Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul

83 menyebabkan pembuatan tempat pemujaan di pesisir Selatan karena dekat dengan sumber mata air, yakni laut.

4.2. Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul

Bentuk persepsi wacana mitos RK merupakan sekumpulan informasi dari para informan nara sumber terpilih, yang karena pengetahuan dan pengalamannya dipandang memahami mitos tersebut. Bentuk persepsi yang diperoleh dari para nara sumber, dikumpulkan dengan teknik dan metode pengumpulan data yang berlaku pada umumnya, yakni wawancara. Bentuk persepsi masyarakat terhadap wacana RK yang telah dikelompokkan menjadi 2 versi disusun kembali rekonstruksi menjadi teks. Bentuk persepsi masyarakat terhadap mitos RK di pesisir Bali Selatan bermacam-macam, menyebabkan wacana mitos RK sangat variatif, sesuai profesi dan tujuan masing-masing kelompok masyarakat. Ada tiga kelompok profesi masyarakat yang diminta informasinya, yaitu: 1 kelompok paranormal dan penekun spiritual; 2 kelompok nelayan kehidupan di pantailaut; 3 kelompok masyarakat multikultur melaksanakan aktivitas keagamaan yang berhubungan dengan laut. Pengolahan data menggunakan metode kualitatif dengan kajian wacana naratif. Oleh karena itu, dalam pengolahan data tetap memperhatikan unsur-unsur pengutuh wacana, yakni aspek kohesi dan koherensi. Melalui wawancara, perekaman, dan pencatatan seperlunya, terhadap ketiga kelompok masyarakat tersebut diperoleh 2 versi wacana mitos tentang RK di Pesisir Bali Selatan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pada saat menganalisis struktur, fungsi, dan makna tekstual. Dengan 84 mengutip paragraf wacana atau persepsi dari ketiga kelompok masyarakat yang belum difragmentasi cuplikan diharapkan kealamiahan naturalisasi dan sifat wacana tetap terjaga keutuhannya. Bagaimanapun bentuk wacana RK di pesisir Bali Selatan, semua tergantung dari sudut pandang masyarakat. Adapun bentuk-bentuk persepsi ke tiga kelompok masyarakat tersebut di atas tentang mitos RK di pesisir Bali Selatan adalah sebagai berikut. 4.2.1 Kelompok masyarakat dengan profesi Paranormal Penekun Spiritual. Kelompok paranormal penekun spiritual dimaksudkan, adalah masyarakat yang menjalankan profesi sebagai paranormal dan menekuni bidang spiritual. Kelompok ini terdiri atas: ‘pemangku’, balian dukun, pertapa, dan orang yang melakukan pencarian spiritual dengan cara memuja RK sebagai sasuhunan mamundut. Kelompok masyarakat ini memandang RK sebagai ‘roh’ penyelamat yang menguasai lautan. Bagi kelompok ini, RK dipahami sebagai ‘roh’ leluhur yang sudah lama meninggal, namun karena situasi dan kondisi alam yang tidak menentu, maka oleh Tuhan ‘roh’ tersebut seolah-olah dihidupkan kembali untuk membantu mengatasi dan mengobati permasalahan duniawi yang dialami oleh manusia. Oleh karena itu, RK dipandang sebagai ‘ibu nusantara’. Kelompok ini lebih memahami adanya konsep ‘roh’ dan reinkarnasi. Pemahaman seperti ini terwakili dari kutipan pernyataan salah satu paranormal, sebagai berikut: “saya bukanlan putri raja, tetapi Tuhan menciptakan saya sebagai Dewi Penguasa Dasar Lautan, bersama-sama Dewa Wisnu ada di atas saya dan banyak diberikan penjagapengawal berupa jin yang siap memberikan kekayaan, kesuksesan, 85 dan berkah yang ada di dasar lautan kepada manusia atas seijin Dewi Dasar Lautan Ratu Kanjeng Kidul. Ijin saya berikan untuk menulis tentang ‘saya’ tetapi tolong jangan hal ini disebarluaskan, katakan saja bahwa saya adalah Dewi Penguasa Dasar lautan.” Boleh dibilang ‘ratu kanjeng’ bukanlah manusia, mungkin beliau itu lebih tepat dikatakan‘roh’yang dengan sengaja ditugaskan sebagai malaikat karena memiliki sifat-sifat kedewataannya manusia super. Beliau ditugaskan menjaga dan