Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Terumbu Karang Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

(1)

PULAU SEMAK DAUN

KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

TRIYADI PURNOMO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Terumbu Karang Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Triyadi Purnomo NRP C252110221


(3)

TRIYADI PURNOMO. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Terumbu Karang Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh SIGID HARIYADI dan YONVITNER.

Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka merupakan pulau yang ada di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tepatnya di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki sumberdaya alam yang khas dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan aktivitas wisata, oleh karena itu penelitian ini memilih Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka menjadi lokasi kajian penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi existing Perairan Pulau Semak Daun, mengkaji pemanfaatan sumberdaya kawasan Perairan Pulau Semak Daun yang telah berjalan, menghitung nilai valuasi ekonomi kawasan terumbu karang Pulau Semak Daun, menghitung surplus konsumen dengan adanya kegiatan wisata bahari dan merekomendasikan strategi pengelolaan di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun.

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampe dengan bulan Juli 2013. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisis perhitungan persen tutupan komunitas karang, kelimpahan ikan karang, dan menggunakan metode biaya perjalanan, surplus konsumen untuk mendapatkan nilai valuasi nilai ekonomi kawasan terumbu karang Pulau semak Daun dan analisis SWOT. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu kualitas perairan Pulau Semak Daun dalam kondisi baik dengan nilai indeks pencemaran rata-rata adalah 1,03, persen tutupan komunitas karang di Pulau Semak Daun di kategorikan dari sedang sampai sangat baik yaitu berkisar antara 29,67%-77,66%, kelimpahan komunitas ikan karang berkisar antara 285-779 individu/500m2. Pemanfaatan kawasan perairan Pulau Semak daun untuk perikanan budidaya dan kegiatan wisata bahari. Pada tahun 2012 perikanan budidaya berjumlah 255 KJA. Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka setiap tahun mengalami peningkatan. Kunjungan wisatawan pada tahun 2012 mencapai 36.218 pengunjung. Surplus konsumen dari kegiatan wisata bahari sebesar Rp. 17.128.360,-. Sedangkan nilai valuasi ekonomi kawasan terumbu karang Pulau Semak Daun adalah Rp. 1.968.202.343/ha per tahun. Rekomendasi strategi yang paling utama untuk dilakukan adalah pengelolaan wisata bahari secara terpadu dan berkelanjutan untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal tanpa merusak alam dan lingkungan.

Kata Kunci : Wisata Bahari, Perikanan Budidaya, Pulau Semak Daun, Pulau Pramuka, surplus konsumen, valuasi ekonomi kawasan terumbu karang, Strategi pengelolaan


(4)

TRIYADI PURNOMO. Study Utilization Resource of Coral Reef Areas Semak Daun Island of Kepulauan Seribu Administration Regency. Under supervision of SIGID HARIYADI dan YONVITNER.

Semak Daun Island and Pramuka Islands is an island Kepulauan Seribu administrated regency of Jakarta province that have typical resources and unique natural resources can be used for fishing and tourist activities, therefore this study chose Semak Daun Island and Pramuka Island became location of the research study. The purpose of this study was to determine the existing condition of Semak Daun Island, assess resource utilization region Semak Daun island that have been run, calculate the value of the economic valuation of coral reef Semak Daun island, calculate the consumer surplus with the marine tourism activities and recommend management strategies Pramuka Island and Semak Daun Island.

This research has been conducted in the month of May 2013 until July 2013. Methods used in this research is descriptive quantitative analysis calculations using the percent cover of coral communities, the abundance of reef fish, and using travel cost method, the consumer surplus to obtain valuations of economic value coral reef Semak Daun island and SWOT analysis. The results obtained from this research that Semak Daun Island water quality in good condition, with an average pollution index is 1.03. percent cover of coral communities in Semak Daun Island categorized from moderate to very good and it ranged between 29.67% -77.66%, and the abundance of reef fish ranged from 285-779 individu/500m2. Utilization of Semak Daun island areas for aquaculture and marine tourism activities. Aquaculture in 2012 amounted to 255 KJA. Tourists visiting Pramuka Island each year has increased. Tourist visits in 2012 reached 36 218 visitors. Consumer surplus of marine tourism activities is Rp. 17,128,360, -. While the economic valuation of coral reef areas Semak Daun island is Rp. 1.968.202.343/ha per year. Recommendations are the most important strategy is to be done in an integrated management of marine tourism and sustainable for economic development of local communities without destroying nature and the environment.

Keyword : marine tourism, Semak Daun island, Pramuka island, consumen surplus, economic valuation of coral reefs, Strategy management.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

PULAU SEMAK DAUN

KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

TRIYADI PURNOMO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(7)

(8)

Nama NRP

: :

Kepulauan Seribu. Triyadi Purnomo C252110221

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Dr Yonvitner, SPi,MSi

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(9)

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugrah dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang disusun ini berjudul “ Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Terumbu Karang Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tesis ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi pengelolaan yang telah dilaksanakan, sekaligus memberikan masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan.

Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan arahan serta masukan para dosen pembimbing yang dengan hormat penulis sebutkan namanya yaitu Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc sebagai pembimbing ketua serta Bapak Dr Yonvitner, SPi, MSi sebagai pembimbing anggota oleh karena itu diucapkan terima kasih.

Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, dengan tulus hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Luky Adrianto, MSc sebagai ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

2. Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Terima kasih atas saran-saran dan masukan yang diberikan dalam melengkapi dan memperbaiki penulisan Tesis ini.

3. Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc yang telah memberi masukan dan dukungan semangat dalam menyelesaikan studi ini.

4. Gubernur provinsi DKI Jakarta, Kepala Badan Diklat provinsi DKI Jakarta, Kepala BKD provinsi DKI Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui Beasiswa Tugas Belajar (TUBEL) bagi pegawai negeri sipil Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2011.

5. Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian provinsi DKI Jakarta beserta staf yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil.

6. Kepala Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu beserta staf yang telah memberi dukungan dan bantuan serta partisipasi dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

7. Kepala Taman Nasional Kepulauan Seribu beserta staf yang telah memberi fasilitas dan data dalam penyelesaian tesis ini.

8. Rekan-rakan mahasiswa SPL 2011 yang telah membantu dan mendampingi selama studi.

9. Keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir penulis.

.

Bogor, Mei 2014


(10)

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Kerangka Pikir Penelitian 5

2 METODE PENELITIAN 6

2.1 Waktu dan Lokasi 6

2.2 Jenis dan Sumber Data 7

2.3 Analisis Data 8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

3.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 22

3.2 Kondisi Perairan Pulau Semak Daun 23

3.3 Sumberdaya Perairan Pulau Semak Daun 27

3.4 Pemanfaatan potensi Sumberdaya Terumbu Karang 34

3.5 Nilai Valuasi Ekonomi Kawasan Terumbu Karang 40

3.6 Trade off Analysis 41

3.7 Strategi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya 44

4 KESIMPULAN DAN SARAN 55

4.1 Kesimpulan 55

4.2 Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57


(11)

2.1 Lokasi Stasiun Pengamatan di Perairan Pulau Semak Daun 7

2.2 Data yang dikumpulkan 7

2.3 Parameter Kualitas air Laut yang diukur 8

2.4 Peringkat Nilai Indeks Pencemaran 9

2.5 Daftar penggolongan kategori penutupan karang 11

2.6 Bentuk pembobotan faktor strategis internal dan eksternal 19

2.7 Bentuk Tabel Matriks IFE/EFE 20

2.8 Matrik Gabungan IFE dan EFE 20

3.1 Hasil rata-rata pengukuran kualitas air laut Pulau Semak Daun 23

3.2 Nilai Indeks Pencemaran setiap stasiun pengamatan 26

3.3 Bentuk pertumbuhan karang di Perairan Pulau Semak Daun 27

3.4 Persen Tutupan Karang Hidup Perairan Pulau Semak Daun 28

3.5 Perbandingan Kondisi karang Pulau Semak Daun pada saat penelitian 28

3.6 Jumlah individu Kelompok Ikan karang di setiap stasiun pengamatan 33

3.7 Perbandingan Kelimpahan ikan karang di Pulau Semak Daun 33

3.8 Jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka tahun 2012 36

3.9 Skenario Pengelolaan di Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka 42

3.10 Nilai rata-rata Trade off analysis 43

3.11 Nilai Bobot Matrik IFE 47

3.12 Matrik IFE 47

3.13 Nilai Bobot Matrik EFE 48

3.14 Matrik EFE 48

3.15 Matrik penentuan skor faktor IFE dan EFE 49

3.16 Matrik SWOT 49


(12)

1.1 Kerangka pikir penelitian 5

2.1 Peta lokasi penelitian 6

2.2 Metode pengambilan data LIT 10

2.3 Metode pendataan persen tutupan karang 10

2.4 Metode pengamatan ikan karang 12

3.1 Peta persentase tutupan karang per stasiun pengamatan 30

3.2 Peta Kondisi Terumbu Karang Pulau Semak Daun 30

3.3 Komposisi Kelas kondisi terumbu karang Pulau Semak Daun 31

3.4 Grafik kunjungan wisatawan di Puau Pramuka 36

3.5 Pola arah angin pada bulan November di Kepulauan Seribu 37

3.6 Peta Kesesuaian wisata snorkeling dan diving Pulau Semak Daun 39

3.7 Grafik Trade off analysis 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner Data Wisatawan 62

2 Kuisioner Data Masyarakat 66

3 Trade off analysis 69

4 Data Wisatawan 70

5 Ln data wisatawan 71


(13)

(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Perairan Pulau Semak Daun yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil di Kabupaten administrasi kepulau-pulauan seribu memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati yang tinggi yaitu terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove. Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik, migrasi fauna dan aktivitas manusia.

