinsik ... 125 5.2.2 Aspek Ekstrinsik ... 158

BAB VI FUNGSI WACANA MITOS RATU KIDULDI PESISIR

BALI SELATAN ... 176 6.1 Fungsi Tekstual Wacana MitosRatu Kidul... 176 6.1.1 Fungsi Ekspresif... 176 6.1.2 Fungsi Fatis ... 177 6.1.3 Fungsi Estetis ... 178 6.2 Fungsi Kontekstual Wacana MitosRatu Kidul... 178 6.2.1 Fungsi Kesejahteraan dan Keharmonisan ... 180 6.2.2 Fungsi Kesehatan dan Pengobatan ... 187 6.2.3 Fungsi Mistis atau Gaib ... 198


(27)

6.2.4 Fungsi Pendidikan ... 203 A. Nilai Etika ... 204 B. Nilai Estetika ... 207 C. Nilai Ritual ... 212 6.2.5 Fungsi Persatuan/Pemersatu ... 218 6.2.6 Fungsi Pelestarian ... 223

BAB VII MAKNA WACANA MITOS RATU KIDULDI PESISIR

BALI SELATAN ... 226 7.1 Makna Tekstual Wacana MitosRatu Kidul... 226 7.1.1 Makna Denotataif ... 228 7.1.2 Makna Konotatif ... 229 7.1.3 Makna Idiomatik ... 231 7.1.4 Makna Pusat ... 231 7.1.5 Makna Idesional ... 232 7.2 Makna Kontekstual Wacana MitosRatu Kidul... 233 7.2.1 Makna Theologis ... 236 7.2.2 Makna Filosofis ... 249 7.2.3 Makna Simbolis ... 254 7.2.4 Makna Mitologis ... 314 BAB VIII FAKTOR PENDUKUNG PERSEPSI MASYARAKAT DAN

IMPLIKASI WACANA MITOSRATU KIDULDI

PESISIR BALI SELATAN ... 323 8.1 Faktor Pendukung Persepsi Masyarakat terhadap Wacana MitosRK . 323 8.1.1 Faktor Ideologis ... 323 8.1.2 Faktor Politik ... 331 8.1.3 Faktor Ekonomi/Pariwisata ... 335 8.1.4 Faktor Sosial Budaya ... 339


(28)

xxviii

8.2 Implikasi WacanaRKdi Pesisir Bali Selatan ... 342 8.2.1 Perubahan Cara Pandang dalam Memahami Hakikat Tuhan ... 344 8.2.2 Perubahan dalam Sikap dan Perilaku ... 351 8.2.3 Perubahan dan Alih Profesi ... 356 8.3 Temuan Penelitian ... 359 BAB IX PENUTUP ... 366 9.1 Simpulan ... 367 9.2 Saran ... 374 DAFTAR PUSTAKA...376

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1) Daftar Informan.

2) Foto Dokumentasi terkait denganRKdi Pesisir Bali Selatan. 3) Surat Ijin Penelitian.


(29)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kenyataannya, kebudayaan memang sifatnya kompleks. Wacana tentang kompleksnya kebudayaan dapat dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2004:9-10). Kebudayaan dapat dipilah-pilah menjadi tujuh unsur yang sangat kompleks, yaitu: sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem sosial/kemasyarakatan, sistem peralatan/teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi/kepercayaan, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2004:2-4).

Selanjutnya, (Koentjaraningrat, 2004:5-8) membedakan tiga wujud kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan (ideas/mentifact). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan yang berpola oleh manusia dalam masyarakat (activities/socifact). Ketiga, wujud nyata kebudayaan sebagai benda hasil karya cipta manusia disebut denganartifacts.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut terkait satu dengan lainnya atau sebagai unsur yang terintegrasi, serta memiliki sifat universal, yang artinya berbagai unsur itu ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia. Semua unsur itu dapat dipandang dari sudut ketiga wujud kebudayaan. Sistem bahasa misalnya, dalam hal


(30)

2 ini karya sastra baik lisan maupun tulisan, merupakan salah satu unsur kebudayaan dapat dipandang sebagai ide, gagasan atau nilai. Sebagai aktifitas tindakan yang berpola dan juga dapat berupa berbagai benda hasil karya manusia. Bahasa dan sastra, baik lisan maupun tulisan menjadi medium untuk menuangkan berbagai aspek kebudayaan sehingga menjadi kekayaan bagi pembaca dan penikmatnya.

Masing-masing daerah, suku, atau komunitas dalam suatu wilayah memiliki pengetahuan tradisional. Secara empiris merupakan nilai yang diyakini oleh komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam menjalin hubungan antara sesama dan lingkungan alamnya. Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis , suku, ras, dan agama, juga memiliki nilai kearifan lokal (local genius) yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan.

Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial tersebut dijadikan acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat beragama di Provinsi Bali, di antaranya: nilai kearifan Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisuda, Tatwam Asi, Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya, Bhineka Tunggal Ika, Menyama Braya, Rwa Bhineda, dan ungkapan lainnya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi rujukan dan acuan dalam menjaga serta menciptakan relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal tersebut dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara kontekstual sejalan dengan tuntutan serta kebutuhan manusia yang semakin hiterogen dan kompleks (Wisnumurti, 2009:3).


(31)

3 Kekayaan, keberagaman kebudayaan daerah memiliki daya tarik untuk digali, diangkat dan dipromosikan menjadi salah satu bentuk karya yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat pada umumnya. Kearifan lokal yang dimaksud, merupakan pengetahuan lokal. Masyarakat dapat menggunakan pengetahuan lokal sebagai pedoman untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan, menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, yang diekspresikan sebagai sebuah tradisi. Proses regenerasi kearifan lokal dapat dilakukan melalui pelestarian sastra dan tradisi lisan termasuk mitos, karya sastra sejarah, babad, ritual, atau dalam wujud ide/ gagasan, penghayatan (mentifact) serta wujud fisik (artifact). Nilai kearifan lokal juga dapat menjadi perekat bagi terwujudnya kerukunan umat beragama (Gunawan, 2008:2).

