Teori Representasi Media Chris Barker
24
pertama, adalah peristiwa yang ditandakan encode sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan atau
media. Dalam bahasa gambar terutama televisi ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi. Di sini,
realitas selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Misalnya, pengeboman kita anggap
sebagai realitas ditandakan dengan adanya suara bom, transkrip wawancara dengan orang yang mengetahuinya atau saksi mata, pernyataan pers atau dari
pihak kepolisian mengenai terjadinya peristiwa tersebut. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana realitas itu digambarkan. Di sini, kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau
proposisi, grafik, dan sebagainya. Dalam bahasa gambar atau televisi, alat itu berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian kata-kata,
kalimat, atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Peristiwa pengeboman Kedutaan besar Filiphina
tersebut dapat ditandakan kembali dengan kata-kata, kalimat, atau proposisi tertentu. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial
seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat patriarki, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Menurut Fiske, ketika
kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut. Misalnya, ada peristiwa pemerkosaan, bagaimana peristiwa
25
tersebut digambarkan? Dalam ideologi yang dipenuhi ideologi patriarkal, kode representasi yang muncul itu, misalnya, digambarkan dengan tanda posisi laki-
laki yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Atau dalam peristiwa demonstrasi, ideologi kelas sosial yang menyatakan demonstrasi itu diakibatkan oleh kelas
bawah. Kita akan mendapati kode representasional berupa kata atau kalimat tertentu yang menggambarkan pihak buruh sebagai pihak yang salah. Di sini,
kepercayaan sosial itu sering kali diterima sebagai common sense, yang diterima tanpa banyak dipertanyakan. Bagaimana ideologi tersebut meresap ke
dalam praktik kerja wartawan tanpa ia menyadarinya.
9
Tabel 2: Proses Representasi Menurut John Fiske Pertama
Realitas Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip,
dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, makeup, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi, suara
Kedua Representasi
Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis, dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan
sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya Elemen-elemen
tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan:
karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya. Ketiga
Ideologi Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode
ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya.
Sumber: John Fiske, Television Culture, London and New York, h. 5.
9
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKis, 2001, h. 114-115.
26
Representasi sebagai tindakan membangun realitas menimbulkan kebutuhan untuk menyelidiki representasi dengan cara melihat bagaimana
makna tersebut terbentuk dari representasi tersebut. Barkers menjelaskan bahwa ideologi beroperasi, salah satunya, melalui budaya popular. Common
sense atau akal sehat, lanjut Barker, adalah dasar bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan dan semua pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut. Dengan demikian, akal sehat menjadi ajang yang penting untuk memperjuangkan ideologi, terutama karena akal sehat adalah wilayah yang
dianggap wajar, yang dijadikan pedoman untuk mengatur segala tingkah laku masyarakat sehari-hari. Ideologi sering muncul sebagai sesuatu yang dianggap
masuk akal di dalam berbagai bentuk representasi sehingga tidak mengherankan bila ideologi terselip dalam budaya popular yang memiliki
aturan tersendiri mengenai apa yang masuk akal dan tidak karena dengan akal sehat tersebut, masyarakat mengatur pengalaman dan hidup mereka.