1.2 Perumusan Masalah
P ersoalan mendasar yang hendak diteliti adalah “Apakah motivasi kerja,
kepuasan kerja, kejelasan sasaran anggaran, partisipasi anggaran, dan akuntabilitas publik secara parsial dan simultan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja manajerial di Bappeda Provinsi Sumatera Utara? ”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar motivasi kerja, kepuasan kerja, kejelasan sasaran anggaran, partisipasi anggaran, dan
akuntabilitas publik berpengaruh terhadap kinerja manajerial di Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar pada
penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data yang pasti karena data dikumpulkan secara langsung dari objek penelitian dan diukur sendiri oleh
peneliti. Pengumpulan data dilakukan secara langsung pada kantor Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang beralamat di Jl. Pangeran Diponegoro No. 21-A
Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat sebagai masukan dan pertimbangan bagi Bappeda Provinsi Sumatera Utara untuk
mengetahui arti pentingnya motivasi kerja, kepuasan kerja, kejelasan sasaran anggaran, partisipasi anggaran, dan akuntabilitas publik terhadap kinerja
manajerial.
Sedangkan bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terutama dalam
teori motivasi kerja, kepuasan kerja, kejelasan sasaran anggaran, partisipasi anggaran, akuntabilitas publik, dan juga kinerja manajerial.
Penelitian ini bagi penulis juga diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan serta lebih mendalami dan memahami lagi mengenai kinerja
manajerial, serta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata I pada Universitas Sumatera Utara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis
2.1.1 Motivasi
2.1.1.1 Pengertian Motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti bergerak atau menggerakkan. Motivasi diartikan sebagai kekuatan sumber daya
yang dapat menggerakkan dan mengendalikan perilaku manusia. Robbins dan Judge 2008:213 mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menyebabkan
intensitas intensity, arah direction, dan usaha terus menerus persistence individu menuju pencapaian tujuan. Oleh karena itu, motivasi dapat berarti
sebagai suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan perbuatan atau kegiatan.
Menurut Sardiman 2007: 73, motif dapat diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dari dalam subjek untuk melakukan aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat dikatakan sebagai suatu kondisi
intern kesiapsiagaan. Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-
saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.
Kedua definisi di atas menjelaskan bahwa motivasi merupakan proses yang dapat mempengaruhi seseorang agar mau melaksanakan apa yang telah
ditetapkan dengan maksud untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi sangat penting diberikan kepada setiap individu di dalam organisasi karena
dengan adanya motivasi setiap individu diharapkan mau bekerja keras dan memberikan kemampuan terbaiknya untuk mencapai tingkat produktifitas kerja
yang tinggi yang tentunya juga akan berdampak terhadap profitabilitas organisasi.
2.1.1.2 Tujuan Motivasi
Setiap pimpinan yang akan memberikan motivasi harus mengenal dan memahami betul latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan kepribadian bawahan
yang akan dimotivasi.
Hal ini dilakukan agar tujuan dari motivasi tersebut tepat sasaran.
Adapun tujuan motivasi menurut Hasibuan 2012:146 adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan 2. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
3. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan 4. Meningkatkan kedisiplinan karyawan
5. Mengefektifkan pengadaan karyawan 6. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
7. Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan 8. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan
9. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas
– tugasnya 10. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat
– alat dan bahan baku. Dari beberapa poin tujuan motivasi di atas dapat disimpulkan bahwa
tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah pegawai agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh
hasil atau mencapai tujuan instansi. Semakin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka semakin jelas pula bagaimana tindakan motivasi itu
dilakukan.
Sedangkan menurut Djamarah 2002 : 123 ada tiga tujuan motivasi, yaitu: 1. Motivasi sebagai pendorong perbuatan.
2. Motivasi sebagai penggerak perbuatan. 3. Motivasi sebagai pengarah perbuatan.
Dari ketiga tujuan motivasi di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi bertujuan untuk mendorong, menggerakkan, dan juga mengarahkan para
karyawan agar mengetahui sikap yang seharusnya diambil dalam melakukan pekerjaan.
Menurut Sardiman 2007:85, ada 3 tujuan motivasi : 1. Mendorong manusia untuk berbuat
2. Menentukan arah perbuatan 3. Menyeleksi perbuatan
Dari ketiga tujuan motivasi di atas, diketahui bahwa motivasi bertujuan untuk mendorong para pegawai dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang
harus dikerjakan guna mencapai tujuan dengan menyeleksi pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi tujuan instansi tersebut.
2.1.1.3 Asas-Asas Motivasi
Dalam memberikan motivasi kepada bawahan, seorang pimpinan harus mengikuti asas-asas yang berlaku agar proses motivasi menjadi lebih terarah.
Hasibuan 2012:146 menyatakan bahwa ada 5 lima asas motivasi, sebagai berikut :
a. Asas mengikutsertakan, artinya mengajak bawahan untuk ikut berpartisipasi dan memberikan kesempatan kepada mereka mengajukan pendapat dan
rekomendasi dalam proses pengambilan keputusan. b. Asas komunikasi, artinya menginformasikan secara jelas tentang tujuan yang
ingin dicapai, cara-cara mengerjakannya, dan kendala-kendala yang dihadapi. c. Asas pengakuan, artinya memberikan penghargaan, pujian, dan pengakuan
yang tepat serta wajar kepada bawahan atas prestasi kerja yang dicapainya.
d. Asas wewenang yang didelegasikan, artinya memberikan kewenangan dan kepercayaan diri pada bawahan, bahwa dengan kemampuan dan kreatifitasnya
ia mampu mengerjakan tugas-tugas itu dengan baik. e. Asas perhatian timbal balik, artinya bawahan yang berhasil mencapai tujuan
dengan baik maka pimpinan harus bersedia memberikan alat dan jenis motivasi. Tegasnya kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah
pihak.