melindungi sumber mata air khususnya laut dengan segala biota yang ada di dalamnya agar tidak dirusak oleh manusia wawancara dengan I. A. Armeli, 4 Juli 2015. Begitu pula dengan Bung karno, saya bisa kaitkan dengan proses dan keyakinan keberadaan ‘Bhatara Hyang Guru’ bahwa yang dikatakan Hyang Guru itu dahulunya juga manusia yang berperilaku baik dan telah meninggal, lalu disebut sebagai leluhur. Para leluhur yang mengalami reinkarnasi berulang-ulang hingga karmanya dibayarkan semua, sehingga akan naik statusnya menjadi DewaBhatara. Demikian juga Tuanku Bung karno dan Ratu Kanjeng. Banyak yang memohon keselamatan, kesehatan, kekayaan, kesuksesan, kemakmuran berkah kepadanya. Perlakuan seperti inilah yang terjadi pada saat ini di Bali. Artinya, beliau adalah juga leluhur kita yang patut dihormati dan dimuliakan, dipuja dengan membuatkan tempat pemujaan serta menghaturkan persembahan wawancara dengan I B. Miyasa, 4 Juli 2015. Paranormal lainnya menyebutkan RK sebagai ‘ibu nusantara’ nenek moyangleluhur ada dalam kutipan berikut; “sejak itu ‘bunda’ memang lebih sering berada di Bali turut serta menjaga kestabilan kondisi pulau Bali dan masyarakat Bali secara ‘niskala’ karena beliau adalah leluhur kita ibu nusantara yang sudah ada sejak zaman Hindu Kuno wawancara dengan Mangku Made Wirya, 25 Januari 2014. Hal senada juga disampaikan oleh Mangku Nengah Sarba wawancara, 13 Juni 2014 sebagai berikut; “ saya adalah ‘abdi’ setia dari Kanjeng Ratu KidulBunda Ratu. Beliau adalah ‘ibu nusantara’ yang kini menguasai samudra selatan. Andre Mujiarto wawancara, 2013, dalam wejangannya juga mengatakan; “Ratu Kidul saya sebut Kanjeng Ibu Ratu Kidul, adalah sosok ‘da tan kasat mata’ bukan mitos atau cerita legenda, sehingga tidak perlu diragukan kebenarannya. Beliau adalah penguasa samudra Selatan yang secara sengaja diciptakan oleh Tuhan, ibarat ‘malaikat’ memiliki sifat-sifat layaknya dewa turun ke bumi sebagai penyeimbang dan membantu manusia mengatasi segala permasalahan duniawi. Mangku Made Suada wawancara,12 April 2014, menginformasikan; “Di tepi goa Kelelawar Suci terdapat pelinggih menyerupai tugu, dipercaya sebagai ‘pelinggih Ratu Biyang Sakti’ yang diyakini oleh masyarakat, khususnya paranormal merupakan manifestasi Ratu Pantai Selatan Ratu Kidul karena berbalut kain hijau. Ida Bhatara di pelinggih ini Ratu Biyang Sakti juga dipercaya turut menjaga keselamatan dengan memberikan rasa aman dan memberikan berkah bagi para nelayan di laut. Di sanalah Kebo Iwa sering melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. 86 Mangku Ema wawancara, 16 Juli 2015, di Pura Batu Bolong Yeh Gangga juga menyatakan, bahwa yang dipuja di Pura ini adalah ‘Ratu Biyang Sakti’ Dalem Dasar Laut Jawa dan Bali berwujud perempuan cantik berambut panjang masih merupakan generasi anak dari leluhurnya di Pura Rambut Siwi. Beliau adalah Ratu Pantai Selatan Ratu Kidul. Hasil terawangan beberapa paranormal juga mengatakan bahwa, pemujaan terhadap Dewi Laut ini berkaitan dengan ditemukannya ‘batu akik’ di Pura Luhur Srijong pantai PayanSoka, Pura Batu Bolong Yeh Gangga dan Pura Tanah Lot. Benda-benda itu yang menjadi dasar kepercayaan masyarakat, khususnya para ‘balian’ paranormal terhadap Pura Batu Bolong telah dijaga oleh seorang dewi Laut yang cantik dan pemurah. 