Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
PKBI Kutanegara,dkk dalam Suwarni 2009 memperlihatkan remaja di Kalimantan Barat dan di kota Pontianak khususnya menunjukkan angka
yang tidak jauh berbeda. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Suryoputro, Ford, Shaluhiyah 2006 di berbagai sekolah di Indonesia
menampilkan prosentase serupa mengenai perilaku seksual remaja disana. Perilaku seksual sendiri dapat diartikan sebagai segala macam
bentuk kegiatan yang tujuannya untuk meyalurkan hasrat seksual yang dimiliki, biasanya terjadi diantara dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya Sarwono,1989. Menurut Masters,dkk 1982 dan menurut Rathus, dkk 2008 terdapat tingkatan perilaku seksual yang biasa
dilakukan oleh seseorang. Tingkatan tersebut yaitu memegang dan bergandengan tangan yang berarti salah satu bentuk sentuhan, berpelukan,
berciuman, menyentuh dengan memberi stimulasi pada bagian tubuh yang sensitif, memegang alat kelamin atau memberi stimulasi pada alat vital,
petting, oral genital, anal sex, dan coital sex playvaginal sex Perilaku seksual tersebut dapat dipicu atau dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Beberapa diantaranya ialah faktor gender, keluarga, pendidikan seksualitas di sekolah dan relasi heteroseksual.
Relasi heteroseksual di sekolah homogen dan di sekolah heterogen berbeda. Di sekolah homogen, remaja yang bersekolah di sana memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk memiliki relasi heteroseksual dibandingkan dengan remaja di sekolah heterogen. Hal tesebut
diakibatkan, relasi di sekolah homogen kebanyakan atau lebih sering dengan teman yang memiliki jenis kelamin yang sama.
Sekolah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberi pelajaran Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 19951996. Sekolah dapat dibagi menjadi 2 tipe
yaitu sekolah homogen dan sekolah heterogen. Sekolah heterogen berarti sekolah dengan murid yang memiliki
jenis kelamin berbeda di dalamnya yaitu murid laki-laki dan perempuan. Menurut KBBI 19951996 heterogen berarti terdiri atas berbagai unsur
yang berbeda sifat atau berlainan jenis. Jadi sekolah heterogen dapat diartikan sebagai lembaga atau bangunan yang muridnya terdiri dari jenis
kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Di sekolah heterogen remaja laki-laki dan perempuan mulai
berteman dengan remaja lain yang berbeda jenis kelamin, hal ini kemudian dapat memunculkan perasaan suka terhadap mereka satu sama lain
Sudariyanti, 2011
yang memungkinkan
untuk menarik
atau memunculkan pula hasrat seksual yang mereka miliki. Untuk para remaja
yang bersekolah di sekolah heterogen, tugas-tugas perkembangan yang dimiliki oleh remaja yaitu salah satunya memperoleh hubungan dengan
teman-teman sebaya antara dua jenis kelamin Garrison dalam Mappiare, 1982 dapat terlaksana dengan baik yang nantinya juga dapat
memunculkan hasrat seksual yang dapat pula menjurus pada perilaku seksual.
Para remaja di sekolah heterogen memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perilaku seksual karena masing-masing
remaja dapat melampiaskan keinginannya untuk melakukan perilaku seksual walaupun dalam tingkatan yang paling sederhana dengan lawan
jenis di sekolah. Berbeda halnya dengan remaja di sekolah homogen. Homogen
menurut KBBI 19951996 berarti terdiri atas jenis, macam, sifat, watak dsb yang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa sekolah homogen adalah
bangunan atau lembaga di mana murid yang belajar di dalamnya memiliki jenis kelamin yang sama. Menurut data faktual yang diamati sendiri oleh
penulis, ditemukan fakta bahwa di sekolah homogen perempuan maupun laki-laki banyak yang membicarakan tentang perilaku seksual yang sudah
pernah mereka lakukan. Pembicaraan yag dilakukan memperlihatkan bahwa remaja di sekolah homogen sudah pernah melakukan perilaku
seksual namun pada tahap yang rendah seperti bergandengan tangan sampai berciuman atau kissing saja.
Di sekolah homogen, remaja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berkenalan serta mengenal lawan jenis mereka di sekolah. Dari situ
kecil kemungkinan munculnya hasrat seksual dalam diri mereka dan kecil keinginan untuk menyalurkan hasrat seksual tersebut pada perilaku
seksual.
Dari kedua jenis sekolah yang berbeda ternyata remaja yang bersekolah di sana sama-sama ditemukan hasil pernah melakukan perilaku
seksual namun dalam tahapan yang berbeda. Di sekolah homogen remaja pernah melakukan perilaku seksual namun pada tahap yang rendah.
Sedangkan di sekolah heterogen, perilaku seksual yang ada sudah pada tahap yang lebih tinggi.
Hal ini memunculkan kemungkinan adanya hubungan antara perilaku seksual dengan jenis sekolah. akan tetapi dari beberapa penelitian
yang dilakukan mengenai perilaku seksual di sekolah belum ada yang meneliti kaitan perilaku seksual dengan jenis sekolah. Beberapa penelitian
tentang perilaku seksual melihat hubungannya dengan teman sebaya dan pendidikan orang tua Naryanti, 2001, pendidikan seksualitas dalam
keluarga dan jenis kelamin Trisminuratri, 2006, kontrol diri Primasari, 2004. Kemudian muncul keinginan untuk melakukan penelitian mengenai
perilaku seksual yang dikaitkan dengan jenis sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena, mungkin saja ada
hubungan dari perilaku seksual dengan jenis kelamin. Nantinya, setelah melihat hasil dari penelitian ini maka dapat dilihat tingginya perilaku
seksual remaja di sekolah homogen maupun heterogen agar nantinya dapat dipikirkan cara-cara pencegahan atau intervensi untuk menekan perilaku
seksual yang dilakukan secara bebas dan tidak bertanggung jawab pada remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas.