sumber penerangan, dekat kepada sumber pemenuhan barang dan jasa berupa pasar, dekat dengan fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas yang terletak di Kecamatan Pasawahan, dan berbagai
sarana pendidikan dari mulai PAUDTK, SD dan SMP sudah tersedia di Desa Ciherang. Meskipun letak fasilitas pendidikan tidak jauh dari desa, kenyataannya masih banyak penduduk
yang berpendidikan rendah, bahkan masih terdapat penduduk yang tidak menamatkan pendidikan dasar.
Tabel 4.8. Pendidikan Yang Ditamatkan Penduduk Desa Ciherang Dusun
Jenjang Pendidikan Tidak Tamat
SD TamatSD
Sederajat Tamat SMP
Sederajat Tamat SMA
Sederajat Tamat Perguruan
Tinggi Tanjung Kerta
17 744
225 154
21 Ciherang
218 906
209 68
7 Pasir Muncang
122 401
6 3
-
Jumlah 357
2.051 440
225 28
Sumber: Diolah dari Monografi Desa Ciherang, Oktober 2011
Keterangan: yang dimaksud tidak tamat SD adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas
Tabel 4.8. di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk dewasa hanya bersekolah sampai jenjang Sekolah Dasar SD yaitu 2.050 atau 66 persen, bahkan masih
terdapat 357 orang 11,5 persen penduduk dewasa yang tidak menamatkan SD. Penduduk yang berhasil menamatkan SMPsederajat ada 440 orang atau sekitar 14 persen, 225 orang berhasil
tamat pendidikan SMASederajat, dan hanya terdapat 28 orang penduduk yang sampai menamatkan perguruan tinggi.
4.3. Penguasaan Lahan Desa Panyingkiran–Ciherang: Potret Ketimpangan dan
Kemiskinan di Pedesaan
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 237 juta orang. Jumlah sebesar ini menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan populasi
penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat tergantung pada sektor agraris yang berbasis tanah. Menurut
Siregar 2007 sekitar 37,17 juta atau 16,58 persen dari total jumlah penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, sekitar 66 persen dari penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan,
dan 56 persen dari penduduk miskin ini adalah petani dengan luas garapan sempit dan petani tanpa lahan landlessness.Rumahtangga petani kecil dan buruh tani ini harus bekerja keras dan
pada umumnya memiliki pola nafkah ganda sebagai bentuk strategi dan adaptasi agar mampu bertahan hidup meskipun pada taraf yang paling minimal.
Besarnya penduduk pedesaan yang memiliki lahan sempit dan tidak memiliki lahan pertanian sama sekali, sekaligus menggambarkan ketimpangan pola penguasaan lahan dan
pelapisan sosial di pedesaan. Beberapa studi terdahulu menemukan bahwa ketimpangan pemilikan lahan pertanian di pedesaan selain karena pertumbuhan penduduk yang tinggi juga
karena sistem pewarisan tanah pada keluarga di Indonesia, khususnya di Jawa. Ketimpangan pemilikan lahan pertanian di Desa Panyingkiran dan Ciherang semakin memperkuat temuan
mengenai ketimpangan penguasaan di pedesaan Jawa Barat
43
. Gambar berikut menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan penguasaan lahan pedesaan di Panyingkiran. Ketimpangan ini
menyebabkan fenomena kemiskinan di desa sulit diakhiri bahkan menjadi jalan terjadinya pola baru dalam kemiskinan di pedesaan yang berbasis pertanian, yaitu kemiskinan akibat ketiadaan
akses terhadap lahan. Lihat gambar 4.4. berikut ini .
