Pengenalan Tachymetri Pengukuran tachymetri untuk titik bidik horizontal

339 12 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri A D b a b a i R B m f d f c C d f1 f 2 Pr insip t achym et r i; t er opong pum punan luar 1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft. Gambar 321. Prinsip tachymetri Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Pada gambar 321, yang menggambarkan teropong pumpunan-luar, berkas sinar dari titik A dan B melewati pusat lensa membentuk sepasang segitiga sebangun AmB dan amb. Dimana ; AB = R adalah perpotongan rambu internal stadia dan ab adalah selang antara benang-benang stadia. Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri : f = jarak pumpun lensa sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif tertentu. Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma, jarak pumpun = focal length. f 1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat titik simpul lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu. F 2 = jarak obyek atau jarak dari pusat titik simpul dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f 2 tak terhingga atau amat besar, maka f 1 = f. 340 12 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri i. = selang antara benang – benang Stadia. fi .= faktor penggali, biasanya 100 stadia interval factor. c = jarak dari pusat instrumen sumbu I ke pusat lensa obyektif. Harga c sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan. C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c d. = jarak dari titik pumpun di depan teropong ke rambu. D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu Dari gambar 321, didapat : f d = . i R atau d = R i f dan D = R i f + C Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolite, alat sipat datar dan dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor pengali fi. Sama dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropong- teropong pumpunan luar yang berbeda, tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft. Satu-satunya variabel di ruas kanan persamaan adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. Yang telah dijelaskan adalah teropong pumpunan luar jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam jenis yang dipakai sekarang pada instrumen ukur tanah mempunyai kedudukan terpasang tetap sedangkan lensa pumpunan negatif dapat digerakkan antara lensa obyektif dan bidang benang silang untuk mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadia menjadi demikian kecil sehingga dapat dianggap nol. Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen lama untuk menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern dibuat dengan garis- garis stadia pendek dan benang tenaga yang penuh gambar 2 memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna. Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai, walaupun harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak pembawa tak akan berubah kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau diatur pada model-model lama. Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk bidikan horizontal berjarak diketahui sebesar D. 341 12 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri Kemudian, pada bentuk lain persamaan faktor pengali adalah fi.= D-CR. Sebagai contoh: Pada jarak 300,0 ft interval rambu terbaca 3,01. Harga-harga untuk f dan c terukur sebesar 0,65 dan 0,45 ft berturut-turut; karenanya, C =1,1 ft. Kemudian fi. = 300,0 –1,13,01 = 99,3. Ketelitian dalam menentukan fi. Meningkat dengan mengambil harga pukul rata dari beberapa garis yang jarak terukurnya berkisar dari 100–500 ft dengan kenaikan tiap kali 100 ft.

12.1.4 Pengukuran tachymetri untuk bidikan miring

Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada rambu tegak lurus dan jarak miring direduksi menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal. Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suatu titik dan rambu dipegang pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolite ke tanah. sudut vertikalnya sudut kemiringan terbaca sebesar . Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri tinggi instrumen adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar m = sudut miring. Beda tinggi = D HAB = 50 ´ BA – BB . sin 2m + i – t; t = BT Jarak datar = dAB = 100´BA – BB cos2m Gambar 322. Sipat datar optis luas 342 12 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, dan kalkulator elektronik telah dipakai oleh para juru ukur untuk memperoleh penyelesaiannya. Dalam Apendiks E memuat jarak-jarak horizontal dan vertikal untuk perpotongan rambu 1 ft dan sudut- sudut vertikal dari 0 sampai 16 , 74 sampai 90 , dan 90 sampai 106 untuk pembacaan-pembacaan dari zenit. Sebuah tabel tak dikenal harus selalu diselidiki dengan memasukkan harga-harga di dalamnya yang akan memberikan hasil yang telah diketahui. Sebagai contoh; sudut- sudut 1, 10 dan 15 dapat dipakai untuk mengecek hasil-hasil memakai tabel. Misalnya sebuah sudut vertikal 15 00’ sudut zenit 75 , perpotongan rambu 1,00 ft dan tetapan stadia 1ft, diperoleh hasil-hasil sebagai berikut. Dari tabel E-1: H = 93,30 x 1,00 +1 = 94,3 atau 94 ft Contoh : untuk sudut sebesar 4 16’, elevasi M adalah 268,2 ft ; t.i. = EM = 5,6; perpotongan rambu AB = R = 5,28 ft; sudut vertikal a ke titik D 5,6 ft pada rambu adalah +4 16’; dan C = 1 ft. Hitunglah jarak H, beda elevasi V dan elevasi titik O. Penyelesaian : Untuk sudut 14 16’sudut zenith 85 44’ dan perpotongan rambu 1 ft, jarak-jarak horizontal dan vertikal berturut-turut adalah 99,45 dan 7,42 ft. Selanjutnya… H = 99,45 x 5,28 + 1 = 526 ft V =7,42 x 5,28-0,08 =39,18+0,08 = 39,3 ft Elevasi titik O adalah Elevasi O = 268,2 + 5,6 + 39,3 – 5,6 = 307,5 ft Rumus lengkap untuk menentukan selisih elevasi antara M dan O adalah Elev o - elev M = t.i. + V – pembacaan rambu Keuntungan bidikan dengan pembacaan sebesar t.i agar terbaca sudut vertikal, sudah jelas. Karena pembacaan rambu dan t.i berlawanan tanda, bila harga mutlaknya sama akan saling menghilangkan dan dapat dihapuskan dari hitungan elevasi. Jika t.i tak dapat terlihat karena terhalang, sembarang pembacaan rambu dapat dibidik dan persamaan sebelumnya dapat dipakai. Memasang benang silang tengah pada tanda satu foot penuh sedikit di atas atau di bawah t.i menyederhanakan hitungannya. Penentuan beda elevasi dengan tachymetri dapat dibandingkan dengan sipat datar memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan pembacaan rambu sesuai bidikan minus. Padanya ditindihkan sebuah jarak vertikal yang dapat plus atau minus, tandanya tergantung pada sudut kemiringan. Pada bidikan-bidikan penting ke arah titik-titik dan patok-patok kontrol, galat-galat instrumental akan dikurangi dengan prosedur lapangan