Peranan Sumberdaya Hutan TINJAUAN PUSTAKA

27 mulai memandang jasa penyerapan CO 2 sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan Colfer, et al, 2001. Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu. Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsi- fungsi ekologis rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat berfungsi sebagai penjaga siklus rantai makanan beragam makhluk hidup, penata aliran air, pengendali erosi, pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, pemelihara kesuburan tanah, dan pembentuk kondisi udara bersih. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang berkembang hingga kini adalah fungsi dalam konteks ekonomi, yaitu hutan sebagai penghasil barang. Fungsi-fungsi yang lain relatif terabaikan namun belakangan fungsi sebagai penghasil jasa, seperti air dan karbon mulai diperhatikan. Perhatian masyarakat yang lebih menekankan pada hutan sebagai penghasil barang telah mendorong pemanfaatan hutan alam di luar Jawa. Pada tahun 1970-an, hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran dimanfaatkan tanpa mengetahui bagaimana teknik meregenerasi hutan kecuali pengetahuan sistem silvikultur TPI Tebang Pilih Indonesia, yang hingga kini sulit diterapkan secara konsisten di lapangan. 28 Kini pemberian izin konsesi berubah dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan HPH menjadi Izin Pemungutan Hasil Hutan IUPHHK. Pemanfaatan kawasan hutan produksi melalui IUPHHK dibedakan ke dalam tiga bentuk izin usaha: 1 Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam IUPHHK-HA, 2 Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman IUPHHK-HT, dan 3 Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu IUPHH-BK. Dari kawasan hutan produksi seluas 82.4 ha, pemanfaatan dalam bentuk IUPHHK kini mencapai 35 377 895.7 ha atau sekitar 49.9 . Luas areal masing- masing bentuk pemanfaatan adalah Ditjen BPK, 2009: 1. Areal IUPHHK-HA seluas 25 641 167 ha untuk 306 unit pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa. 2. Areal IUPHHK-HTI SK Definitif dan SK Sementara 9 208 506 ha untuk 230 unit pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa. 3. Areal IUPHH-BK seluas 21 620 ha untuk 1 unit pemegang izin yang berada di Provinsi Riau. 4. Areal pencadangan IUPHHK-HTR seluas 383 402.7 ha yang tersebar di 20 provinsi. Sejak hutan alam di luar Jawa dimanfaatkan secara besar-besaran pada tahun 1970-an, peranan sektor kehutanan dalam perekonomian mulai dipertimbangkan. Gambar 11 menyajikan kontribusi nilai ekspor migas, karet, kayu dan minyak sawit terhadap ekspor nasional. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada tahun 1970 kontribusi ekspor kayu bulat mencapai 9.4 dari ekspor nasional, menempati urutan ketiga setelah migas 40.3 dan karet 22.9. Pada tahun 1972, kontribusi ekspor kayu terhadap ekspor nasional meningkat menjadi 12.9, dan menggantikan posisi karet. Setelah peningkatan tahun 1972, pada tahun-tahun 29 berikutnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 1978, kontribusi ekspor kayu menurun menjadi 8.5 namun posisinya tetap berada di atas karet, karena ekspor karet periode 1966-1978 cenderung menurun. Sumber : Nasution, 1983 Gambar 11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional, 1966 - 1978 Gambar 12 menyajikan perekembangan ekspor produk kayu periode 1980- 1990. Pada Gambar 12 terlihat bahwa ekspor kayu bulat menjadi primadona hanya sampai tahun 1982 dengan nilai USD 0.3 miliar, tetapi kemudian terus menurun. Penurunan ekspor kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor sebagai bagian dari kebijakan pengembangan industri kayu yang berintikan industri kayu lapis. Oleh karenanya ekspor kayu lapis terus meningkat. Sebagai terlihat pada Gambar 12, sejak tahun 1983 ekspor kayu didominasi oleh ekspor kayu lapis. 