Kepastian Hukum dalam Undang-Undang Kepailitan
yang dapat ditagih di muka pengadilan. Atas dasar kepercayaan, kreditor memberikan jasa peminjaman berupa uang atau jasa kepada seorang debitor
dengan syarat bahwa debitor akan membayar kembali atau memberikan penggantiannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan
perjanjian di kedua belah pihak. Namun perlu dicatat bahwa suatu perjanjian harus dilakukan dengan cara tertulis untuk nantinya dapat dijadikan bukti yang
sah dengan tujuan untuk kepastian hukum bagi para pihak. Dalam KUHPerdata tidak dipakai istilah Debitor dan Kreditor, tetapi
dipakai istilah si berutang dan si berpiutang, kemudian Pasal 1235 KUHPerdata yang dihubungkan dengan Pasal 1234 dan Pasal 1239 KUHPerdata, yakni dalam
hal perikatan di mana dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan, dan apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya tersebut, si berutang harus memberikan penggantian biaya, ganti rugi, atau bunga. Si
berutang diartikan sebagai pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan
itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam pustaka-pustaka hukum dan kehidupan masyarakat sehari-hari,
schuldenaar disebut Debitor, sedangkan schuldeischer disebut Kreditor. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang Kepailitan disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan, debitor merupakan pihak yang nantinya bertanggungjawab untuk melakukan prestasi dalam bentuk pelunasan utang atau penggantian terhadap
uang, barang atau jasa terhadap kreditor sesuai dengan perjanjian batas waktu atau jatuh tempo yang telah ditentukan oleh kedua pihak.
Undang-Undang Kepailitan menggunakan prinsip umum yang dikenal dengan prinsip paritas creditorium.
7
Prinsip ini menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor
tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor,
8
prinsip umum ini dinyatakan dalam KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1131,
“Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikat annya perseorangan.” dan 1132,
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.” Namun demikian, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1132 KUHPerdata, prinsip ini memiliki pengecualian. Pengecualian ini dapat dilihat
pada kalimat dalam Pasal 1132 yaitu “… kecuali apabila diantara para bepiutang
7
Aria Suyudi, dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Jakarta: Dimensi, 2004, h. 81.
8
Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2003, h. 135.
itu ada alasan-alas an yang sah untuk didahulukan”. Alasan-alasan sah yang harus
didahulukan ialah kreditor yang memegang hak jaminan secured creditor, dan kreditor yang mempunyai hak istimewa berdasarkan Undang-Undang preferred
creditor. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa selain kreditor konkuren yang
kepadanya berlaku prinsip paritas creditorium ini, terdapat jenis kreditor yang didahulukan yaitu kreditor separatis secured creditor dan kreditor preferen
preferred creditor.
9
Kreditor konkuren merupakan kreditor yang tidak mempunyai kedudukan yang diutamakan atau mendahului kreditor-kreditor
lain
10
unsecured creditor. Kreditor golongan ini harus berbagi dengan para kreditor yang lain secara proposional, atau disebut juga secara pari passu, yaitu
menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan Hak Jaminan.
11