4.2.2 Kelompok masyarakat profesi Nelayan kehidupan pantailaut. Masyarakat yang tergolong kelompok nelayan adalah masyarakat yang dibentuk salah satunya dengan tujuan menambah pendapatan setiap anggotanya melalui penangkapan ikan, baik untuk konsumsi sendiri maupun komersial. Hampir semua anggotanya adalah para pekerja yang pada siang hari berprofesi sebagai pekerja yang berkaitan dengan budidaya ikan. Pada saat senggang atau pada saat malam hari, para anggota kelompok menangkap ikan untuk konsumsi maupun dijual. Beragam teknik dilakukan sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan untuk menambah pendapatan. Pekerjaan sampingan ini salah satunya adalah mengolah lahan pertanian atau pekerjaan sampingan lain terutama pada saat kondisi laut tidak mendukung. Tujuan dibentuknya kelompok nelayan adalah untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Di samping itu, untuk mengubah pola pikir setiap anggota dari menangkap ikan sebagai sampingan menjadi profesi yang menjanjikan dan menghasilkan, memupuk rasa kerja sama dan solidaritan sesama nelayan. Hal yang terpenting adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok khususnya serta masyarakat pada umumnya bisa 87 meningkat. Selain masyarakat nelayan, termasuk juga petani, jasa, dan pedagang yang beraktivitas dan mencari kehidupan di pantailaut. Kaitannya dengan wacana mitos RK, mereka pada umumnya mempersepsikan RK sebagai penguasa laut dan melindungi dari gelombang besar pada saat melaut atau melaksanakan aktivitas masing-masing. Oleh karena itu, mereka meyakini pada setiap datangnya bulan Suro wajib melaksanakan ritual ‘petik laut’ nelayan yang berasal dari Jawa. Sedangkan masyarakat lain yang mencari kehidupan di pantailaut bahkan setiap hari mempersembahkan sesaji kepada penguasa laut sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui malaikatnya Kanjeng Ratu Kidul dan dewa-dewi penguasa sumber air. Adapun wacana tentang hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut. “suatu hari saya bersama satu orang teman berangkat melaut. Di seperempat perjalanan teman saya bergurau ingin bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Belum sampai di tengah laut tiba-tiba kami melihat ombak menggulung. Teman saya langsung pingsan tidak sadarkan diri dan sampai kini tidak bisa ngomong atau ‘kolok”. Ketika ditanyakan kepada orang pintar, dikatakan bahwa pada saat kejadian, Kanjeng Ratu sedang berada dalam gulungan ombak wajahnya cantik dan anggun seperti yang ada pada lukisan-lukisan itu. Akan tetapi, saya tidak melihat, sedangkan teman saya melihat hingga terkejut dan pingsan. Pengalaman dan kejadian itu membuat saya tidak lagi melaut dan mengubah profesi menjadi tukang batu karena takut bertemu Kanjeng Ratu dan bisa kolok seperti teman kami. Para nelayan di sekitar laut, sampai di pantai Pengambengan setiap bulan Suro selalu mengadakan ritual ‘Petik Laut’. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan sekaligus kesejahteraan keluarganya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui perwujudan Kanjeng Ratu Kidul. Kami yakin dapat membantu memberikan solusi atas permasalahan yang kami alami terutama ketika berada di laut. Walaupun sering terjadi kecelakaan di laut, namun tradisi ‘petik laut’ tetap saja kami lakukan karena profesi kami sebagian besar menjadi nelayan dan bermukim di dekat laut wawncara dengan Kotot, 13 Juni 2014. Ida Bagus Surata wawancara, 12 Juli 2015 menuturkan, bahwa di pantai Yeh Gangga khususnya di luhur Batu Bolong ini memang sering dilihat oleh paranormal ada penampakan wanita cantik menyerupai lukisan Dewi Gangga. Itu sebabnya 88 wilayah ini sangat disakralkan, dengan membuat larangan untuk mandi dan mengotori pantai. Beliau dipercaya menjaga potensi kekayaan laut, yakni ‘udang lobster’ dan melindunginya dari para nelayan liar. Di tempat ini dipercayai ada dewa dan dewi yang menjaga laut, beliau adalah Dewa Baruna dan Dewi Gangga. Dewi Gangga sebagai Ratu Laut Selatan Ratu Kidul di Bali. Pantai ini juga sering digunakan untuk upacara ritual ‘Melasti’ dan ‘Nyegara-Gunung’. “Pada zaman dahulu, masyarakat di sekitar lokasi sebagian besar menggantungkan hidupnya