Kepastian Hukum Bagi Kreditor Konkuren Pada Babbington Developments Limited Terhadap PT.Polysindo eka Perkasa TBK Berdasarkan Prinsip Pari Passu Pro Rate Parte (Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007)

(1)

PARI PASSU PRO RATA PARTE

(Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

SEPTIANA UTAMI PUTRI

1111048000019

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Polysindo Eka Perkasa Tbk Berdasarkan Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

(Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. ix + 58 halaman + 4 halaman daftar pustaka + 26 halaman lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan prinsip pari passu pro rata parte terhadap kreditor konkuren dalam kepailitan, serta bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007.

Hasilnya bahwa penerapan prinsip pari passu pro rata parte dalam hukum kepailitan ini belum dirasa memenuhi rasa keadilan terhadap para kreditor konkuren karena masih terdapat multi tafsir terhadap putusan hakim yang membeda-bedakan antara kreditor yang mendaftar dalam kepailitan dan yang tidak, sehingga dalam kasus ini, di mana hakim menolak permohonan kasasi pemohon sehingga pemohon tidak mendapatkan sisa harta pailit.

Hal tersebut dapat dilihat pada kasus antara Babbington Developments Limited melawan PT. Polysindo Eka Perkasa, Tbk. Di mana kasus tersebut erat kaitannya dengan penerapan prinsip pari passu pro rata parte oleh putusan hakim yang tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Hukum Perdata dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Hukum Kepailitan.

Upaya analisis ini dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1131 dan 1132, serta prinsip-prinsip yang digunakan dalam Hukum Kepailitan, Hukum Dagang dan Hukum Perusahaan.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Kepailitan, Pailit, Perusahaan, Kreditor Konkuren

Dosen Pembimbing I : M. Yasir, S.H., M.H.

Dosen Pembimbing II : Nahrowi, S.H., M.H.


(6)

v

KATA PENGANTAR

ِمـــــــــْسِب

ِﷲ

ِنَمْحّرلا

ميِحّرلا

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan nikmat dari-Nyalah skripsi Penulis “KEPASTIAN HUKUM BAGI KREDITOR KONKUREN PADA BABBINGTON DEVELOPMENTS LIMITED TERHADAP PT. POLYSINDO EKA PERKASA TBK BERDASARKAN PRINSIP PARI PASSU PRO RATA PARTE (Putusan MA

No. 118 K/Pdt.Sus/2007)” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tercurahlimpahkan pada Nabi Muhammad SAW yang dengan kemuliaan akhlaknya menuntut kita pada agama yang diridhoi Allah.

Tentunya masih banyak terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Namun demikian Penulis tetap berusaha menyelesaikannya dengan kesungguhan dan kerja keras. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini ingin Penulis sampaikan setulus hati ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT yang Rahman dan RahimNya menjadikan jaminan bahwa perjuangan Penulis akan selalu dilancarkan. IlmuNya meliputi langit dan bumi, bahkan alam semesta tak dapat menggambarkan keluasan ilmuNya. FirmanNya selalu menjadi benteng bagi Penulis dalam menjalani hidup, selalu memberikan kenikmatan yang tak ternilai.

2. Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh teladan Penulis dalam berperilaku sekaligus motivator terhebat dalam hidup Penulis, yang kasih sayang dan cintanya selalu tercurahkan kepada ummat. Semoga Penulis termasuk ke dalam golongannya.

3. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sangat Penulis hormati, menjadi Guru, Pemimpin sekaligus menjadi Pengayom bagi Mahasiswa/i nya.

4. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.H, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala dukungan dan dedikasinya untuk Jurusan Ilmu Hukum dan tak lupa saya ucapkan terimakasih juga kepada Ketua dan Sekretaris Program Ilmu Hukum Tahun Akademik periode 2014 – 2015 yang terdahulu, Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H., dan Arip Purqon, SH.I., M.A., atas kesabarannya dan dedikasinya yang telah diberikan untuk Jurusan Ilmu Hukum yang begitu besar.


(7)

vi

berlimpah dan selalu dilindungi Allah SWT.

6. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia dan Perpustakaan Universitas Terbuka, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Orangtua tercinta, Bapak Ujang Sutrisno dan Ibu Sunarmi yang telah berjuang keras membesarkan Penulis dengan penuh kasih sayang dan cintanya, memberikan perhatian yang tulus, mendidik Penulis dengan sabar, membiayai Penulis, berkorban untuk Penulis. Semoga segala amal ibadah Penulis dapat menjadi pemberat timbangan kebaikan mereka di Hari Yaumul Hisab nanti, dan Adikku tersayang Zahran Al Aziz yang telah bersabar menghadapi Penulis.

8. Kekasih tercinta, Timothy Adam Homan, yang telah memberikan motivasi serta dukungannya, kepercayaan dan segala perhatiannya kepada Penulis, bukan hanya sekedar memberikan semangat dan dukungan, namun juga telah memberikan Penulis pemahaman arti kesabaran dan ketulusan.

9. Teman-teman yang hebat, yang baik, dan selalu memberikan semangat kepada Penulis, Dessy Rachma Damayanti, Almira Nur Rachmani, Lisa Savitri Younan Putri, Rininta Ramadhanty, Widya Astriyani, Ivyana Dianti Anjani, kalian adalah teman seperjuangan dari masa Sekolah Menengah Atas hingga sekarang yang masih terus setia menjaga persahabatan. Tiur Zahrota Mawaddah, teman semasa Sekolah Menengah Pertama yang selalu menemani Penulis menyusun skripsi dan mendengar keluh kesah Penulis. Nurul Kamilah, teman yang super hebat sekaligus tempat bertukar pikiran.

10. Keluarga besar Ilmu Hukum, khususnya Hukum Bisnis, teman seperjuangan yang banyak sekali kisah kasih yang tidak bisa diceritakan oleh Penulis. Semoga kita semua menjadi orang – orang yang bermanfaat bagi agama dan negara.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat menjadi rujukan untuk adik-adik kelas selanjutnya dan bermanfaat untuk setiap pembaca. Sekian terima kasih.

Jakarta, Mei 2015


(8)

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 7

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEDUDUKAN KREDITOR KONKUREN DALAM KEPAILITAN A. Kepastian Hukum dalam Undang-Undang Kepailitan ... 18

B. Kreditor Konkuren dalam Kepailitan ... 20

C. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte ... 23

D. Hak-hak Kreditor Konkuren dalam Kepailitan ... 26


(9)

viii

B. Visi dan Misi Perusahaan ... 38

C. Struktur Organisasi ... 38

D. Deskripsi Kasus 1. Posisi Kasus ... 39

2. Aspek Hukum Kepailitan dalam Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007 ... 43

BAB IV KEPASTIAN HUKUM BAGI KREDITOR KONKUREN PADA BABBINGTON DEVELOPMENTS LIMITED TERHADAP PT. POLYSINDO EKA PERKASA TBK BERDASARKAN PRINSIP PARI PASSU PRO RATA PARTE (Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007) A. Penerapan Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Terhadap Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007 ... 48

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007 ... 49

C. Analisis Penulis ... 50

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(10)

ix

DAFTAR LAMPIRAN


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dunia usaha saat ini telah berkembang sangat pesat, perusahaan adalah

salah satu penggerak dunia usaha dan merupakan sarana dalam sistem

perekonomian suatu Negara. Untuk menjalankan usahanya, perusahaan

memerlukan modal yang tidak sedikit, maka dari itu perusahaan perlu

suntikan dana dari berbagai macam lembaga keuangan atau badan perusahaan

lainnya untuk menopang kelangsungan usahanya, namun dalam dunia

perdagangan, tidak selamanya kesuksesan itu berjalan, ada banyak

permasalahan yang timbul di tengah-tengah keberlangsungan usaha, mungkin

saja perusahaan itu tidak memiliki perhitungan manajemen keuangan yang

baik sehingga muncul berbagai macam permasalahan utang piutang. Hal ini

akan tentu menjadi sumber masalah dalam keberlangsungan usahanya

sehingga perusahaan akan mengalami krisis keungan. Jika perusahaan banyak

utang sedangkan pendapatan perusahaan tersebut lebih sedikit daripada

utangnya, maka perusahaan itu tidak bisa membayar kewajiban

utang-utangnya, sehingga dari sini muncullah istilah pailit.

