Sumber Data METODOLOGI PENELITIAN
                                                                                Konflik  mulai  memuncak  ketika  tokoh  utama  mencoba  untuk  jujur  kepada suaminya  mengenai  hubungannya  dengan  Anggoro.  Kejujuran  tokoh  uta ma  yang
diperlihatkan  dengan  menyerahkan  secarik  kertas  buram  bertuliskan From  Cilacap with Love, membuat suaminya marah. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
11 Tanpa  bicara,  kuserahkan  lipatan  kertas  buram  itu.  Suamiku  tak  sabar
membuka  dan  membacanya.  Kulihat  wajahnya  menunjukkan  ekspresi terkejut, atau tak percaya dengan apa yang ia baca.
Di  kertas  itu,  pada  bagian  akhir  tertulis From  Cilacap  with  Love .  Juga nama yang begitu jelas tertulis, “Anggoro Bekti Setiawan.”
Wajah  suamiku  mendadak  berubah. Merah  padam  menahan  amarah. Tatap matanya garang, baru kali ini aku melihat suamiku dengan tatapan
mata sebegitu tajamnya. Bibirnya terkatup rapat. Berdirinya begitu tegak. Sementara jemarinya menggenggam, begitu erat. hlm. 194
Konflik  pada  novel  ini  me ncapai  klimaksnya  pada  saat  tokoh  utama  tidak dapat menahan  gejolak  hatinya untuk mengungkapkan rahasianya bersama Anggoro
saat berada di Kaliurang. Ia tak dapat lagi menahan ganjalan yang menyiksa hati yang mengakibatkan  dirinya  stres  dan  juga  sering  meng urung  diri  di  kamar.  Sebagai
konsekuensi  kejujurannya,  tamparan  keras  dari  suaminya  dia  rasakan.  Hal  tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
12 Dan  aku  tetap,  tetap  saja  mengurung  diri  dalam  kamar.  Efek  dari
keterusteranganku  kemarin  sore  tak  begitu terasa.  Mas  Aji  belum  tahu yang  sesungguhnya.  Belum  tahu  peristiwa  yang  membuatku  stres,
memendam rasa bersalah yang tak terukur besarnya. Perasaanku memang sedikit  lebih  ringan,  tapi  rasa  bersalah  itu  tak  berubah.  Sesal  berselimut
dosa. hlm. 196
13 “Apa lagi yang kau sembunyikan? Apa yang kamu lakukan dengannya?”
“Aku … pernah ke Kaliurang berdua,” kataku terbata -bata. Plak
Tiba-tiba  kurasakan  tamparan  yang  k eras  dari  Mas  Aji  yang  tak  bisa menguasai  diri,  mendarat  di  pipiku.  Tamparan  itu  menjadi  tamparan
pertama dan terakhir seorang Aji Suprayogo.
“Tapi  Mas,  aku  bersumpah.  Demi  Allah  Mas,  kami  tak  melakukan  apa - apa. Aku segera tersadar waktu itu. Aku segera pulang saat belum sempat
masuk  pengi napan,”  kataku  dengan  suara  parau  di  antara  isak  tangis.
Tangan kananku memegangi pipi bekas tamparannya. Sakit. Mas  Aji  menunduk.  Wajahnya  tampak  menyesal  karena  telah
menamparku.  Wanita  yang  selama  ini  berjuang  mati -matian  untuk kebaikan keluarga. hlm. 205
                