di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani, konon melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai barbatu karang. Di sekitar cahaya itu masih dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di wilayah ini dahulu kala merupakan daerah pertanian, masyarakat subak bercocok tanam seperti;padi, jagung, palawija, menurut musim dan hari wewaran atau hari baik. Masyarakat setempat meyakini tempat terlihatnya cahaya merupakan pertanda kebaikan bagi kehidupan. Keyakinan itulah yang menyebabkan dibangunnya pura yang diberi nama Srijong”wawancara dengan Mangku Made Suada, 12 April 2014. 4.2.3 Kelompok masyarakat Multikultur. Kelompok masyarakat multikultur, masih relevan untuk ditelaah karena sesuai dengan semboyan negara Indonesia “ Bhineka Tunggal Ika”. Masyarakat multikultur lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak, walaupun berbeda-beda suku bangsa, ras, maupun agama. Masyarakat dimaksud menekankan pada keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan atas perbedaan budaya. Nasikun dalam Geertz, 1996:253 mengatakan, masyarakat multikultur adalah masyarakat yang bersifat majemuk dan secara struktur memiliki sub-sub kebudayaan yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat karena sering muncul konflik-konflik sosial. Dengan demikian masyarakat multikultur merupakan masyarakat: a mengakui perbedaan dan kompleksitas dalam masyarakat; b menjunjung tinggi 89 unsur kebersamaan, kerja sama, selalu hidup berdampingan dengan damai meski terdapat perbedaan; c menghargai hak azasi manusia dan toleransi terhadap perbedaan; d tidak mempersoalkan kelompok minoritas maupun mayoritas; e merasa sederajat dalam kedudukan status sosial walaupun berbeda dalam kebudayaan dan SARA. Kelompok ini, dapat menerima keragaman dalam kehidupan, seperti: nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Istilah multikultur identik dengan majemuk, dan memiliki ciri beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya, berwarna-warni. Dalam kaitan dengan penelitian ini, masyarakat multikultur yang dimaksud, terdiri atas: tokoh masyarakat, agamawan, politikus, ilmuwan, pedagang, pejabat legeslatif, ekskutif, dan yudikatif yang secara langsung mengakui dan turut serta melakukan pemujaan terhadap laut melalui manifestasi RK. Kelompok ini memahami RK merupakan reinkarnasi dan sakthi dari dewa penguasa laut menurut Hindu. Dengan pemahaman dan sudut pandang seperti itu, maka muncullah pemberian nama terhadap RK berbeda-beda. Ada yang memandang sebagai putri raja yang telah bereinkarnasi secara berulang, dan ada pula yang memahami RK sebagai reinkarnasi dewa-dewi pelindung sumber mata air menurut Hindu dan pemberi berkah kesuburan, kesejahteraan kepada umat manusia. Persepsi terhadap keberadaan RK dapat di lihat dari kutipan hasil wawancara berikut. Mangku Laksana wawancara, 6 Juni 2014 menginformasikan; “Konon pada waktu itu, Ida Danghyang Sidhi Mantra beryoga semadhi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa yakni Sanghyang Siwa dan Sanghyang 90 Baruna Gni sebagai penguasa samudra raya. Kemudian Dang Hyang Sidhi Mantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah tepat di daerah ‘ceking geting’ ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan itu air lautpun terguncang bergerak membelah bumi sehingga daratan Bali dan tanah Jawa yang semula jadi satu, akhirnya terpisah oleh lautan lalu dinamakan Selat Bali. Sedangkan ‘lingga’ ini ditemukan berbarengan dengan pendirian Pura Segara Rupek yang kemudian oleh masyarakat diyakini sebagai tempat memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati yang bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul KRK. Suatu ketika Dewa Siwa mengajarkan kepada Dewi