Seorang debitor hanya dapat dikatakan pailit apabila telah diputuskan

oleh Pengadilan Niaga.1

1

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo 2005), h. 226.


(12)

2

Dua pasal penting dalam KUHPerdata, yakni Pasal 1131 dan 1132

mengenai tanggung jawab debitor terhadap utang-utangnya,2 memberikan

jaminan kepastian kepada kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap

dipenuhi/lunas dengan jaminan dari kekayaan debitor baik yang sudah ada

maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Jadi, ini merupakan

perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas

transaksi-transaksi yang telah diadakan.3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan

bahwa kepailitan merupakan sita umum, bukan sita individu atau perorangan,

oleh karena itu dalam Undang-Undang Kepailitan disyaratkan untuk

mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor.

Dalam hukum kepailitan, kreditor dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

a. Kreditor Separatis;

b. Kreditor Preferen; dan

c. Kreditor Konkuren.

Kreditor separatis adalah kreditor yang dapat melaksanakan haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Termasuk kreditor separatis misalnya

pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, agunan

kebendaan lainnya. Kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa

adalah kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149

KUHPerdata. Adapun kreditor konkuren atau kreditor bersaing adalah

2

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana 2009), cet . ke-1, h. 73-74.

3


(13)

kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu

sama lain sama.4Pembagian harta pailit dilakukan berdasarkan urutan

prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan

pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah,

dan antara kreditor yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh

pembayaran dengan asas prorata (pari passu pro rata parte).5

Kreditor konkuren dalam kepailitan memiliki hak atas harta benda

debitor pailit sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

jaminan bagi perikatan debitor”, yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap

debitor.6 Hukum Kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara

para kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut.

Tanpa adanya Undang-Undang Kepailitan, maka akan terjadi kreditor yang

lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditor

yang lemah.7 Namun dalam hal pelunasan piutang, hak kreditor konkuren

didahulukan oleh dua kreditor sebelumnya yaitu kreditor separatis dan

preferen, sedangkan sering kali ditemukan dalam kasus pailit bahwa jumlah

4

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni 2010), h. 127.

5

Nien Rafles Siregar, “Perbedaan Antara Kreditur Separatis dengan Kreditur Konkuren”, artikel diakses pada 06 April 2014 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-kreditur-separatis-dengan-kreditur-konkuren

6

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT Temprint 2002), h. 37.

7


(14)

4

utang yang harus dilunasi oleh debitor pailit kepada kreditor konkuren lebih

banyak dari sisa harta pailit. Oleh karena itu, hak kreditor konkuren untuk

mendapatkan pelunasan sisa harta pailit terkadang tidak sesuai dengan apa

yang diharapkan.

Dalam kasus yang diangkat dalam skripsi ini, kreditor konkuren yaitu

Babbington Developments Limited yang mengajukan gugatannya ke tingkat

kasasi terhadap debitor pailit yaitu PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk, karena

menurut ahli hukum dari pihak Termohon hakim salah dalam menerapkan

prinsip pari passu pro rata parte, karena di dalam Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tidak mengatur dengan jelas hierarki tingkatan

pembayaran oleh debitor kepada para kreditor-kreditornya sehingga hakim

dalam memberikan putusannya masih banyak menghasilkan pertimbangan

yang berbeda-beda, sehingga kepastian hukum dalam Undang-Undang

Kepailitan belum terwujud secara maksimal. Berdasarkan latar belakang

masalah tersebut di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian untuk

mengetahui bagaimana kepastian hukum terhadap kreditor konkuren, dan

selanjutnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “KEPASTIAN HUKUM BAGI KREDITOR KONKUREN PADA BABBINGTON

DEVELOPMENTS LIMITED TERHADAP PT. POLYSINDO EKA

PERKASA TBK BERDASARKAN PRINSIP PARI PASSU PRO RATA PARTE (Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007)”


(15)

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah berisikan uraian yang terkait dengan segala

masalah yang sedang diteliti. Identifikasi mendata segala hal yang terkait

dengan tema penelitian.8 Dalam skripsi ini, penulis mengidentifikasikan

permasalah yang ada, di mana dalam kasus kepailitan debitor wajib

memenuhi kewajibannya untuk melunasi utang-utangnya, sedangkan kreditor

juga memiliki hak dalam mendapatkan pelunasan piutang-piutangnya, namun

dengan jumlah kreditor yang lebih dari satu sedangkan jumlah sisa harta pailit

debitor yang sedikit, sudah pasti pelunasan piutang kreditor tidak seratus

persen, terlebih lagi kreditor konkuren yang tidak memiliki jaminan dan

kreditor konkuren ini kedudukannya tidak diutamakan sehingga pelunasan

piutangnya didahulukan oleh dua kreditor sebelumnya yang memiliki hak

prioritas, dengan sisa harta pailit tersebut kreditor konkuren perlu adanya

kepastian atas piutang-piutangnya, maka dari itu perlu dikaji bagaimana

penerapan prinsip pari passu pro rata parte dalam pembagian sisa harta pailit kepada kreditor konkuren.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan yang berkaitan dengan kepailitan, maka

penelitian ini hanya difokuskan terhadap pembagian harta sisa pailit

khususnya kepada kreditor konkuren berdasarkan prinsip pari passu pro rata

8

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012


(16)

6

parte dan bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007.

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah dan pembatasan masalah tersebut di

atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana penerapan prinsip pari passu pro rata parte dalam UU Kepailitan terhadap kreditor konkuren.

b. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan MA No.

118 K/Pdt.Sus/2007.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penerapan prinsip pari passu pro rata parte dalam UU Kepailitan terhadap kreditor konkuren.

b. Untuk mengetahui bagaiman dasar pertimbangan hakim dalam

memberikan putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam ilmu

pengetahuan Hukum Bisnis khususnya bagi perkembangan Hukum


(17)

untuk aparat penegak hukum dan masyarakat khususnya para pelaku usaha

dalam menyelesaikan permasalahan pelunasan utang akibat putusan pailit.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan dan

landasan bagi penulis selanjutnya, dan untuk menambah wawasan ilmu

pengetahuan penulis dalam bidang Hukum Kepailitan.

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Review studi terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebagai perbandingan tinjauan studi materi yang pernah

membahas seputar kreditor konkuren, sebagai berikut:

Skripsi yang disusun oleh Arrofin Damaswara dari Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia pada tahun 2012 dengan judul “Upaya Hukum Kreditor Konkuren dalam Pelunasan Piutang dari Debitor Pasca Putusan

Pailit.” Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang upaya perlindungan hukum terhadap kreditor konkuren pasca putusan pailit, namun dalam skripsi

ini hanya dipaparkan secara umum mengenai hak-hak kreditor konkuren dan

tidak adanya penyertaan kasus sehingga isinya terlalu umum.