Kelima asas di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya, motivasi diberikan oleh pimpinan kepada bawahannya. Adapun bentuk motivasi tersebut antara lain
dapat berupa pemberian kesempatan berpartisipasi dalam hal pengambilan keputusan, pemberian penghargaan, pujian, dan bentuk lainnya sehingga secara
langsung maupun tidak langsung, bawahan akan merasa senang dan termotivasi sehingga muncul semangat baru dalam melakukan pekerjaan.
2.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi kerja tidak hanya timbul dari dalam diri pegawai, tetapi juga berasal dari luar diri. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi tersebut
menurut Dimyati dan Mudjiono 2002:90 terbagi menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
1. Faktor Intrinsik Adalah motivasi yang timbul dari dalam diri pribadi individu itu sendiri tanpa
adanya pengaruh dari luar individu. 2. Faktor Ekstrinsik
Adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada diluar perbuatan yang dilakukannya. Ia mendapat pengaruh atau rangsangan dari luar.
Adapun menurut Wursanto 2000: 131, motivasi timbul karena dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri manusia dan faktor dari luar diri manusia.
1. Faktor dalam diri manusia disebut motivasi internal berupa sikap, pendidikan, kepribadian, pengalaman, pengetahuan, dan cita-cita.
2. Faktor luar diri manusia motivasi ekternal berupa gaya kepemimpinan atasan, dorongan atau bimbingan seseorang, dan perkembangan situasi
Dari kedua penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya faktor motivasi berasal dari dua sumber, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Adapun faktor
instrinsik ini berasal dari kondisi internal individu yakni dari dalam dirinya sendiri, sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari luar dirinya dan juga pengaruh
lingkungan luar.
2.1.1.5 Metode Motivasi
Untuk memberikan motivasi kepada bawahan, tentunya seorang pimpinan harus mengikuti metode yang tepat agar mempermudah proses peningkatan
motivasi. Ada dua metode motivasi menurut Hasibuan 2012:149 yaitu :
a. Motivasi Langsung Direct Motivation Motivasi langsung adalah motivasi materiil dan nonmateriil yang diberikan
secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasannya. Jadi sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan,
tunjangan hari raya, bonus, dan bintang jasa.
b. Motivasi Tidak Langsung Indirect Motivation Motivasi tidak langsung adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan
fasilitas – fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja atau
kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Misalnya, kursi yang empuk, mesin
– mesin yang baik, ruangan kerja yang terang dan nyaman, suasana pekerjaan yang serasi, serta
penempatan yang tepat. Motivasi tidak langsung besar pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan sehingga produktif.
Dari kedua metode motivasi di atas dapat dilihat bahwa motivasi tidak hanya berwujud abstrak seperti pujian, kata-kata penyemangat, dan lain
sebagainya, tetapi ada juga yang berupa wujud nyata, seperti pemberian fasilitas- fasilitas yang mendukung kelancaran tugas pegawai.
2.1.1.6 Model-Model Motivasi
Dalam proses pemotivasian, dikenal beberapa model motivasi yang dapat dijalankan oleh seorang pimpinan terhadap bawahannya. Rivai 2005:470,
mengatakan bahwa model-model motivasi adalah sebagai berikut : 1. Model Tradisional
Model tradisional ini digunakan untuk memberikan dorongan kepada pegawai agar melakukan tugas mereka dengan berhasil, para pimpinan menggunakan
sistem upah insentif, semakin banyak mereka menghasilkan atau mencapai hasil kerja yang sempurna, semakin besar penghasilan mereka.
2. Model Hubungan Manusiawi
Model hubungan tradisional yaitu para pimpinan dianjurkan untuk bisa memotivasi para pegawai dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan
dengan membuat mereka merasa penting dan berguna, sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Para pegawai diberi lebih banyak waktu
kebebasan untuk mengambil keputusan dalam menjalankan pekerjaannya. 3. Model Sumber Daya Manusia
Model sumber daya manusia yaitu pegawai mempunyai motivasi yang sangat beraneka ragam, bukan hanya motivasi karena uang ataupun keinginan akan
kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi dan mempunyai arti dalam bekerja. Tugas pimpinan dalam model ini, bukanlah menyuap para pegawai
dengan upah atau uang saja tetapi juga untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan organisasi dan anggotanya, dimana
setiap pegawai
menyumbangkan sesuai
dengan kepentingan
dan kemampuannya masing-masing.
Dari ketiga model motivasi di atas, dapat dilihat bahwa pegawai akan termotivasi untuk melakukan pekerjaan apabila pimpinan memberikan insentif
kepada mereka yang berprestasi baik serta mengakui kebutuhan sosial mereka sehingga mereka merasa berguna dan penting. Di sisi lain, ada juga pegawai yang
termotivasi oleh faktor lain yang dalam hal ini bukan hanya uang atau keinginan akan kepuasan, tetapi lebih ke arah pencapaian dan pekerjaan yang berarti.