Parwati ilmu ‘Tantra’, namun dalam proses pembelajaran, Dewi Parwati tidak berkonsentrasi akibatnya ilmu yang diajarkan tidak bisa meresap. Akhirnya Dewa Siwa murka, lalu menghukum Dewi Parwati atas kegagalannya dengan mengirimnya kepada Dewi Gangga hingga bereinkarnasi menjadi putri seorang nelayan. Singkat cerita, penjelmaan sebagai putri seorang nelayan dimaksudkan agar dapat lebih memfokuskan pikiran, dalam mengatasi segala permasalahan duniawi. Pada reinkarnasi berikutnya beliau berwujud dan bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul KRK yang kini dipercaya oleh masyarakat di Jawa sebagai ratu penguasa pantai Selatan, tetapi di tempat ini dipercaya melindungi satwa langka. Pengiring ancangan dan unen-unen beliau adalah ‘buyung bangke’ lalat hijau. Dahulunya RK adalah seorang putri raja, sekitar abad ke-8 yang sangat cantik. Saking cantiknya semua laki-laki tertarik, akhirnya dikenai guna-guna rusaklah mukanya, karena malu lalu sang putri melarikan diri ke laut selatan namun kemudian diberikan anugerah oleh ‘Bhatara Segara’ dijadikanlah penguasa lautan wawancara dengan I B. Miyasa, 4 Juli 2015. Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul, dahulunya adalah seorang putri yang pandai menari sehingga menjadi kesayangan pangeran. Namun, cinta mereka tidak mendapat restu dari raja sehingga dia menceburkan diri dan menjadi penguasa di laut Selatan Meme Bukit. Mangku KomingMk. Gede wawancara, 11 Juli 2015 menceritakan bahwa Ratu Kidul di tempat ini memang sering hadir terutama saat pujawali piodalan yang jatuhnya pada hari Buda Cemeng Ukir. Tanda kehadiran beliau dituturkan sebagai berikut: Pada puncak piodalan biasanya ada salah satu ‘pemangku’ mengalami ‘kerawuhan’ trans tidak berhenti-henti sampai kemudian secara tiba-tiba air laut naik setinggi ± 2 meter terbelah lalu berjalan melewati gundukan pasir sejauh ± 0,5 km bergerak ke arah utara membentuk ‘loloan’, dan air itupun seolah berhenti mecangcang di depan sebuah jembatan yang menghubungkan antara pantai dengan Pura serta diikuti banyak sampah. Orang yang mengalami ‘kerauhan’ secara otomatis berhenti. Bila dihubungkan dengan dunia ‘niskala’ orang yang punya naluri spiritual tinggi melihat telah datang sebuah ‘perahu emas’ berhenti mecangcang bersama seorang putri cantik yang anggun. Sesuai tradisi, kedatangan air tersebut ‘dipendak’ dijemput dengan sesaji, dengan mengatakan Ratu Bhatari Solo ‘sampun rawuh’ sudah datang 91 akan menyaksikan prosesi ritual piodalan di Pura ini dan air yang ‘mecangcang’ itu langsung mengalir turun ke sungai rawa-rawa di bawah jembatan. Di Pura Susunan Wadon terdapat sebuah pelinggih yang berbalut serba hijau. Dasar pelinggih dijaga oleh patung buaya. Menurut Mangku Dalem Sakenan wawancara, 27 Maret 2014, yang bersthana pada pelinggih itu adalah “Ratu Ayu Manik Macorong Dane Gusti Blembong”. Nama inilah yang dikaitkan dengan Dewi Penguasa Laut Selatan Ratu Kidul. Pada saat ini, disthanakan di Pura Dalem Sakenan pada pelinggih ‘Sawang Dalem’ yaitu pelinggih yang berada di luar samping kiri pura Dalem Sakenan. Pura Dalem Sakenan ini, diyakini sebagai tempat krama subak memohon keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan agar segala tanaman di sawah dan ladang terhindar dari hama. Masyarakat meyakini bahwa ‘Hyang Sakenan’ dapat mengendalikan walang sangit sedangkan ‘Hyang Masceti’ mengendalikan tikus-tikus perusak tanaman. Mangku Tamat wawancara, 12 Juli 2015 menuturkan, bahwa cerita tentang RK sering terdengar di tempat ini. Namun, hanya sebatas ‘anjangsana’ karena tidak ada situsnya, artinya beliau tidak diperdewakan. Akan tetapi, dalam agama Hindu selalu percaya adanya ‘Rwa-Bhineda’ yang diibaratkan sebagai Timur-Barat atau laki-perempuan. Atas