Buku oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, yang berjudul

“Pedoman Menangani Perkara Kepailitan” diterbitkan oleh Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan kedua tahun 2004. Pada buku ini

dipaparkan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kapailitan namun

tidak terlalu memfokuskan terhadap kreditor konkuren, sehingga tidak ada


(18)

8

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis

menyertakan contoh kasus dengan menganalisis putusan sebagai dasar

permasalahan yang akan diangkat dengan menguraikan perihal pengaturan

pemberesan harta pailit dalam Undang-Undang Kepailitan yang mana

pemberesan harta pailit dalam kasus kepailitan ini mengandung multitafsir

sehingga tidak adanya kepastian hukum dalam pelunasan harta pailit kepada

kreditor konkuren sehingga terdapat perbedaan pembahasan dan masalah

yang diangkat penulis dengan penilitian-penelitian yang sudah ada.

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Globalisasi telah mempengaruhi perkembangan perekonomian dan

perdagangan, modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya

sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik

dari bank, penanaman modal, lembaga-lembaga penyedia kredit, badan

hukum lainnya seperti perusahaan, maupun penerbitan obligasi, yang

kemudian menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang

dalam masyarakat.

Menurut Prof. Chatamarrasjid pusat permasalahan adalah bagaimana

mengatasi kredit macet yang dialami oleh dunia keungan Indonesia.9 Pada

dasarnya, kepailitan mencangkup mengenai harta kekayaan dan bukan

mengenai perorangan debitor, yang disebut dengan harta pailit adalah harta

milik debitor yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.

9


(19)

Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan secara tegas

menyatakan bahwa “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh

selama kepailitan”.10

Lembaga kepailitan merupakan pengaturan lebih lanjut dari apa yang

diatur dalam Pasal 1131 jo. 1132 KUHPerdata mengenai prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte,11di mana pembagian sisa harta pailit harus dibagi secara adil dan merata. Dalam Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, dalam Pasal 1 mengandung asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha, dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berlangsung. c. Asas Keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi

rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memedulikan kreditor lainnya.

d. Asas Integrasi, asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.12

Beranjak dari asas keadilan, Plato dan Aristoteles mengungkapkan

bahwa keadilan menjadi jiwa dari pemikiran hukum yang baik. Plato percaya

10

Ibid.

11

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana 2008), h. 69.

12

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana 2011), cet ke-6, h. 132.


(20)

10

bahwa menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara. Sedangkan

Aristoteles juga menempatkan keadilan sebagai nilai yang paling utama

dalam politik. Ia juga menyebutkan bahwa keadilan sebagai nilai yang paling

sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, hukum dibuat untuk kebahagian

manusia demi tercapainya tatanan atau tata tertib yang baik

Alasannya, keadilan pada dasarnya terarah baik pada diri sendiri

maupun orang lain. Bertindak adil berarti bertindak dengan memperhitungkan

orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti hukum harus

memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela

kepentingan atau kebaikan bersama (common good).13

Dari itu timbullah lembaga kepailitan, yang berusaha untuk

mengadakan tata cara yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua

kreditor dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132

KUHPerdata.14

2. Kerangka Konseptual

Pada 18 Oktober 2004, UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan UU No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena

adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk

menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.15

13

Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius 2009), h.39-40.

14

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase ... ... ... ... h. 75.

15


(21)

Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau Bankrupt adalah “the state

or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or became due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been field, or who has field a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”16

Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit adalah ketidakmampuan untuk

membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak

dibayarannya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut

harus disertai dengan pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor

sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya

pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan

seorang debitor. Keputusan tentang pailitnya debitor haruslah berdasarkan

keputusan pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan

kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang

ketidakmampuan debitor. Keputusan pengadilan ini diperlukan untuk

memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang debitor

itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit

sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan

keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan

umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada

waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan

16

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010), h.11.


(22)

12

berlangsung untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan

pengawasan pihak yang berwenang, dengan demikian kepailitan bertujuan

untuk:

a. Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara

perorangan.

b. Ditujukan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi

debitor tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.17 dan

c. Dalam pembayaran utang-utang debitor kepada kreditor dilaksanakan

secara adil sesuai dengan besar kecilnya utang yang belum dibayar.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang

diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuau

yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya “pengetahuan yang benar”, di mana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan

tertentu.18 Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat yang

menitikberatkan pada data sekunder yang diperoleh dari data kepustakaan dan

didukung dengan penyertaan contoh kasus untuk mendukung data sekunder.

Agar data yang dimaksud dapat diperolah dan dibahas, peneliti

mensistemasisasikan ke dalam format sebagai berikut:

17

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 1.

18

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 27-28.


(23)

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum

normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum normatif merupakan penelitian

kepustakaan yang penelitiannya menggunakan bahan pustaka dan bahan

sekunder yang ditinjau melalui aspek hukumnya, yakni yang mencakup

penelitian asas-asas hukum khususnya yang berkenaan dengan hukum

kepailitan. Penulis dalam penelitiannya menggunakan peraturan-peraturan

yang terdapat dalam undang-undang, kemudian buku-buku bacaan dan

jurnal-jurnal hukum yang terkait dengan judul penelitian, makalah-makalah, dan

dokumen-dokumen lainnya.

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa

aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).19 Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan

historis, dan pendekatan konseptual.

19


(24)

14

3. Sumber Data

Untuk menunjang penelitian ini, maka diperlukan data-data yang

berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Jenis data yang dibutuhkan

dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah berupa bahan

hukum, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar hukum perlindungan kreditor khususnya kreditor konkuren

terhadap putusan pailit, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.

d. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

e. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

f. Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2011.

g. Peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa pendapat

para pakar Hukum Bisnis yang terdapat dalam buku-buku, tesis, makalah,


(25)

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi lebih

lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara

lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, artikel, koran

dan lainnya.20

4. Analisis Data

Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi,

sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah

dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan

dengan kegiatan penelitian. Metode yang digunakan dalam menganalisis dan

mengolah data-data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Maksud

dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap

permasalahan yang ada dengan berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif.

Pada metode ini data-data yang diperoleh yaitu data sekunder, yang

akan diinventarisasi dan disistematiskan dalam uraian yang bersifat

deskriptifanalisis. 21 Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data,

menganalisis data, meginterprestasi data, dan diakhiri dengan sebuah

kesimpulan yang mengacu pada penganalisisan data tersebut. Pengolahan

data tersebut bersifat deduktif, yakni dengan menarik kesimpulan dari

penggambaran permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus.

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Rajawali Pers, 1995), h. 33.

21


(26)

16

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja

yang menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun

sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, di mana masing-masing

bab berhubungan satu sama lain, yaitu:

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas antara lain Latar Belakang

Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitan, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode

Penelitian dan Sumber Data, Analisis Data, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II KEDUDUKAN KREDITOR DAN DEBITOR DALAM KEPAILITAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai Kepastian Hukum dalam

Undang-Undang Kepailitan, Kreditor Konkuren dalam


(27)

Hak-hak Kreditor Konkuren, dan Mekanisme Pemberesan Harta

Pailit.

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI PT. POLYSINDO EKA PERKASA TBK

Pada bab ini akan dibahas mengenai Sejarah Pendirian

Perusahaan PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk, Visi dan Misi

Perusahaan, Struktur Organisasi, dan Deskripsi Kasus.