Pemanfaatan pulau-pulau kecil antara lain adalah sebagai kawasan yang harus dilindungi karena memiliki fungsi ekologis dimana peranan ekosistem pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Pemanfaatan lainnya adalah pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan dan pariwisata (Bengen, 2006).

Keterbatasan yang dimiliki oleh pulau–pulau kecil berpengaruh terhadap upaya pengembangan wilayah di pulau-pulau kecil itu sendiri. Pengembangan pulau-pulau kecil tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya yang dimiliki (Romadhon, 2008).

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (reneweble resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Namun pengelolaannya dihadapkan pada dua permasalahan yaitu pemanfatan yang melebihi carring capacity dan di lokasi lain tidak optimalnya pemanfaatan. Oleh karena itu, salah satu kegiatan yang sangat penting dalam menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan adalah adanya kegiatan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya (Ratnawati, 2010).

Potensi sumberdaya alam keberadaannya untuk dapat diberdayakan dan dapat digunakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan amanat seluruh rakyat Indonesia yang harus dilaksanakan bersama-sama, oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta seluruh elemen bangsa.

Sumberdaya pesisir memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia baik sebagai sumber pangan, penghasilan, obyek wisata, media dan transportasi. Secara umum potensi sumberdaya wilayah pesisir dibedakan menjadi 3 kategori yaitu sumberdaya hayati, non-hayati dan jasa kelautan. Sumberdaya hayati meliputi perikanan, mangrove, padang lamun, terumbu karang dan semua jenis biota laut. Potensi sumberdaya pesisir dan lautan relatif kaya namun tekanan yang ada terhadap sumberdaya pesisir yang menjadi sumber penghidupan juga besar sehingga apabila tidak diatasi dengan baik akan menyebabkan meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir dan lautan (Asmidar, 2011).


(15)

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satunya Kabupaten Administrasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang terdiri atas 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan 10 Kelurahan. Sesuai dengan karakteristik tersebut dan kebijaksanaan pembangunan DKI Jakarta, maka pengembangan wilayah Kepulauan seribu diarahkan terutama untuk:

- Meningkatkan kegiatan pariwisata

- Meningkatkan kualitas kehidupan bagi masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut.

- Pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang dan mangrove.

Secara administratif wilayah Kepulauan Seribu termasuk dalam wilayah administrasi provinsi DKI Jakarta, tetapi wilayah ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wilayah lain di DKI Jakarta. Secara umum wilayah DKI Jakarta merupakan kawasan perkotaan, sedangkan Kepulauan Seribu yang menonjol adalah perikanan tangkap, pariwisata bahari, dan budidaya laut, yang sangat berbeda dengan wilayah daratan DKI Jkarta yang cenderung ke kegiatan perekonomian perkotaan (Soebagio, 2005).

1.2Perumusan Masalah

Pulau-pulau kecil merupakan suatu kawasan yang sangat rentan terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu konsep pengelolaan pulau-pulau kecil hendaknya mempertimbangkan daya dukung kawasan dan pola pemanfaatan sumberdaya yang tepat. Konsep pengelolaan tersebut dapat dikembangkan dalam suatu model pengelolaan pulau-pulau kecil yang sesuai dengan kedinamikaan sumberdaya dan kebutuhan masyarakat (Baksir, 2010).

Secara umum wilayah pesisir dan lautan mempunyai satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir dan lautan. Ekosistem pesisir dan

lautan dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Selain itu sumber daya di

wilayah pesisir terdiri dan lautan dari sumber daya alam yang dapat pulih dan sumber daya yang tidak dapat pulih. Perencenaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain. (Dahuri, 2000).

Permasalahan umum yang juga sering terjadi di wilayah pesisir dan lautan adalah degradasi habitat, kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran, konflik pemanfaatan sumberdaya dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang tidak efisien. Di antara penyebab utama timbulnya masalah-masalah tersebut adalah karena belum adanya penataan pemanfaatan yang komprehensif pada wilayah


(16)

pesisir, dan terjadinya penyimpanganpenyimpangan pemanfaatan terhadap tata ruang yang ada (Bengen 2000).

Kawasan Pulau Seribu, Sebagai kawasan dengan kekayaan biodiversity

yang cukup tinggi, kemudian juga sebagai daerah yang dikenal berfungsi

spawning ground. Namun kondisi kawasan sekitarnya yang dimanfaatkan secara

multi-use, dikhawatirkan akan berdampak terhadap penurunan baik kualitas maupun kuantitas

Pulau Semak Daun terletak pada 106o20’00” BT hingga 106o57’00” BT dan 5o10’00” LS hingga 5o57’00” LS. Pulau yang memiliki luas daratan 0,50 ha ini dikelilingi oleh karang dalam seluas 315.19 ha. Kawasan karang dalam tersebut terdiri atas lima goba seluas 33.3 ha dan reeflat seluas 281.89 ha. Kedalaman goba antara 3-15 m pada saat pasang. Pelayaran dari satu goba ke goba yang lain melalui selat kecil (galer) yang menghubungkannya. Adapun kedalaman reeflat antara 0.5-3 m pada saat pasang. Pada saat surut ada beberapa

reeflat yang tidak berair (Kurnia, 2012).

Kawasan perairan Pulau Semak Daun memiliki area potensial pengembangan budidaya perikanan seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9.99 ha untuk keramba jaring apung/KJA (cage culture), 40.7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan 262.31 untuk long line. Sementara, kawasan potensial untuk sea ranching meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang (Kurnia, 2012). Kawasan perairan dangkal yang potensial untuk budidaya perikanan menunjukkan daerah tersebut memiliki ekosistem terumbu karang yang baik sehingga Pulau Semak Daun dapat juga dikembangkan kegiatan wisata bahari.

Potensi suberdaya alam yang dimiliki perairan Pulau Semak Daun dengan luas kawasan 315,19 ha hanya sebagian saja yang manfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan dan wisata bahari, masih ada area dari kawasan ini yang belum dimanfaatkan, bahkan terdapat pengelolaan sumberdaya yang kurang tepat dalam pemanfaatannya.

Dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan perlu diperhatikan daya dukung dan kemampuan asimilasi wilayah laut, pesisir dan daratan dalam hubungan ekologis, ekonomis, dan sosial. Kesinambungan ketersediaan sumber daya ini merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

Pulau Pramuka merupakan pulau yang dijadikan ibukota kabupaten di Kawasan Kepulauan Seribu yang merupakan suatu kawasan konservasi dan perlindungan sekaligus sebagai kawasan pariwisata dan kegiatan perikanan, sehingga menjadi dilematis tersendiri dan kompleksitas permasalahan baik yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat yang ada didalamnya.


(17)

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui kondisi Perairan Pulau Semak Daun

2. Mengkaji pemanfaatan sumberdaya kawasan perairan Pulau Semak Daun yang telah dilakukan.

3. Menghitung nilai valuasi ekonomi kawasan terumbu karang Pulau Semak Daun dan surplus komsumen dengan adanya kegiatan wisata bahari. 4. Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan di Pulau Pramuka dan Pulau

Semak Daun.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam memberikan arah pembangunan dan dapat dijadikan acuan dalam kebijakan pengelolaan dan pengembangan wilayah Kepulauan Seribu guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan melaui berbagai kegiatan pengelolaan dan pengembangan wisata bahari.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan pesisir dan laut Kepulauan Seribu merupakan contoh suatu kawasan yang sudah mengalami degradasi sumber daya alamnya. Hal ini disebabkan karena adanya pencemaran yang sudah sangat mengkhawatirkan akibat berbagai bahan buangan dari kawasan land base nya, juga disebabkan karena pola pemanfaatan. Selain itu sumber daya mangrove dan terumbu karang di wilayah ini juga sudah banyak berkurang baik kuantitas maupun kualitasnya. Hutan Mangrove banyak berkurang karena dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi yang lebih memberikan manfaat langsung seperti kawasan pemukiman, kawasan pariwisata, pembangunan tambak, dan lain-lain. Demikian juga terumbu karang sudah banyak berkurang di wilayah ini karena selain ditambang juga rusak akibat adanya pencemaran dan illegal fishing berupa pemboman dan peracunan.

Pemanfaataan sumberdaya perairan laut di wilayah Kepulauan Seribu selama ini dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), degradasi sumberdaya alam terutama ekosistem terumbu karang akibat dari pencemaran, penangkapan ikan yang menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang secara berlebihan dan aktivitas wisata bahari.

Kawasan pesisir dan laut Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang sangat rentan dari berbagai masalah, baik itu yang menyangkut masalah dari aspek fisik dan biologi maupun masalah yang menyangkut aspek sosial, ekonomi


(18)

maupun budaya. Permasalahan ini, terutama menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak sesuai kaidah keberlanjutan sehingga menyebabkan ekosistem yang penting bagi keberlanjutan hidup baik manusianya sendiri, maupun sumberdaya alam dan lingkungannya secara keseluruhan menjadi rusak dan tidak dapat memberikan manfaatnya secara berkelanjutan.