30 Sumber : BI Gambar 12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis dan Kayu Olahan, 1980-1990 Menurut Mangunsong 2004, sejak tahun 1987 kontribusi nilai ekspor subsektor kehutanan terhadap total ekspor selalu lebih tinggi dibanding kontribusi nilai ekspor subsektor pertanian. Tetapi posisi tersebut tidak berkelanjutan, karena kontribusi nilai ekspor pertanian, terutama minyak sawit dan karet cenderung meningkat. Gambar 13 menyajikan kontribusi nilai ekspor produk kayu, pulp, minyak sawit dan karet terhadap ekspor nasional periode 2001-2009, yang menunjukkan kontribusi nilai ekspor produk kayu tanpa pulp terus menurun, dan posisinya digantikan oleh minyak sawit sejak tahun 2004, dan diduduki kembali oleh karet sejak tahun 2006. Jika kontribusi ekspor produk kayu ditambah pulp, posisinya berada di bawah minyak sawit sejak tahun 2007, dan tahun 2009 kembali di atas karet. 31 Sumber : BI, Kementan, FAO Gambar 13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional, 2001 - 2009 Kontribusi subsektor kehutanan kayu bulat terhadap PDB relatif kecil sekitar 1.0 dan jika ditambah dengan nilai tambah industri pengolahan kayu meningkat menjadi sekitar 2.0. Rendahnya kontribusi sektor kehutanan di antaranya karena harga kayu bulat yang terdistorsi, banyaknya produksi yang tidak tercatat karena illegal logging dan illegal log trading. Namun kontribusi subsektor kehutanan cenderung menurun, merefleksikan produksi kayu dipanen secara tidak lestari. Sejak pemanfaatan hutan alam di luar Jawa dimulai pada tahun 1970an, laju kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat. Kenyataan menunjukkan laju kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan di Indonesia lebih tinggi dibanding laju pemulihan dan penambahan hutan 4 . Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga fungsi pokok sumberdaya hutan. Fungsi sebagai penghasil barang terganggu yang ditunjukkan oleh menurunnya output atau produksi hasil hutan kayu dan hasil 4 Sebagai ilustrasi, berdasarkan data yang tercatat di Direktorat Bina Pengusahaan Hutan Alam, Ditjen Bina Usaha Kehutanan, sampai dengan tahun 2009, jumlah pohon yang ditanam oleh IUPHHK-HA dengan ststus Badan Usaha Milik Swasta sebanyak 192 771 pohon, sedangkan oleh IUPHHK-HA dengan status Badan Usaha Milik Negara sebanyak 881 300 pohon. 32 hutan bukan kayu 5 . Fungsi sebagai penghasil jasa terganggu yang ditunjukkan oleh menurunnya potensi output atau produksi jasa hutan, khususnya dalam penyediaan air dan wisata serta penyerapan CO 2 6 . Fungsi sebagai sumber penghidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya taraf hidup, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan 7 . Fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin berkurangnya jenis flora dan fauna dan bahkan terdapat jenis flora dan fauna yang mulai punah . 8 Pertumbuhan ekonomi model Solow, sebagaimana digunakan oleh Hwaksworth, menjelaskan bahwa net investment rate berasal dari saving rate yang bergantung pada peningkatan dan depresiasi akumulasi kapital. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia memasukkan peranan industri hasil hutan, maka akumulasi kapital dapat terus berlangsung selama tersedia sumberdaya hutan yang memadai layak diusahakan. Ketika sumberdaya hutan yang tersedia berkurang tentunya menyebabkan proses akumulasi kapital dari sektor kehutanan akan mengalami penurunan. Hwaksworth mengasumsikan depresiasi kapital sebesar 6 per tahun, yang dapat dipandang relatif rendah. Umumnya negara-negara di dunia termasuk Amerika Serikat menggunakan angka depresiasi sebesar 10 Mankiw, 2000. Dengan nilai depresiasi yang relatif rendah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Hwaksworth sebesar 7.3 per tahun mungkin lebih mudah dicapai meskipun sumberdaya hutan menurun. Jika benar demikian, hasil proyeksi Hwaksworth pada 5 Sebagai ilustrasi, produksi aktual akyu bulat hutan alam tahun 1990 adalah 39.2 juta m3 tapi tahun 2000 menurun menjadi 22.7 juta m3, dan tahun 2009 menurun lagi menjadi 8.1 juta m3, dan konsekuensi produksi hasil hutan bukan kayu juga menurun. 6 Deforestasi dan degradasi hutan meningkat antara lain untuk perluasan areal HTI, tanaman sawit, karet, dan pangan. 7 Kehidupan masyarakat desa hutan umumnya masih di bawah garis kemiskinan. 8 Di antaranya jenis ramin telah dimasukkan ke dalam CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, dan sejumlah home range satwa liar musnah akibat konvesi hutan alam. 33 dasarnya dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter untuk menahan danatau meningkatkan pemulihan dan penambahan sumberdaya hutan cenderung dipandang kurang dan bahkan tidak signifikan.

