Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Media kultur secara fisik dapat berbentuk cair atau padat Yusnita, 2003. Media yang
digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu diperlukan pula bahan tambahan seperti agar, gula dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh
hormon yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya juga jumlahnya tergantung dengan kebutuhan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan Departemen Pertanian,
2007.
Medium MS merupakan media yang secara luas dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya
hanya menggunakan setengah dari konsentrasi garam-garam makro yang digunakan atau menggunakan komponen garam-garam makro berdasarkan MS yang disesuaikan
Gunawan, 1994. Medium yang dikembangkan oleh Murashige dan Skoog MS untuk kultur jaringan tanaman digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar
demikian juga kultur suspensi sel dalam medium cair. Keistimewaan medium ini yaitu kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi Wetter Constabel, 1991.
Selain medium MS ada beberapa contoh medium lainnya yaitu komposisi Knudson C 1946, Heller1953, Nitsch dan Nitsch 1972, Gamborg dkk. B5 1976, Linsmaier
dan Skoog-LS 1965, serta Woody Plant Medium-WPM Lloyd dan McCown, 1980 Yusnita, 2003.
Ada medium tertentu yang dapat menumbuhkan eksplan melalui kalus langsung berkembang menjadi plantula, misalnya medium Vacin dan Went untuk
kultur jaringan anggrek. Metode ini dinamakan one step method. Kerap kali tidak dapat secepat itu hasil budidaya jaringan dapat dicapai. Misalnya dengan medium
tertentu dapat dihasilkan kalus namun tidak mau berkembang menjadi tunas-berakar. Dan setelah diganti medium, maka terjadi diferensiasi menjadi plantula yang mana ini
disebut dengan two step methods Suryowinoto, 1996.
2.4 Zat Pengatur Tumbuh
Universitas Sumatera Utara
Pada tumbuhan zat pengatur tumbuh sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan Abidin,1982. Selain itu zat pengatur tumbuh juga berperan
dalam mempercepat terbentuknya kalus serta proses diferensiasi semua fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman Heddy, 1986, juga dapat memberikan arah
bagi perkembangan sel tanaman Pierik, 1987. Faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur
tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi zat pengatur tumbuh, urutan penggunaannya, dan periode masa induksi yang dilakukan dalam teknik kultur
jaringan tertentu Gunawan, 1995.
Dalam kultur jaringan zat pengatur auksin dan sitokinin sangat berpengaruh Gunawan, 1995. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi
pertumbuhan kalus. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D, dan ANA sedangkan yang alami biasa digunakan IAA Katuuk, 1989. Asam Naftalen
Asetat ANA adalah senyawa sintetis yang berhasil dibuat. Senyawa ini tidak mengandung ciri-ciri indole tetapi mempunyai aktifitas biologis seperti IAA, ANA
dan 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel
atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi. Sitokinin alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin, 2-iP, sedangkan untuk sintetik meliputi BAP dan
kinetin Wattimena, 1988.
2.5 Kalus
Pada batang muda yang terluka sering dijumpai suatu jaringan meristematis penutup luka. Jaringan yang meristematis ini dikenal dengan nama kalus callus. Kalus
merupakan salah satu wujud kumpulan sel yang belum berdiferensiasi. Dalam budidaya in vitro menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah yang
penting. Setelah itu diusahakan rangsangan agar berdiferensiasi membentuk tunas dan akar. Proses mulai terjadinya kalus sampai diferensiasi berbeda-beda, tergantung
macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk eksplan, metode budidaya in vitro
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan. Juga zat-zat tanaman yang dicampurkan pada medium dasar Suryowinoto, 1996.
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Jika suatu eksplan ditanam pada
medium padat atau dalam medium cair yang sesuai, dalam waktu 2–4 minggu, tergantung spesiesnya maka akan terbentuk kalus yang merupakan massa amorf dan
tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil poliferasi sel-sel jaringan induk Yuwono, 2006.
Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakkan kalus seperti akar, batang, dan daun. Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari
tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakkan. Beberapa biakkan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam
kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi Nasir, 2002. Membuat kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman
tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon yang banyak digunakan untuk induksi kalus adalah auksin. Induksi kalus dipengaruhi oleh auksin.
Tahapan induksi kalus adalah suatu tahapan yang penting dalam budidaya kultur jaringan. Tahapan inilah yang merupakan tahapan untuk mendapatkan tanaman utuh
atau untuk tujuan lain sesuai yang diinginkan. Sitokinin sering pula digunakan sebagai bahan kombinasi untuk induksi kalus Santoso Nursandi, 2004.
Untuk menghasilkan kalus yang baik, zat hara sangat berperan dalam merangsang pertumbuhan sel dengan cepat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman
yang dikulturkan secara in vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, yaitu meliputi hara-hara makro dan mikro. Hara makro
adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar seperti N, P, K, Ca, Mg dan S. Sedangkan hara mikro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah
sedikit seperti Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, dan Co.
2.6 Ethyl Methane Sulphonate EMS