2.1.1.7 Proses Motivasi
Dalam upaya pemberian motivasi oleh pimpinan kepada pegawai, tentunya seorang pimpinan harus mengetahui proses motivasi terlebih dahulu agar
motivasi tersebut lebih efektif diterima oleh para pegawai. Proses Motivasi menurut Hasibuan 2012:150 adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Dalam proses motivasi perlu ditetapkan terlebih dahulu tujuan organisasi,
baru kemudian para pegawai dimotivasi ke arah tujuan itu. b. Mengetahui kepentingan
Hal yang penting dalam proses motivasi adalah mengetahui keinginan pegawai dan tidak hanya melihat dari sudut kepentingan pimpinan atau
instansi saja. c. Komunikasi efektif
Dalam proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang baik dangan bawahan. Bawahan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan syarat
apa saja yang harus dipenuhinya supaya insentif tersebut diperolehnya. d. Integrasi tujuan
Proses motivasi perlu untuk menyatukan tujuan organisasi dan tujuan kepentingan pegawai. Tujuan organisasi adalah needscomplex yaitu untuk
memperoleh laba serta perluasan instansi, sedangkan tujuan individu karyawan harus disatukan dan untuk itu penting adanya penyesuaian
motivasi.
e. Fasilitas Pimpinan penting untuk memberikan bantuan fasilitas kepada organisasi dan
individu pegawai yang akan mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan. f.
Team work Pimpinan harus membentuk team work yang terkoordinasi baik yang bisa
mencapai tujuan instansi. Sedangkan menurut Winardi 2007:82, proses motivasi diawali dengan
timbulnya keinginan, adanya kebutuhan, dan munculnya berbagai harapan atau expectancy. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya ketegangan-ketegangan pada
diri individu yang dianggap kurang menyenangkan. Dengan anggapan bahwa perilaku tertentu dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan yang dirasakan
sehingga orang yang bersangkutan melakukan suatu perilaku. Perilaku tersebut diarahkan kepada tujuan untuk mengurangi kondisi ketegangan yang dirasakan.
Dimulainya perilaku tersebut menyebabkan timbulnya petunjuk-petunjuk yang memberikan umpan balik informasi kepada orang yang bersangkutan tentang
dampak perilakunya. Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa motivasi pegawai adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang
menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang positif dalam menjalankan tugas sebagai pegawai suatu organisasi untuk
mencapai tujuan instansi.
2.1.2 Kepuasan Kerja
2.1.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan satu diantara beberapa faktor penting dalam peningkatan kinerja seorang pegawai dalam suatu instansi atau perusahaan.
Dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai yang tentunya akan berdampak pula terhadap instansi. Robbins
dan Judge 2008:99, mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi
karakteristiknya. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.
Menurut Harianja 2002:290 kepuasan kerja didefinisikan dengan sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau
dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin tinggi penilaian terhadap
kegiatan yang dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi, secara garis besar kepuasan kerja
dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan ketika pegawai memandang pekerjannya.
2.1.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Baron Byrne 1994:45 ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan
perusahaan dan iklim kerja. Faktor kedua yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor individual ada dua predictor penting terhadap
kepuasan kerja yaitu status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak kemungkinan mendorong pegawai untuk mencari
pekerjaan lain, hal itu berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan pegawai yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja
akan lebih merasa puas dengan hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal.
Kedua faktor di atas tentunya sangat mempengaruhi pegawai dalam hal kepuasan kerja. Semakin baik faktor tersebut diterima oleh pegawai, maka akan
semakin besar pula tingkat kepuasan kerja yang ia dapatkan. Begitu pula sebaliknya, semakin buruk faktor tersebut diterima oleh pegawai, maka akan
semakin kecil pula tingkat kepuasan kerja yang ia dapatkan.
2.1.2.3 Model-Model Kepuasan Kerja
Dalam membangun kepuasan kerja, dikenal beberapa model kepuasan kerja yang harus diketahui seorang pimpinan jika ingin meningkatkan kepuasan
kerja pegawainya. Menurut Kreitner dan Kinicki 2008:271 ada 5 model kepuasan kerja yang menyatakan sebab-sebab kepuasan kerja, yaitu:
a. Pemenuhan kebutuhan Model ini menjelaskan bahwa kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari
sebuah pekerjaan memungkinkan seorang individu untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menyatakan kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat
mempengaruhi kepuasan maupun berhentinya pegawai. b. Ketidakcocokan
Model ini menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang
diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, seperti upah dan kesempatan promosi yang baik, dan apa yang pada kenyataannya
diterimanya. Pada saat harapan lebih besar daripada yang diterima, seseorang akan merasa tidak puas.
c. Pencapaian Nilai Model ini menjelaskan kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan
untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang individu. Pimpinan dapat meningkatkan kepuasan pegawainya dengan melakukan
strukturisasi lingkungan kerja, penghargaan, dan pengakuan yang berhubung dengan nilai-nilai pegawai.
d. Persamaan Model ini menjelaskan bahwa kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana
seorang individu diperlakukan secara adil di tempat kerja. Kepuasan berasal dari persepsi seseorang bahwa output pekerjaan relatif sama dengan inputnya.
e. Komponen watakgenetik Model ini menunjukkan bahwa perbedaan individu yang stabil sama
pentingnya dengan menjelaskan kepuasan kerja dan karakteristik lingkungan kerja. Faktor-faktor genetik juga ditemukan secara signifikan dapat
memprediksi kepuasan hidup, kesejahteraan, dan kepuasan kerja secara umum.