BAB IV KEPASTIAN HUKUM BAGI KREDITOR KONKUREN

PADA BABBINGTON DEVELOPMENTS LIMITED

TERHADAP PT. POLYSINDO EKA PERKASA TBK BERDASARKAN PRINSIP PARI PASSU PRO RATA

PARTE (Putusan MA No. 118 K/Pdt.Sus/2007)

Dalam bab ini akan dibahas tentang penerapan prinsip pari passu pro rata parte dengan mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya yang

kemudian dianalisis dengan merujuk kepada Undang-Undang

Kepailitan.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk

itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,

disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang


(28)

18

BAB II

KEDUDUKAN KREDITOR KONKUREN DALAM KEPAILITAN

A. Kepastian Hukum dalam Undang-Undang Kepailitan

Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian

diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi

masyarakat yang dikenakan peraturan ini1 yang diharapkan dapat memberikan

kejelasan dan ketegasan terhadap hukum di dalam masyarakat, sehingga tidak

menimbulkan banyak perbedaan pendapat dan pernyataan yang multi tafsir.

Kepastian hukum yaitu adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat

umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk

konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat

ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret.2 Paton mengatakan bahwa

hukum itu bukan sekadar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka.3 Karena

asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan

antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

1 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), h. 24. 2Ibid, h. 25.

3


(29)

masyarakatnya.4 Kepastian hukum diwujudkan dalam sebuah perlindungan

terhadap tindakan sewenang-wenang, perlindungan ini ditujukan demi

terciptanya keadilan. Kepailitan merupakan lembaga hukum yang difungsikan

untuk merealisasikan tanggungjawab debitor atas perikatan-perikatan yang

dilakukannya.

Dalam kepailitan ini berarti bahwa kepastian hukum bertindak sebagai

pelindung bahwa pipihak yang terlibat dalam kepailitan mendapatkan

hak-haknya, kepastian hukum yang terkandung dalam undang-undang yang

mengaturnya tersebut menjamin bahwa kreditor berhak memperoleh

perlindungannya dan putusan hakim dapat dijalankan.

Sebagaimana diatur dan dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, kepailitan itu sendiri dapat mencakup:5

1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) beserta aset.

2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.

Kepastian hukum kepailitan tertuang dalam asas-asas yang terkandung

dalam UU Kepailitan itu sendiri, dari defenisi kepailitan yang dirumuskan dalam

Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan 2004, yang terkait dalam kepailitan adalah

debitor, debitor pailit, kreditor, kurator, hakim pengawas, dan pengadilan.

Keadaan pailit itu juga meliputi segala harta bendanya yang berada di luar negeri.

4 Ibid.

5

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan; Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 190-191.


(30)

20

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempuyai fungsi penting,

sebagai realisasi dari dua Pasal penting dalam KUHPerdata yakni Pasal 1131 dan

1132 mengenai tanggung jawab debitor terhadap utang-utangnya. Jadi pada

dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132

KUHPerdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih

bagi kreditor-kreditornya terhadap transaksinya dengan debitor.

Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya

mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:6

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditornya bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua kreditor-kreditornya.

2. Juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.

Jadi beberapa ketentuan tentang kepailitan baik suatu lembaga atau sebagai

upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat atas sesuai

dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.

Sistem pengaturan yang taat seperti inilah yang mempunyai nilai utama dalam

rangka memberikan kepastian hukum.

B. Kreditor Konkuren dalam Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan menjelaskan bahwa yang disebut kreditor

adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang

6

Mutiara Hikmah, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional, dalam Perkara-Perkara Kepailitan,


(31)

yang dapat ditagih di muka pengadilan. Atas dasar kepercayaan, kreditor

memberikan jasa peminjaman berupa uang atau jasa kepada seorang debitor

dengan syarat bahwa debitor akan membayar kembali atau memberikan

penggantiannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan

perjanjian di kedua belah pihak. Namun perlu dicatat bahwa suatu perjanjian

harus dilakukan dengan cara tertulis untuk nantinya dapat dijadikan bukti yang

sah dengan tujuan untuk kepastian hukum bagi para pihak.

Dalam KUHPerdata tidak dipakai istilah Debitor dan Kreditor, tetapi

dipakai istilah si berutang dan si berpiutang, kemudian Pasal 1235 KUHPerdata

yang dihubungkan dengan Pasal 1234 dan Pasal 1239 KUHPerdata, yakni dalam

hal perikatan di mana dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu

adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang

bersangkutan, dan apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya tersebut, si

berutang harus memberikan penggantian biaya, ganti rugi, atau bunga. Si

berutang diartikan sebagai pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan

itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang.

Dalam pustaka-pustaka hukum dan kehidupan masyarakat sehari-hari,

schuldenaar disebut Debitor, sedangkan schuldeischer disebut Kreditor. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang Kepailitan disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai utang


(32)

22

pengadilan, debitor merupakan pihak yang nantinya bertanggungjawab untuk

melakukan prestasi dalam bentuk pelunasan utang atau penggantian terhadap

uang, barang atau jasa terhadap kreditor sesuai dengan perjanjian batas waktu

atau jatuh tempo yang telah ditentukan oleh kedua pihak.

Undang-Undang Kepailitan menggunakan prinsip umum yang dikenal

dengan prinsip paritas creditorium.7 Prinsip ini menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor

tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran

kreditor,8 prinsip umum ini dinyatakan dalam KUHPerdata yaitu dalam Pasal

1131, “Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” dan 1132, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan.” Namun demikian, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1132 KUHPerdata, prinsip ini memiliki pengecualian. Pengecualian ini dapat dilihat

pada kalimat dalam Pasal 1132 yaitu “… kecuali apabila diantara para bepiutang

7

Aria Suyudi, dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta: Dimensi, 2004), h. 81. 8


(33)

itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Alasan-alasan sah yang harus didahulukan ialah kreditor yang memegang hak jaminan (secured creditor), dan kreditor yang mempunyai hak istimewa berdasarkan Undang-Undang (preferred creditor).

Oleh karena itu dapat dilihat bahwa selain kreditor konkuren yang

kepadanya berlaku prinsip paritas creditorium ini, terdapat jenis kreditor yang didahulukan yaitu kreditor separatis (secured creditor) dan kreditor preferen (preferred creditor).9 Kreditor konkuren merupakan kreditor yang tidak mempunyai kedudukan yang diutamakan atau mendahului kreditor-kreditor

lain10(unsecured creditor). Kreditor golongan ini harus berbagi dengan para kreditor yang lain secara proposional, atau disebut juga secara pari passu, yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil

penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan Hak Jaminan.11

C. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

Secara prinsip, semua kreditor mempunyai hak yang sama atas pelunasan

piutang-piutangnya. Para kreditor, baik kreditor separatis, kreditor preferen dan

kreditor konkuren tidak dibedakan terhadap seluruh harta benda debitor sehingga

jika debitor tidak dapat membayar utang-utangnya kepada para kreditornya,

9

Aria Suyudi, dkk, Kepailitan di Negeri Pailit… … … … h. 81.

10 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 54.

11

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT Temprint, 2002), h. 280.


(34)

24

maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. Hal ini berarti bahwa

hasil harta kekayaan akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan

kreditor (Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Prinsip

pari passu pro rata parte berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proposional di

antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut

undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.

Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi

utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai

dengan proporsinya (pond-pond gewijis) dan bukan dengan sama rata. Prinsip

pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan12 dengan konsep keadilan proposional di mana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar

akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari

kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.13 Prinsip-prinsip telah

diatur dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a

UUK-PKPU.

Dalam kepailitan dikenal juga yang namanya prinsip structured pro rata

atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan di

antara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan

12 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 30.

13


(35)

mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya

masing-masing.

Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu

kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.14 Kreditor yang

berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja, melainkan

juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan kreditor

yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditor preferen).15

Kemudian dalam kepailitan juga dikenal adanya prinsip debt polling, prinsip debt polling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara para kreditornya.

Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang

pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte, serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle).16 Dalam perkembangannya, prinsip debt polling ini lebih luas konsepnya dari sekadar melakukan distribusi aset pailit terhadap para kreditornya

secara pari passu pro rata parte maupun secara structured creditor (pembagian berdasarkan kelas kreditor). Prinsip ini mencakup pula pengaturan dalam sistem

kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus

dibagi di antara kreditornya.

14

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 280.

15

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan… … … … h. 33.

16


(36)

26

Penjabaran sistem ini akan berkaitan dengan kelembagaan yang terlibat

dalam proses kepailitan mulai dari lembaga peradilan yang berwenang, hukum

acara yang digunakan, serta terdapatnya hakim komisaris dan kurator dalam

pelaksanaan pailit.17

D. Hak-hak Kreditor Konkuren dalam Kepailitan

Tujuan Undang-Undang Kepailitan adalah melindungi kreditor konkuren

untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas jaminan.

Undang-Undang Kepailitan juga menjamin agar pembagian harta kekayaan

debitor di antara para kreditornya.18 Adapun Pasal 1132 KUHPerdata

menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan

perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak

yang berkewajiban (debitor) tersebut secara pari passu dan pro rata.19 Artinya bahwa kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang

didahulukan dan pembayaran atas piutang-piutangnya dihitung berdasarkan besar

kecilnya piutang masing-masing.

Seorang debitor hanya dapat dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh

Pengadilan Niaga.20 Kreditor dalam hal ini dapat mengajukan pailit terhadap

17

Ibid, h. 42 18

Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia; Studi Putusan-Putusan Pengadilan, (Yogyakarta, Total Media, 2008), h. 255.

19

Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 3. 20

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008), h. 230.


(37)

debitor dengan mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga, di

mana telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, tentang

pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit, yaitu:21

a. Atas permohonan debitor sendiri.

b. Atas permintaan seorang atau lebih kreditor. c. Oleh kejaksaan atas kepentingan umum.

d. Bank Indonesia dalam hal debitor merupakan lembaga bank.

e. Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitor merupakan perusahaan efek, dan22

f. Menteri Keuangan.23

Undang-Undang Kepailitan dibentuk atas dasar ketentuan yang ada di

KUHPerdata, yaitu Pasal 1131 dan 1132. Pasal-Pasal tersebut menyebutkan

bahwa dijaminkannya pemenuhan hak para kreditor atas harta-hartanya yang

diutangkan, dan debitor dalam hal ini wajib untuk memenuhi tanggung jawabnya

dalam hal pelunasan utangnya.24 Setiap kreditor konkuren memiliki hak yang

sama satu sama lain untuk secara bersama-sama (pari passu) memperoleh pelunasan piutang-piutangnya dari debitor pailit secara proposional (pro rata). Dengan adanya kreditor yang didahulukan, yang artinya kreditor-kreditor ini

mendapatkan pelunasan sisa harta pialit lebih dahulu daripada kreditor-kreditor

konkuren, yakni yang terdiri dari kreditor yang diistimewakan (Pasal 1139 dan

21 Rahayu Hartini,Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan

Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-1, h. 79. 22

Adil Samadani, Dasar-dasar Hukum Bisnis, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 73. 23

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase… … … … h. 79.

24

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004), h. 103.


(38)

28

Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan kreditor pemegang hak

jaminan kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1133 dan Pasal 1134 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, dan

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, di mana jaminan-jaminan tersebut terwujud

dalam bentuk hipotik, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia.

Undang-Undang Kepailitan juga memberikan hak kepada pihak kreditor

untuk mengajukan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum

yang telah dilakukan oleh debitor pailit, hak tersebut diterapkan dalam asas actio pauliana, yaitu merupakan salah satu upaya hukum yang dapat diajukan oleh kreditor untuk membatalkan transaksi-transaksi yang telah dilakukan oleh

debitor, di mana debitor tersebut melakukan perbuatan yang merugikan pihak

para kreditornya untuk kepentingan debitor itu sendiri.

Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan debitor yang merugikan

tersebut misalnya, menjual barang-barangnya terlebih dahulu yang dilakukan

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sehingga harta peninggalan

tersebut tidak dapat disita-jaminkan oleh pihak kreditor.25 Hal yang terpenting

untuk ditekankan di sini adalah bahwa perjanjian atau perbuatan hukum tersebut

bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum.26Actio Pauliana ini dapat dikatakan merupakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang hanya

25

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & PraktekHukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 85.

26

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004), h. 89.


(39)

berlaku dan mengikat di antara pihak-pihak yang membuatnya.27 Ketentuan ini

diatur dalam KUHPerdata Pasal 1341 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tiap

orang yang berpiutang diberikan hak untuk mengajukan pembatalan segala

perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang yang dinilai

merugikan pihak si berpiutang.

Kemudian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan juga

mengatur secara lebih komprehensif mengenai actio pauliana ini, mulai dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 49,28 Pasal 41 Undang-Undang Kepailitan tersebut

menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan

pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit

yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit

diucapkan.29 Namun actio pauliana ini harus dapat dibuktikan bahwa tindakan hukum yang telah dilakukan oleh debitor tersebut telah merugikan pihak kreditor.

Hak kreditor dalam hal kepailitan juga diberikan dalam bentuk upaya

hukum. Kreditor dapat mengajukan upaya hukum ketika kreditor tersebut tidak

puas terhadap putusan hakim. Upaya hukum merupakan usaha yang dilakukan

oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim, dalam kepailitan pihak yang

dimaksud ialah:

27

Ibid, h. 115. 28

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek ... ... ... ... h. 85. 29


(40)

30

a. Kreditor, apabila permohonan agar debitornya dinyatakan pailit tidak dikabulkan. Atau permohonan kepailitan disampaikan oleh debitor atau kejaksaan atau bank Indonesia atau Bapepam, dan dikabulkan tetapi kreditor tidak menyutujuinya.

b. Debitor, apabila permohonan pailit dirinya tidak dikabulkan oleh pengadilan. Atau permohonan pailit dirinya diajukan pihak-pihak yang berkepentingan dan dikabulkan tetapi debitor tidak menyetujuinya.

c. Kejaksaan, apabila permohonan pailit debitor yang diajukannya tidak dikabulkan oleh pengadilan.

d. Bank Indonesia atau Bapepam (dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998), apabila permohonan pailit debitornya tidak dikabulkan pengadilan. Untuk Bank Indonesia debitor dimaksud adalah suatu bank, sedangkan untuk Bapepam, debitor dimaksud adalah perusahaan efek.30

Upaya hukum yang paling tinggi adalah ke tingkat kasasi ke Mahkamah

Agung (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998).31 Pengadilan

Niaga di sini merupakan pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Niaga tidak

memberikan upaya hukum banding, pihak yang keberatan atau merasa tidak puas

terhadap putusan hakim dapat mengajukan tuntutan kasasi ke Mahkamah Agung,

hal ini tercantum dalam pasal 11 ayat (1) UUK, “Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke

Mahkamah Agung.” Kemudian terhadap putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum luar biasa, yaitu

peninjauan kembali, terdapat dalam Pasal 295 ayat (1) UUK, Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan

30

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 33-34.