Cassirer (1987:165-169) banyak mengupas kaitan mitos dengan religi. Antara mitos dan religi tidak ada perbedaan yang mendasar karena bersumber pada fenomena yang sama dan bersifat manusiawi. Sepanjang perjalanan sejarah, religi senantiasa berhubungan dan diresapi berbagai unsur mitos. Di lain pihak, Sumandiyo, (2006:45) menyatakan bahwa mitos dalam bentuk yang paling kasar dan sederhana pun mengandung beberapa motif dalam arti tertentu. Beberapa di antaranya merupakan fakta yang tidak perlu disangsikan. Dengan berbagai macam alasan manusia menganggapnya sebagai penampakan makna luhur, dari gejala alam semesta dan keutamaan kehidupan manusia.

Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1985: 272) menyatakan bahwa di balik tanda-tanda dalam komunikasi sehari-hari baik tertulis maupun lisan terdapat makna misterius yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos. Dalam mitos terdapat


(32)

4 pola tiga dimensi, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Sebagai sesuatu yang unik, mitos juga sebuah sistem pemaknaan tataran ke dua. Di dalam mitos, sebuahpetanda

dapat memiliki beberapa penanda. Oleh karena itu, mitos sebagai tuturan yang mengandung pesan, banyak ditemukan di dalam kehidupan, sebagai sebuah kearifan tradisional yang dituturkan secara lisan (oral).

Apabila dikaitkan dengan religi serta julukan Bali sebagai pulau Dewata, hampir setiap saat masyarakat melaksanakan ritual sesaji, baik untuk kepentingan rumah tangga maupun dilaksanakan pada tempat-tempat yang disakralkan. Dalam konsep Hindu hal itu merupakan implementasi dari sabda Weda yang berbunyi bahwa “Tuhan ada dimana-mana”. Wacana tentang mitos berasal dari berbagai ide atau gagasan, kisah, tindakan, serta merupakan hasil perpaduan tradisi budaya asli dengan budaya yang datang berikutnya pada saat Bali belum mengenal tulisan. Seiring dengan perjalanan waktu, ketika masyarakat Bali telah memiliki aksara, yaitu aksara

Pallawa dan Dewa Nagari, akhirnya kearifan tradisional, khususnya cerita rakyat mulai dituliskan. Waktu terus berlanjut dari zaman kejayaan kerajaan Kediri, hingga runtuhnya kerajaan Majapahit dan memasuki zaman Republik, terjadi ekspansi besar-besaran terhadap ide-ide budaya baik dalam wujudmentifactdanartifactdi Bali.

Fenomena tentang keberagaman masyarakat Bali dewasa ini terlihat dari besarnya perhatian terhadap dunia spiritual, dengan mencari model-model kearifan lokal yang dirasakan mampu untuk mengatasi berbagai krisis sosial masyarakat modern. Masyarakat modern dirasakan seperti kehilangan makna hidup, tidak mengetahui bagaimana mempertahankan hubungan dengan Tuhan, dengan sesama,


(33)

5 dan dengan alam lingkungan secara tepat seperti yang tertuang dalam konsepTri Hita Karana. Era globalisasi juga memunculkan berbagai gerakan spiritual sebagai reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat profan. Fenomena ini merupakan respon dari paradigma modern yang dikenal dengan sebutan gerakan New-Age, yakni sebuah zaman yang ditandai dengan pengalihan perhatian terhadap berbagai macam dunia spiritual (Nida, 2007:4).

Objek yang diteliti merupakan bagian dari sastra lisan, yakni mitos yang populer dan berkembang di Jawa, tentang penguasa laut Selatan yang dikenal dengan

Ratu Kidulselanjutnya disingkatRK. Dalam budaya Jawa mitos tentangRKdipahami oleh masyarakat merupakan sistem kosmografi dan kosmogoni alam pulau Jawa dengan menjadikan RKsebagai ikon. Cerita tentang RKberkaitan erat dengan tradisi keraton Yogyakarta dan Surakarta. Seiring dengan perjalanan waktu mitos RK juga populer di Bali, bahkan telah diaktualisasikan dalam wujud artifact di beberapa tempat pemujaan sepanjang pesisir Bali Selatan. Nama yang dilabelkan sebagai RK

berbeda-beda, akan tetapi secara umum mengarah kepada penguasa laut dan penguasa sumber mata air. Sebagian besar hotel yang berdiri menghadap ke laut Selatan secara khusus menyiapkan sebuah ruangan untuk tempat pemujaanRK.

Perpaduan tradisi budaya luar Bali terutama tradisi budaya dari masyarakat Jawa dengan budaya asli Bali tanpa meninggalkan tradisi yang telah ada sebelumnya (akulturasi) telah terjadi di Bali. Kondisi seperti itu tidak dapat dibendung, apalagi Bali menjadi tujuan utama wisata dunia. Bali selalu menjadi tempat pilihan kegiatan-kegiatan yang bertaraf internasional, sehingga sastra dan budaya lisan Bali menjadi


(34)

6 efektif sebagai bahan promosi. Oleh karena itu, dituntut perhatian pemerintah daerah dalam pelestarian dan perlindungan terhadap kearifan lokal dengan berbagai tradisi lisannya, termasuk mitos-mitos yang ada maupun yang sedang berkembang dan berakulturasi.

Pemilihan objek mitos RK didasarkan atas pandangan yang menyatakan bahwa sebuah mitos dapat muncul sebagai kearifan lokal, sedangkan kearifan lokal itu sendiri merupakan pengetahuan lokal (local wisdom) yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas tentang pengalaman hidup, yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Namun demikian, terdapat fenomena lain yang saat ini menjadi perhatian banyak kalangan masyarakat adalah menjadikan RK sebagai sasuhunan. Oleh karena itu, objek mitos RK yang diteliti merupakan bentuk sastra dan tradisi lisan.