Bentuk pengelolaan yang tepat dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan bagi wilayah pesisir maupun lautan Kepulauan Seribu akan memberikan manfaat bagi masyarakat, pemerintah dan menjamin kelestarian sumberdaya alam yang ada.

Berdasarkan permasalahan dan latar belakang tersebut diatas maka disusun sebuah kerangka pemikiran yang tertuang pada gambar 1.1

Gambar 1.1 Kerangka alur pikir penelitian

Perairan Pulau Semak Daun

Terumbu Karang

Pemanfaatan

Strategi Pengelolaan Budidaya Perikanan

Keramba Jaring Apung (KJA)

Kegiatan Wisata bahari Ikan Karang

Daya Dukung Kawasan Potensi Sumberdaya


(19)

2. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Pulau Semak Daun, dan Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). Lokasi penelitian di perairan Pulau Semak Daun untuk mengamati terumbu karang, kelimpahan ikan karang dan kulaitas air sedangkan untuk data pengunjung dan penduduk/ masyarakat dilakukan di Pulau Pramuka.

Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian

Sumber : (PKSPL, 2006)

Gambar 2.1 diatas menunjukkan Perairan Pulau Semak Daun yang terletak berada di dekat pulau pemukiman masyarakat seperti Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Pramuka yang merupakan pulau sebagai Ibukota Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2013. Untuk penentuan titik pengamatan atau stasiun ditentukan berdasarkan keterwakilan seluruh ekosistem terumbu karang perairan Semak Daun, terdapat 5 titik pengamatan dalam penelitian ini. Penentuan 4 stasiun berada di empat arah mata angin yaitu sisi sebelah Barat, Utara, Timur dan Selatan. Sedangkan 1 stasiun berada di tengah perairan Pulau Semak Daun didaerah goba dimana di lokasi tersebut telah ada kegiatan budidaya perikanan menggunanakan keramba jaring apung yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat setempat. Lokasi dan letak kordinat geografis lima stasiun pengamatan dapat di lihat pada tabel 2.1.


(20)

Tabel 2.1 Lokasi Stasiun pengamatan di perairan Pulau Semak Daun

Titik Pengamatan/Stasiun Posisi geografis Keterangan Sisi Barat Perairan Pulau Semak Daun

Sisi Utara Perairan Pulau Semak Daun

Sisi Timur Perairan Pulau Semak Daun

Sisi Selatan Perairan Semak Daun

Sisi dalam/tegahPerairan Pulau Semak Daun

106⁰33’980”BT 05⁰43’627”LS 106⁰36’215”BT

05⁰42’933”LS 106⁰36’744”BT

05⁰43’515”LS 106⁰35’530”BT

05⁰43’239”LS 106⁰36’046”BT

05⁰43’741”LS

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Stasiun 5

Sedangkan untuk pengambilan data tutupan karang dan ikan karang dilakukan pada 4 stasiun kecuali titik pengamatan 5 (empat) yang terletak pada perairan goba pada 106°.35'.530'' BT dan 05°.43'.239'' LS. Lokasi tersebut banyak terdapat Keramba Jaring Apung (KJA) milik masyarat yang telah berjalan dari tahun 2004 dan telah berkembang sampai saat ini.

2.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan observasi langsung ke lapangan dan wawancara. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data ekologi, kelembagaan dan data sosial-ekonomi sesuai dengan yang dibutuhkan berasal dari sumber, seperti Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Bupati Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta, serta sumber lain seperti hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada dan berkaitan (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Data yang dikumpulkan

Data Metode/Alat Tujuan Sumber Data

1. Data Ekologi Terumbu karang

-Tutupan komunitas karang - Jenis Karang

- Kelimpahan ikan karang

2. Masyarakat / wisatawan - sosial ekonomi

- pendapatan masyarakat - persepsi kegiatan wisata

Metode Line Intercept Transect peralatan selam, camera underwater, Roll meter, GPS, kertas dan pensil Wawancara langsung

Mengetahui potensi, kondisi saat ini dan gambaran umum perairan dangkal pulau Semak Daun.

Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, persepsi dan karakteristik masyarakat/pengunjung Sekunder dan Pengamatan langsung Sekunder dan Pengamatan langsung


(21)

Pengambilan sampel responden terhadap wisatawan dan masyarakat dilakukan dengan teknik purposive sampling (sengaja). Pada teknik ini, pengambilan sampel dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu, responden yang dimintai informasinya merupakan sebagian wisatawan yang sedang berekreasi di kawasan wisata Pulau Pramuka berjumlah 50 orang sedangkan untuk data masyarakat diambil sampel sebanyak 30 orang terdiri dari tokoh masyarakat, nelayan, pegawai negeri sipil dan pemilik serta pengelola wisata bahari.

2.3 Analisis Data

2.3.1 Analisis Kualiatas Air

Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu per dua minggu, yaitu pada minggu ke-2 bulan Mei 2013, minggu ke-4 bulan Mei 2013 dan minggu ke-2 bulan Juni 2013 di lima stasiun pengamatan yang telah ditentukan untuk mengumpulkan data kualitas perairan. Pengumpulan data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia yang terdiri dari 8 parameter (Tabel 2.3), yang dianalisis baik in situ maupun ex situ. Analisis secara ex situ dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 2.3 Parameter kualitas air yang diukur di Perairan Pulau Semak Daun

Parameter Satuan Alat Referensi Lokasi Analisis 1. Suhu °C Termometer APHA, 2005 In situ

2. Salinitas ‰ Refraktometer APHA, 2005 In situ

3. Kecerahan m Secchi disk In situ

4. Kekeruhan NTU Turbidity meter APHA, 2005 Laboratorium 5. Kecepatan Arus cm/det Current Meter In situ

6. pH - pH meter APHA, 2005 In situ

7. DO mg/l DO meter APHA, 2005 In situ

8. BOD5 mg/l Botol BOD APHA, 2005 Laboratorium

2.3.2. Penentuan Status Perairan Laut

Kualitas ekosistem di Pulau-pulau Kecil sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan pemanfaatan dari kegiatan wisata pesisir dan pemanfaatan lainnya. Besarnya tekanan pemanfaatan (aktivitas manusia) menyebabkan tingginya laju pembuangan limbah (cair maupun padat) yang melebihi laju penguraiannya sehingga menimbulkan pencemaran. Turner (1988) dan UNEP (1993)


(22)

menggambarkan daya dukung sebagai jumlah maksimum limbah (akibat aktivitas pemanfaatan) yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran (pollution) atau penurunan kualitas perairan. Elyazar et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara aktivitas dan jumlah manusia dengan tingkat pencemaran (penurunan kualitas) perairan.

Status mutu air merupakan tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang telah ditetapkan. Penentuan status mutu air menggunakan metode Indeks Pencemaran, pengelolaan kualitas perairan atas dasar Indeks Pencemaran (IP) adalah:

Dimana

Ci = konsentrasi parameter kualitas air (i);

Lij = konsentrasi parameter kualitas air (i) menurut baku mutu kegiatan (j); (Ci/Lij)M = nilai pencemaran relatif maksimum

(Ci/Lij)R = nilai pencemaran relatif rata-rata

Tabel 2.4 Peringkat Nilai Indeks Pencemaran

No Nilai IP Kualitas Perairan 1. 0 – 1.0 Kondisi baik 2. 1.1 – 5.0 Cemar ringan 3. 5.1 – 10.0 Cemar sedang 4. >10.0 Cemar berat

Sumber : Kep.Men. LH No.115 tahun 2003

2.3.3Analisis Persen penutupan komunitas karang

Metode yang digunakan untuk mengamati tutupan karang dan dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (English et al. 1997), metode ini digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain, dan biasanya dilakukan oleh dua orang penyelam.

Pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian mendekati centimeter, dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis.


(23)

Gambar 2.2 Metode pengambilan data LIT

Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat jenis-jenis bentuk pertumbuhan biota penyusun ekosistem yang ditemukan di sepanjang transek serta mengukur kisaran penutupan jenis bentuk pertumbuhan biota ekosistem tersebut pada angka yang terbaca pada transek, selain itu dicatat pula kelompok abiotik yang menyinggung transek untuk memberikan gambaran tentang ekosistem terumbu karang.

Pegamatan habitat dasar ekosistem terumbu karang yang terdiri atas karang keras, karang lunak dan berbagai organisme lainnya, menggunakan metode transek garis menyinggung LIT (Line Intercept Transect). Untuk metode LIT, transek garis dibentangkan sejajar garis pantai sepanjang 10 meter menggunakan rol meter. Setiap lokasi pengamatan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali ulangan dengan interval 10 meter di antara setiap ulangan, sehingga total transek pengamatan adalah 50 meter. Pengamatan biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform).

10 m 10 m

Gambar 2.3 Metode pendataan persen tutupan karang.