dasar kepercayaan itu, mula-mula dibangun Pura Dalem Cemara lanang jauh sebelum adanya Pura Sakenan yang berkaitan dengan Pura Giri Sloka di Alas Purwa wadon. Di pantai Serangan juga ada Syahbandar pelabuhan sehingga menimbulkan berbagai persepsi masyarakat dan selalu mengaitkan dengan keberadaan Siwa Hindu dan Budha. Kalau di Jawa RK dianggap dewi Laut, sama dengan di Bali yang namanya ‘Laut’ tetap dipuji dan disakralkan terutama oleh orang-orang intelek spiritual. “Dengan kata dan nama apa kau bisa sembah, kalau sudah percaya A, ya tetap A, pada dasarnya apapun yang kita katakan ‘jeg tetep Ida eling’. Laut pesisir Bali Selatan dari pantai Gilimanuk sampai Padangbai disakralkan, maka cerita RK pasti ada tetapi dengan persepsi dan cara penyampaian yang berbeda. Menurut Wayan Lutur wawancara, 17 Juli 2015 di Pura Tunggak Tiying ada beberapa palinggih, antara lain: palinggih Ida Ulam Agung, Ida Panji Landung, Palinggih Surya, Palinggih Ratu Niyang, Ratu Syahbandar, Ida Buaya Putih pengabih Ratu Pantai Selatan. Dinamakan Tunggak Tiying konon pernah ada serumpun pohon bambu yang terbakar oleh ilmu kawisesan leluhur Puri Kesiman, tinggal satu tonggak bongkol bambu yang tidak terbakar. Tonggak itulah sebagai tanda untuk penamaan Pura ini. Pernah juga ada penampakan api di ‘sunduk bale’ di atas kepala Ratu Ngurah Mangku yang sedang ‘mekemit’. Antara sadar dan tidak sadar, Ratu Ngurah didatangi keselang, menampakkan diri dalam wujud asli sebagai ‘tengkorak’. Melalui mimpi itu, Ida Panji Landung menampakkan diri seperti patung yang ada pada saat ini yang menggunakan ‘kampuh’ poleng tiga warna. Hal ini juga didukung dan dibenarkan oleh Anak Agung dari Puri Blahbatuh, bahwa tiga warna yang dimaksudkan karena Ida sudah ‘meraga’ Hyang Tri Sakti. Di Pura Tunggak Tiying yang dinamakan Ratu Kidul adalah Ratu Niyang ring Tengah Segara yang bergelar Ida Ratu Ayu Mas Kentel Gumi beliaulah Nyi Roro Kidul. Beliau telah menciptakan pulau Serangan yang muncul di tengah laut sehingga dinamakan pulau 92 Mas. Pada saat dilakukan reklamasi, pernah ada petunjuk gaib untuk segera menata kembali Pulau Serangan dan melindungi semua parhyangan yang ada yakni sebanyak 28 pura termasuk beji pura. Dalam kaitannya dengan cerita Ratu Kidul wawancara dengan Mangku Mertasari, 19 Maret 2014 dikatakan bahwa, Ida Ratu Dalem Segara bergelar ‘Ratu Ayu Mas Manik Tirta’ yang dimaksud. Beliau merupakan putri dari ‘Ida Bhatari Dewi Danuh’ penguasa dan pelindung sumber mata air yang secara khusus ditugaskan melindungi kesakralan Pura dan pantai. Biasanya, di pura ini orang memohon kesuburan tanaman pertanian dan memohon pengobatan untuk penyembuhan dengan cara ‘malukat’. Bagi yang ingin ‘malukat,’ dibebaskan untuk memilih ‘Tirta Penglukatannya’, boleh diambil dari air laut atau dari sumber air yang ada di di tempat ini. Biasanya pilihan ‘tirta’ sesuai dengan kata hati kleteg bayu dan ‘rasa’. Kedatangan mereka atas dasar niat baik dan permohonan yang tulus ikhlas ke hadapan Ida Sanghyang Widhi, apapun permohonannya dipastikan mendapat hasil. Mangku Made Ranten wawancara, 3 Juni 2013 menuturkan, bahwa pura yang sudah berstatus Dang Kahyangan ini dikenal oleh masyarakat sebagai tempat melaksanakan ritual ‘malukat’ yakni ritual pembersihan diri secara lahir bathin guna menghilangkan segala noda, dosa, dan penyakit fungsi pengobatan. Ritual ‘melukat’ didahului oleh prosesi pemujaan kepada dewa-dewi penguasa sumber mata air pemberi kesembuhan dan keselamatan melalui doa sae salah satu disebutkan ‘Ratu Gede Sekaring Jagat’. Beliaulah Ratu Laut Selatan Ratu Laut Kidul yang kini sudah dipercaya di Bali turut serta bersama dewa-dewi lainnya membantu manusia mengatasi segala permasalahan duniawi. Sebelum ritual melukat