Wacana mitos tentang RK yang berkembang di Bali seolah-olah sengaja ‘dihidupkan’ karena dapat ‘menghidupi’. Sebuah mitos yang dikemas dalam bentuk ritual ber-yadnya untuk pelestarian laut. Mitos tentang Ratu Penguasa Laut Selatan memang melegenda. Hal ini dibuktikan bahwa wacananya sering diekspose melalui media elektronik maupun cetak, sehingga para peminat dan pendukungnya pun meluas ke segala profesi masyarakat. Mitos RK juga fenomenal, kontroversial, dan misteri. Peranan media terutama elektronik dan media sosial lainnya juga menentukan perkembangan wacana mitosRKdi Bali. Pemilihan objek penelitian ini juga berawal dari emosional dan keingintahuan peneliti, lalu berkembang menjadi rasa simpati dan berupaya untuk menelusuri tentang fenomena yang terjadi.


(35)

7 Kefenomenalan mitos RK dapat mempengaruhi keyakinan spiritual sebagian masyarakat di Bali hingga menyebar dalam wujud penghayatan dengan pendirian beberapa pelinggih (tempat pemujaan), kamar suci, patung, lukisan, gedong, dan memberikanritualsertadoa-doasebagai ciri penanda keberadaannya di Bali Selatan. Keunikan mitos RKdi Bali Selatan disebut-sebut berkaitan dengan sejarah kebesaran dan kejayaan leluhur Hindu di Nusantara serta keberadaan roh-roh orang suci, dewa-dewi atau malaikat (Jawa) yang selama ini diyakini oleh masyarakat Hindu di Bali sebagai penyelamat, pembawa berkah, kesejahteraan dan keharmonisan. Pemahaman masyarakat di Bali tentang mitos RKkini berkembang menjadi kearifan lokal dalam bentuk aktivitas ritual, seperti: meditasi, malukat, Mapakelem, Melasti, nglarung(labuhan), petik laut, dan lainnya yang aktualisasinya mewujud dalam ritual ber-yadnyaterhadap laut.

Fenomena tentang keunikan mitos RK yang membumi dan melegenda itulah menjadi dasar pertimbangan serta ketertarikan peneliti untuk menelitinya. Namun, rujukan teoretis untuk pengkajiannya terbatas, karena di Bali belum ada yang menelitinya. Oleh sebab itu, peneliti juga merasa perlu melakukan observasi dan mencari rujukan ke tempat asal mitos tersebut. Ini dilakukan karena di Jawa, mitos

RK merupakan bagian dari tradisi sastra lisan yang disakralkan dalam bentuk kepercayaan khususnya bagi Keraton Yogyakarta, Keraton Solo, dan menjadi keyakinan masyarakat pesisir Selatan Jawa pada umumnya.

Terjadinya berbagai masalah sosial saat ini, sudah melampaui batas etika, dan norma kehidupan, diduga masih ada kaitannya dengan pelaksanaan tradisi lisan dan


(36)

8 nilai-nilai yang terkandung dalam mitos RK. Hal ini mungkin merupakan implikasi dari tidak terkendalinya sikap serta perilaku (pikiran, perkataan, dan perbuatan) menurut konsep Hindu yang disebut Tri Kaya Parisuda. Konsep inilah yang perlu dipakai acuan bagi masyarakat multikultur. Ketika manusia tidak lagi menghiraukan etika dan norma yang berlaku secara turun temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang (leluhur), terjadilah degradasi moral dan kesenjangan antara apa yang menjadi harapan, cita-cita para leluhur di masa lalu, dengan apa yang dilakukan generasi penerus.

Berdasarkan pola pikir tersebut dan dengan disertai penemuan berbagai fenomena terhadap objek penelitian, diduga bahwa fenomena wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan mengandung nasihat-nasihat yang bersifat implisit. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman dan pemaknaan yang sedalam-dalamnya, sehingga semua menjadi jelas, dan dapat dipahami tidak saja oleh masyarakat penghayat, tetapi yang terpenting oleh generasi muda sebagai penerus kehidupan bangsa. Selama ini para generasi muda selalu menganggap bahwa mitos itu kuno, hanyalah ilusi, tahayul, dan tidak perlu diperhitungkan dalam kehidupan modern. Namun, sesungguhnya mereka berada, dikelilingi, bahkan melaksanakan berbagai macam mitos.

Menindaklanjuti ketertarikan tersebut, peneliti telah melakukan observasi dan mewawancarai para informan tentang mitos RK di Bali Selatan melalui penelusuran 12-an (duabelasan) Pura yang berada di pesisir Bali Selatan tidak termasuk kamar suci yang ada di hotel Inna Grand Bali Beach Sanur. Peneliti juga mempunyai alasan dalam pemilihan objek dengan mendasarkan pada beberapa


(37)

9 fenomena yang telah ditemukan. Dari fenomena itulah terinspirasi judul disertasi: “Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan: Kajian Wacana Naratif”. Bahwa informasi yang ada di masyarakat dalam bentuk wacana perlu dikritisi kembali sesuai situasi, kondisi, sudut pandang, dan interpretasi para penyimak, peminat serta penikmatnya. Temuan yang berupa fenomena itu dideskripsikan, dianalisis, sehingga dapat dipahami wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan yang dimaksudkan oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis yang mengarah pada wacana kritis, menjadi dasar kajian analisis wacana naratif. Hasilnya diharapkan dapat memberikan manfaat yang relevan bagi kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam teori kontemporer disebutkan, dominasi pikiran pun harus direkonstruksi, sehingga sistem simbol termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu: hubungan manusia dengan alam sekitar, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan struktur dan institusi sosial, hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, serta manusia dan kesadaran religius atau para religius (Ratna, 2010:351).

Kaitannya dengan wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan, dengan latar ceritanya tergolong sastra yang bernuansa sejarah dan tidak asli dari daerah Bali,


(38)

10 bukan berarti diabaikan atau diremehkan kemunculannya. Justru yang diperlukan adalah gerakan cepat tanggap dari masyarakat untuk pemahaman dan penanganannya. Di zaman teknologi yang semakin canggih ini, ada kemungkinan mitos Ratu Penguasa Pantai Selatan sengaja dihidupkan (diwacanakan) oleh komunitas tertentu, dengan cara menampilkan kembali dalam wujud penghayatan yang disertai ritual. Wacana itu lalu difragmentasi dengan memberikan makna yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi saat diwacanakan dan diteliti. Oleh karena itu, wacana mitos RK

‘dihidupkan’ karena ‘menghidupi’ masyarakat di tempat manapun wacana itu berkembang.

Adapun rumusan masalah dari beberapa fenomena yang telah teridentifikasi, dan diteliti sebagai berikut.

1) Bagaimanakah Struktur Wacana MitosRK di Pesisir Bali Selatan? 2) Bagaimanakah Fungsi Wacana MitosRKdi Pesisir Bali Selatan? 3) Apakah Makna Wacana MitosRKdi Pesisir Bali Selatan?

4) Bagaimanakah Persepsi Masyarakat dan Implikasi Wacana MitosRK

di Pesisir Bali Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian tentang wacana RK di Pesisir Bali Selatan merupakan penelitian lapangan. Oleh karena itu, secara ideal harus melalui tahapan kegiatan penelitian, seperti: pengumpulan data, pengolahan atau analisis data, dan penyajian hasil


(39)

11 penelitian. Dengan demikian, penelitian ini pun mempunyai tujuan, yaitu untuk menggali dan menemukan prinsip-prinsip serta pemahaman baru wacana mitosRKdi pesisir Bali Selatan.

Penelitian ini juga bertujuan memberikan pemahaman analitis dari sudut pandang wacana naratif. Cara ini dapat menunjukkan dan memberikan penekanan bahwa di era modern ini keyakinan/kepercayaan terhadap mitos yang masih hidup dan berkembang perlu dilestarikan. Wacana mitosRKyang melegenda dan bernuansa mistik telah mendapat pengakuan kesakralannya dari komunitas tertentu. Hal ini dapat menambah khasanah perbendaharaan sastra dan tradisi budaya di Bali khususnya.

Pemahaman semacam itu diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak yang tidak melakukan penghayatan dengan pihak pendukung tradisi. Melalui pengungkapan fungsi dan makna wacana mitos RK bagi kehidupan spiritual, diharapkan agar berbagai pihak dapat memahami bahwa para pendukung telah merasakan ada kekuatan (energi) tertentu di balik ritual yang dilaksanakan atas nama mitos tersebut. Kekuatan-kekuatan itulah pada gilirannya menjadi aset yang berharga sebagai bentuk pola pikir masyarakat untuk tidak melupakan dan meninggalkan tradisi, sastra, dan sejarah.

1.3.2 Tujuan Khusus

Dalam rangka mewujudkan tujuan umum seperti tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan fokus tujuan melalui tahapan penelitian sesuai


(40)

12 rumusan masalah, menjadi tujuan khusus. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mengidentifikasi, mentranskripsi, dan mendeskripsikan struktur wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan.

2) Mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi fungsi wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan.

3) Menganalisis dan menginterpretasi makna wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan.

4) Memahami dan menginterpretasi persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitosRKdi Pesisir Bali Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4. 1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan dunia ilmu wacana dan sastra, terutama tentang pemahaman tanda, petanda, dan penanda dalam mitos. Kemudian, diperoleh gambaran struktur, fungsi, dan makna terhadap fenomena yang terjadi dan dianggap masih misteri. Di samping itu, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan, perlindungan, dan revitalisasi/pemeliharaan tradisi sastra lisan nusantara. Akhirnya, dapat memperkaya khazanah perpustakaan bahasa, sastra, dan budaya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang berminat melakukan kajian sejenis.


(41)

13 1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai berikut.

1) Bermanfaat bagi perubahan sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat Bali pada umumnya dalam memahami wacana mitos RK sebagai konsep kearifan lokal tentang etika pengelolaan dan pelestarian sumber mata air, khususnya laut. Dengan demikian, segala bentuk ritual penghormatan terhadap unsur-unsur alam, seperti: laut, gunung, dan darat menjadi semakin penting dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan makhluk hidup.

2) Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat sebagai apresiasi bagi mahasiswa yang berminat meneliti wacana dan sastra lisan.

3) Manfaat lain juga diharapkan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak terkait dalam mengambil strategi serta kebijakan tentang tradisi dan sastra lisan di Bali, melalui penyamaan persepsi, demi memahami keragaman budaya, kearifan lokal, sastra dan agama, sebagai ciri masyarakat yang hiterogen. 4) Dapat dijadikan bahan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat

pada umumnya yang gemar mempelajari tradisi dan sastra lisan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Setelah tujuan dan manfaat ditentukan, maka dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Hal ini penting agar kegiatan penelitian tidak melebar tanpa arah, karena dapat mengaburkan fokus penelitian. Mely G.Tan (dalam Bungin, 2003:36),


(42)

14 menyebutkan beberapa dasar pertimbangan untuk menentukan batasan ruang lingkup penelitian, seperti: maksud dan perhatian peneliti, bahan atau data yang ada tentang masalah dan fenomena, serta penelitian lapangan yang sudah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang wacana mitosRKdi pesisir Bali Selatan, lokasi dan analisisnya juga dibatasi sesuai ruang lingkup wilayah pesisir Bali Selatan (pesisir Gilimanuk sampai Padangbai). Namun, tidak meliputi pulau-pulau di seberang laut Bali Selatan dengan rumusan masalah sebagaimana disebutkan di atas.

Pemilihan lokasi penelitian lebih difokuskan pada wilayah pesisir Bali Selatan, dari ujung Timur (pesisir Selatan Kabupaten Karangasem), yaitu pantai Padangbai hingga ujung Barat (pesisir Selatan Kabupaten Jembrana), yaitu pantai Gilimanuk. Oleh karena keterbatasan waktu penelitian, sehingga tidak meneliti pulau-pulau di seberang laut seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan pulau Menjangan. Ada ± 12-an (duabelasan) lokasi atau wilayah pesisir yang mewacanakan RK dan berkaitan dengan ‘Pura’. Data yang tidak berkaitan dengan Pura adalah kamar suci 327 dan Cottages 2401 hotel Inna Grand Bali Beach Sanur selanjutnya, disingkat IGBB.