Kondisi terumbu karang terutama persen tutupan komunitas karang, dihitung dengan persentasi karang hidup (life form) dan berdasarkan kategori. Data persen tutupan komunitas karang yang didapatkan dengan menggunakan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect). LIT dihitung dengan menggunakan rumus (English et al, 1997) :

...(1)

Keterangan : Ni = Persen penutupan komunitas karang li = Panjang total life forml jenis ke-i L = Panjang Transek (m)


(24)

Dari hasil perhitungan diatas akan dianalisis dengan menggunakan kategori persen tutupan karang dimana persen tutupan komunitas karang merupakan penjumlahan dari persentase tutupan karang keras, persentase tutupan karang lunak, dan tutupan kategori others (OT) (Yulianda, 2010). Kriteria tersebut menggunakan 4 kategori, yaitu :

a) Kategori rusak : 0 – 24,9% b) Kategori sedang/kritis : 25 – 50% c) Kategori baik : 50,1 – 75% d) Kategori sangat baik : 75,1 – 100%

Pencatatan dilakukan dengan menggunakan alat tulis bawah air (sabak) yang dibawa oleh pengamat. Hasil pengamatan terhadap terumbu karang tersebut selanjutnya ditabulasikan berdasarkan jenis dan luas penutupan. Koloni karang yang berada di bawah atau bersinggungan dengan transek garis, diukur dan dicatat mengikuti bentuk pertumbuhannya (life form) sesuai dengan klasifikasi dari English et al, (1997).

Tabel 2.5 Daftar penggolongan kategori penutupan karang penyusun ekosistem terumbu karang dan kode yang digunakan (UNEP, 1993).

Kategori Kode Kategori Kode

Hard Corals ( Acropora ) Branching

Tabulate Encrusting Submassive Digitate

Hard Corals ( Non Acropora ) Branching Massive Encrusting Submassive Foliose Mushroom Millepora Heliopora Dead Scleractinia Dead Coral

( With Algal Covering )

ACB ACT ACE ACS ACD CB CM CE CS CF CMR CME CHL DC DCA Algae Macro Turf Coraline Halimeda Algal Assemblage Other Fauna Soft Corals Sponge Zoanthids Others Abiotic Sand Rubble Silt Water Rock MA TA CA HA AA SC SP ZO OT S R SI WA RCK

2.3.4 Pengamatan Ikan Karang

Kepadatan ikan karang berdasarkan pendataan sensus visual dan koleksi bebas menurut Dartnal dan Jones (1986), diacu dalam Azkab et al, (1996) yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan. Data yang diperoleh


(25)

selanjutnya digambarkan secara deskriptif untuk menerangkan kepadatan ikan karang. Kelimpahan ikan karang akan dihitung dengan menggunakan rumus :

Kelimpahan suatu ikan karang =

Prosedur penentuan jenis ikan karang pada prinsipnya mengikuti metode penentuan kondisi terumbu karang. Metode yang digunakan adalah visual sensus dan transek garis yang disesuaikan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan serta fasilitas yang tersedia. Panjang transek 50 meter dibuat sejajar dengan garis pantai atau tubir. Penetapan areal penelitian mengikuti metode “Line Intercept Transect” (Unep, 1993). Sedangkan pengambilan data ikan menggunakan metode “Sensus Visual” (Dartnall and Jones, 1986) yang dimodifikasi English et al. (1997). Metode Underwater Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 5 meter kanan dan kiri garis transek sepanjang 50 meter dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati adalah {(5+5)Ӯ50} = 500 m2. Selain itu juga dihitung kelimpahan ikan.

Gambar 2.4. Metode pengamatan ikan karang

2.3.5 Analisis Kunjungan Wisata

Metode biaya perjalanan mengasumsikan bahwa biaya perjalanan merefleksikan harga suatu tempat rekreasi. Metode biaya perjalanan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka seperti memancing, berburu, hiking dan lain- lain. Secara prinsip metode ini mengkaji


(26)

biaya-biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi tersebut (Fauzi 2004; Yulianto, 2007).

Model pendapatan wisata yang dibangun melalui pendekatan ”Metode Biaya Perjalanan” (Travel cost method/TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi dari suatu kawasan wisata. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (Adrianto 2006). Sub model ini dibangun berdasarkan tingkat kunjungan wisatawan dan koefisien biaya perjalanan akan mempengaruhi konsumen surplus, sedangkan konsumen surplus dan jumlah kunjungan wisatawan pertahun akan mempengaruhi total benefit kawasan wisata (Baksir, 2009).

Analisis biaya perjalanan dihitung dengan pendekatan ”Metode Biaya Perjalanan” (Travel cost method/ TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi suatu kawasan wisata. Pendekatan TCM didasarkan pada dua asumsi penting yaitu (Gringalunas and Congar 1995 dalam Adrianto 2006):

Asumsi 1 : Pengunjung menempuh perjalanan dengan satu tujuan yaitu mengunjungi sebuah tempat, dalam konteks model ini kawasan pulau-pulau kecil. Asumsi 2 : Pengunjung tidak mendapat manfaat tertentu selama perjalanan (misalnyamanfaat berupa kepuasaan menikmati pemandangan selama perjalanan), kecuali manfaat ketika sampai di lokasi yang dituju (Kepuasaan terhadap panorama pasir putih, laut yang bersih dan lain-lain. Apabila selama perjalanan pengunjung juga mendapatkan manfaat selain yang dari lokasi, maka manfaat perjalanan dan lokasi dianggap manfaat bersama, TCM diperoleh melalui penjumlahan dari total biaya perjalanan dari rumah ke tempat wisata.

Analisis ini dilakukan untuk memperkirakan nilai rekreasi dari suatu lokasi wisata. Analisis kunjungan wisata pada penelitian ini menggunakan metode biaya perjalanan/ Travel Cost Method (TCM) yang dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell dan Maple 12.

Derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap kunjungan. Pada umumya variabel yang dimasukkan adalah variabel yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Variabel yang paling berpengaruh adalah biaya perjalanan (TC) dan Pendapatan (Y). Penentuan turunan permintaan kunjungan wisata diperoleh dengan melakukan regresi, persamaannya sebagai berikut :

Ln Vi = β0 + β1 ln TCi + β2 ln INCi + ln β3 ln EDCi + β4 lnAGEi...(4) Keterangan :

Vi = tingkat kunjungan TCi = total biaya

INCi = pendapatan pertahun EDCi= Pendidikan


(27)

Rata–rata variabel total biaya perjalanan, jumlah pendapatan tiap individu dimasukkan kedalam persamaan 4 sehingga diperoleh nilai jumlah kunjungan (V). Selanjutnya Surplus konsumen dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Keterangan

CSi adalah Surplus konsumen, Vi adalah jumlah kunjungan, dan

1 adalah nilai parameter dari total biaya perjalanan.

Dengen mengunapkan pendekatan individu, total nilai manfaat dari kawasan wisata diperoleh dari hasil perkalian Consumer surplus individu dengan jumlah pengunjung riil (berdasarkan data yang ada) atau ditulis dengan persamaan sebagai berikut.

…..………...…. (6) Keterangan

TB adalah total manfaat ekonomi lokasi wisata, CSi adalah surplus konsumen i,

TV adalah total kunjungan per tahun (diambil dari data sekunder)

2.3.6 Trade off analysis

Analisis Trade-off menawarkan bantuan untuk mendapatkan sebuah kebijakan publik yang akomodatif melalui proses analisis kebijakan publik yang melibatkan banyak ragam stakeholders dengan banyak kepentingan Sehingga dalam pengelolaan berbagai kepentingan ini harus dilakukan secara bijak dan tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan (win-win solution). Metode ini sangat signifikan manfaatnya dalam kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan serta kebijakan lain yang menyangkut kepentingan publik.

Analisis trade-off merupakan metode pemilihan alternatif kebijakan menggunakan metode multikriteria, yakni : suatu set alternatif pilihan yang dinilai berdasarkan suatu kriteria penilaian mencakup aspek ekologi, ekonomi, social, yang masing-masing kriteria terdiri dari sub kriteria atau variabel penilaian.

Penerapan trade-off dapat dilakukan pada berbagai bidang kajian, baik dalam bidang pertanian, perikanan dan kelautan, farmasi kedokteran, telekomunikasi, transportrasi, pertambangan dan energi, kehutanan, pariwisata, dan lain-lain. Sehingga penggunaan trade-off akan sangat membantu ketika analis kebijakan publik diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang menyangkut banyak stakeholders.

Analisis Trade-off sebagai alat bantu pengambilan keputusan sangat dirasakan manfaatnya dalam memahami konflik penggunaan sumberdaya dan keinginan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Stakeholders ……….……… (5)


(28)

akan dilibatkan untuk mempertimbangkan strategi pengelolaan dan menentukan prioritas dalam pengelolaan. Hasil dari evaluasi kebijakan dengan metode ini adalah peringkat skenario, sehingga dapat dipilih skenario mana yang paling prioritas.

Untuk mendapatkan gambaran riil tentang analisis trade-off akan diberikan contoh analisis kebijakan pemanfaatan suatu kawasan. Dalam rangka memperolah alternatif kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, digunakan trade-off analysis melalui tahapan analisis stakeholders, dan tahap analisis multikriteria.