31


(41)

permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang ini.”

E. Mekanisme Pemberesan Harta Pailit

Dalam rangka pemberesan atau vereffening ini kurator harus mengambil tindakan menjual semua harta si pailit. Untuk penjualan ini tidak perlu ia

mendapat persetujuan dan bantuan dari debitor. Jika tidak dilanjutkan usaha dari

perusahaan debitor dan tentang diberhentikan usaha ini, maka harus segera

dimulai dengan pemberesan dan penjualan semua harta si pailit ini.32 Sisa harta

pailit debitor baru akan dibagi-bagikan setalah seluruh aset-aset tersebut terjual,

dan hasil penjualan tersebut nantinya akan berupa cash (uang tunai), kemudian

baru nantinya cash tersebut dinilai apakah sudah mencukupi untuk membayar

utang-utangnya atau belum. Akan tetapi, tidak dilarang jika kurator membagi

hasil penjualan harta pailit yang sudah ada terlebih dahulu secara proposional,

asalkan hal tersebut dipandang baik oleh kurator.

Dalam hal telah tersedianya cukup uang tunai, apabila kurator belum juga

melakukan pembayaran kepada kreditor, menurut Pasal 188 Undang-Undang

Kepailitan, hakim pengawas dapat memerintahkan pembagian kepada kreditor

yang piutangnya telah dicocokkan.33 Pembagian aset-aset debitor pailit kepada

kreditor-kreditor dan seluruh yang berhak lainnya merupakan tahap terakhir

dalam seluruh proses kepailitan.

32 Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia (1998), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), h. 119.

33


(42)

32

Ketentuan tentang pembagian aset ini cukup terperinci dengan melibatkan

berbagai undang-undang atau peraturan sebagai dasar hukumnya, antara lain,

sebagai berikut:

a. Undang-Undang Kepailitan

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (antara lain, Pasal 1131, 1139, atau 1149).

c. Berbagai undang-undang khusus, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (antara lain tentang tagihan tagihan dari pengangkutan laut, surat berharga, dan segalanya); 2. Undang-Undang Hak Tanggungan (tentang kedudukan kreditor

separatis, eksekusi hak tanggungan, dan lain-lain);

3. Undang-Undang Perseroan Terbatas (antara lain, kewenangan direksi dan komisaris perusahaan pailit, status perusahaan setelah pailit, dan sebagainya);

4. Undang-Undang di bidang Pajak (antara lain, tentang hak prioritas negara untuk dibayar pajak terlebih dahulu dari kreditor lain); 5. Undang-Undang di bidang Ketenagakerjaan (antara lain tentang

hak-hak buruh dan prioritasnya ketika di-PHK);

6. Undang-Undang Perkawinan (antara lain, tentang harta perkawinan); dan

7. Undang-undang atau peraturan lainnya.34

Pengurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan oleh kurator, terdapat

pada Pasal 69 (1) Undang-Undang Kepailitan, dalam tugasnya kurator tidak

diharuskan terlebih dahulu untuk memperoleh persetujuan atau menyampaikan

pemberitahuan kepada debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan.

Peran kurator sangat menentukan untuk keberhasilan pengurusan dan atau

pemberesan.35 Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap

insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit

34Ibid, h. 142.

35

Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah), (Jakarta: PT Tatanusa, 2003), h. 163.


(43)

ditentukan. Apakah dia dihabisi, dalam arti hartanya dibagi-bagi sampai

menutupi utang-utangnya ataupun debitor masih dapat bernapas dengan

diterimanya suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang.36 Dalam istilah

orang-orang jalanan, insolvensi disebut dengan “bokek”. Dalam salah satu kamus, insolvensi (insolvency) berarti:

a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh

waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau

b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu

tertentu.

Dari pengertian di atas, maka apabila pada suatu saat seseorang tidak

mempunyai banyak uang cash dibandingkan banyaknya utang-utangnya atau apabila suatu ketika aset utamanya hilang dicuri orang atau hilang terbakar, tidak

berarti pada saat tersebut dia dalam keadaan insolvensi. Akan tetapi, keadaan

kewajiban melebihi aset-asetnya haruslah berlangsung dalam jangka waktu

tertentu yang wajar (reasonable time).37 Dalam istilah Undang-Undang Kepailitan insolvensi disebut sebagai keadaan tidak mampu membayar. Jadi,

insolvensi itu terjadi (demi hukum) jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit

berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar

(Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan).38

36

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek… … … … h. 127.

37

Ibid, h. 127-128. 38


(44)

34

Pencocokkan (verifikasi) piutang/utang merupakan salah satu kegiatan

yang penting dalam proses kepailitan. Karena dengan pencocokkan piutang

inilah nantinya ditentukan pertimbangan dan urutan hak dari masing-masing

kreditor.39 Berita acara ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera

pengganti, Hakim Pengawas juga sekaligus memimpin dalam rapat pencocokan

piutang ini.

Sejak rapat kreditor pertama inilah proses kepailitan dalam hal ini masalah

insolvensi, pengurusan dan atau pemberesan harta pailit dimulai.40 Ada suatu

proses yuridis tertentu yang mesti diikuti dalam proses pembayaran harta debitor

kepada para kreditor dan siapa pun yang berhak lainnya. Proses tersebut dapat

dilukiskan melalui diagram berikut ini:41

Diagram 1

Proses Pembayaran dalam Pemberesan Harta Pailit A - - - B - - - C - - - D - - - E - - - F - - - G - - - H - - - I - - - J - - - K Keterangan:

A Kurator membuat daftar pembagian (Pasal 189 ayat (1)).

B Hakim pengawas mengesahkan daftar pembagian tersebut (Pasal 183

ayat (1)).

39Ibid, h. 129.

40 Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah)… … … … h. 163.

41


(45)

C Daftar pembagian diumumkan di kepaniteraan Pengadilan Niaga, dan

salinan dari daftar pembagian tersebut diumumkan di kantor kurator

(Pasal 192 ayat (1)).

D Kreditor mengajukan perlawanan terhadap daftar pembagian kepada

panitera Pengadilan Niaga (Pasal 193).

E Pengadilan Niaga memberikan keputusannya dengan disertai

alasan-alasannya (Pasal 194 ayat (6)).

F Kasasi terhadap keputusan Pengadilan Niaga oleh kurator atau setiap

kreditor tanpa adanya peninjauan kembali (Pasal 196 ayat (1) dan (2)).

G Keputusan Mahkamah Agung terhadap perlawanan atas ketetapan

Pengadilan Niaga (Pasal 196 ayat (4)).

H Segera dilakukan pembayaran oleh kurator (Pasal 201).

I Setelah daftar pembagian penutup memperoleh kekuatan pasti,

kepailitan berakhir (Pasal 202 ayat (1)).

J Pertanggungjawaban kurator kepada hakim pengawas (satu bulan

setelah kepailitan berakhir) vide Pasal 202 ayat (3)).