Pengambilan data dimulai dari hotel IGBB Sanur dan sekitarnya. Dari pesisir Denpasar bagian Selatan, kemudian menuju pesisir Gianyar bagian Selatan, Klungkung, Karangasem, lalu kembali di pesisir Badung bagian Selatan, Tabanan, dan Jembrana. Dengan tidak disengaja peneliti mendapat informasi bahwa, wacana mitos RK juga ada pada perbatasan Kabupaten Buleleng dengan Jembrana, yakni pada areal hutan Pura Segara Rupek Desa Sumber Kelampok, Kecamatan Grokgak.


(43)

15 Waktu pengumpulan data penelitian dilakukan selama 6 (enam bulan), sejak Maret 2014 sampai Agustus 2014.

Data yang telah terkumpul berupa informasi, diklasifikasi, diidentifikasi, ditranskripsi menjadi beberapa penggalan wacana. Kemudian, penggalan wacana yang berupa persepsi masyarakat itu difragmentasi, serta direkonstruksi menjadi teks/wacana yang utuh. Bentuk persepsi masyarakat dianalisis dan diinterpretasi sesuai permasalahan yang dikaji dengan menggunakan metode serta teori yang relevan untuk memperoleh temuan dan kesimpulan. Pada saat melakukan observasi dengan menyusuri pesisir Bali Selatan, peneliti mewawancarai beberapa nara sumber yakni; para pemangku Pura yang mengetahui tentang wacana mitos RK, beberapa paranormal di Bali dan masyarakat nelayan yang bermukim di pesisir Bali Selatan.

Para informan dipandang mengetahui, dan memahami, sehingga dapat menjelaskan asal usul wacana mitos RK hingga menjadi kepercayaan di Bali. Sebelum memfokuskan penelitian di Bali, peneliti telah mencari informasi awal di beberapa pesisir Selatan Jawa, sebagai tempat asal mitos RK yang sudah melegenda seperti di daerah Sukabumi (pantai Pelabuhan Ratu), pantai Karang Hawu, pantai Parangtritis dan Cepuri Parang Kusumo (Yogyakarta Selatan), Keraton Yogyakarta dan Solo, (foto; 1,3,25,26,27,28) terlampir. Informasi yang diperoleh bervariasi, ada yang memitoskan sebagai putri raja, seorang penari kerajaan, bidadari, dan penguasa atau ratu makhluk halus, namun tidak membuatkan tempat pemujaan khusus seperti yang ditemukan di Bali.


(44)

16 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Sejumlah pustaka yang berkaitan dengan wacana mitos RK sebagai objek bahasan sudah banyak beredar di Jawa. Terutama dalam bentuk buku yang isinya tentang RK baik berupa versi mitosnya maupun kaitannya dengan silsilah raja-raja penguasa tanah Jawa. Dari kerajaan Mataram Hindu, Pajajaran, Kediri, Majapahit, sampai berdirinya kerajaan Mataram Islam, bahkan hingga zaman Republik. Semua buku menceritakan RK di Jawa serta hubungannya dengan sejarah dan aktivitas para penguasa. Pustaka yang mengulas tentang asal usul cerita dan mitos RKdi Bali tidak ditemukan, akan tetapi fenomenanya ada.

Sebagai referensi ditemukan sebuah tulisan ilmiah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana yang secara langsung masih berkaitan dan membicarakan tentang cerita mitos RK akan tetapi lokasi penelitiannya di Solo. Oleh karena itu, penelitian tentang wacana mitos RK yang dilakukan di Bali Selatan tergolong baru, sehingga kajian pustaka yang dipakai acuan pun masih memerlukan rujukan dari buku-buku sejarah peradaban Nusantara dan Bali masa lampau, terutama dalam pembahasan substansinya. Beberapa pustaka yang menjadi acuan teoretis untuk membahas wacana mitosRKdi Bali Selatan adalah sebagai berikut.


(45)

17 Djoko Dwiyanto (2009) dalam bukunya Keraton Yogyakarta; ‘Sejarah, Nasionalisme dan Teladan Perjuangan’ pada intinya menguraikan tentang sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta yang telah berurat dan berakar dalam jiwa para pejuang, patriot dan pendiri negeri itu. Oleh karena itu, keagungan dan keanggunan istana dihormati dan dikagumi oleh siapa saja, termasuk rakyat yang tinggal di perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Warisan agung itu pada kenyataannya bisa berperan dalam kancah tradisional dan internasional.

Keteladanan dan keutamaan yang telah diwariskan kepada generasi muda tentu dapat digunakan sebagai sarana untuk memupuk semangat nasionalisme dewasa ini. Keselarasan antara nilai modern dengan tradisional dapat berjalan serasi dan seimbang demi kokohnya jati diri bangsa. Perjuangan raja Yogyakarta diuraikan secara kronologis disertai contoh-contoh perilaku luhur yang pantas dijadikan kaca benggalabagi bangsa.

Dalam buku ini juga disinggung pengakuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengatakan setiap raja di Jawa sejak berdirinya kerajaan Mataran di bawah Panembahan Senopati dianggap sebagai ‘suami’ Kanjeng Ratu Kidul, dan Sri Sultan menyebutnya denganEyang Roro Kidul. Diakui pula, bahwa beliau pernah mendapat kesempatan berpuasa pada waktu bulan naik. Eyang Roro Kidul akan nampak sebagai gadis yang amat cantik. Sebaliknya, apabila bulan menurun beliau tampil sebagai wanita yang amat tua. Banyak hal yang sulit dipercayai oleh masyarakat awam, tetapi menurut Sultan keberadaannya nyata. Wacana yang terdapat dalam buku ini menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan


(46)

18 Surakarta merupakan harga mati terhadap mitos tersebut. Persoalannya, apakah keyakinan seperti itu juga berlaku bagi masyarakat di Bali, sehingga relevansi buku dengan penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman sekaligus acuan untuk mengetahui dan memahami alasan berterimanya mitos RKdi Bali Selatan.

K.H. Muhammad Sholikhin (2009) dalam bukunya, Kanjeng Ratu Kidul Dalam Perspektif Islam Jawa, membahas tentang Ratu Kidul sebagai sosok yang kontroversial, misterius tetapi dicari-cari orang. Kontroversi ini disebabkan karena Ratu Kidul adalah makhluk halus yang hidup di alam gaib. Namun, bagi masyarakat Jawa sosok beliau merupakan simbol yang hidup di tengah-tengah budaya.