dilaksanakan, ‘pemedek’ harus bersembahyang matur piuning terlebih dahulu pada sebuah palinggih yang diapit ‘patung buaya putih’ yang dipercaya sebagai pengawal ancangan RK. I Gusti Lanang Putu wawancara, 11 Juli 2015 menuturkan, bahwa pura yang diberi nama Sukeluih Suun Kidul ini sesungguhnya diartikan sebagai Ida Sesuhunan ring Kidul yang telah dibuatkan tempat yang indah dan bagus. Keberadaan pelinggih ‘meru tumpang sebelas’ yang ada di ‘utama mandala’ berkaitan dengan pelinggih lain dan menyimpan banyak misteri terutama dengan pelinggih di ‘nista mandala’jaba Pura yang tanpa identitas. Informan menceritakan tentang keberadaan Pura, bahwa pada zaman dahulu diceritakan seorang putri yang berasal dari desa Keramas-Gianyar menikah ke Puri Blahbatuh. Menjadi warga dan berada di lingkungan Puri memang selalu mendapat pengawasan yang ketat terutama dalam hal perilaku, etika tata krama dan kedisiplinan harus dipatuhi. Suatu ketika Putri ini difitnah dan dituduh berselingkuh dengan seorang lelaki kasta sudra yang bernama I Gina. Sampai akhirnya kedua insan itu dibunuh atas perintah Raja. Namun sebelum mati yang perempuan berpesan apabila benar mereka berselingkuh cirinya air laut akan tenang-tenang saja, tetapi jika tidak benar maka air laut akan naik mengguncang wilayah ini. Ternyata air laut sempat naik setinggi 4 meter menggulung ke daratan merusak wilayah sekitar, dan itu artinya mereka tidak benar berselingkuh alias difitnah. Oleh karena itu mereka ‘ngrebeda’ dan minta 93 supaya dibuatkan ‘pelinggih’dengan bangunan ‘meru’ berbahan dari batang pisang gedebong. Bisa dibayangkan, bahan dari batang pisang sifatnya hanya sementara, sehingga setiap minggu harus diganti oleh para ‘panjak’ kawula. Lama-lama para ‘panjak’ merasa kewalahan, lalu dibuatkan pelinggih dengan ‘meru tumpang sebelas’ yang permanen untuk sang Putri. Palinggih meru itulah yang sekarang menjadi Pura diberi nama Sukeluih Suun Kidul. Sedangkan yang laki dibuatkan pelinggih tetapi ditempatkan di luar jaba sisi tanpa nama. Dengan pembuatan ‘meru tumpang sebelas’ sang Putri sudah dianggap ‘meraga Siwa-Budha’ menyatu antara ‘roh’ dengan Tuhan. Dari pemahaman masyarakat setempat sang Putri itulah yang dijuluki Ratu Kidul. Kini saya dengar ada wacana untuk menjadikan Pura ini sebagai Pura Dang Kahyangan. Menurut Alit Adnyana wawancara, 21 April 2014 di Pura CWS, banyak manifestasi Tuhan yang dipuja. Paling Timur ada pelinggih Dewa Baruna dengan sakthinya Ratu Kidul Kanjeng Ratu sebagai penguasa laut, makanya jenis sesangi kaul warga di sini serba hijau. Di lokasi ini juga sering dilakukan ritual ‘ngangkid’ dan ‘nyegara-gunung’. Sampai saat ini pantai Padang Galak Pura CWS dapat digunakan sebagai situs melaksanakan ritual ‘melasti’ dan rital ‘malukat’, bahkan masyarakat dari berbagai desa se-Bali berdatangan ke pantai ini, asalkan dapat memilih dan memilah tempat yang di tuju. Di sini juga ada pelinggih Ratu Gede Mas Mecaling yang pernah mengajak saya ‘terbang’ke Nusa Penida. Juga ada patung Dewi Durga, Ganesha, Siwa, Budha, Dewi Kwan Im dan lainnya. Semua arcapatung merupakan aturan persembahan dari para ‘pemedek’ yang tidak diketahui dari mana asalnya karena merasa mendapatkan berkah, atau kemungkinan si pemilik sadar dan merasa bukan haknya untuk menyimpan. Berkaitan dengan arcapatung RK serta gedong suci, sesungguhnya tidak ada cerita khusus tentang beliau. Menurut perkiraan saya banyak hal yang menyebabkan, diantaranya: setiap manusia punya ‘rasa’dan ‘hati nurani’ atau naluri bathiniah dan kepercayaan atas fenomena yang terjadi terhadap diri masing-masing. Naluri dan ‘rasa’ atau kleteg bayu dicetuskan menjadi keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat ‘gaib’, dengan mempercayai