K Atas perintah Pengadilan Niaga maka kurator membereskan dan

mengadakan pembagian lagi atas daftar pembagian yang dahulu (jika

ternyata masih terdapat harta pailit yang pada waktu pemberesan


(46)

36

BAB III

GAMBARAN UMUM MENGENAI PT. POLYSINDO EKA

PERKASA TBK

A. Sejarah Pendirian

PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk (sekarang bernama Asia Pacific Fibers

Tbk) merupakan perusahaan multinasional yang memproduksi tekstil yang

bermarkas di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1983

dengan Akta Notaris di Jalan Tirta Ami Jaya No 22 pada tanggal 15 Februari

dengan status PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) yang kemudian

mulai beroperasi pada tahun 1996 dengan pemengang saham yaitu :

1. Marimutu Sinivasan

2. Govindasamy Munusamy, dan

3. Pong Nugroho

Polysindo merupakan salah satu dari anak perusahaan Texmaco Group

yang secara simbolis diresmikan oleh Bapak Presiden Soeharto pada tanggal

19 November 1988 bersama dengan perusahaan lain. Perusahaan ini

menghasilkan tekstil dan barang kebutuhan hidup lainnya. Perusahaan ini

didirikan pada tanggal 15 Februari 1984 dan memulai kegiatan usaha

komersialnya pada tahun 1986. Kantor pusat POLY terletak di Kendal, Jawa

Tengah dan pabrik benang Polyester berlokasi di Kendal, Jawa Tengah dan

fasilitas pabrik PTA, Polymer serta Fiber terletak di Karawang, Jawa Barat.


(47)

Lingkar Mega Kuningan Kav. E-3 No. 1, Jakarta. Pemegang saham yang

memiliki 5% atau lebih saham POLY, antara lain: Damiano Investment BV

(55,73%), KYOA Investment Limited (6,69%) dan PT Multikarsa Investama

(5,68%).

Induk usaha POLY adalah Damiano Investments BV., didirikan di

Belanda. Sedangkan induk usaha utama adalah ADM Capital and Spinnaker

Capital Group, yang masing-masing didirikan dan berdomisili di Hong Kong

dan Inggris. Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup

kegiatan POLY adalah meliputi industri kimia dan serat sintetis, pertenunan

dan perajutan serta industri tekstil lainnya. Saat ini, produk yang dihasilkan

POLY meliputi Purified Terephthalic Acid (PTA), polyester chips, staple fiber, filament yarn dan performance fabrics. Hasil produksi POLY dipasarkan baik di dalam negeri maupun diekspor di pasar internasional.

Pada tanggal 14 Desember 1990, POLY memperoleh pernyataan efektif

dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham

POLY (IPO) kepada masyarakat sebanyak 12.000.000 dengan nilai nominal

Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp8.900,- per saham.

Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 12

Maret 1991. Untuk diketahui, POLY mempunyai anak usaha sedang dalam

proses likuidasi, yaitu Texmaco Jaya Tbk yang dinyatakan pailit pada tahun

19 Agustus 2011. Texmaco Jaya Tbk (TEJA) di delisting dari Bursa Efek


(48)

38

B. Visi dan Misi Perusahaan

Visi: Menjadi salah satu perseroan kelas dunia dengan penciptaan produk

terbaik dengan secara konsisten menyediakan produk-produk yang

senantiasa memuaskan pelanggan

Misi: Untuk menciptakan keunggualan bersaing berupa penciptaan produk

yang berkualitas prima dengan biaya yang kompetitif dan upaya

penyerahan tepat waktu serta inovasi produk yang berkesinambuangan.

C. Struktur Organisasi Tabel 1

 Direktur SBU Filament Yarn: S. Jegatheesan  Direktur SBU Chemical & Fiber: PeterV. Merkle  Direktur Independen: Antonius W. Sumarlin  Direktur H.R dan I.R: Bonar F.H. Sirait

Rapat Umum Pemegang Saham

Dewan Komisaris

• Robert C. Appleby

• Christopher Robert Botsford • Robert McCarthy

• Kamun Cheong • Timbul Thomas Lubis • Dono Iskandar D.

Direktur Utama V. RAVI SHANKAR


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

internasional dan saham-sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta dapat mengingkari utang dengan jumlah besar, yang semula telah diakuinya secepat membalik tangan? Bukankah hal ini justru memperlihatkan adanya itikad tidak baik dari Termohon Kasasi untuk melarikan diri dari kewajibannya kepada Pemohon Kasasi?

29. Mohon perhatian bahwa pengakuan tentang adanya utang Termohon Kasasi kepada Pemohon Kasasi telah melalui proses panjang, yaitu:

29.1. Adanya surat Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi masing-masing tertanggal 28-6-2006 dan 18-7-2006 yang intinya berisikan permintaan konfirmasi porsi kepemilikan saham Pemohon Kasasi dalam Termohon Kasasi sehubungan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Termohon Kasasi tanggal 21-6-2006 yang diumumkan dalam surat kabar Bisnis Indonesia 22-6-2006 (lihat Bukti P-12 dari kuasa hukum Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi yang melampirkan 2 surat Pemohon Kasasi dimaksud terlampir sebagai Lampiran-2 dan Lampiran-3)

29.2 Dalam bukti P-12 dimaksud, kuasa hukum Pemohon Kasasi juga telah menyatakan bahwa atas kedua surat Pemohon Kasasi tersebut (surat tertanggal 28-6-2006 dan 18-7-2006), Termohon Kasasi memberikan Jawaban akan meneliti/melakukan pengecekan status hukum dari tagihan Pemohon Kasasi sesuai surat Termohon Kasasi No. 004/PEP-Dir/IX/2006l tanggal 15 September 2006

(terlampir sebagai Lampiran-4),

29.3 Termohon Kasasi dalam suratnya Bukti P-17 dengan tegas menyatakan atas hutang Promissory Notes dengan nomor seri dan jumlah sebagaimana tersebut dalam surat somasi Pemohon Kasasi akan dikonversi menjadi US$ 207.240.

30. Berdasarkan uraian tersebut di atas, terbukti secara sumir Termohon Kasasi mengakui Pemohon Kasasi adalah krediturnya dan mempunyai utang kepada Pemohon Kasasi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Surat Sanggup/Promissory Note (Bukti P-6 sampai dengan Bukti P-ll). Karena itu, dalam hal ini Pemohon Kasasi berhak mengajukan Permohonan Pembatalan Perdamaian. Karena pertimbangan hukum Judex Facti merupakan kesalahan dalam penerapan hukum, putusan Judex Facti harus dibatalkan.

Hal. 21 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

KEBERATAN KELIMA

Judex Facti Tidak Memahami Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte dan Semangat Perdamaian dalam Kepailitan

31. Pada alinea terakhir halaman 33 putusan 01 Pembatalan Perdamaian, Judex Facti menyatakan:

"Bahwa tidak berdasar hukum bila Pemohon tidak mendapat bagian kemudian menyatakan Termohon wanprestasi. Tujuan dibuat perjanjian perdamaian untuk menjamin kepastian hukum bagi para kreditur. Jika setiap kreditur yang tidak mendaftarkan tagihannya dalam proses kepailitan tiba-tiba menuntut bayaran, maka pembayaran tersebut akan mengurangi porsi para kreditur lain yang tercantum dalam perjanjian perdamaian tersebut, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap perjanjian perdamaian yang telah disahkan tersebut. Akan menimbulkan kekacauan hukum jika permohonan Pemohon dikabulkan;" 32. Selanjutnya dalam alinea keempat halaman 35 putusannya, Judex Facti

menyatakan:

"Menimbang, bahwa demi kepentingan semua pihak yang merasa mempunyai kaitan dalam perkara ini, Pengadilan berpendapat, bahwa setelah perdamaian disahkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diumumkan sesuai ketentuan yang berlaku, maka kepailitan berakhir yang berarti Termohon kembali ke keadaan semula dan tidak lagi dalam keadaan pailit, selanjutnya apabila masih ada pihak-pihak termasuk Pemohon yang masih merasa mempunyai tagihan atau piutang yang ada pada Termohon, mereka dapat mengajukan gugatan biasa melalui Pengadilan Negeri yang berwenang, atau mengajukan permohonan pailit baru ke Pengadilan Niaga yang berwenang ;"

33. Pasal 1131 KUHPer telah mengatur bahwa:

"Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorang debitur itu."