Dapat disimpulkan bahwa kelima model kepuasan kerja di atas menyatakan sebab-sebab kepuasan kerja ditentukan oleh karakteristik dari sebuah
pekerjaan, hasil dari harapan yang terpenuhi, persepsi bahwa suatu pekerjaan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang individu, bagaimana
seorang individu diperlakukan secara adil di tempat kerja, dan juga faktor-faktor genetik.
2.1.2.4 Indikator Kepuasan Kerja
Seorang pimpinan harus mengetahui dengan pasti mengenai indikator- indikator yang dapat memberikan kepuasan kerja terhadap pegawainya. Menurut
Mangkunegara 2002:118, indikator-indikator kepuasan kerja, antara lain : a. Kedisiplinan
Kepuasan kerja berdasarkan disiplin waktu diperoleh dari pekerjaan maka kedisiplinan pegawai menjadi lebih baik. Sebaliknya, kepuasan kerja yang
kurang tercapai akan mengakibatkan kedisiplinan pegawai rendah.
b. Perputaran tenaga kerja turnover Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang
rendah. Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnover- nya lebih tinggi.
c. Moral kerja Moral kerja sifatnya subjektif, yakni bergantung kepada perasaan seseorang
sehubungan dengan pekerjaannya maka dapat dikatakan moral kerja pegawai tersebut dapat menjadi baik dan begitu juga sebaliknya.
d. Umur Pegawai yang tua kecenderungan merasa puas daripada pegawai yang
berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan.
Sedangkan pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita
kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
e. Ukuran Organisasi Perusahaan Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Hal ini
karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi pegawai.
Indikator kepuasan kerja di atas secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kepuasan kerja seorang pegawai terhadap pekerjaannya.
2.1.2.5 Tindakan atas Ketidakpuasan Kerja
Kepuasan kerja tidak selamanya muncul sesuai harapan pimpinan. Menurut Robbin dan Judge 2008:111 ada 4 tindakanrespon yang dikeluarkan
oleh pegawai ketika pegawai tersebut merasa tidak puas, yaitu: a. Keluar Exit : Perilaku yang agresif untuk meninggalkan organisasi termasuk
mencari posisi baru dan mengundurkan diri. b. Aspirasi Voice : Secara aktif dan konstruktif berusaha untuk memperbaiki
kondisi termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.
c. Kesetiaan Loyality : Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman
eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang benar.
d. Pengabaian Reglect : Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus menerus, kurangnya
usaha, dan meningkatnya kesalahan. Keempat hal di atas merupakan bentuk yang biasanya kita lihat di dalam
dunia kerja apabila seorang pegawai merasa tidak puas terhadap kondisi lingkungan kerja yang ia hadapi. Guna menghindari hal tersebut, pimpinan
diharapkan melakukan pendekatan kepada para bawahannya untuk dapat mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh pegawai.
2.1.3 Anggaran
2.1.3.1 Pengertian Anggaran
Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai kejelasan sasaran anggaran dan juga partisipasi anggaran, ada baiknya kita mengetahui definisi anggaran
terlebih dahulu. Menurut Freeman dalam Erlina 2012:16, anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan organisasi sektor publik untuk mengalokasikan
sumber daya yang dimiliki kedalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan
kekayaan sebuah organisasi publik. Sedangkan menurut Nordiawan 2006:48, anggaran dapat juga dinyatakan
sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial. Bagi organisasi sektor publik seperti
pemerintah, anggaran tidak hanya sekedar rencana tahunan tetapi juga merupakan bentuk akuntabilitas atas pengelolaan dana publik yang dibebankan kepadanya.
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa anggaran merupakan rencana kerja yang dituangkan dalam angka-angka keuangan baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Anggaran biasanya disebut perencanaan dan pengendalian laba yaitu proses yang ditujukan untuk membantu manajemen
dalam perencanaan dan pengendalian secara efektif.
2.1.3.2 Fungsi Anggaran
Sebelum proses penyusunan anggaran suatu instansi ataupun perusahaan dilakukan, semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tersebut
harus mengetahui terlebih dahulu fungsi dari anggaran itu sendiri, agar proses penyusunan anggaran lebih terarah sehingga menjadi efektif. Menurut Erlina
2012:18 beberapa fungsi anggaran dalam manajemen organisasi sektor publik antara lain sebagai:
1. Anggaran sebagai alat perencanaan Dengan adanya anggaran, organisasi tahu apa yang harus dilakukan dan ke
arah mana kebijakan yang dibuat.
2. Anggaran sebagai alat pengendalian Dengan adanya anggaran organisasi sektor publik dapat menghindari adanya
pengeluaran yang terlalu besar overspending atau adanya penggunaan dana yang tidak semestinya misspending.