2.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi

Munashinghe 2004 menjelaskan terdapat tiga evolusi pemikiran yang mendasari hubungan antara makroekonomi dan lingkungan. Pertama adalah pemikiran bahwa aktivitas ekonomi memerlukan sumberdaya alam, di antaranya pemikiran Malthus 1798 yang menekankan pemiskinan karena kendala pertanian dan pertumbuhan penduduk yang eksponensial, dan Ricardo 1817 yang menjelaskan bagaimana dimisnishing returns to land memerlukan perlindungan pada kekayaan dan penduduk, serta Hotelling 1931 yang mengembangkan lebih jauh teori exhaustible resource. Dalam perkembangannya, menurut Munashinghe, termasuk di antaranya pemikiran Stiglitz 1974 yang mengembangkan model dengan peubah kapital, tenaga kerja dan sumberdaya alam sebagai substitusi dalam produksi untuk menunjukkan bahwa tingkat konsumsi yang lebih tinggi dapat berkelanjutan jika terdapat peningkatan kemajuan teknologi untuk mengkompensasi penurunan stok sumberdaya alam; Daly 1991 yang menyatakan bahwa kebijakan makroekonomi yang tepat dapat menjamin alokasi sumberdaya yang optimal namun tidak dapat menyelesaikan isu-isu berskala scale issues karena ekonomi tumbuh melebihi daya dukung lingkungan; dan Solow 1993 yang mendefinisikan net national product NNP sebagai ukuran konsumsi maksimum yang dapat berkelanjutan. Pemikiran kedua adalah pemikiran yang berkaitan dengan analisis Input-Output I-O yang dikembangkan tahun 1930-an oleh Leontieff dan tahun 1970 Leontieff mendeskripsikan kerangka untuk menganalisis polluting output sektor-sektor 34 produktif, dan dampak kebijakan penurunan eksternalitas dalam sektor-sektor pengurang polusi. Pemikiran ketiga adalah pemikiran yang telah memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam model makroekonomi konvensional yang digunakan untuk penetapan kebijakan mulai dari ekstensi tipe Keynesian IS-LM dalam analisis comparative statics, sampai ke model yang lebih kompleks, Computable General Equilibrium CGE yang memasukkan peubah lingkungan. Penelitian pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan degradasi hutan, khususnya di negara-negara berkembang awalnya dilakukan berkaitan dengan kebijakan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia ketika membantu negara-negara yang mengalami krisis moneter dan ekonomi melalui sebuah program yang dikenal dengan Structural Adjustment Programme SAP. Menurut Sedjo 2005, SAP dirancang untuk memperbaiki kinerja makroekonomi negara- negara yang mengalami masalah serius dalam perdagangan, balance of payment, dan defisit anggaran fiscal deficit. Kebijakan-kebijakan yang tipikal direkomendasikan dalam kerangka SAP adalah memotong anggaran pemerintah, menaikkan pajak, meliberalisasi pasar dan perdagangan, memberikan bantuan darurat pinjaman dari sumber asing diantaranya dari Dana Moneter Internasional, dan memberikan dukungan anggaran. Menanggapi kritik dampak lingkungan dari SAP, Young dan Bishop 1995 menyimpulkan bahwa tidak terdapat jawaban yang sederhana atas pertanyaan apakah SAP berdampak baik atau buruk pada lingkungan, kompleksitas penyesuaian itu sendiri menyebabkan tidak mungkin melakukan generalisasi, karena kondisi beragam dari negara-negara yang melakukan penyesuaian. Sedjo 2005 menyimpulkan dua hal: 1 meskipun dalam banyak kasus SAP dapat mempengaruhi sektor kehutanan, dalam kasus yang lain, tidak mempengaruhi, dan 2 ketika SAP berdampak pada