1. Analisis Stakeholders :

Menurut Brown et al. (2001), Analisis Stakeholders adalah sistem pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan dengan areal dimana akan dilakukan trade-off. Untuk melakukan analisis stakeholders participatory diperlukan beberapa tahapan, yaitu :

a. Identifikasi Stakeholders : Untuk mengidentifikasi stakeholders digunakan metoda Continuum dari mulai dari tingkat mikro ke tingkat makro, diperoleh pengelompokan stakeholders sebagai berikut :

1) Tingkat Internasional, adalah masyarakat internasional yang diwakili oleh Non Goverment Organization (NGO) yang mewakili jaringan internasional yakni: World Wide Fund (WWF), The Natural Conservation, Conservation International, The Turtle Foundation;

2) Tingkat Nasional, terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu: Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pakar. Stakeholdres yang berasal dari Pemerintah, misalnya para pimpinan instansi pemerintah; stakeholders dari LSM misalnya Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), WWF; dan stakeholders yang berasal dari pakar misalnya para dosen dan peneliti;

3) Tingkat Regional, terbagi ke dalam 2 kelompok, yakni : Pemerintah dan Swasta. Stakeholders yang berasal dari Pemerintah, misalnya para pempinan instansi pemerintah. Stakeholders yang berasal dari swasta misalnya para pengelola hotel dan biro perjalanan;

4) Tingkat Lokal, terbagi ke dalam 3 kelompok, yakni : Pemerintah, Swasta, LSM dan Masyarakat.

b. Menentukan Kategori Stakeholders Dalam Kelompok Prioritas Pengelompokan stakeholders tergantung pada tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan, yaitu :

1) Primary stakeholders, adalah tingkat kepentingan tinggi dengan pengaruh yang rendah dalam proses (penentuan kebijakan), misalnya: (1) operator perjalanan wisata bahari; (2) masyarakat lokal; (3) wisatawan lokal; (4) wisatawan asing; (5) kelompok nelayan/petani pembudidaya laut;

2) Secondary stakeholders, adalah tingkat kepentingan dan pengaruh dalam proses (penentuan kebijakan) dengan proporsi sama, misalnya: instansi


(29)

pemerintah dan para pengusaha/ pengelola yang terkait dengan kegiatan di dalam perencanaan wilayah konservasi; kegiatan perikanan dan aktivitas pariwisata bahari;

3) External stakeholders, adalah tingkat kepentingan rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses (penentuan kebijakan), misalnya para pimpinan instansi pemerintah, dan para pengusaha besar.

c. Mekanisme partisipatif dari beberapa kelompok stakeholders Dalam proses participatory diperlukan beberapa mekanisme berbeda beda terhadap beberapa kelompok stakeholders, seperti :

1) Konsultatif/wawancara secara individu terhadap pengambil keputusan mengenai pengelolaan kawasan (secondary stakeholders) yaitu : para pimpinan instansi pemerintah yang terkait, para pengusaha, pimpinan organisasi kemasyarakatan (LSM) yang terkait, baik pada nasional maupun regional;

2) Participatory terhadap stakeholders yang berada di dalam kawasan dan stakeholders yang dipengaruhi oleh pengelolaan kawasan pada tingkat lokal; 3) Pengisian kuesioner terhadap kelompok pakar dan ilmuwan, baik para pakar

dari masyarakat, perguruan tinggi, LSM, maupun pemerintah.

2. Analisis Multikriteria

Analisis multikriteria akan menyediakan kerangka analisis yang mengkaitkan antara isu permasalahan dan tujuan pengelolaan di masa datang, dan dalam kajian ini akan menggunakan pendekatan rezim (regim approach). Dalam pendekatan rezim ke tiga kriteria yakni : ekonomi, sosial, dan ekologi masih dikelompokkan lagi menurut sub kriteria. Tahapan yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis multikriteria adalah sebagai berikut :

1) Menentukan Skenario Pengelolaan Berbagai skenario pengelolaan dapat dihasilkan dari tahap perencanaan konservasi kawasan (eco-region). Skenario pengelolaan yang dibuat (dihasilkan) haruslah mampu menjelaskan dampak ekonomi, sosial budaya, dan ekologi bila suatu kebijakan pengelolaan tersebut diambil. Mengacu pada Brown et al. (2001), yang melakukan/menentukan skenario ke depan bagi pengembangan pariwisata (tourism development) dan pengelolaan lingkungan (environmental management) untuk Buccoo Reef Marine Park. Ada beberapa skenario yang dibuat dengan 3 kriteria meliputi ekonomi, sosial, dan ekologi yang masing-masing memiliki beberapa sub kriteria. 2) Penentuan Kriteria dan Penilaian Dampak Dalam penentuan kriteria dan

pendugaan dampak digunakan tiga kriteria yaitu: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun demikian, ketiga kriteria tersebut perlu didiskusikan dengan para pakar, pejabat atau stakeholders yang terkait agar nantinya memudahkan dalam pengumpulan data. Penilaian dampak dapat diperoleh dari hasil diskusi dengan para pakar dan stakeholders yang berpengaruh dan memiliki kepentingan dalam pengambilan keputusan dengan analisis stakeholders maupun dari data sekunder. Analisis stakeholders adalah


(30)

sistem pengumpulan data dengan berbagai cara dengan melibatkan stakeholders dalam diskusi agar mereka mengungkapkan pilihannya baik. melalui rapat terbuka, diskusi ataukuesioner, dan pendekatan yangdipakai adalah pendekatan partisipasi.Data yang telah terkumpul darihasil analisis stakeholders menjadi bahan analisis multikriteria. Metode Rezim yang akan digunakan padaanalisis multikriteria memerlukan dua masukan data yaitu (1) matriks dampak; dan (2) kumpulan bobot yang menyertai efek-efek dari nilainya. Matriks dampak mewakili nilai indikator dari kriteria yang diperkirakan untuk masing-masing skenario. Indikator yang akan dinilai dapat diambil dari berbagai sumber yaitu pendapat pakar dan pengambil keputusan dan masyarakat diperoleh dari hasil analisis stakeholders. Selanjutnya akan dilakukan penyusunan peringkat pilihan denganpembobotan dampak. Peringkat bobot dari pilihan pengembangan akan dibandingkan dengan peringkatyang tidak berbobot sebagaimasukan pengambilan keputusan.

3) Penentuan Skor Sebelum penentuan skala (scalling), terlebih dahulu mengetahui dan mempertimbangkan apakah kriteria merupakan suatu pengambaran yang bermanfaat (a benefit) atau suatu kehilangan (a cost). Dari suatu ukuran kriteria akan memberikan makna yang berbeda. Misalkan kriteria aksesibilitas (local access), bagi kelompok stakeholders semakin tinggi masyarakat lokal mengakses sumberdaya alam, maka akan semakin menimbulkan kerusakan (cost). Sebaliknya, semakin tinggi masyarakat lokal mengakses sumberdaya alam bagi pengambil keputusan, semakin tinggi manfaat (benefit) yang dapat diperoleh masyarakat. Setiap kriteria (ekonomi, sosial, ekologi) memiliki nilai skor terendah 0, dan tertinggi 100. Bila kriteria yang paling sedikit yang menyukai dinilai 0, sebaliknya yang paling banyak menyukai dinilai 100. Berbeda halnya bila peneliti harus menghadapi kriteria benefit atau kriteria cost, maka digunakan rumus berikut :

Untuk kriteria benefit, maka :

Untuk kriteria cost, maka :

Keterangan: Xs = nilai skor

X = nilai yang akan ditransformasi ke dalam skor Xmax = nilai maksimum


(31)

Selanjutnya untuk mengisikolom dampak pada skenario, nilainya harus diubah dalam bentukskor (score). Kemudian dilakukanpenjumlahan sehingga setiapskenario memiliki skor masing-masing.

4) Melibatkan Pilihan Stakeholderdalam Penyusunan Peringkatdari Skenario Kebijakan. Jika pilihan dari kelompok stakeholders berbeda-beda dalam identifikasi dan analisis, maka akan menghasilkan prioritas yang akan mengubah posisi ranking dari skenario sebelumnya. Pilihan stakeholders dari management priority yang berbeda dapat dilakukan dengan berbagai cara. Informasi yang dikumpulkan dapat berbentuk data yang berbeda seperti : data nominal, ordinal, interval atau ratio akan diubah menjadi rankingdari masing-masing skenario.

5) Mengidentifikasi Bobot Peringkat SkenarioDalam pembobotan peringkat skenario terdapat dua tahapan, yaitu:pembobotan kriteria dan pembobotan sub kriteria. Bobot dari kriteria menunjukkan prioritas pengelolaan, sedangkan bobot dari sub kriteria menunjukkan tingkat kepentingan dari sub kriteria dalam kelompok kriteria. Dengan mengalikan ranking management priority dengan skoryang ada pada masing-masingkriteria, bila dijumlahkan akan menghasilkan bobot dari skenario. Hasil dari evaluasi kebijakan dengan metode rezim ini adalah peringkat skenario, sehingga dapat dipilihskenario mana yang palingdiinginkan.

6) Penilaian Terhadap Skenarioskenario Sebagai tahap akhir akan dilakukan penilaian secaramenyeluruh terhadap skenarioskenario yang ada. Kinerja dari berbagai skenario diperbandingkan, kemudian mengkomunikasikan dengan para pengambil keputusan.