43
Studi Joan Harjono 1990 du Sukahaji-Majalaya Kabupaten Bandung yang menggambarkan bahwa 98 rumahtangga atau sekitar 55 persen merupakan petani landlessness, hanya 80 rumahtangga dari 178 rumahtangga
atau hanya sekitar 45 persen penduduk yang memiliki lahan sawah, dengan luas rata-rata hanya 0,13 hektar, petani yang memiliki lahan luas hanya sekitar 10 persen, itupun dengan luas lahan rata-rata hanya 0,93 hektar. Sejarah
panjang ketimpangan penguasan lahan di Jawa Barat bisa ditelusuri jauh sebelum penguasa asing masuk ke kepulauan Nusantara. Hal ini bisa dilacak menurut Husken dan White 1989 dalam Bachriadi 1997 yang
menggambarkan bahwa di pedesaan Jawa Barat sudah lama terbentuk tiga kelas penguasaan lahan. Pertama, kelompok besar petani tunakisma yang seringkali menumpang pada keluarga petani pemilik lahan. Kedua,
kelompok petani yang menguasai lahan, terutama sikep dan elit lainnya. Ketiga, kelas pamong desa yang menguasai lahan milik pribadi atau sikep dan menguasai sejumlah besar lahan desa sebagai upah mengatur pemerintahan.
Collier 1993 mengemukakan bahwa beberap[a desa di Jawa termasuk Desa Wargabinangun di Jawa Barat mengalami ketunakismaan yang sangat parah. Jika pada tahun 1981 sebesar 73 persen penduduk tunakisma, angka
ini naik menjadi 82 persen pada tahun 1993. Di Desa Sukaambit, pada tahun 1981 angka tunakisma hanya 23 persen, tetapi naik secara tajam menjadi 66 persen dalam waktu yang hanya dua belas tahun tahun 1993. Kondisi
yang sama terjadi juga pada desa-desa yang di survei SDP-SAE yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, angka ketunakismaan di beberapa desa naik dengan cepat.
Gambar 4.4. Pemilik Lahan Pertanian di Desa Panyingkiran Tahun 2010
Gambar 4.4. di atas menunjukkan pemilikan lahan pertanian di Desa Panyingkiran, sebagian besar rumahtangga petani adalah petani tanpa kepemilikan lahan landlessnes yang
angkanya mencapai 1.108 rumahtangga petani, atau sekitar 69 persen dari rtumahtangga tani tidak memiliki lahan pertanian, dan hanya 488 rumahtangga petani pemilik lahan dengan luas
yang bervariasi antara kurang dari 1 hektar sampai yang terluas yaitu 14 hektar. Kondisi ketimpangan pemilikan lahan pertanian diperparah dengan adanya kepemilikan tanah guntai in
absenteeseluas 52,2 hektar.Datatahun 2011 menunjukkan bahwa dari 120 rumahtangga yang memiliki sawah lebih dari 1,5 hektar, sebanyak 7 pemilik berasal dari luar Desa Panyingkiran,
antara lain para petani kaya dari Cikarang Kabupaten Bekasi dan Cakung Jakarta Timur yang sawahnya tergusur oleh pembangunan kawasan industri. Mereka memiliki sawah yang cukup
luas, yaitu antara 4 sampai 14 hektar
44
. Data lengkap pemilik sawah guntai in-absentee di Desa Panyingkiran, ditampilkan dalam tabel 4.9. di bawah ini.
Keberadaan tanah guntai menunjukkan gejala yang hampir sama di beberapa desa di Kecamatan Rawamerta. Perubahan Kabupaten Bekasi yang menjadi kawasan industri pada tahun
1980-an menyebabkan banyak petani yangtanahnya tergusur pembangunan industri dan perumahan menjual lahan sawah dengan harga yang mahal, dan hasil penjualan sawah tersebut
44
Keberadaan tanah guntai in-absentee di Desa Panyingkiran merupakan dampak tidak langsung dari kebijakan pemerintah yang memilih strategi pembangunan pada model pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan
menerapakan kebijakan industrialisasi yang mengakibatkan tergusurnya lahan pertanian berupa persawahan subur di wilayah Kabupaten Bekasi. Gejala land grabbing ini menimbulkan permasalahan serius yang sampai saat ini belum
terpecahkan jalan keluarnya. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dan bahan pangan penting lainnya.
488 1108
368 112
6 2
Pemilik Tanah Pertanian Tidak Memiliki
Memiliki ha Memiliki 1.5-5.0 ha
memiliki 5-10 ha. ha
Keluarga
dibelikan di wilayah Karawang termasuk di Kecamatan Rawamerta yang pada waktu itu harga tanah relatif masih murah.
Tabel 4.9. Pemilik Tanah Guntai in-absentee Di Desa Panyingkiran
No Nama Pemilik
Luas Sawah ha
Asal Pemilik Penggarapan Sawah
1 H. Suanta
14 Cakung-
Jakarta Disewakan kepada 3 orang warga Panyingkiran
2 H. Nisan
8 Cakung-
Jakarta Disewakan kepada 3 orang warga Panyingkiran H. Mulya,
Ana
45
, Sawita, dengan harga sewa Rp 2 Juta per hektar 3
H. Latif 6,4
Jatinegara- Jakarta
Digarap sendiri dengan mengupah pekerja desa setempat 4
H. Raiban 6
Cikarang- Bekasi
Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarap merupakan penduduk Desa Panyingkiran
5 Uci Sanusi
4 Cikarang
Digarap sendiri dengan mengupah pekerja. Pekerja berasal dari Desa Panyingkiran
6 H. Ayung
6 Cakung-
Jakarta Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarapa merupakan
penduduk Desa Panyingkiran 7
Kampeng 4
Cakung- Jakarta
Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarap merupakan penduduk Desa Panyingkiran
Sumber: Arsip Desa Dan Informasi Kepala Desa Panyingkiran, 2011
Keterangan: Tanah digarap oleh warga Panyingkiran dengan cara sewa Penguasaan lahan yang timpang menjadikan kemiskinan di Panyingkiran menjadi
fenomena yang tak bisa dibantah. Oleh karena itu, migrasi internasional yang dilakukan terutama perempuan adalah bentuk pilihan rasional yang paling mudah dilakukan oleh keluarga miskin di
Panyingkiran, tanpa harus mengeluarkan biaya dan keterampilan. Sementara itu, di Desa Ciherang potret kemiskinan yang diakibatkan oleh ketiadaan aksesibilitas terhadap lahan dapat
dilihat dari ketimpangan penguasaan lahan pertanian, dari 665 orang rumahtangga tani, hanya 432 yang memiliki lahan pertanian dengan luas yang bervariasi, sedangkan sebanyak 233
keluarga tani atau 35 persen merupakan buruh tani dan petani tanpa lahan pertanian landlessness. Kondisi ini menjadi potret kemiskinan sekaligus melahirkan strategi
45
An merupakan petani penyewa sawah milik H. Nisan, uang sewa diperoleh dari hasil kerja anak perempuannya yang bekerja di Arab. Menurut penuturan An, menyewa tanah merupakan cara dia untuk bertani,
karena sampai saat ini dia hanya memiliki lahan pertanian sempit berupa sawah yang ditamani padi setiap 2 kali setahun. Dengan menyewa lahan sawah dia bisa berusaha sekaligus membuka lapangan kerja bagi beberapa
tetangganya yang menjadi tenaga buruh di kebun sayuran miliknya. Setiap musim berkebun dia memerlukan 4 orang tenaga buruh tetap yang bekerja mulai dari menyiapkan guludan, menanam, memelihara, memanen dan membantu
mengangkut hasil panen ke Pasar Induk Sayuran di Cibitung-Bekasi. Hasil setiap panen, menurutn
ya hanya “cukup” untuk memodali musim tanam berikutnya, dan selebihnya disimpan untuk membeli lahan pertanian, sehingga suatu
saat dia tidak perlu lagi menyewa lahan kepada orang lain. An juga sudah menghubungi kedua anaknya yang saat ini masih bekerja di Arab Saudi untuk mengumpulkan uang mereka bekerja agar kedua anaknya bisa membeli sawah di
Panyingkiran.
kebertahanan masyarakat setempat
46
. Ketimpangan lahan pertanian menjadi titik tolak terjadinya migrasi internasional dan munculnya variasi mata pencaharian masyarakat desa Ciherang.