Riwayat legendanya diteruskan dari generasi ke generasi seiring dengan perkembangan sejarah dan budaya Jawa, sehingga terjadilah banyak persepsi dan nama diberikan kepada tokohRK yang umumnya diceritakan melalui cerita lisan. Di dalam buku ini mitos RKdikatakan masih kontroversi dan misteri, tetapi masyarakat pendukung di Bali memahami wacana mitos RK dalam bentuk keyakinan dengan melaksanakan berbagai ritual sesaji dan membuatkan tempat pemujaan. Hal ini, yang ditelusuri sehingga jelas fungsi dan makna implisit di balik kontroversinya keyakinan terhadap mitosRKtersebut.

Kamajaya dan Hadidjaja (1979) dalam “Serat Centini” (Ensiklopedia Kebudayaan Jawa) dituturkan dalam bahasa Indonesia yang isinya 112 tembang, dan novel yang berjudul Centinisebanyak tiga jilid. Tembang 7 pada serat Centini secara singkat menuturkan intrik cinta bawah laut dari Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) pendiri kerajaan Mataram yang dikatakan mempunyai dua Keraton, yaitu:


(47)

19 Keraton Mataram dan Keraton Pantai Selatan Jawa. Penguasa Keraton Pantai Selatan Jawa bukan Sultan, tetapi seorang perawan Ratu Kerajaan Maya, yaitu Ratu Kidul. Beliau pernah bersumpah bahwa selaput daranya tidak akan robek sebelum dunia masuk ke zaman Kali Yuga. Beliau akan memilih pengganti, seorang raja Islam yang Agung dan tampan sebagai kekasihnya. Apabila kekasihnya itu meninggal nanti, ia akan mengangkat dan mendampingi semua raja Kali Yuga hingga akhir zaman. Siapa saja yang dimaksud raja-raja kali yuga? Sampai sekarang belum terjawab karena itu hanya sebuah ramalan dan penafsiran dari karya sastra yang berkepanjangan.

Sudah tersurat bahwa raja-raja Kali Yuga itulah yang menjadi Sultan Wangsa Mataram. Dikatakan juga bahwa di antara para Sultan, tidak ada yang lebih tergila-gila kepada Ratu Kidul selain Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati). Akan tetapi, kisah cinta mereka begitu menyilaukan dan jarang terjadi karena Ratu Kidul

‘bersifat udara’, sedangkan Sultan Agung ‘bersifat tanah’ sehingga setiap asmara muncul harus disertai dengan perang. Wacana dalam serat Centini ini merupakan salah satu bentuk pemaknaan dari karya puisi. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata dalam baris puisi yang perlu ditafsir karena dianggap mengandung pesan khusus.

Serat Centini ini relevan digunakan sebagai acuan dan pedoman untuk pemahaman makna kata-kata kias dalam paragraf wacana mitos RK di Bali Selatan. Di samping itu perlu dilakukan pemahaman dari sisi filosofi dan teologi Hinduisme. Tanpa penafsiran dan pemaknaan penikmat terhadap karya secara terus-menerus, dikhawatirkan karya yangadiluhung pun menjadi tidak bemanfaat di masyarakat dan lama kelamaan menjadi punah.


(48)

20 Djajeng Koesoema (1954), dalam “Serat Wedatama” yang berbentuk macapat (puisi) berbahasa Jawa Kuna, dibuat dalam bentuk yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anjar Ani (1985) dengan judul

Menyingkap Serat Wedotomo terdiri atas 100 pada (bait). Namun, yang berkaitan dengan Ratu Kidul adalah pada (bait) 18/4S sampai bait 21/7S. Isinya pertemuan Panembahan Senopati denganRatu Kiduldi Kahyangan Dalepih saat melakukan tapa sebelum beliau dinobatkan menjadi raja Mataram. Berkat anugrah Tuhan, seolah-olah Panembahan Senopati dapat membaca dan memahami rahasia lautan. ‘Bahkan seluruhnya sudah diselidiki, dimasukkan kedalam sanubari’, yang berarti Panembahan Senopati benar-benar menguasai segalanya, pantaslah kemudian dapat berkuasa dan menjadi raja sampai ke anak cucu.

Sementara itu, apa yang disebut dengan ‘Kanjeng Ratu Lautan Kidul datang menghadap’, karena ‘merasa kalah wibawa dibanding Panembahan Senopati’. Artinya, demikian hebat kekuasaan dan kekuatan Panembahan Senopati sehingga

Ratu Kidulmohon untuk diangkat sebagai‘teman’atau pengikut di dalam dunia gaib, dan akan mengerjakan apa saja yang diperintahkan dan dibutuhkannya. Anugerah Tuhan demikian besarnya sehingga keturunan Panembahan Senopati semua menjadi pemimpin dan berwibawa, karena mengutamakan tiga syarat kehidupan, yaitu: kedudukan, harta dan kepandaian.

Pernyataan di dalam serat Wedatama hampir dengan serat Centini, namun dalam serat Wedatama lebih menekankan pada aspek mental dan etika pengendalian diri, terutama sorotan terhadap prilaku kehidupan manusia pada zamannya. Relevansi


(49)

21 dengan penelitian ini bahwa, pesan dalam mitos RK bersifat implisit atau tersamar sehingga memerlukan penafsiran secara terus menerus dari zaman ke zaman untuk memahami makna yang tersirat. Semakin banyak penafsir pesan dalam mitos, semakin kaya makna mitosRK.

Olthof,W.L. (2009) dalam Babad Tanah Jawa, diceritakan asal muasal tanah Jawa dengan memuat silsilah raja-raja Jawa, seperti Nabi Adam, Dewa-dewi dalam agama Hindu, tokoh-tokoh dalam Mahabharata, Cerita Panji masa Kediri, masa kerajaan Pajajaran, masa Majapahit, hingga masa Demak yang dilanjutkan dengan silsilah kerajaan Pajang, Mataram Islam, dan berakhir pada masa Kasunanan Kartasura. Naskah Babad Tanah Jawa inipun telah banyak diterbitkan dalam berbagai versi, namun peneliti merasa lebih cocok menggunakan karya Olthof yang terbaru, karena dalam editan dan bahasa yang digunakan bisa dimengerti oleh semua pembaca dari segala usia.