34. Selanjutnya dalam hal kreditur lebih dari satu, cara pembagiannya diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu:

"Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan."

Hal. 22 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

35. Dari kedua ketentuan di atas, jelas tidaklah tepat pertimbangan Judex Facti yang membeda-bedakan antara kreditur yang mendaftar dalam kepailitan dan yang tidak. Pembedaan yang dibenarkan menurut ketentuan hukum, diatur baik dalam kepailitan maupun KUH Perdata, adalah pembedaan antara kreditur konkuren dengan kreditur separatis. Walau Pemohon Kasasi tidak mendaftarkan diri dalam kepailitan, hal itu tidak menghilangkan hak Pemohon Kasasi guna mendapatkan pembagian dari harta kekayaan Termohon Kasasi selaku debitur. Tuntutan Pemohon Kasasi ini tidak mengurangi porsi kreditur yang masuk dalam Perjanjian Perdamaian karena tuntutan Pemohon Kasasi adalah sesuai dengan hak Pemohon Kasasi sesuai dengan prinsip pari passu pro rata parte yang diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata.

36. Sebagai perusahaan, apalagi perusahaan terbuka (go public company), Termohon Kasasi harus memiliki pembukuan yang baik. Dalam pembukuan tersebut seharusnya tercatat seluruh utang Termohon Kasasi, termasuk utang-utang yang timbul sehubungan dengan surat sanggup-surat sanggup yang diterbitkan oleh Termohon Kasasi. Sesuai dengan prinsip-prinsip penerbitan surat sanggup sebagai surat berharga, Termohon Kasasi yang sangat piawai dalam menerbitkan surat sanggup tentu sangat tahu bahwa siapapun pemegang terakhir surat sanggup tersebut merupakan yang berhak atas pembayaran. Dengan kata lain, Termohon Kasasi sesungguhnya tahu berapa total kewajibannya berdasarkan surat sanggup. Karena itu pula, jelas merupakan itikad buruk jika Termohon Kasasi kemudian mencoba mengingkari kewajibannya yang timbul berdasarkan surat sanggup yang diterbitkannya sendiri.

37. Cara berpikir Judex Facti dalam pertimbangan yang dikutip terakhir justru sangat membahayakan perdamaian-perdamaian yang tercapai dalam kepailitan. Pasal 162 UU No. 37/2004 justru menghindari terjadinya permohonan-permohonan pailit yang diajukan oleh kreditur-kreditur yang tidak mengajukan diri dalam kepailitan. Jika ada kreditur yang tidak mendaftar dalam kepailitan dan kemudian datang menuntut haknya, yang berhak ia peroleh adalah terbatas sama seperti yang diperoleh kreditur yang mendaftar dalam kepailitan. Jika jalan berpikir Judex Facti diikuti, dimana kreditur yang tidak mendaftar dalam kepailitan boleh langsung mengajukan permohonan pailit, akan sia-sialah perdamaian yang dicapai dalam kepailitan. Kreditur yang tidak mendaftar tersebut tentu akan meminta pembayaran 100%, bahkan mungkin lebih jika memperhitungkan

Hal. 23 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

bunga dan denda, dan bila tidak dipenuhi akan mengajukan permohonan pailit. Sementara para kreditur yang ikut dalam kepailitan biasanya tidak mendapatkan pembayaran penuh.

38. Dalam perkara a quo, Pemohon Kasasi tidak menuntut pembayaran penuh, tetapi sebatas apa yang diterima oleh kreditur lainnya. Pemohon Kasasi dalam hal ini hanya menuntut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 162 UU No. 37/2004, yaitu sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi.

39. Karena pertimbangan-pertimbangan Judex Facti telah bertentangan dengan hukum, adalah pantas jika Pemohon Kasasi meminta Majelis Hakim Agung dalam perkara ini agar membatalkan putusan 01 Pembatalan Perdamaian.

TAMBAHAN BUKTI

40. Guna mendukung dan memperkuat dalil-dalil Pemohon Kasasi dalam memori kasasi ini, Pemohon Kasasi mengajukan bukti tertulis sebagai berikut:

Bukti PK-1a : Certificate of Good Standing (Section 235) BVI Company No. 282730, tertanggal 3 September 2007.

Bukti PK-1b : Terjemahan Certificate of Good Standing (Section 235) BVI Company No. 282730, tertanggal 3 September 2007. Penjelasan Bukti PK-la dan PK-lb:

Bukti PK-1a dan PK-1b ini membuktikan bahwa Babbington Developments Limited (Pemohon Kasasi) adalah suatu badan usaha/perusahaan yang terdaftar dalam Daftar Perusahaan British Virgin Islands dan masih ada serta exist sampai saat ini (sesuai BVI Business Companies Act, 2004).

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi/Pemohon tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

mengenai keberatan pertama :

bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan-alasan kasasi tersebut tidak merupakan salah satu alasan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 ;

mengenai keberatan-keberatan kedua sampai dengan kelima :

bahwa keberatan-keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum ;

Hal. 24 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

bahwa Pasal 162 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyatakan

bahwa perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditur konkuren baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak ;

bahwa apakah Pemohon adalah Kreditur dari Termohon haruslah dibuktikan dahulu oleh karena Termohon menolak Pemohon sebagai Krediturnya, dan dengan telah berakhirnya kepailitan Termohon (Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004) maka penentuan Pemohon sebagai Kreditur dari Termohon harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam suatu gugatan perdata ;

bahwa oleh karena kedudukan Pemohon masih dipermasalahkan, maka ia tidak dapat bertindak sebagai Kreditur yang menuntut pembatalan perdamaian yang telah disahkan seperti yang dimaksud oleh Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: BABBINGTON DEVELOPMENTS LIMITED tersebut harus ditolak ;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 5 Tahun 2004, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

M E N G A D I L I :

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : BABBINGTON DEVELOPMENTS LIMITED tersebut ;

Menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ;

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 2 Januari 2008 oleh Marianna Sutadi, SH., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Atja Sondjaja, SH dan H. Abdul Kadir Mappong, SH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut

Hal. 25 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Hal. 26 dari 26 hal.Put No.118 K/Pdt.Sus/2007

dan dibantu oleh Albertina Ho., SH.,MH Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;

Hakim-Hakim Anggota Ketua

ttd/. Atja Sondjaja, SH. ttd./Marianna Sutadi, SH. ttd./H. Abdul Kadir Mappong, SH.

Panitera Pengganti

Biaya-biaya : ttd./Albertina Ho, SH.,MH. 1. Meterai ……… Rp. 6.000,-

2. Redaksi ………. Rp. 1.000,- 3. Administrasi Kasasi …….Rp. 4.993.000,- Jumlah Rp. 5.000.000,-

Untuk salinan Mahkamah Agung RI

a.n. Panitera

Panitera Muda Perdata Khusus

H. PARWOTO WIGNJO SUMARTO, SH. NIP. 040.018.142

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id