Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
pornography
2
sampai hard-pornography
3
. Materi-materi pornografi itu dapat diperoleh dengan biaya relatif murah, dan diperdagangkan pada siapa saja yang
berminat memperolehnya, termasuk anak-anak di bawah umur. Peredaran pornografi semakin dipacu oleh revolusi yang terjadi, salah satu
pencapaian besar di bidang ini adalah penemuan sistem komunikasi baru, yang biasa disebut sebagai internet. Melalui internet, berbagai materi pornografi
mampu dihadirkan secara massive and direct pada setiap orang bertujuan, atau bahkan yang tidak berniat mendapatkannya. Internet telah menjadi surga bagi
penikmat pornografi, sekaligus lahan bisnis yang menguntungkan bagi pengedarnya.
Permasalahan pornografi sebenarnya telah lama menjadi isu publik di Indonesia. Sejak permulaan abad ke-20 telah dilakukan sensor
4
dan “digunting” oleh dewan redaksinya.
5
Padahal di dalam Islam sudah sangat jelas bagi seorang muslim untuk tidak mendekati zina, sesuai dalam firman Allah Q.S Al-
Israa’ : 32
2
Soft-pornography adalah kategori pornografi yang termasuk dalam klasifikasi ringan. Soft- pornography tidak menampilkan adegan coitus atau penetrasi, bagian genital kelamin tidak
digambarkan secara mendetail.
3
Hard-pornography adalah katagori pornografi yang termasuk dalam klasifikasi berat. Katagori pornografi ini mengambarkan seks secara furgar. Homoseksualitas, bestiality hubungan seks
melibatkan hewan dan manusia, dan pornografi termasuk katagori hard-pornography.
4
Salah satu karya yang disensor oleh Volkslectuur adalah Belenggu karya Armijn Pane, yang justru kemudian dikenal sebagai salah stu karya terpenting dalam sejarah sastra modern Indonesia.
5
Goenawan Muhammad, Seks, Sastra, kita, cet. 2, Jakarta: Sinar Harapan, 1981 , hal. 12.
3
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk .”
Belakangan ini, pembahasan mengenai masalah pornografi berlangsung ramai setelah dipicu oleh peredaran beberapa VCD Video Compact Disc film
porno amatir buatan dalam negeri yang juga dibintangi pemeran lokal atau artis lokal .
6
Banyak kalangan, terutama dari kalangan pemuka agama, menilai media massa di Indonesia sarat dengan berbagai materi pornografi.
Selama ini, masalah pornografi di Indonesia jarang dilihat sebagai suatu permasalahan yang berkaitan dengan kaum perempuan. Pendekatan yang
digunakan dalam melihat masalah pornografi adalah perspektif agama dan moralitas. Masalah pornografi di Indonesia jarang dilihat dalam perspektif
perlindungan terhadap perempuan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa pornografi adalah suatu bentuk
tindak kekerasan terhadap perempuan.
7
Namun, lebih lanjut dijelaskannya bahwa rumusan mengenai tindak kekerasan dalam KUHP sebagian besar bersifat umum
dilihat dari segi korban.
8
Di negara-negara lain yang lebih maju, permasalahan
6
Beberapa film porno ini diedarkan melalui pasar gelap, dalam bentuk VCD, dan lebih diketahui melalui beberapa judul. Belakangan ini muncul lagi film porno yang juga dibuat di Indonesia
dan diperankan oleh warga negara Indonesia.
7
Harkristuti Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan PerspektiF Kekerasaan Perempuan
Terhadap Perempuan Indonesia, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya
”, disunting oleh Achic Sudiarti Luhulima, Jakarta: Kelompok kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, 2000,
hal. 83.
8
Harkristuti Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan PerspektiF. hal. 83.
4
perempuan relatif lebih terakomodasi, berbeda dengan di Indonesia tindakan kekerasan terhadap perempuan sudah diangkat sebagai isu global, yang cukup
lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Pornografi adalah sebuah permasalahan hukum pidana yang tidak kalah
penting dibandingkan kejahatan dan pelanggaran pidana lainnya. Sampai sekarang, banyak negara masih mencari format regulasi yang paling tepat untuk
menangani permasalahan ini. Beberapa negara telah meninjau delik pornografi dalam peraturan perundangan hukum pidananya demi mengikuti perkembangan
sosial yang sangat cepat.
9
Indonesia mewarisi hukum kolonial Belanda. Hingga kini, masih banyak produk perundangan Belanda yang berlaku di Indonesia hanya dengan
diterjemahkan dan dibenahi secara tambal sulam. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia adalah produk perundangan yang diterjemahkan dari
wetboek van strafrecht yang artinya sama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda.
KUHP Indonesia mengatur mengenai pornografi ini dalam
10
: 1.
Buku kedua KUHP kejahatan, Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan, yaitu pasal 282 dan 283
9
Andi Hamzah, “Pornografi Dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan”, Cet I,
Jakarta: Bima Mulia, 1987, hal. 33.