3. Anggaran sebagai alat kebijakan Melalui anggaran organisasi sektor publik dapat menentukan arah atas
kebijakan tertentu. Contohnya adalah apa yang dilakukan pemerintah dalam hal kebijakan fiskal, apakah melakukan kebijakan fiskal ketat atau longgar
dengan mengatur besarnya pengeluaran yang direncanakan. 4. Anggaran sebagai alat politik
Dalam organisasi sektor publik, melalui anggaran dapat dilihat komitmen pengelola dalam melaksanakan program-program yang telah dijanjikan.
5. Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi Melalui dokumen anggaran komprehensif sebuah bagian unit atau kerja atau
departemen yang merupakan sub organisasi dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan juga apa yang akan dilakukan oleh bagianunit kerja lainnya.
6. Anggaran sebagai alat penilai kinerja Anggaran adalah suatu ukuran yang bisa menjadi patokan apakah suatu
bagianunit kerja telah memenuhi target baik berupa terlaksananya aktifitas maupun terpenuhinya efisiensi biaya.
7. Anggaran sebagai alat komunikasi Anggaran dapat digunakan sebagai alat komunikasi dengan menjadikan nilai-
nilai nominal yang tercantum sebagai target pencapaian.
Fungsi anggaran pada suatu perusahaan atau instansi merupakan alat untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan, fungsi perencanaan, koordinasi,
pengawasan, dan juga sebagai pedoman kerja dalam mengarahkan instansi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.1.3.3 Jenis-Jenis Anggaran
Dalam proses penyusunan anggaran, semua pihak yang terlibat harus dapat mengetahui jenis-jenis anggaran agar tidak terjadi kesalahan dalam pengalokasian
anggaran. Menurut Nordiawan 2006:50 jenis anggaran sektor publik terbagi lima. Berdasarkan jenis aktiva, yaitu anggaran operasional dan anggaran modal,
berdasarkan status hukumnya, yaitu anggaran tentatif dan anggaran enacted, berdasarkan pemerintahan dan kekayaan negaradana, yaitu anggaran dana umum
dan anggaran dana khusus, anggaran tetap dan anggaran fleksibel, serta berdasarkan penyusunannya, yaitu anggaran eksekutif dan anggaran legislatif.
1. Anggaran Operasional dan Anggaran Modal Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan dalam
menjalankan operasi sehari-hari waktu satu tahun, sedangkan anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva
tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. 2. Anggaran Tentatif dan Anggaran Enacted
Anggaran tentatif adalah anggaran yang tidak memerlukan pengesahan dari lembaga legislatif karena kemunculannya yang di picu oleh hal-hal yang
tidak direncanakan sebelumnya, sedangkan anggaran enacted adalah
anggaran yang direncanakan kemudian dibahas dan disetujui oleh lembaga legislatif.
3. Anggaran Dana Umum dan Anggaran Dana Khusus Anggaran dana umum digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan
yang bersifat umum dan sehari- hari, sedangkan anggaran dana khusus dicadangkan atau dialokasikan khusus untuk tujuan tertentu.
4. Anggaran Tetap dan Anggaran Fleksibel Anggaran tetap sudah ditentukan jumlahnya di awal tahun anggaran,
jumlah tersebut tidak boleh dilampaui meskipun ada peningkatan jumlah kegiatan yang dilakukan, sedangkan anggaran fleksibel adalah harga
barang atau jasa per unit telah ditetapkan namun jumlah anggaran keseluruhan akan berfluktuasi berpengaruh pada banyaknya kegiatan yang
dilakukan. 5. Anggaran Eksekutif dan Anggaran Legislatif
Anggaran eksekutif adalah anggaran yang disusun oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini pemerintah, sedangkan anggaran legislatif adalah anggaran
yang disusun oleh lembaga legislatif tanpa keterlibatan pihak eksekutif. Sebagai alat bantu manajemen, anggaran perusahaan mempunyai lingkup
yang luas. Seluruh kegiatan yang ada di dalam perusahaan akan terkait dengan anggaran perusahaan tersebut. Anggaran perusahaan ini terdiri dari berbagai
macam jenis yang mempunyai kegunaan masing-masing. Anggaran yang satu bisa berbeda baik dari segi isi, bentuk, maupun kegunaannya dengan anggaran yang
lain. Agar tidak terkecoh oleh beragam jenis anggaran yang ada di dalam
perusahaan, maka setiap individu di dalam suatu perusahaan atau instansi dituntut untuk mengetahui bagaimana penggolongan anggaran yang benar sehingga tidak
menimbulkan kerancuan dalam penggunaan anggaran.
2.1.3.4 Prinsip-Prinsip Penyusunan Anggaran
Ketentuan penyusunan anggaran juga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan anggaran di sektor publik yaitu pada pemerintah daerah. Anggaran
yang disusun pada pemerintah daerah adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah, merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.302007 tentang
”Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008” dalam proses penyusunan anggaran APBD agar memperhatikan
prinsip- pinsip penyusunan anggaran adalah sebagai berikut: a. Partisipasi Masyarakat
Proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan
kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. b. Transparasi dan Akuntabilitas Anggaran
APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan
pada setiap jenis belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.
Oleh karena itu, setiap pengguna anggaran harus bertanggung jawab terhadap pengguna sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan.
c. Disiplin Anggaran Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian
tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit
anggarannya dalam APBDPerubahan APBD. d. Keadilan Anggaran
Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
diskriminasi pemberian pelayanan. e. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan; tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta
indikator kinerja yang ingin dicapai, penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
f. Taat azas
APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan dan kepentingan publik.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada enam aspek yang perlu diperhatikan dalam hal penyusunan anggaran, yaitu
partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan keanggaran, efisiensi dan efektifitas anggaran, dan juga taat asas.
