Tahap Perilaku Seksual PERILAKU SEKSUAL

penetrasi memasukkan penis ke dalam vagina. Tingkatan ini disebut juga tahapan mendekati hubungan seksual secara utuh. m. Oral genital Oral genital berarti memberi stimulasi genital dengan mulut. Pemberian stimulasi ini juga biasa disebut coital sex. Tahapan ini juga disebut fellatiokarena memberikan stimulus dan kenikmatan seksual lewat mulut dan lidah. Apabila memberi stimulus pada alat vital wanita disebut dengan cunnilingus. Seseorang melakukan tahapan ini dengan cara menjilat,menghisap, berciuman dan gigitan. n. Anal sex Anal sex berarti perilaku seksual dengan memasukan alat kelamin pria atau benda lain melalui dubur pasangannya. Tekhnik ini biasa dilakukan oleh pasangan homoseksual. o. Coital sex playvaginal sex Perilaku seksual ini merupakan perilaku seksual yang paling wajar dilakukan oleh pasangan heteroseksual. Pada tahap ini penis dimasukkan ke dalam vagina. Adapun tahapan perilaku seksual menurut Rathus, Nevid dan Fichner 2008 terdiri dari : a. Foreplay atau perilaku seksual yang dilakukan tanpa adanya penetrasi alat kelamin. Seperti : berpelukan, berciuman, petting, dan kontak oral-genital. 1 Kissing : gerakan menyesap atau menyedot bibir dan lidah pasangan yang menyebabkan terjadinya saling bertukar ludah dari mulut pasangannya. a Simple kissing : dalam berciuman, pasangan sama-sama tetap menjaga mulut agar tertutup, dapat pula mulai menjilat bibir pasangan dengan lidah atau menggigit dengan perlahan bagian bawah bibir pasangan b Deep Kissing : gaya berciuman ini disebut juga dengan French Kiss atau berciuman dengan lidah pasangan dimasukkan ke dalam mulut pasangannya. b. Touching Perilaku seksual ini dilakukan untuk memberi kepuasan seksual dengan memegang bagian tubuh yang sensitif. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1 Stimulasi pada payudara Menyentuh payudara khususnya di daerah puting, biasanya dilakukan laki-laki pada perempuan. 2 Oral-genital Stimulation atau menstimulasi alat kelamin a Fellatio: perilaku menjilat penis yang biasa dilakukan oleh perempuan pada pasangannya b Cunnilingus: menjilat atau menstimulus vagina klitoris biasa dilakukan laki-laki pada pasangannya. c. Sexual Intercourse Aktifitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana penis atau alat kelamin laki-laki dimasukkan ke dalam vagina atau alat kelamin perempuan Ditinjau dari beberapa pengertian perilaku seksual diatas, dapat disimpulkan bahwa, perilaku seksual adalah tahapan atau tingkatan perilaku yang digunakan untuk menyalurkan hasrat seksual yang dimiliki oleh seseorang. Bagi remaja perempuan penelitian yang dilakukan untuk melihat perilaku seksual yang mereka lakukan masih sangat sedikit dibanding dengan perilaku seksual pada remaja laki-laki. Dari banyak penelitian di Indonesia tingkat perilaku seksual di SMA juga cukup tinggi. Kemudian jika dilihat dari tahap perilaku seksual dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tahap dimana tahapan tersebut dimulai dari tahap yang paling ringan atau touching yang berfungsi untuk memunculkan kenyamanan atau dapat dikatakan menjadi simbol afeksi yaitu berpegangan tangan dan berpelukan. Selanjutnya tahapan yang berfungsi untuk memunculkan hasrat seksual yaitu kissing, necking dan touching genital. Tahap yang terakhir ialah menyalurkan hasrat seksual untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme yang meliputi petting, oral sex dan sexual intercourse.