10
“Kitab Undang-undang Hukum Pidana” wetboek van strafrecht, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, cet 15, Edisi Revesi 2008 Jakarta: Rineka Cipta, 2008, ps. 282,283, 532, 534, 535.
5
2. Buku ketiga KUHP pelanggaran, Bab VI KUHP tentang Pelanggaran
terhadap kesopanan, yaitu pasal 532 s.d. 535. Delik pornografi dalam KUHP digolongkan sebagai tindak pidana
melanggar kesusilaan zedelijkheid, yaitu khusus yang berkaitan dengan seksualitas.
11
Rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebut istilah pornografi secara langsung letterlijk.
12
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi untuk
membedakannya dengan kejahatan danatau pelanggaran kesopanan yang lain. Wirjono Prodjodikoro menyebut kejahatan dan pelanggaran ini sebagai
“Tindak Pidana mengenai Pornografi”.
13
Selain itu, KUHP juga tindak memberikan suatu definisi yang jelas mengenai delik pornografi. Pornografi hanya didefinisikan sebagai suatu tulisan,
gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan. Untuk menentukan suatu materi tergolong pornografi atau bukan adalah wewenang hakim. Hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat.
14
11
Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, Cet. 4, Bandung:
PT Eresco, 1986, hal. 110-111
12
Lihat rumusan pasal-pasal dalam KUHP. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebutkan kata pornografi.
13
Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-tindak Pidana.......... hal. 110-111
14
Indonesia, “Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman ”, UU No. 14 LN No. 14 tahun 1970 No. Xxxx, ps 27.
6
Menyerahkan penafsiran pornografi ini pada hakim dapat menyebabkan adanya ketidak-pastian hukum. Yurispudensi yang ada menunjukkan bahwa
pertimbangan dari putusan-putusan hakim atas kasus-kasus delik pornografi tidak memberikan suatu gambaran tentang pemahaman hakim-hakim Indonesia
mengenai masalah pornografi ini
15
. Permasalahan lain yang menyangkut peraturan delik pornografi dalam
KUHP adalah mengenai kategorisasi dan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran yang mempunyai implikasi pada pemberatan sanksi pidana.
Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang juga mengatur mengenai pornografi adalah :
1. UU No. 8 tahun 1982 tentang Perfilman.
2. UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran
3. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP itu memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berkaitan dengan masalah pornografi. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, pada prinsipnya KUHP adalah suatu kodifikasi, apabila diciptakan tindak-tindak pidana baru Kriminaliasasi maka harus dimasukan
dalam KUHP.
16
Berdasarkan pendapat ini, perlu dikaji mengenai UU Anti
15
Lihat pertimbangan putusan hakim pada kasus-kasus delik pornografi, misalnya, pada kasus pornografi
“The Lebertines”, putusan PN selatan Jakarta, 16 Maret 1971 N0. 357Pid1971. Lihat juga pada pembahasan kasus tersebut di A. Hamzah op, cit, hal 147-158.
16
Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-tindak Pidana, hal. 8.
7
Pornografi yang sudah disusun, dalam kaitannya sebagai peraturan perundang- undangan hukum pidana di luar KUHP.
Sebagaimana dijelaskan, perkembangan delik pornografi memang begitu cepat. Meskipun KUHP dan peraturan-peraturan perundangan lainnya yang
memuat pasal-pasal yang mengatur mengenai delik pornografi, namun ada hal-hal yang dianggap masih harus diatur lebih lanjut.
Hal yang paling penting untuk diperhatikan menyangkut peraturan delik pornografi adalah mengenai perspektif perlindungan terhadap perempuan.
Pembahasan mengenai pornografi perlu dilihat dalam kerangka konsep kesetaraan gender gender equality.
Wacana kesetaraan gender adalah suatu hal baru dalam kajian akademik di Indonesia, terutama kajian ilmu hukum. Oleh karena itu, penelitian ini sangat
penting dilakukan, sebagaimana juga dikatakan oleh Mansour Fakih bahwa analisis gender perlu untuk mempertajam kajian-kajian kritis lainnya.
17
Analisis gender diharapkan dapat berfungsi sebagai pisau kajian yang mampu membedah
dan menjelaskan mengenai akibat buruk haram yang ditimbulkan pornografi terhadap perempuan.
Berdasarkan latar-belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana tindak pidana pornografi terhadap perempuan, dan
bagaimana tindak pornografi terhadap perempuan dipandang dari hukum Islam
17
Mansour Fakih, “Analisis Gender dan Tranformasi Sosial” Cet. 6, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001, hal, 5
8
dan hukum positif, yang dikemas dalam sebuah skripsi yang berjudul : DELIK PORNOGRAFI
DAN KAITANNYA
DENGAN PERLINDUNGAN
TERHADAP PEREMPUAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.