2.1.4 Kejelasan Sasaran Anggaran
Kenis 1979
mengungkapkan salah
satu karakteristik
sistem penganggaran adalah kejelasan sasaran anggaran yang menunjukkan tujuan
anggaran ditetapkan dengan jelas dan spesifik agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggung jawab atas pencapaian sasaran anggaran
tersebut. Sasaran anggaran yang jelas ini tentunya akan membantu aparat pelaksana anggaran untuk mencapai target realisasi anggaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Sasaran anggaran yang jelas juga akan mempermudah SKPD untuk menyusun target anggaran. Kemudian, target-target anggaran yang
disusun akan disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai pemerintah daerah. Penentuan sasaran anggaran secara spesifik akan membuat suatu
organisasi menjadi lebih produktif dibandingkan jika tidak ada penentuan sasaran. Hal tersebut akan mendorong pegawai untuk dapat melakukan kinerja yang
terbaik. Kesenjangan anggaran merupakan tindakan bawahan yang mengecilkan kapasitas produktifnya ketika bawahan diberi kesempatan untuk menentukan
standar kinerjanya. Hal ini menyebabkan perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan estimasi terbaik bagi organisasi.
Adanya sasaran anggaran yang jelas, maka akan mempermudah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas
organisasi dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketidakjelasan sasaran anggaran akan menyebabkan
pelaksana anggaran menjadi bingung, tidak tenang, dan tidak puas dalam bekerja. Hal ini menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak pasti Suhartono dan
Mochammad, 2006. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejelasan sasaran
anggaran menggambarkan seberapa luas suatu sasaran anggaran yang selanjutnya dinyatakan secara jelas dan spesifik serta dimengerti oleh pihak yang
bertanggungjawab terhadap pencapaiannya. Sasaran anggaran yang tidak jelas dapat menyebabkan kebingungan, tekanan, dan ketidakpuasan dari pegawai yang
akan berdampak buruk terhadap kinerja manajerial.
2.1.5 Partisipasi Anggaran
Menurut Brownell 1982, partisipasi anggaran merupakan suatu proses yang melibatkan individu-individu secara langsung di dalamnya dan mempunyai
pengaruh terhadap penyusunan tujuan anggaran yang prestasinya akan dinilai dan kemungkinan akan dihargai atas dasar pencapaian tujuan anggaran mereka.
Partisipasi anggaran adalah tahap partisipasi pengurus dalam menyusun anggaran dan pengaruh anggaran tersebut terhadap pusat pertanggungjawaban.
Brownell 1982 mendefenisikan bahwa anggaran adalah suatu proses partisipasi individu akan dinilai dan mungkin diberi penghargaan atas prestasi mereka pada
tujuan yang dianggarkan, dan mereka terlibat dalam proses tersebut dan mempunyai pengaruh pada penentuan tujuan tersebut.
Definisi partisipasi dalam anggaran secara terperinci yaitu : a. Sejauh mana anggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para pengurus.
b. Alasan-alasan pihak manajer pada saat anggaran diproses.
c. Keinginan memberikan partisipasi anggaran kepada pihak manajer tanpa diminta.
d. Sejauh mana manajer mempunyai pengaruh dalam anggaran akhir. e. Kepentingan manajer dalam partisispasinya terhadap anggaran.
f. Anggaran didiskusikan antara pihak manajer puncak dengan manajer pusat
pertanggungjawaban pada saat anggaran disusun. Dari penjelasan di atas, perlu ditegaskan bahwa prinsip utama partisipasi
anggaran adalah masyarakat harus terlibat dalam setiap proses perencanaan dan penganggaran APBD. Sebab, masyarakatlah yang paling mengetahui kebutuhan-
kebutuhan yang sedang dirasakannya. Secara filosofis, masyarakat adalah pemegang kedaulatan yang memberikan mandatnya kepada institusi pemerintah
untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat.
2.1.6 Akuntabilitas Publik
2.1.6.1 Pengertian Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. Menurut Mardiasmo 2002, akuntabilitas publik adalah
kewajiban pihak
pemegang amanah
agent untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala
aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah principal yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan
dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan
nilai yang berlaku. Akuntabilitas publik ini menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.
2.1.6.2 Akuntabilitas dalam Pelaporan Keuangan
Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada publik dalam bentuk penyajian informasi keuangan
organisasi. Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber daya yang diperoleh sudah digunakan
sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku, dan apakah penggunaan dana telah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
sebagaimana termuat dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
2.1.6.3 Sifat Akuntabilitas Pemerintah
Menurut Mardiasmo 2002, laporan keuangan pemerintah dapat dipakai untuk menilai akuntabilitas pemerintahan. Dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan, akuntabilitas pemerintah dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association menyatakan
bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap:
a. Sumber daya finansial b. Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif
c. Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan d. Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian
tujuan, manfaat, dan efektivitas. Sedangkan dari perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu
tingkatan dengan lima tahap yang berbeda yang diawali dari tahap yang lebih
banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif legal compliance ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran subyektif . Tahap-tahap tersebut
adalah: a. Probity and legality accountability,
Hal ini menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang telah disetujui dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku compliance. b. Process accountability,
Dalam hal ini digunakan proses, prosedur, atau ukuran-ukuran dalam melaksanakan kegiatan yang ditentukan planning, allocating and managing.
c. Performance accountability, Pada level ini dilihat apakah kegiatan yang dilakukan sudah efisien efficient
and economy. d.
Program accountability Di sini akan disoroti penetapan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
tersebut outcomes and effectiveness. e.
Policy accountability Dalam tahap ini dilakukan pemilihan berbagai kebijakan yang akan
diterapkan atau tidak value. Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik pokok
sistem akuntabilitas ini yaitu: 1. Berfokus pada hasil outcomes
2. Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja 3. Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu
program atau kebijakan
4. Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu 5. Melaporkan hasil outcomes dan mempublikasikannya secara teratur.
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa konsep akuntabilitas publik didasari pemikiran bahwa rakyat tidak hanya berhak mengetahui pada
pelaporan pertanggungjawaban keuangan saja, tetapi juga non-keuangan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan akuntabilitas kerja. Dengan terwujudnya
akuntabilitas kerja diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi akuntabilitas menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap penyelenggaraan kepemerintahan yang baik
dalam mempertanggungjawabkan amanah yang diterima yang sesuai dengan prinsip demokrasi.
2.1.7 Kinerja Manajerial
Kinerja manajerial merupakan hasil dari proses aktivitas manajerial yang efektif mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, laporan
pertanggungjawaban, pembinaan, dan pengawasan. Variabel kinerja manajerial diukur dengan menggunakan instrumen self rating yang dikembangkan oleh
Mahoney 1963, di mana setiap responden diminta untuk mengukur kinerja sendiri
ke dalam
delapan dimensi,
yaitu perencanaan,
investigasi, pengkoordinasian, evaluasi, pengawasan, pemilihan staf, negosiasi, dan
perwakilan, serta satu dimensi pengukuran kinerja seorang kepala dinas, kepala bagian dan kepala bidang secara keseluruhan. Kinerja manajerial merupakan
seberapa jauh manajer melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Kinerja manajerial ini diukur dengan menggunakan indikator Mahoney ,1963 :
1. Perencanaan
Adalah penentuan kebijakan dan sekumpulan kegiatan untuk selanjutnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi waktu sekarang dan yang
akan datang. Perencanaan bertujuan untuk memberikan pedoman dan tata cara pelaksanaan tujuan, kebijakan, prosedur, penganggaran, dan program
kerja sehingga terlaksana sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. 2.
Investigasi Merupakan kegiatan untuk melakukan pemeriksaan melalui pengumpulan
dan penyampaian informasi sebagai bahan pencatatan, pembuatan laporan, sehingga mempermudah dilaksanakannya pengukuran hasil dan analisis
terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Pengkoordinasian merupakan proses jalinan kerjasama dengan bagian-bagian lain dalam organisasi melalui
tukar- menukar informasi yang dikaitkan dengan penyesuaian program- program kerja.
3. Koordinasi
Menyelaraskan tindakan yang meliputi pertukaran informasi dengan orang- orang dalam unit organisasi lainnya, guna dapat berhubungan dan
menyesuaikan program yang akan dijalankan. 4.
Evaluasi Adalah penilaian yang dilakukan oleh pimpinan terhadap rencana yang telah
dibuat, dan ditujukan untuk menilai pegawai dan catatan hasil kerja sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat diambil keputusan yang diperlukan.
5. Supervisi
Yaitu penilaian atas usulan kinerja yang diamati dan dilaporkan. 6.
Staffing Yaitu memelihara dan mempertahankan bawahan dalam suatu unit kerja,
menyeleksi pekerjaan baru, menempatkan, dan mempromosikan pekerjaan tersebut dalam unitnya atau unit kerja lainnya.
7. Negosiasi
Yaitu usaha untuk memperoleh kesepakatan dalam hal pembelian, penjualan, atau kontrak untuk barang-barang dan jasa.
8. Representasi
Yaitu menyampaikan informasi tentang visi, misi, dan kegiatan- kegiatan organisasi dengan menghadiri pertemuan kelompok bisnis dan konsultasi
dengan kantor-kantor lain. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja manajerial
didefinisikan sebagai seberapa efektif dan efisien manajer telah bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Kinerja tersebut dinyatakan efektif apabila tujuan
anggaran tercapai dan bawahan mendapatkan kesempatan terlibat atau berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran. Adapun bentuk lain dari
kinerja manajerial ini dapat berupa motivasi bawahan, mengidentifikasi dan melakukan negosiasi dengan atasan mengenai target anggaran, menerima
kesepakatan anggaran, serta melaksanakannya.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini mendapat ide dan pengetahuan dari penelitian terdahulu yang beragam dari peneliti sebelumnya. Anggraeni 2009 melakukan penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui apakah partisipasi anggaran dan komitmen organisasi berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap kinerja SKPD
Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu. Metode penelitian yang digunakan adalah desain penelitian kausal, dengan jumlah sampel 36 responden dari 12 dinas
sebagai SKPD yang diteliti.
Hasil analisis secara parsial menunjukkan bahwa partisipasi anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD Pemerintah Kabupaten
Labuhan Batu, komitmen organisasi juga tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu.
