31
Kekerasaan seksual bisa terjadi dimana saja. Baik di ranah personal, artinya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah ayah, kakak,
adik, paman, kakek, kekerabatan, perkawinan suami maupun relasi intim pacaran dengan korban; ranah publik, artinya korban dan pelaku tidak
memilki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Pelaku bisa saja majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang
tidak dikenali; ranah negara, artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Di sisi lain, peristiwa kekerasan seksual seringkali justru direkatkan pada penilaian tenta
ng “jejak moralitas” perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan
seksual karena berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berhubungan sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah
waktu atau lokasi tertentu. Dari data-data yang dihimpun Komnas Perempuan sejak 1998-2010
dan dengan merujuk pada berbagai dokumen tentang kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengenali sebelas jenis kekerasan seksual
yang dialami perempuan Indonesia. Pornografi adalah kekerasan terhadap perempuan. Pornografi ternyata
juga menyebabkan timbulnya kekerasan-kekerasan seksual lainnya. Pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah ekses negatif pornografi, dimana perempuan
menjadi korban.
32
Pornografi turut membentuk lingkungan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, sehingga menjadikan perempuan senantiasa dalam kondisi
fear of crime. Kaum perempuan yang memang secara sruktural tertindas, semakin sulit untuk mendapatkan keadilan. Pornografi adalah bahaya besar
terhadap gerakan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender.
33
BAB III DELIK PORNOGRAFI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Delik Pornografi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
1. Pengertian Delik
Sebelum membahas mengenai delik pornografi, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian “delik”, yang merupakan terjemahan dari strafbare
feit. Hal ini penting sebab dalam ilmu pidana dikenal istilah-istilah lain sebagai terjemahan istilah strafbare feit.
Para ahli ilmu hukum pidana indoneesia menggunaka berbagai istilah untuk menterjemahkan strafbare feit. Istilah strafbare feit diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai
1
: a.
Perbuatan yang dapatboleh dihukum, b.
Peristiwa pidana, c.
Perbuatan pidana, d.
Tindak pidana, dan e.
Delik Para sarjana hukum memberikan pendapat atau alasan-alasannya,
mengapa harus menggunakan istilah-istilah terjemahan dari strafbaar dan
1
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996, hal. 200
34
feit.
2
Porf. Satochid Kartanegara, salah seorng sarjana hukum yang menggunakan istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari straafbare feit,
memberikan penjelasan bahwa istilah tindak tindakan mencakup pengertian melakukan atau berbuat actieve handeling danatau pengertian tidak
melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan passieve handeling.
3
S.R. Sianturi menyatakan bahwa istilah “Tidak Pidana” yang digunakan Prof. Satochid Kartanegara, lebih tepat. Selain itu, S.R. Sianturi
juga menggunakn istilah “delik” yang menurut pendapatnya mempunyai arti yang sama dengan “tindak pidana”
4
. Terjemahan straafbare feit yang lebih tepat menurut S.R. Sianturi adalah “delik” dan “tindak pidana”.
Wirjono Prodjodikoro menjelaskan secara singkat bahwa tindak pidana delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.
5
E. Utrecht menerjemahkan istilah strafbare feit dalam bahasa Indonesia sebagai “peristiwa pidana”, meskupun sering juga ia
menyebutkan sebagai delik.
6
Secara teoritis, suatu “peristiwa pidana” adalah suatu pelanggaran kaidahtata hukum normovertreding, yang diadakan
2
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996, hal. 202-203
3
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996, hal. 202-203
4
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perempun, cet.4, Jakarta: ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, 1996, hal. 202-203
5
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, edisi kedua, bandung: PT Eresco,1989, hal.55
6
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, hal. 251