3. Faktor-faktor Penyebab Remaja Melakukan Perilaku Seksual

a. Faktor Keluarga Faktor keluarga memiliki peran penting untuk mengontrol perilaku seksual para remaja. Dengan pemberian informasi serta pemahaman yang utuh dari para orang tua tentang seksualitas mampu menghambat munculnya perilaku seksual yang menyimpang pada remaja Welling, Nanchahal Macdowal, 2001. Menurut Day dalam Banner 1993 jika seorang remaja, baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal satu rumah dengan ayah kandung mereka dapat memperlambat intercourse yang pertama kali dengan pasangan. Menurut Situmorang 2003 orang tua memiliki andil yang lebih besar untuk menjaga remaja perempuan mereka dalam hal perilaku seksual dengan lebih banyak memberikan pendidikan tentang seksualitas dan membatasi pergaulan anak perempuan mereka dibandingkan dengan anak laki-laki. b. Faktor pendidikan tentang seksualitas di sekolah Menurut Creagh 2004 pendidikan seksualitas di sekolah swasta Kristiani berbeda dengan pendidikan seksualitas di sekolah negeri. Di sekolah negeri pendidikan seksualitas dianggap tidak penting diberikan kepada murid-murid mereka karena ada anggapan bahwa murid yang terpilih dan bersekolah di sana merupakan murid pilihan yang berasal dari masyarakat menengah keatas yang sudah pasti tidak terlibat pada perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Di skeolah negeri pemberian pengetahuan seksualitas hanya sebatas mengundang tamu dari luar untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya seks yang tidak bertanggung jawab Berbeda dengan sekolah negeri, di sekolah Kristiani pendidikan seksualitas dianggap sangat penting. Sekolah memberikan pendidikan terbuka tentang seksualitas pada murid- murid di sana. Guru Bimbingan Konseling di sekolah Kristen atau Katholik menggunakan panduan UNICEF dicampur dengan akhlak yang sesuai dengan agama Kristen atau Katholik untuk memberikan pendidikans seks di sekolah. c. Faktor Gender Seorang laki-laki cenderung memiliki hasrat seksual yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa perempuan memiliki hasrat seksual yang cukup tinggi namun lebih bisa menahan diri untuk menyalurkannya dibanding dengan laki-laki Lendis dalam Mellis, 1971. Menurut Roscoe, Kennedy dan Pope dalam Banner 1993 perbedaan ekspektasi tentang intimasi dapat menyebabkan pengertian mengenai sex pada laki-laki dan perempuan. bagi laki- laki perilaku seksual merupakan alasan mereka memiliki hubungan dengan lawan jenis. Sedangkan bagi perempuan keterbukaan merupakan hal yang lebih penting dalam suatu hubungan. Remaja laki-laki, menurut Situmorang 2003 memiliki kesempatan dan kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan remaja perempuan. sedangkan anak perempuan memiliki kebebasan yang lebih sedikit dalam hal perilaku seksual. d. Faktor Perilaku Heteroseksual Pada penelitian yang dilakukan oleh Mutiara, Komariah dan Karwati 2010 diketahui bahwa relasi heteroseksual dapat memicu perilaku seksual. Menurut Hurlock 1976 relasi heteroseksual pada remaja dapat memicu perilaku seksual. Menurut Brannon 1996 perilaku heteroseksual merupakan perilaku yang wajar dimiliki oleh sebagian besar orang. Ketertarikan seksual dengan lawan jenis lebih mendominasi dibandingkan dengan sesama jenis. Santrock dalam Brannon 1993 mengatakan bahwa eksplorasi dalam seksualitas merupakan hal yang wajar dalam berkencan. Ketika remaja mulai melakukan aktifitas berkencan, kemungkinan untuk melakukan perilaku seksual menjadi tinggi. Menurut Hurlock 1980 ketika remaja telah matang secara seksual maka, baik laki-laki dan perempuan akan mengembangkan sikap baru pada lawan jenis pada kegiatan yang melibatkan leki- laki dan perempuan. Minat baru ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dari