Soetrisno 2010 melakukan penelitian yang ditujukan untuk menguji pengaruh partisipasi, motivasi, dan pelimpahan wewenang dalam penyusunan
anggaran terhadap kinerja manajerial. Populasi penelitian ini adalah para pengguna anggaran pejabat eselon III dan eselon IV pada Dinas Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah dengan jumlah kuesioner kembali 119 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran dan
pelimpahan wewenang berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja manajerial dengan hasil sedang, sedangkan variabel motivasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja manajerial ditunjukkan perhitungan hasil pengujian statistik bahwa nilai koefisien regresi variabel motivasi adalah 0,039.
Sari, dkk. 2014 melakukan penelitian yang bertujuan untuk meneliti secara empiris pengaruh akuntabilitas publik, kejelasan sasaran anggaran dan
partisipasi dalam penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial Satuan Kerja
Perangkat Daerah SKPD. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Teknik pengambilan sampel yakni teknik purposive sampling. Sampel yang diperoleh
sebanyak 56 kuesioner. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa akuntabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah SKPD, kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
SKPD, partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
SKPD, akuntabilitas, kejelasan sasaran anggaran dan partisipasi penyusunan anggaran secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial
Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD. Solina 2014 melakukan penelitian dengan jenis penelitian yang
digolongkan pada penelitian yang bersifat survey. Populasi dalam penelitian ini adalah SKPD Kota Tanjungpinang. Pemilihan sampel dengan metode judgment
purposive sampling method dengan jumlah responden 77. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer. Hasil penelitian membuktikan bahwa
akuntabilitas publik berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD H1 diterima, partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh signifikan terhadap
kinerja manajerial SKPD H2 diterima, kejelasan sasaran anggaran berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD H3 diterima, struktur desentralisasi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD, dan akuntabilitas, partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran, dan struktur
desentralisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD.
Review atas penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Nama
Peneliti Judul
Penelitian Variabel
Penelitian Hasil Penelitian
1 Anggraeni
2009 Pengaruh
Partisipasi Anggaran dan
Komitmen Organisasi
Terhadap Kinerja SKPD
Pemerintah Kabupaten
Labuhan Batu Variabel
Independen: Pengaruh
Partisipasi Anggaran dan
Komitmen Organisasi
Variabel Dependen:
Kinerja SKPD
Hasil analisis secara parsial menunjukkan bahwa partisipasi
anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, komitmen organisasi juga
tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD Pemerintah
Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa partisipasi anggaran dan komitmen organisasi secara
simultan tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu.
2 Soetrisno
2010 Pengaruh
Partisipasi, Motivasi, dan
Pelimpahan Wewenang
dalam Penyusunan
Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial Studi Empiris pada
Dinas Daerah dan Lembaga
Teknis Daerah di Kabupaten
Rembang
Variabel Independen:
Pengaruh Partisipasi,
Motivasi, dan Pelimpahan
Wewenang dalam
Penyusunan Anggaran
Variabel Dependen:
Kinerja Manajerial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam
penyusunan anggaran dan pelimpahan
wewenang berpengaruh signifikan dan positif terhadap
kinerja manajerial dengan hasil sedang, sedangkan variabel
motivasi tidak berpengaruh signifikan terhadap
kinerja manajerial ditunjukkan perhitungan hasil
pengujian statistik bahwa nilai koefisien regresi variabel
motivasi adalah 0,039. Nilai ini tidak signifikan pada tingkat
signifikansi 0,05 dengan p value 0,306.
3 Sari,
dkk. 2014
Pengaruh Akuntabilitas,
Kejelasan Sasaran
Anggaran, dan Partisipasi
Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial Satuan Kerja
Perangkat Daerah Studi
Variabel Independen:
Pengaruh Akuntabilitas,
Kejelasan Sasaran
Anggaran, dan
Partisipasi Anggaran
Variabel Hasil dari penelitian
menunjukan bahwa 1 Akuntabilitas berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja
manajerial pada Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD 2
Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja manajerial pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah SKPD, 3
Empiris pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah
Kabupaten Buleleng
Dependen: Kinerja
Manajerial Partisipasi dalam
penyusunan anggaran berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja manajerial
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD, 4
Akuntabilitas, kejelasan sasaran anggaran dan partisipasi
penyusunan anggaran secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap kinerja manajerial Satuan Kerja Perangkat Daerah
SKPD.
4 Solina 2014
Pengaruh Akuntabilitas
Publik, Partisipasi
Penyusunan Anggaran,
Kejelasan Sasaran
Anggaran, dan Struktur
Desentralisasi Terhadap Kinerja
Manajerial pada SKPD Kota
Tanjung Pinang Variabel
Independen: Pengaruh
Akuntabilitas Publik,
Partisipasi Penyusunan
Anggaran, Kejelasan
Sasaran Anggaran,
dan Struktur Desentralisasi
Variabel Dependen:
Kinerja Manajerial
Hasil penelitian membuktikan bahwa 1 Akuntabilitas Publik
berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD H1
diterima, 2 partisipasi penyusunan anggaran
berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD H2
diterima, 3 Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh
signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD H3
diterima, 4 Struktur desentralisasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD, dan 5
Akuntabilitas, partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan
sasaran anggaran, dan struktur desentralisasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD.
2.3 Kerangka Konseptual