RK. Pendirian gedong suci RK baru-baru ini atas prakarsa seorang donatur, yakni Ibu Wiwik atau lebih dikenal Jro Campuan, yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah dihaturkan dengan cuma-cuma dengan rasa tulus ikhlas. Mungkin saja melalui mimpi atau perbuatan yang bersifat kebetulan, dia telah mendapat berkah atas keyakinannya. Di Pura ini, RK diyakini sebagai aspek sakthi dari Dewa Baruna sebagai manifestasi Dewa Wisnu. Saya yakin dan percaya bahwa ada alam lain di luar alam manusia yang terkadang dapat membantu memberikan kekuatan pada saat manusia mengalami masalah. Walaupun menurut keyakinan Hindu dewa laut adalah Dewa Baruna, akan tetapi lautan yang luasnya tidak terbatas tidak mungkin sendirian mengelolanya tanpa adanya kekuatan tambahan, sehingga diperlukan dewa-dewi lain sebagai pendamping-Nya. Keberadaan pelinggih Kanjeng Ratu Kidul tidak terlepas dari peristiwa tsunami yang pernah melanda Aceh tahun 2004 dan berdampak ke seluruh Indonesia 94 termasuk Bali. Pada akhir tahun 2004 telah terjadi abrasi yang dahsyat di pantai Klotok yang menyebabkan hampir semua bangunan di pinggir pantai ambruk termasuk sebuah pelinggih yang sebelumnya diyakini tempat memuja Bhatara Segara. Kondisi inilah menjadi dasar pendirian palinggih Kanjeng Ratu Kidul atas petunjuk paranormal setelah mengalami ‘kerauhan’ trans. Menurut Dewa Soma wawancara, 23 Maret 2014, Tidak ada cerita khusus tentang RK, namun gagasan pendirian pelinggih KRK merupakan pengganti pelinggih Bathara Segara yang telah hancur. Terlepas dari semua itu, pantai Klotok memang memendam misteri yang sulit dianalisis nalar sehat. Bentangan pantai dari pohon ketapang kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan ‘kopasus’ Ratu Gede Nusa. Siapapun yang berani berbuat onar dan kurang ajar di pantai ini, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat. Di tempat ini masyarakat dituntun untuk berperilaku yang baik beretika terutama menjaga kesakralan dan kebersihan pantai agar tidak tercemar. Di pantai Padangbai berkaitan dengan keberadaan Pura Segara. Informan keduapuluhempat yakni, pemangku Pura Segara Mangku Kadek Wirasa wawancara,16 Juli 2015 menuturkan bahwa, persis pada dermaga penyeberangan menuju Pura Dalem Ped yang juga digunakan dermaga kapal pesiar ini sebagaimana sering diwacanakan oleh para penekun spiritual, di sanalah seringkali terjadi pertemuan beliau Ratu Pantai Selatan sebagai Ratu para lelembut dengan para dewa-dewi yang menjaga lingkungan pantai dari pantai Serangan hingga pantai Padangbai ini. Pertemuan dilakukan untuk membahas mengenai permasalahan yang terjadi di pantai dan permasalahan lain yang berhubungan dengan duniawi. Beliau secara bersama-sama menjaga laut dan isinya, menangkal semua aura negatif yang ingin masuk serta merusak pulau Bali. Bagi orang-orang yang mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi seringkali melihat penampakan-penampakan beliau. Oleh karena itu, di tempat ini masyarakat sering melakukan ritual mulang ‘pekelem’ yang merupakan sesaji, agar beliau-beliau yang maha gaib itu senantiasa melindungi, terutama yang mencari penghasilan di laut, artinya minta ijin dan berterima kasih. Tujuannya, semata-mata untuk memohon kerahayuan jagat utamanya laut yang menentukan kelangsungan kehidupan di bumi ini. Bentuk-bentuk persepsi tersebut di atas, terlihat ada pergeseran pemahaman. Dari kebudayaan Jawa yang pada awalnya mendukung keberadaan RK sebagai mitos yang utuh. Akhirnya, berubah dalam konteks kebudayaan Bali yang memiliki dasar- dasar ke-Hinduan kosmologi Hindu dalam olah pikir, dan cara pandang yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. 95

4.3 Rekonstruksi Wacana Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan