Perekonomian Indonesia TINJAUAN PUSTAKA

20 Sumber: Pangestu, 1986 Gambar 6. Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983 Perkembangan produksi minyak mentah Indonesia periode 1969-1983 disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada periode 1969-1979, produksi minyak mentah cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1969, produksinya mencapai 270.9 juta barrel, kemudian tahun 1973 meningkat menjadi 488.5 juta barrel. Tahun 1974 produksinya meningkat menjadi 501.8 juta barrel dan tahun 1979 meningkat menjadi 580.4 juta barrel. Pada periode tahun 1979- 1983, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 1980 produksinya menurun menjadi 577.0 juta barrel dan tahun 1983 menurun lagi menjadi 490.5 juta barrel Gambar 7. Sumber : Pangestu, 1986 Gambar 7. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983 21 Dua kali lompatan kenaikan harga minyak 1974 dan 1980 memberikan kesempatan pemerintah meningkatkan perekonomian 2 , dan dari penerimaan minyak memungkinkan pemerintah mempertahankan regim nilai tukar tetap fixed exchange rate Sunaryo, 1996. Namun di sisi lain, karena harga minyak mentah meningkat relatif terhadap harga ekspor nonmigas, neraca perdagangan minyak mentah menjadi surplus. Hal ini menyebabkan kombinasi: apresiasi nilai tukar nominal Rupiah dan tambahan cadangan devisa reserve inflows sehingga karena hal yang belakangan tidak disterilisasi, menyebabkan inflasi dan penurunan daya saing ekspor nonmigas 3 Nasution, 1983. Peningkatan ekspor nonmigas ditempuh salah satunya melalui kebijakan devaluasi Rupiah 50 pada Nopember 1978. Harga minyak mentah kemudian mengalami penurunan tahun 1983 dan mencapai titik terendah tahun 1986. Menurut Sunaryo 1996, penurunan penerimaan minyak memaksa pemerintah mengadopsi strategi diversifikasi ekspor diversified export oriented strategy, dan mempertahankan nilai tukar yang kompetitif managed floating exchange rate system untuk menjamin penerimaan ekspor. Hal ini kemudian diikuti oleh kebijakan mempertahankan inflasi rendah untuk mempertahankan daya saing, dan sejak tahun 1987 pemerintah menetapkan target inflasi Sunaryo, 1996. Menurut Nasution 1983, kebijakan inflasi rendah tidak dilakukan dengan cara mengatasi secara langsung sumber inflasi, tetapi dengan cara pemberian subsidi langsung terhadap beragam barang konsumsi dan jasa serta subsidi secara tidak langsung melalui kebijakan harga perusahaan-perusahaan pemerintah, termasuk suku bunga pinjaman bank-bank pemerintah. Kebijakan ini menurut Nasution 1983 telah 2 Menurut Pangestu 1986, hal ini dapat terwujud hanya jika kenaikan penerimaan minyak mentah dibelanjakan di dalam negeri, sebaliknya tidak dapat meningkatkan perekonomian jika dibelanjakan di luar negeri untuk impor atau pembayaran utang atau didepositokan pemerintah. 3 Hilangnya daya saing internasional ekspor nonmigas yang berasosiasi dengan oil boom sering disebut “Dutch disease”. Dalam pengertian yang luas “ the disease” menurunkan terms of trade barang tradable relatif terhadap barang nontradable, terutama karena peningkatan penawaran agregat dibelanjakan sebagian besar untuk barang nontradable Nasution, 1983. 22 menurunkan laju inflasi tetapi dengan korbanan beban biaya tinggi untuk subsidi dalam anggaran pemerintah. Strategi diversifikasi ekspor berhasil mendorong ekspor nonmigas. Gambar 8 menyajikan perkembangan ekspor migas dan non-migas Indonesia periode 1980-1996. Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada periode 1980 - 1986 ekspor migas cenderung menurun, dan ekspor nonmigas cenderung meningkat. Pada tahun 1980, nilai ekspor migas mencapai USD 17.3 miliar tapi tahun 1983 menurun menjadi USD 14.9 miliar dan tahun 1986 menurun lagi menjadi USD 7.0 miliar. Sedangkan ekspor nonmigas pada tahun 1980 mencapai USD 5.6 miliar dan tahun 1983 menurun menjadi USD 5.4 miliar tapi tahun 1986 kemudian meningkat menjadi USD 6.7 miliar. Pada Gambar 8 terlihat sejak tahun 1987, nilai ekspor nonmigas melampaui ekspor migas. Tahun 1987 nilai ekspor migas adalah USD 8.8 miliar, dan ekspor nonmigas, USD 9.5 miliar. Sumber: BI Gambar 8. Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia, 1980-1996 Pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1969-1996 mencapai rataan per tahun sebesar 6.9. Pertumbuhan ekonomi ini merupakan kontribusi pertumbuhan dari sektor pertanian dan sektor nonpertanian industri dan jasa berturut-turut 3.8 dan 23 8.9 per tahun. Pertumbuhan sektor pertanian yang kurang dari separuh dari pertumbuhan sektor nonpertanian mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur perekonomian Indonesia. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB Produk Domestik Bruto menurun dramatis dari 40.2 tahun 1969 menjadi hanya 15.8 tahun 1996, sebaliknya pangsa sektor nonpertanian meningkat dramatis dari 58.8 menjadi 84.2 Sipayung, 2000. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi hingga tahun 1996 ternyata tidak berlanjut. Hasil analisis Sugema 2000 menyimpulkan bahwa perekonomian Indonesia sebelum krisis telah berorientasi pada pasar dan berkontribusi terhadap peningkatan keterbukaan dan kinerja perekonomian, tetapi menghadapi tiga persoalan, yaitu: 1 defisit neraca berjalan current account yang terus menerus, 2 akumulasi dan struktur hutang luar negeri, dan 3 sektor perbankan yang relatif lemah. Menurut Sugema, dua masalah yang pertama saling berkaitan dalam pengertian defisit neraca berjalan yang teus menerus sebagian besar disebabkan oleh pembayaran bunga hutang luar negeri. Aliran kapital jangka panjang tidak cukup untuk menutupi defisit sehingga aliran kapital jangka pendek diperlukan. Hal ini, menurut Sugema, menyebabkan neraca pembayaran balance of payment rentan terhadap penarikan kapital asing jangka pendek. Dengan kata lain, Indonesia sebelum krisis telah rentan terhadap krisis kembar twin crisises: dua masalah yang pertama di satu sisi dapat dipandang sebagai syarat keharusan dalam arti bahwa berkurangnya kepercayaan sebagian pemberi pinjaman dan investor asing dapat menekan pasar nilai tukar foreign exhange market, dan lemahnya sektor perbankan di sisi lain dapat dipandang sebagai syarat kecukupan dalam arti peningkatan suku bunga tidak akan efektif atau kredibel karena dapat mempersulit sektor perbankan Sugema, 2000. 24 Pada pertengahan bulan Juli 1997 perekonomian Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dramatis. Tabel 2 menyajikan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1996-2000. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan tahun 1993, pertumbuhan ekonomi menurun dari 7.6 tahun 1996 menjadi 4.7 tahun 1997, dan tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif 13.1. Perekonoman Indonesia mulai membaik tahun 2000 dengan pertumbuhan 4.9. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis periode 2001-2011 dapat diperiksa pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan tahun 2000, pertumbuhan ekonomi periode 2001-2006 masih berada di bawah 6, dan mulai tahun 2007 baru berada di atas 6. Penurunan pertumbuhan tahun 2009 menjadi 4.6 disebabkan oleh krisis ekonomi global, yang bersumber dari krisis finansial di Amerika Serikat. Sejak tahun 2004, pertumbuhan ekonomi tidak lagi didukung oleh surplus neraca perdagangan minyak. Perkembangan ekspor dan impor minyak 2001-2010 disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan sejak tahun 2004, Indonesia telah menjadi net importer minyak. Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1996 – 2000 Tahun Produk Domestik Bruto Nilai miliar Rupiah Pertumbuhan 1996 413 798 7.6 1997 433 246 4.7 1998 376 375 -13.1 1999 379 353 0.8 2000 397 934 4.9 Sumber: BPS Keterangan: berdasarkan harga konstan tahun 1993 25 Sumber: BPS Gambar 9. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2001-2011 Sumber: BI Gambar 10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak, 2001-2010 John Hwaksworth 2006, Head of Macroeconomics, PriceWaterHouse Coopers, memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 perekonomian Indonesia akan termasuk ke dalam kelompok 17 negara terbesar dunia. Gross Domestic Product Indonesia yang pada tahun 2005 dalam nilai riel mendekati USD 20 000 miliar, pada tahun 2050 mendekati USD 120 000 miliar atau meningkat sekitar 6 kali lipat. Pada tahun 2005 hingga 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam USD oleh 26 Hwaksworth diproyeksikan sebesar 7.3. Namun Hwaksworth menyadari bahwa proyeksi jangka panjangnya subject to uncertainties. Hasil analisis sensitivitas menyarankan bahwa proyeksi GDP jangka panjang untuk emerging market economies termasuk Indonesia, menurut Hwaksworth, sensitif terhadap asumsi trend tingkat pendidikan, net investment rate dan catch-up speeds, yang bergantung pada beragam kebijakan dan faktor-faktor kelembagaan broad range of policy and institutional factors.

2.2. Peranan Sumberdaya Hutan

Statistik Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2009 menyebutkan bahwa luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hasil Kesepakatan adalah 137 773 370 ha. Luas kawasan hutan tersebut dibedakan ke dalam kawasan pelestarian dan hutan lindung seluas 55 388 920 ha 40.2, dan kawasan hutan produksi seluas 82 384 450 ha 59.8. Kawasan pelestarian dan hutan lindung terdiri dari: 1 kawasan suaka margasatwa dan pelestarian alam seluas 23 510 176 ha 17.1, 2 taman buru 109 351 ha 0.1 dan 3 hutan lindung 31 769 393 ha 23.1. Kawasan hutan produksi terdiri dari: 1 hutan produksi tetap seluas 37 167 028 ha 45.1, 2 hutan produksi terbatas 22 449 152 ha 27.3 dan 3 hutan produksi dapat dikonversi 22 768 270 ha 27.6. Sesuai UUD 1945 pasal 33, sumberdaya hutan tersebut harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Sumberdaya hutan memiliki tiga fungsi. Pertama adalah sebagai penghasil barang dan jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu HHBK. Sebagai penghasil jasa, ekosistem hutan mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim mikro, penyerapan CO 2 dan pemandangan alam yang unik. Sebagian kalangan kini 27 mulai memandang jasa penyerapan CO 2 sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan Colfer, et al, 2001. Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu. Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsi- fungsi ekologis rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat berfungsi sebagai penjaga siklus rantai makanan beragam makhluk hidup, penata aliran air, pengendali erosi, pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, pemelihara kesuburan tanah, dan pembentuk kondisi udara bersih. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang berkembang hingga kini adalah fungsi dalam konteks ekonomi, yaitu hutan sebagai penghasil barang. Fungsi-fungsi yang lain relatif terabaikan namun belakangan fungsi sebagai penghasil jasa, seperti air dan karbon mulai diperhatikan. Perhatian masyarakat yang lebih menekankan pada hutan sebagai penghasil barang telah mendorong pemanfaatan hutan alam di luar Jawa. Pada tahun 1970-an, hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran dimanfaatkan tanpa mengetahui bagaimana teknik meregenerasi hutan kecuali pengetahuan sistem silvikultur TPI Tebang Pilih Indonesia, yang hingga kini sulit diterapkan secara konsisten di lapangan.