2.3.7 Analisis SWOT

Menentukan rencana strategi pengelolaan pemanfaata sumberdaya ekosistem terumbu karang didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. Analisis SWOT berdasarkan faktor yang telah disebutkan akan diidentifikasi, kemudian dianalisa untuk menentukan langkah-langkah strategis.

Analisis pengelolaan wisata bahari di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun dilakukan dengan analisis SWOT untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan faktor-faktor yang merupakan peluang (opportunity) serta ancaman (threat) bagi pengembangannya. Selain itu, analisis ini juga digunakan untuk merumuskan alternative strategi dalam rencana pengelolaan wisata bahari. Strength dan weakness adalah faktor internal sedangkan oppurtinity dan threat adalah faktor eksternal.

Analisis SWOT adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor-faktor eksternal yang dihadapi suatu sektor. Analisis ini digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Lingkup kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman adalah sebagai berikut :


(32)

1) Kekuatan. Kekuatan yang diidentifikasi meliputi semua aspek yang berada dalam sistem rencana pengelolaan wisata bahari yang memberikan nilai positif.

2) Kelemahan. Kelemahan yang diidentifkasikan meliputi semua aspek yang berada dalam sistem rencana pengelolaan wisata bahari di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun Kelurahan Panggang yang memberikan nilai negatif.

3) Peluang. Peluang yang diidentifkasi adalah peluang dari sistem rencana pengelolaan wisata bahari di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun. 4) Ancaman. Ancaman yang diidentifikasi adalah ancaman dari luar sistem

rencana pengelolaan di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun yang mungkin dihadapi.

Penyusunan matriks SWOT dilakukan setelah identifikasi terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternal. Matriks SWOT dapat memberikan alternatif strategi pengelolaan sumberdaya Perairan Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka serta pengembangan wisata bahari pada kawasan tersebut.

Penilaian faktor internal (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian faktor eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang yang dimiliki oleh sebuah kawasan dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang. Hasil dari kedua identifikasi faktor-faktor tersebut menjadi faktor penentu internal dan eksternal yang selanjutnya akan diberikan bobot dan peringkat (rating).

1. Penentuan Bobot setiap Variabel

Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal. Penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2 dan 3 yaitu:

1 : Jika indikator horizontal kurang penting dari pada indikator vertikal 2 : Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 : Jika indikator horizontal lebih penting dari pada indikator vertikal

Tabel 2.6. Bentuk pembobotan faktor strategis internal dan eksternal

Faktor Strategis

Internal dan Eksternal A B C - - N Total Bobot

A

B

C

-

-

N


(33)

2. Penentuan Peringkat (Rating)

Penentuan peringkat (rating) merupakan pengukuran terhadap pengaruh masing-masing variabel yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4 terhadap masing-masing faktor strategis dimiliki (Rangkuti, 1997). Skala penilaian peringkat matrik:

1: Kekuatan dan Peluang tidak besar 2: Kekuatan dan Peluang cukup besar 3: Kekuatan dan Peluang besar 4: Kekuatan dan Peluang sangat besar

1: Kelemahan dan Ancaman sangat lemah atau sangat mengancam 2: Kelemahan dan Ancaman lemah dan mengancam

3: Kelemahan dan Ancaman cukup lemah dan cukup mengancam 4: Kelemahan dan Ancaman kurang lemah dan kurang mengancam

Tabel 2.7 Bentuk Tabel Matrik IFE/EFE

Faktor Strategi

Internal/Eksternal Bobot Rating Skor

Kekuatan 1.

2. 3.

Kelemahan 1.

2. 3. Total

Setelah menyusun matriks EFE dan IFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk memperoleh alternatif strategi seperti disajikan pada Tabel 2.8. Matriks ini menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategis:

Tabel 2.8. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE).

Internal Kekuatan Kelemahan

Eksternal Peluang Ancaman

Strategi SO Strategi ST

Strategi WO Strategi WT


(34)

Menurut Rangkuti 1997 keempat alternatif strategi yang didapatkan berdasarkan matriks SWOT yaitu:

a. Strategi SO (strengths-opportunities)

Strategi ini dibuat berdasarkan kekuatan internal yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

b. Strategi ST (strengths-threats)

Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman.

c. Strategi WO (weakness-opportunities)

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada.

d. Strategi WT (weakness-threats)

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif, yaitu berusaha bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.

3. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan rangking prioritas strategi dalam pengelolaan di Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor dari setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada


(35)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Umum Pulau Semak Daun

Pulau Semak Daun terletak pada 106o20’00” BT hingga 106o57’00” BT dan 5o10’00” LS hingga 5o57’00” LS. Pulau yang memiliki luas daratan 0,50 ha ini dikelilingi oleh karang dalam seluas 315.19 ha. Kawasan karang dalam tersebut terdiri atas lima goba seluas 33.3 ha dan reeflat seluas 281.89 ha. Kedalaman goba antara 3-15 m pada saat pasang. Pelayaran dari satu goba ke goba yang lain melalui selat kecil (galer) yang menghubungkannya. Adapun kedalaman reeflat antara 0.5-3 m pada saat pasang. Pada saat surut ada beberapa reeflat yang tidak berair (Kurnia, 2012).

Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim Barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari Barat Daya sampai Barat Laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari.Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah Timur laut sampai Tenggara. Musim hujan biasanya terjadi antara bulan Nopember-April dengan hujan antara 10-20 hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari dan total curah hujan tahunan sekitar 1700 mm. Musim kemarau kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 4-10 hari/bulan. Curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus.

Prediksi pasut untuk stasiun terdekat dengan perairan Semak Daun adalah posisi 5°LS dan 106,5°BT, tipe pasut di perairan ini tergolong pasut campuran dominan ganda, yaitu mengalami dua kali pasang surut selama 24 jam. Kisaran pasut terendah terlihat pada pasang perbani (neap tide) yaitu 42,45 cm sedangkan kisaran tertinggi mencapai 124 cm saat pasang purnama (spring tide). Dengan rata-rata elevasi pasang surut berkisar antara +50 cm dan -50 cm.

Arus merupakan kekuatan air laut yang dapat mendistribusikan bahan terlarut maupun bahan tersuspensi dari satu lokasi ke lokasi lain. Arus sangat berpengaruh positif terhadap penyebaran biota laut dan nutrisi, namun juga dapat berpengeruh negatif bila ia membawa bahan pencemar. Arah dan kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut (pasut) dan hembusan angin permukaan. Sistem arus yang berkembang di perairan Semak Daun sangat dipengaruhi oleh laut jawa. Pada musim barat, arus umumnya datang dari sebelah utara (Laut Cina Selatan), memasuki laut Jawa dan begerak ke arah timur, sebaliknya pada musim timur arus datang dari sebelah timur menuju arah barat laut jawa dimana di daerah tenggara sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara (Laut Cina Selatan) dan lainnya memasuki selat sunda.


(36)

3.2Kondisi Perairan Pulau Semak Daun

3.2.1Kualitas air Pulau Semak Daun

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan di lima stasiun pengamatan yang telah ditentukan. Secara umum menunjukkan hasil yang cukup bervariasi namun masih mendukung bagi kehidupan biota laut dan untuk kegiatan wisata bahari. Pengambilan contoh air dilakukan diatas permukaan laut. Hasil pengukuran parameter kualitas air perairan Pulau Semak Daun yang telah dilakukan disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil rata-rata pengukuran kualitas air laut di lima stasiun pengamatan di perairan Pulau Semak Daun.

Parameter St 1 SD St 2 SD St 3 SD St 4 SD St 5 SD Suhu (°C)

Salinitas (‰) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) Arus (m/dt) pH DO BOD5 29,5 30,6 9,40 0,45 0,16 8,01 6,73 1,20 0,87 0,75 0,66 0,05 0,03 0,07 0,55 0,04 29,8 31,2 5,60 0,40 0,15 8,11 6,50 1,10 1,06 0,36 0,36 0,02 0,02 0,05 0,70 0,04 29,7 31,2 8,20 0,57 0,45 8,04 6,83 1,35 0,82 0,56 0,26 0,06 0,04 0,02 0,42 0,05 30,2 31,6 6,60 0,87 0,38 8,00 6,23 0,87 1,01 0,44 0,75 0,03 0,01 0,03 0,47 0,03 29,7 32,2 7,40 0,37 0,09 8,02 6,33 0,37 0,78 0.80 0,44 0,04 0,02 0,04 0,21 0,03 Sumber : Olahan data primer, 2013

Keterangan : “SD” standar deviasi, n = 3

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Kisaran suhu di perairan ini pada saat pengukuran masih mendukung kelangsungan hidup organisme di ekosistem terumbu karang dengan suhu 26°C – 29.5°C (Nybakken 1988).

Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 °C suhu optimum pertumbuhan karang adalah 25 °C – 30 °C. Pada suhu tersebut mampu mentolelir pertumbuhan terumbu karang. Di perairan Pulau Semak Daun pengukuran kisaran suhu di semua stasiun pengamatan dilakukan diatas permukaan air laut. Suhu di lokasi penelitian pada saat pengukuran berkisar antara 29°C – 30°C. Nilai rata-rata suhu terendah pada stasiun I sebesar 29.5°C dan tertinggi pada stasiun IV sebesar 30.2°C.

Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang relatif homogen dengan kisaran nilai antara 30‰ – 33‰ dengan nilai salinitas terendah terdapat di stasiun I. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun pengamatan sangat kecil, hal ini diduga karena tidak adanya masukan air tawar dari daratan yang dapat menurunkan nilai salinitas akibat pengenceran. Nilai salinitas di lokasi penelitian masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar


(37)

antara 30‰- 40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰.

Cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthella) yang produknya kemudian disumbang ke hewan karang yang menjadi inangnya. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemudian mengurangi kemampuan karang untuk membentuk kerangka (Nybakken 1988). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke kolom air.

Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter tersebut merupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.

Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37 sampai dengan 0,87 NTU, nilai terendah terdapat di stasiun V dan nilai tertinggi terdapat di stasiun IV. Tingginya kekeruhan di stasiun IV diduga karena daerah tersebut merupakan kawasan KJA yang memungkinkan sisa dari pakan maupun feses akan masuk ke perairan. Dan dasar perairan bersubstrat pasir, serta kecepatan arus yang lambat, sehingga kondisi seperti ini bisa memicu tingginya kekeruhan pada stasiun tersebut. Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004 yaitu <5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota.

Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya relatif bervariasi dengan kisaran 0,080 m/s – 0,50 m/s. Kecepatan arus didalam kawasan perairan karang dalam dan goba (stasiun IV) berbeda dengan karang luar atau di daerah tubir. Arus dan gelombang di luar kawasan karang dalam setelah melewati karang penghalang (barrier reef) akan berubah sama sekali. Arus dan gelombang akan berubah dengan cepat menjadi arus dan gelombang laminer (tenang) dan lambat dengan kecepatan arus berkisar antara 0.08 m/dt sampai dengan 0.10 m/dt.

Kecepatan arus relatif kuat di temui di tepi timur perairan Pulau Semak Daun (stasiun III), dengan arah aliran menuju barat laut dengan kecepatan berkisar 0.38 m/dt – 0.50 m/dt. Arus relatif kuat juga di temui di tepi selatan perairan pulau Semak Daun (stasiun V) diduga karena merupakan daerah selat sempit antara pulau Semak Daun dengan pulau Karya sehingga arus relatif kuat dengan kecepatan berkisar 0.30 m/dt – 0.48 m/dt. Untuk daerah tepi sebelah barat dan timur perairan pulau Semak Daun kecepatan arus relatif hampir sama berkisar antara 0.10 m/dt – 0.18 m/dt. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi.


(38)

Menurut Sachoemar (2008) kondisi kecepatan arus pada daerah Kepulauan Seribu sebesar 5-49 cm/detik ketika posisi pasang purnama dan mencapai 4-38 cm/detik ketika posisi pasang perbani dan pada saat terjadi musim timur, tinggi gelombang air laut mencapai 0,5-1 meter dan tinggi gelombang pada musim barat mencapai 2-3 meter. Hal ini membuktikan bahwa kondisi kecepatan arus dan tinggi gelombang di perairan Kepulauan Seribu tergolong stabil.

Pengaruh angin yang berhembus pada permukaan air laut sangat kecil terhadap arah, kecepatan arus dan tinggi gelombang permukaan yang terjadi pada tiap titik penelitian. angin bergerak menuju barat dan arah gerak arus serta gelombang menuju ke arah timur sampai tenggara. Pergerakan angin mengalami peredaman oleh adanya gugusan pulau-pulau maupun daratan sehingga angin tidak memiliki kekuatan untuk mendominasi pergerakan gelombang dan pengaruh densitas memberikan kontribusi yang nyata terhadap arah arus dan gelombang.

Nilai kisaran pH di semua stasiun pengamatan relative sama berkisar antara 8,00 sampai dengan 8,11. Nilai pH tersebut masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan biota khususnya plankton. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 sampai 8,5..

Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) (1988) dalam Edward (1996) menetapkan bahwa nilai kisaran ambang batas pH (derajat keasaman) yang baik bagi kehidupan biota laut berkisar diantara 6-9. Derajat keasaman (pH) adalah jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Biota–biota laut memiliki kisaran untuk hidup pada nilai pH tertentu (Nybakken, 1992).

Nilai pH (puisdance de hydrogene) menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan yang didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+. Persamaan tersebut menyatakan banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk melepaskan dan mengikat sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan larutan tersebut asam atau basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Odum, 1994).

Stres berupa panas, dingin, terang, dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan rusaknya hubungan simbiosisme antara karang dengan zooxanthellae pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir semakin banyak pula yang kembali ke laut melaui air hujan dan mengubah pH (derajat keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral osteoporosis) (Nababan, 2009).

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbelensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kadar oksigen terlarut di Perairan Pulau Semak Daun di semua stasiun pengamatan


(39)

berkisar antara 6,23 mg/liter – 6,83 mg/liter. Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/liter.

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).

BOD merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Dengan kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20⁰ C selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Parameter BOD₅ yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun antara 0,37 – 1,35 menunjukkan kondisi perairan masih dalam batas normal untuk kelangsungan hidup suatu organisme perairan.

3.2.2 Status Perairan Pulau Semak Daun

Identifikasi keterkaitan antara parameter kualitas perairan dan kondisi tutupan terumbu karang di lokasi wisata perairan Pulau Semak Daun berdasarkan hasil analisis PCA (Principal Component Analysis)disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Nilai Indeks Pencemaran setiap Stasiun pengamatan

Lokasi Nilai IP (indeks pencemaran) Status Perairan

Stasiun 1 1,094 Kondisi Baik

Stasuin 2 0,873 Kondisi Baik

Stasiun 3 1,021 Kondisi Baik

Stasiun 4 1,044 Kondidi Baik

Stasiun 5 1,115 Cemar Ringan

Rata-rata 1,03 Kondisi Baik

Tabel 3.2 menunjukkan bahwa perairan di kawasan Pulau Semak Daun dalam kondisi baik dengan nilai indeks pencemaran rata-rata adalah 1,03 sehingga dalam kondisi ini perairan di kawasan tersebut dapat dikembangkan kegiatan perikanan budidaya dan wisata bahari terutama snorkeling dan diving. Parameter indikator pencemaran (suhu, salinitas, kekeruhan, pH, DO dan BOD5).

Kecepatan dan arah arus juga memiliki pengaruh positif terhadap tutupan terumbu karang. Pada bulan Mei dan Juni Kepulauan Seribu mengalami angin musim timur dimana arah angin dari Timur menuju Barat sehingga Peningkatan parameter pencemaran air selama musim timur dapat diimbangi dengan proses pencucian (flushing time) dan pengenceran air laut (seawater dilution) melalui parameter kecepatan arus (Hii et al., 2006).


(40)

3.3Sumber daya Perairan Pulau Semak Daun

3.3.1 Kondisi Habitat Terumbu Karang

Tipe terumbu karang di Kepulauan Seribu merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Tipe terumbu karang tepi (fringing reef) ditandai dengan adanya karang yang tumbuh mulai dari tepian pantai dan tidak di pisahkan oleh gobah besar yang membentuk paparan terumbu (reef flat). Karang tipe ini ditemukan hampir di seluruh pantai daerah tropis termasuk di Kepulauan Seribu. Terumbu karang tipe tersebut tumbuh menuju permukaan laut kearah laut lepas dan melindungi daratan pulau dari gemburan ombak

Hasil pengamatan pada empat stasiun menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di empat stasiun pengamatan di Perairan Pulau Semak Daun adalah kategori sedang, di kedalaman 6 m sampai dengan 10 m. Namun secara kuantitatif penutupan karang hidup dalam kondisi baik dengan perbedaan yang tidak signifikan. Berikut adalah bentuk pertumbuhan life form karang di Perairan Pulau Semak Daun tersaji pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Bentuk pertumbuhan (life form) karang di Perairan Pulau Semak Daun

Kategori Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 life form karang (%)

Acropora 3,33 3,67 19,33 12,83 9,79

Non Acropora 38,30 26,00 58,33 18,00 35,16 Dead Sceractia 24,30 50,17 21,67 38,17 33,58

Algae 4,83 11,83 0,33 17,67 8,67

Other Fauna 28,57 8,33 0,33 10,33 11,89

Abiotic 0,67 0 0 3,00 0,92

Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 1 di kedalaman 6 m sebesar 41,63% kategori dalam kondisi sedang, didominasi oleh komponen Non Acropora yaitu sebesar 38,30% dan jenis Acropora 3,33%. Pada stasiun 2 persentase tutupan karang hidup di kedalaman 6 m sebesar 29,67% kategori dalam kondisi sedang, didominasi oleh komponen Non Acropora yaitu 26% dan jenis Acropora sebesar 3,67%.

Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 3 di kedalaman 10 m sebesar 77,66% kategori dalam kondisi sangat baik didominasi oleh komponen Non Acropora yaitu sebesar 58,33% dan jenis Acropora 19,33%. Pada stasiun 4 persentase tutupan karang hidup di kedalaman 10 m sebesar 30,83% kategori dalam kondisi sedang, didominasi oleh komponen Non Acropora yaitu 18% dan jenis Acropora sebesar 12,83%.

Tingginya Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 3 diasumsikan bahwa aktivitas manusia dalam bidang perikanan sangat kecil di lokasi ini sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap kerusakan karang dalam jumlah yang besar, karena didukung oleh faktor parameter lingkungan pada stasiun 3 yang masih berada dalam kisaran normal sehingga karang mampu bertahan hidup dan berkembang dengan lebih baik.