Dalam episode yang membicarakan berdirinya kerajaan Mataram Islam, nama Rara Kidul, kadang juga disebut Nyai Kidul sebagai seseorang yang telah memberikan inspirasi dan kekuatan rokhani kepada Panembahan Senopati sebagai pendiri kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati mengasingkan diri ke pantai Selatan bersemadi, untuk mengumpulkan seluruh energinya dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan Utara (Pajang). Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan beliau berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari tiga malam beliau mempelajari rahasia perang dan pemerintahan serta intrik-intrik cinta di istana bawah laut. Akhirnya, muncul kembali dari laut


(50)

22 Parangkusumo (Yogyakarta Selatan). Sejak saat itulah, Ratu Kidul diinformasikan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa dan sesajian dipersembahkan untuknya ditempat itu setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Secara umum, buku Babad Tanah Jawa mengandung sejarah/silsilah raja-raja penguasa di tanah Jawa, diselingi oleh mitos-mitos yang mengandung nasihat tersamar. Kemudian, dikaitkan dengan ritual sesaji dan dikemas dalam bentuk cerita sehingga menarik untuk dibaca. Relevansi dengan penelitian ini, merupakan pemaknaan atas berbagai bentuk persepsi wacana RK di pesisir Bali selatan. Sesungguhnya masyarakat diarahkan untuk selalu mengutamakan etika dalam kehidupan, melakukan harmonisasi terhadap Tuhan sebagai pencipta, dengan alam lingkungan, dan sesama manusia agar tercapai keseimbangan rokhani dan jasmani. Untuk tujuan itulah, manusia mewujudkannya dalam berbagai bentuk ritual dan sesaji sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Peter Carey (2007), dalam bukunya The Power of Prophecy (kekuatan nujum), seorang peneliti dan dosen di Trinity College, Inggris. Buku ini memuat biografi lengkap dari Pangeran Diponegoro (1785-1855) dengan sumber naskah

Babad Dipanagara (beraksara pegon) yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro di Manado. Dalam pandangan Carey, Pangeran Diponegoro adalah seorang muslim yang saleh, tetapi tetap dipengaruhi oleh kosmologi Jawa, sehingga mengobarkan “perang suci” melawan Belanda (1825-1830), yang dikenal dengan perang Jawa


(1)

Suatu pagi, I Dewa Agung Anom turun dari peraduan, beliau mendapati seorang pria tampan gagah berwibawa duduk bersila di amben (serambi) gedong peraduan. Tamu tidak dikenal itu berpakaian serba kuning. Ketika ditanya, dengan sangat hormat sang tamu menyembah dan memperkenalkan diri bernama Ki Gede Macaling dari Nusa Penida. Ia di utus oleh Ida Bhatara Kasuun Kidul untuk menyampaikan anugrah Ida Bhatara berupa lontar dengan cakepan yang terbuat dari denta(gading) yang bernama Ki Pengasih Jagat. Ki Gede Macaling bersedia menjadi pengamer-amer di Bumi Timbul, tetapi Ia minta dibuatkan tempat peristirahatan di Jaba Pura Erjeruk. Pada saat ini, wacana mitos RKdi Bali sudah menyebar, terutama di kalangan para penekun spiritual dengan ajaran khas Kejawen menjadi Sasuhunan Kidul(Bunda Ratu Kidul).

Dengan berpedoman kepada jejak historis yang tertuang dalam naskah seperti uraian di atas maka adanya keyakinan dan pemujaan terhadap RKterutama yang ada di pesisir Bali Selatan masuk akal dan bisa diterima oleh masyarakat di Bali terutama bagi yang merasakan masih ada hubungan historis. Apalagi saat ini nama RKdi Bali dipandang sebagai personifikasi dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air umumnya dan laut khususnya, tentu membuat masyarakat semakin yakin sehingga dengan tulus ikhlas turut menyakralkannya.

C. Unsur Religi

Menurut Tylor (Pals, 2011:38), sesuatu tidak akan bisa dijelaskan tanpa mengetahui hakikatnya, hal inilah yang harus didefinikan melalui agama. Menurutnya, agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat spiritual,


(2)

keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku, dan berperasaan seperti manusia. Esensi setiap agama seperti juga mitologi adalah animisme, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup, punya kekuatan dan ada di balik segala sesuatu. Animisme akhirnya mengalami perkembangan dan pertumbuhan, roh yang sama juga dianggap semakin terpisah dari objek pertama yang dikuasainya dengan mengukuhkan identitas dan karakternya sendiri. Ketika menyembah seorang dewi laut, masyarakat menganggap daerah laut sebagai tempat bersemayamnya, walau mereka mengetahui dewi laut bisa saja meninggalkan laut jika menginginkannya.

Dengan datangnya masa Barbarian, manusia menemukan peradaban bercocok tanam, mendirikan kota, kesusastraan, pembagian kerja, struktur kekuasaan yang kompleks dan agama yang memiliki karakteristik beragam sebagai eleman kebudayaan. Perkembangan selanjutnya, manusia merasa saling ketergantungan antarroh seperti roh-roh pepohonan, bebatuan, sungai, angin, hujan dan matahari. Perkembangan terus terjadi, dari keyakinan kuno sampai kepada tingkatan yang paling tinggi yaitu monoteisme dan etika kepercayaan terhadap Tuhan yang disebut agama.

Teori Tylor memberikan gambaran beragam tentang agama dan perkembangannya. Agama animistik sebagai usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespons misteri serta peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang. Keduanya sama-sama muncul dari usaha manusia untuk mencari pemahaman tentang dunia, berupa keinginan yang besar untuk mengetahui bagaimana sesuatu dapat berfungsi.


(3)

Bagi Tylor, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual mereprentasikan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia. Namun, bukanlah yang terakhir karena masih ada tahapan yang lebih rasional dalam merespons alam, yakni dengan program dan metode ilmu empiris yang muncul pada saat ini. Kehidupan masyarakat dan orang Bali hampir tidak bisa dipisahkan dengan dunia suprarasional dan spiritual, kadarnya saja yang berbeda. Bagi kalangan awam tentu memiliki kadar penghayatan yang kurang optimal.