Tabel 4.10.Komposisi Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Ciherang
Dusun Petani
Pemilik penggarap
Buruh tani- non tani
Pedagang Wiraswasta PNS TNIPOLRI Karyawan Buruh Migran
Tanjung Kerta
146 76
57 35
7 1
19 52
Ciherang 209
123 72
39 4
- 12
90 Pasir
Muncang 77
34 21
12 1
- 6
15 Jumlah
432 233
150 84
12 1
37 157
Sumber : Data Potensi Desa, 2010.
Tabel 4.10. di atas menggambarkan bahwa karena luas lahan pertanian yang terbatas sedangkan pertambahan penduduk terus terjadi sehingga memunculkan jenis mata pencaharian
yang variatif di satu sisi, dan di sisi lain menjadi titik tolak untuk melakukan migrasi internasional bagi perempuan pedesaan di Ciherang. Semakin terbatasnya lahan pertanian akibat
adanya akumulasi lahan pertanian kepada segelintir orang kaya di pedesaan, menyebabkan semakin tinginya petani tunakisma.
Beberapa petani tunakisma menyiasati ketiadaan lahan dengan cara memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami berbagai macam sayuran yang hasilnya bisa menopang kebutuhan
keluarga mereka meskipun dalam skala yang serba pas-pasan. Di bawah ini disajikan beberapa petani tunakisma di Desa Panyingkiran yang terpaksa menumpang hidup pada tanah “negara
secara ilegal”.
46
Salah seorang petani yang mampu bertahan dalam kondisi kemiskinan sebagai akibat kekurangan lahan pertanian adalah Mslm 62 tahun salah seorang petani berasal dari Ciherang Lebak. Mslm memiliki lahan berupa sawah
ukuran kurang lebuh 400 m
2
, yang setiap musim selalu ditanami padi dan palawija dengan pola tanam berselang antara padi-padi;palawija. Hasil panen hanya cukup untuk makan keluarga selama kurang lebih dua bulan, selama
menunggu panen berikutnya, Mslm mengandalkan penjualan tanaman berbagai sayuran yang ditanam di tanah sawah yang sengaja tidak ditanami padi. Kesulitan hidup menyebabkan Mslm hanya mampu menyekolahkan anak
pertama dan kedua sampai tingkat SMP, saat ini, anak bungsu Mslm duduk di kelas 2 sebuah SMK swasta di Kota Purwakarta. Menurutnya, untuk kebutuhan ongkos, biaya sekolah anaknya, dirasakan sangat berat, tetapi kemauan
anak Mslm yang kuat ditambah dorongan guru-guru di sekolah anaknya yang menganggap anak Mslm cerdas, mendorong Mslm agar anak bungsunya bisa selesai sekolah dan secepatnya bisa bekerja di perusahan besar sekitar
Purwakarta. Untuk menambah penghasilan, Mslm juga bekerja sebagai buruh tani, jika sedang musim bersawah. Dengan upah Rp 30.000 per setengah hari. Menurut Mslm, ketiga anak Mslm tidak ada yang mau turun ke sawah
untuk membantunya bekerja.