(41)

Persen tutupan karang di Perairan Pulau Semak Daun yang masuk dalam kategori kondisi sedang terletak pada sebelah Barat Semak Daun sebesar 41.63 %, Utara Semak daun sebesar 29.67 %, selatan Pulau Semak Daun 30.83 %. Meskipun memiliki kondisi persen penutupan yang sama yaitu sedang namun berdasarkan nilai kuantitatif, umumnya nilai persen penutupan lebih tinggi pada stasiun yang letaknya berjauhan dari pusat pulau-pulau pemukiman (Pulau Panggang dan Pulau Pramuka). Tabel 3.4 dibawah ini menunjukkan persen tutupan karang per stasiun pengamatan di Perairan Pulau Semak Daun.

Tabel 3.4 Persen Tutupan Karang per stasiun pengamatan di Pulau Semak Daun

Stasiun Rata-rata (%) Kondisi

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

41,63 29,67 77,66 30,83

Sedang Sedang Sangat baik

Sedang

Jumlah 44,95 Sedang

Kondisi tersebut jika dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu, menunjukkan terjadinya peningkatan persentase karang keras pada sumberdaya terumbu karang (Tabel 3.5). Kenaikan persentase penutupan karang diharapkan tetap bertahan lebih stabil sehingga dapat menyokong kehidupan biota terumbu karang lainnya dan terumbu karang yang baik juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perikanan, pariwisata, dan lain-lain.

Tabel 3.5 Perbandingan Kondisi Terumbu karang di Pulau Semak Daun pada saat penelitian dengan Tahun-tahun sebelumnya

Sumber Informasi Tahun Tutupan Karang (%)

Yayasan Terangi 2003-2007 31,73 – 34,02

Purwita 2010 43,69

Hasil Penelitian 2013 44,95

Sumber : Olahan data primer 2013

Sifat penyebaran terumbu karang di Kepulauan Seribu termasuk di Pulau Semak Daun mengikuti perilaku dari parameter lingkungan seperti arus dan gelombang. Arus yang ekstrim dapat merubah bentuk pertumbuhan koloni karang, namun kecepatan arus di perairan Kepulauan Seribu sangat kecil sehingga tidak berpotensi merubah bentuk pertumbuhan karang dan aman bagi wisatawan untuk menyelam atau snorkeling. Menurut Tomascik et al. (1997) mengatakan bahwa parameter fisik lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi terumbu karang di Kepulauan Seribu adalah pengaruh gelombang. Habitat terumbu karang yang berhadapan langsung dengan ombak cenderung memiliki bentuk pertumbuhan yang masif (kompak) dan sub-masif, bentuk-bentuk yang bercabang tidak dapat bertahan pada area ini. Berbeda dengan habitat yang letaknya terlindung dari


(42)

gelombang, cenderung hidup dan berkembang bentuk koloni karang yang bercabang. Posisi pulau disebelah timur umumnya berhadapan langsung dengan laut lepas dan pada musim tersebut, terpaan ombak cukup besar. Pada kondisi tersebut wisatawan juga menghindari situasi tersebut dengan alasan keamanan.

Ekosistem terumbu karang sebagai habitat umumnya mengalami perubahan yang tidak signifikan pada rentang waktu yang pendek, kecuali pada musim-musim tertentu dimana terjadi fenomena alam yang dashyat ataupun terjadi pemanfaatan secara besar-besaran. diduga cukup kuat bahwa sebaran dan keberadaan terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia dibandingkan perilaku paramater lingkungan.

Kerusakan terumbu karang di kawasan ini disebabkan oleh dua hal yaitu proses secara alami dan adanya kegiatan manusia. Perilaku masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun. Pengaruh yang sangat besar adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas masyarakat di sekitar pulau yang melakukan kegiatan perikanan antara lain pelemparan jangkar kapal oleh nelayan yang tidak tepat sasaran sehingga mengenai dan merusak terumbu karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan beracun sehingga karang menjadi patah hingga mati, hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya patahan karang hampir di setiap stasiun pengamatan. Aktivitas lainnya yaitu adanya organic impact dari sisa pakan pembudidayaan ikan dengan menggunakan keramba jaring apung/KJA.

Kerusakan yang disebabkan dari proses alami adalah adanya blooming predator bintang laut dan mahkota duri yang mengakibatkan terjadi predasi dan kompetisi oleh beberapa hewan pemakan polip karang sehingga membuat lemahnya di dalam polip karang, dan juga dikarenakan akibat berbagai macam makanan yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang terjadi “pemutihan” (menjadi pudar atau berwarna putih salju). Keadaan pemutihan yang terlalu lama, lebih dari 10 minggu pada akhirnya dapat menyebabkan kematian polip karang.

Berdasarkan dari hasil pemantauan di stasiun pengamatan, karang yang mengalami patahan dan pemutihan kebanyakan dari jenis Acropora Branching (ACB). Dari struktur dan bentuknya Acropora Branching (ACB) memiliki cabang yang lebih panjang dari pada ketebalan atau diameter yang dimilikinya sehingga kemungkinan menjadi sangat rentan terhadap kerusakan.

Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada penelitian ini yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2014 dikategorikan dalam kondisi sedang. Adapun persentase tutupan karang di setiap stasiun pengamatan tersaji pada gambar 3.1.


(43)

Gambar 3.1. Peta persentase tutupan karang per stasiun pengamatan

Berdasarkan data sekunder penelitian Siregar et al, 2010 menggunakan citra satelit Quikbird dan pengamatan dilapangan. Menggambarkan kondisi terumbu karang perairan Pulau Semak Daun adalah 4% kondisi sangat baik, 42% kondisi baik, 14% kondisi sedang, 34% kondisi buruk dan 6% kondisi sangat buruk. Kondisi terumbu karang Pulau Semak Daun dapat dilihat pada gambar 3.2.


(44)

Gambar 3.3. Komposisi Kelas kondisi terumbu karang Pulau Semak Daun Sumber : Siregar et al, 2010

3.3.2 Ikan Karang Pulau Semak Daun

Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam terumbu karang. Keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas air sebagai habitatnya (Sirait, 2007).

Keanekaragaman spesies ikan terumbu mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaaan terumbu karang di perairan tersebut. Tingkah laku ikan terumbu baik dari kecenderungan untuk berkelompok, mencari makan, dan bertahan dari serangan predator tidak terlepas dari lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu yang komplek. Faktor yang memengaruhi keberadaan ikan terumbu antara lain: habitat ikan yang terlindung dari angin (leeward) atau tidak terlindung oleh angin (windward), topografi dasar perairan (Amesbury dalam Hutomo 1995) dan penutupan karang hidup atau mati.

Kumpulan ikan terumbu masing-masing memiliki habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies yang terdapat pada lebih dari satu habitat. Pada umumnya tiap spesies ikan terumbu yang mendiami suatu perairan memiliki kesukaan habitat tertentu. Ekosistem terumbu karang tidak hanya berupa terumbu saja, tetapi daerah pasir, teluk dan celah, daerah alga, dan perairan dangkal serta dalam. Habitat yang beranekaragam ini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan terumbu tersebut (Nybakken 1999).

Menurut English etal. (1994) bahwa ruang merupakan sumber daya terpenting sebagai faktor pembatas utama bagi kelimpahan ikan terumbu di ekositem terumbu karang dibandingkan makanan. Kepemilikan teritorial sangat mempengaruhi penggunaan ruang dan variasi spasial berkaitan erat dengan kerumitan habitat secara topografi. Namun dengan adanya sistem rantai makanan yang terjadi diantara ikan-ikan terumbu dapat mengurangi persaingan ruang di ekosistem terumbu karang (Luckhurst dan Luckhurst 1978). Tipe pemangsaan

5%

48% 17%

24%

6%

Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk


(1)

> U:=int(TC(V),V=0..Vrata); > P:=(Vrata/a)^(1/b);

> C:=P*Vrata; > CS:=U-C;


(2)

Transportasi dari Pelabuhan Muara Angke ke dan dari Pulau Pramuka

Kondisi dan pemandangan tepi dermaga di Pulau Pramuka


(3)

Pengambilan data dan diskusi dengan beberapa stakeholder

Kondisi Daratan Pulau Semak Daun


(4)

Beberapa Jenis Terumbu Karang di Perairan Pulau Semak Daun

Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Semak Daun


(5)

Wawancara dengan masyarakat Pulau Pramuka

Kegiatan sea farming di Perairan Pulau Semak Daun


(6)

Pegawai Tugas Belajar.

Penulis sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta sebagai staf Bidang Kehutanan. Penulis pernah menjadi Duta Kesenian Indonesia ke negara Ceko, Perancis, Spanyol, Polandia, Australia dan Malaysia mempromosikan budaya dan wisata Indonesia.

Pada tanggal 25 Januari 2006, Penulis menikahi Tri Eni Kurniati di Kutoarjo Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah dan telah dikaruniai dua orang anak yang pertama bernama Fauzan Morio Hasyim lahir pada tanggal 21 Desember 2007 dan yang kedua bernama Sylvia Aqilah Putri lahir pada tanggal 13 November 2010.