Bagi mereka yang sudah memasuki kawasan spiritual dengan pengalaman rohani atau paling tidak sudah mulai menapaki ‘laku’ spiritual memiliki kadar yang lebih tinggi. Bagi kalangan awam, bukan berarti semakin kurang kadar spiritual yang dimiliki, maka semakin tidak memiliki kesempatan untuk merasakan positifnya rasa keberagamaan (religiusitas). Terdapat berbagai cara pragmatis yang dapat dianggap mampu menjembatani jurang pemisah eksistensi rohaninya yang minim dengan dunia spiritual yang tinggi.

Berbagai ikonografi dan simbolitas lain digunakan untuk mengantarkan energi yang dikehendaki pada yang dituju. Apabila sudah bersentuhan dengan aspek simbolis, ikonografi, dan kebendaan, maka harus mampu menempuh jalan mistik sekaligus memunculkan mitos baru dalam penghayatan spiritualnya dengan mistifikasi kebendaan. Semua itu dilakukan dengan maksud yang mulia, yakni untuk menyeimbangkan alam kodrati dan alam adi kodrati. Untuk itulah, masyarakat Bali yang beragama Hindu meramu konsep ibadah keagamaan dengan mengadakan upacara-upacara dan ritus yang bersifat siklus serta periodik dalam kehidupan


(4)

sehari-hari. Apabila dilihat dari ajaran agama Hindu, ritual serta upacara-upacara keagamaan merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu selain tatwa (filsafat) danetika.

Berbagai ritual dilaksanakan oleh masyarakat Bali sebagai bentuk konsistensi keimanannya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa. Salah satu ritual menurut ajaran Hindu wajib dilakukan adalah ber-yadnya. Bentukyadnyayang utama terletak pada pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan dimaksud adalah ketulus-ikhlasan serta kesucian dan kemurnian dalam melaksanakan yadnya. Rasa tulus dan ikhlas merupakan salah satu wujud sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya karena sifat-sifat beliau yang serba Maha. Yadnya adalah kerja yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan makhluk ciptaan-Nya. Kerja merupakan tanggung jawab, terutama sebagai swadharmamasing-masing, itulah yang dinamakan kerja yang profesional.

Yadnya merupakan korban suci yang dilakukan dengan pikiran dan hati yang tulus ikhlas. Kedudukan yadnya dalam agama Hindu sangat penting, sebab banyak hal berhubungan dengan yadnya, seperti pelaksanaan tapa (pengendalian diri), japa (mengulang-ulang nama Tuhan), mantra(sloka-sloka suci, doa-doa pujian), upacara danupakara yadnyayang meliputi sarana upakara keagamaan, yoga dan pelaksanaan meditasi (perenungan). Semua itu dilakukan dengan ber-yadnya dalam rangka menuju hidup yang Satyam, Siwam, Sundharamatau menuju ke kelepasan hidup. Hal ini dapat terwujud setelah tiga hutang dibayar yang dinamakan Tri Rna(Dewa,Pitra, danRsi Rna) merupakan hutang moral yang harus dibayar.


(5)

Ajaran agama Hindu mengajarkan agar dalam melakukan kewajiban ber-yadnya dengan hati tulus ikhlas, dan pada hakikatnya kemanapun atau kepada siapapun yadnya itu ditujukan atau persembahkan adalah karena keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Apabila diperhatikan apa yang terjadi di lapangan pada saat ini, tidak jauh beda dengan apa yang disebut zaman Kali atau zaman edan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya mencari solusi agar pengaruh zaman Kali dapat diminimalisir. Satu-satunya cara adalah dengan mengintensifkan pelaksanaan ber-yadnya atau bentuk ritual lainnya dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang.

Di dalam buku “Sanggahan Hindu Terhadap Isu Kiamat” disebutkan bahwa pada zaman Kaliyuga semuanya telah berubah menjadi zaman “Kalamasha” (zaman tidak murni). Pencemaran ada dimana-mana, tidak saja pencemaran terhadap unsur Panca Maha Bhuta (bayu, akasa, teja, apah, dan prthivi) atau udara, langit, api, air, dan tanah yang berpengaruh terhadap kondisi dan suhu tubuh manusia. Suara yang didengar sudah tidak murni lagi, kekerasan terjadi dimana-mana, begitu pula permasalahan sosial lainnya membuat dunia ini tercemar. Untuk memurnikan semua itu, ada satu cara, yaitu mengucapkan nama-nama Tuhan berulang kali (Wibawa, 2012:203).

Berbagai ritual dan tradisi mistik yang dikaitkan dengan wacana RK di Bali banyak namun, yang dibicarakan beberapa secara terbatas, terutama yang pelaksanaannya langsung berkaitan dengan laut, antara lain: ritual nyegara-gunung, labuhan (larung 1 Suro), petik laut, mapakelem (larung bumi), dan melasti. Demikian


(6)

halnya RK yang awalnya dipercaya sebagai roh dewi laut oleh masyarakat pesisir Selatan Jawa, namun dalam penyebarannya di Bali dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai kekuatan atau shakti dewa Baruna yang menguasai dan melindungi laut menurut agama Hindu.

Itu sebabnya, sebagai wujud terima kasih masyarakat di Bali senantiasa melakukan ritual sesaji di laut. Mitos, religi, dan ritual merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Beberapa ritual yang dilakukan untuk penghormatan terhadap laut sudah menjadi tradisi sejak zaman Bali kuno sebagai karakter bagi masyarakat pesisir yang multikultur seperti gambar di bawah ini

Masyarakat Multikultur (Dok: Yudari 2015)

Gambar di atas sebagai petanda dan menunjukkan adanya harapan terhadap masyarakat yang multikultur agar dapat menerima segala bentuk perbedaan untuk mencapai kedamaian. Dalam kaitannya dengan wacana mitos RK kelompok masyarakat yang demikian itu manjadi salah satu kelompok pendukung dan pemuja.