Boks 1: Para Petani Tunakisma dan Optimalisasi Lahan Pertanian
Memasuki Desa Panyingkiran sepintas tidak ada sesuatu keistimewaan, sebagaimana desa di Wilayah Karawang umumnya, sejauh mata memandang tampak persawahan menghijau yang dialiri
irigasi Citarum. Ciri khas yang menjadi penanda Desa Panyingkiran adalah banyaknya bangunan rumah mewah untuk ukuran pedesaan, rumah tersebut umumnya dimiliki oleh keluarga yang memiliki anggota
keluarga bekerja sebagai PRT di luar negeri terutama di Arab Saudi. Ciri kedua adalah banyaknya penduduk yang berkebun di sepanjang bantaran aliran irigasi Citarum yang mengalir sepanjang desa.
Sebagai contoh adalah keluarga Abah Ukr 75 tahun, Abah Art 76 tahun, Abah Arb 74 tahun yang mengaku sudah lebih dari 4 tahun bertani di lahan sempit yang memanjang saluran irigasi. Mereka
menanam sayuran semusim seperti bayam, kangkung, kacang panjang, sawi, terong yang ditanam pada jalur-jalur dengan luas antara 200-600 m
2
. Bagi Abah Ukr menumpang bertani di lahan pengairan, merupakan jalan terakhir setelah dia merasa tidak kuat lagi menjadi buruh tani, dimana selama puluhan
tahun hidupnya hanya mengandalkan sebagai “tukang macul” dan istrinya menjadi buruh “ngarambet
dan ngabawon” di sawah para tetangganya. Meskipun demikian berat karena sudah lanjut usia, sudah 6 tahun ini Abah Ukr bekerja setiap hari, karena di rumah masih memiliki tanggungan yaitu istri dan dua
orang anaknya, yang meskipun sudah bekerja tetapi nasibnya hampir sama dengan Abah Ukr. Satu orang anak laki-laki yang hanya tamat SD saat ini menjadi buruh penjaga ternak sapi di desa tetangga dengan
upah setiap bulan sekitar Rp 500.000, sedangkan anak bungsu bekerja sebagai tukang angkat barang dan
juru pengeras suara pada sebuah kelompok musik tradisional “Jaipongan”, dengan penghasilan tergantung kepada orang yang hajatan.
Menurut Abah Ukr, setiap dua hari sekali, dia memanen kacang panjang, terong, kangkung yang hasilnya di jual ke warung tetangga dan didagangkan berkeliling kampung oleh istrinya. Hasil penjualan
antara Rp 10.000- Rp 20.000, yang bisa mencukupi kebutuhan mereka makan sehari-hari. Jika kedua anak laki-lakinya sedang memiliki uang, mereka memberi uang kepada istri Abah Ukr yang digunakan
untuk membayar listrik.
Ketika ditanya status bertani dia yang menumpang pada lahan milik pengairan, Abah Ukr hanya mengatakan bahwa
“namina ge numpang, nya pami pangairan teu ngijinan deui, Abah mah teu tiasa di kumaha. Tapi waktu Abah rek numpang ngebon, Abah bebeja ka RT, ka Kuwu, yen Abah perlu ieu
taneuh pikeun dahar sapopoe”. Artinya bahwa yang namanya menumpang, kalau pihak pengairan sudah tidak mengijinkan dia untuk berkebun,maka dia tidak bisa apa-apa. Tetapi, sebelum mulai berkebun, Ukr
mengaku sudah lapor kepada Ketua RT dan Kepala Desa setempat, bahwa dia perlu tanah untuk makan sehari-hari.
Kondisi yang sama di alami oleh Abah Art 76 tahun yang menggarap lahan seluas kurang lebih 400 m
2
, Abah Arb 74 tahun menggarap lahan seluas kurang lebih 600 m
2
, serta abah-abah lain yang banyak terdapat di Panyingkiran dan desa-desa lain di Kecamatan Rawamerta. Suatu ironi, bahwa
petani yang hidup di daerah lumbung padi utama di Jawa Barat, tetapi tidak memiliki lahan pertanian sama sekali landlessness
4.4. Sejarah Migrasi dan Kondisi Migran Desa Panyingkiran-Ciherang