antara  percaya  dan  tidak,  Mas  Anggoro.  Ya lelaki  itu  datang  ke  rumah, mengusik  kedamaian  yang  sedang  kami  nikmati.  Apa  maunya.  Dadaku
berdebar-debar.  Bukan  lagi  debaran  cinta  seperti  dulu.  Hanya  debaran kaget dan bingung. hlm. 212
Dari kutipan no. 92 —93, tampak rasa aman tokoh utama ketika mas ih anak-
anak  tidak  terpenuhi.  Rasa  tidak  nyaman  ia  rasakan  ketika  ayah  dan ibunya  terlibat dalam  pertengkaran,  biasanya  hal  ini  menjadikan  ia  sebagai  pelampiasan  amarah
ayahnya. Pada  saat  tokoh  utama  menginjak  usia  remaja,  rasa  tidak  aman juga ia rasakan  ketika  ia  mendapatkan  surat  dari  Anggit,  kekasihnya.  Surat  itu  berisi
pernyataan  Anggit  yang  tidak  dapat  meneruskan  hubungannya  dengan  tokoh  utama. Hal ini dapat dilihat pada kutipan no. 94.
Reaksi  tokoh  utama  dengan  menangis  dan  bibir  yang  terus  bergetar  t idak mampu berkata-kata menampakkan bahwa dia sedang bergumul dalam permasalahan
yang  serius,  hal  ini  menunjukkan  tokoh  utama  mengalami  rasa  tidak  aman.  Ia membayangkan masa depannya akan suram, hal ini tampak jelas pada kutipan no. 95
dan 96. Kutipan  no.  97
—100 memperlihatkan  bahwa  toko h utama  mengalami  rasa tidak  aman  dalam  lingkungan  kerjanya.  Ia  merasa  tidak  nyaman  dengan  sikap  dan
semua pertanyaan dari teman -teman sekerjanya berkaitan hubungannya dengan laki - laki yang bernama Anggoro.
Pada kutipan no. 101 dan 102, terlihat perasaan dan pikiran yang berkecamuk dalam  diri  tokoh  utama  saat  diajak  oleh  Anggoro  untuk  be ristirahat  di  vila  daerah
Kaliurang.  Rasa  takut  akan  terulangnya  kembali  peristiwa  sembilan  tahun  lalu  dan
takut  membayangkan  ke kecewaan  orang-orang  yang  dikasihinya merupakan
gambaran rasa tidak aman pada diri tokoh utama .  Kesadarannya pada sang pencipta akan dosa membuat tokoh utama semakin berani dan bersikap tegas ketika menolak
ajakan Anggoro. Perasaan  takut  dan  tidak  nyaman karena  masalah  perselingkuhan  yang
membelenggunya menimbulkan konflik batin pada diri tokoh utama.  Sebenarnya dia ingin  segera  berterus  terang  kepada  suaminya,  karena  dia  merasa  masalah  semakin
hari  semakin  menyiksa  batinnya. Perasaan  takut  akan  diceraik an  suaminya  selalu menghantuinya.  Hal  ini  tampak  pada  kutipan  no.  103
—106.  Bercerita  pada  ibunya merupakan  reaksi  tokoh  utama  agar  perasaan perasaannya  dapat  sedikit  merasa
nyaman,  tampak  pada  kutipan  no.  107.  Pada  kutipan  no.  108 tampak  adanya  rasa tidak aman pada diri tokoh utama akan kedatangan Anggoro ke rumahnya.
3. Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki
Dalam  novel Lintang,  kebutuhan  akan  rasa  cinta  dan  rasa  memiliki kurang didapatkan oleh tokoh utama dari suaminya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini.
109 Kesibukan  membuat  suamiku  sedikit  berubah.  Dia  menjadi  sosok  yang pendiam.  Waktu  di  rumah  benar -benar  dimanfaatkan  untuk  istirahat.
Tidur, atau duduk santai sambil merokok. Kesibukannya itu menimbulkan perasaan  tidak  nyaman  di  hatiku,  aku  mulai  tersisih.  Perhatian  Mas  Aji
padaku jauh berkurang. hlm. 83
110 Sambil  menggendong  Gilang,  hatiku  kembali  menjerit.  Kenapa  ujian hidup  tiada  berkesudahan.  Kenapa  pula  harus  aku  sendiri  yang
memikirkan  kesehatan  Gila ng.  Dimana  Mas  Aji?  Cukupkah  dia  hanya memberi nafkah lahir untuk keperluan pengobatan Gilang? Itupun selalu
terlambat.  Begitu  bebalnya  suamiku,  tak  bisa  merasakan  apa  yang  aku rasakan.  Hatiku  benar-benar  berontak.  Keadaan  semestinya  tidak  seperti
ini. Tak semestinya aku berdiri berdesak -desakan dalam mobil angkutan,
meninggalkan  pekerj aan  kantor,  menebalkan  telinga setiap  kali  teman kantor  membicarakanku.  Mas  Aji  memang  sibuk  bekerja.  Namun,  kalau
berniat meluangkan waktu, pasti bisa. Apalagi Mas Aji bekerja di Rumah Sakit  Dokter  Sardjito,  tempat  Gilang  menjalani  pengobatan  dan  terapi.
Bukankan Gilang anak kami berdua? hlm. 107
Setelah Aji kembali dari Philipina, Lintang tak juga merasakan kasih sayang dari  Aji.    Kekecewaan  Lintang  terhadap  Aji  lantaran  Aji  lebih  suka  bermain bridge
sambil  merokok  bersama  dengan  temannya.  Keinginan  Lintang  untuk  dapat bercengkrama dengan suaminya tidak terwujud. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan
berikut. 111 Namun  kepulangannya  membuatku  kecewa,  dia  pulang  bersama
temannya,  Joni.  Sebulan  terakhir  Joni  sering  sekali  datang.  Harapanku dapat bercengkraman dan mendiskusikan tugas kursus AMDAL itu buyar
seketika.  Setelah  membukakan  pintu,  aku  langsung  masuk  ke  dalam rumah,  karena  tak  ada  harapan  lagi  bagiku  untuk  dapat  berdua  dengan
suamiku malam  ini.  Aku  sudah  bisa  menebak,  apa  yang  bakal  terjadi . Kartu bridge berjajar di  meja, asap rokok mengepul memenuhi ruangan,
juga obrolan ngalor ngidul. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tak akan ada waktu untukku. hlm. 137
—138 Lintang mengharapkan perhatian dari suaminya saat ia akan mengikuti kursus
AMDAL yang  diadakan  oleh  kantornya.  Ia berharap  Aji  berharap  Aji  akan menanggapinya  dengan  serius,  namun  seperti  yang  dibayangkannya  Aji  hanya
menanggapi dengan komentar biasa -biasa saja. Hal ini tedapat pada kutipan berikut.
112 Jawaban  Mas  Aji  tepat  seperti  bayanganku.  Mas  Aji  tak  pernah mengekangku  soal  karir.  Seperti  juga  dia  tidak  pernah  merasa  ada
masalah dalam hidupnya. Terlalu cuek dan santai. hlm. 139
Lintang  sering  meneteskan  air  mata.  Hal  ini  merupakan  reaksi  tidak terpenuhinya rasa cinta dan rasa memiliki dari Aji, suaminya. Sering ia memberontak,
baik  dengan  kata-kata  halus  maupun  dengan  kemarahan. Reaksi  ini  terlihat  dalam kutipan berikut.
113 Tak tertakar berapa air mata yang kucurahkan, merasakan tabiat suam iku semakin  menghujamkan  sembilu  ke  ulu  hati.  Perih.  Harus  dengan  cara
apa  lagi  aku  berontak?  Kalimat  halus  hanya  disepelekan.  Kemarahan hanya  akan  menyiksa  diriku.  Semakin  diam,  aku  semakin  tersisih.
Apakah  suamiku  memang  sudah  tak  punya  hati?  Tak  punya  rasa? hlm. 144
Sikap Aji sangat cuek dan kurang perhatian terhadap urusan rumah. Jika sudah seperti  itu,  Lintang  hanya  bisa  menggelengkan  kepala  dan  mengelus  dada.    Hal  ini
terdapat pada kutipan berikut. 114
“Bu, aku mau tenis dulu, abis tenis langsung ke rumah sakit.” Mas  Aji  berjalan  tergesa-gesa,  mengeluarkan  sepeda  motor  dari  garasi.
Memanaskan  mesin  motornya  sejenak,  kemudian  berlalu  dengan  motor merahnya.  Aku  hanya  menggelengkan  kepala,  dan  mengelus  dada.  hlm
145
Lintang adalah orang  yang anti dengan asap rokok, namun akhirnya ia nekat merokok.  Hal  ini  merupakan  reaksi  Lintang  yang  ingin  memberontak  kepada  Aji,
suaminya. Tidak terpenuhinya rasa cinta dan rasa memiliki ini mendorongnya untuk merokok,  dia    berpikir  dengan  merokok  mungkin  suaminya  akan berubah  dan
memperhatikannya. Di bawah ini adalah kutipan yang menunjukkan hal tersebut. 115 Kututup  rapat  dan  kukunci  pintu  kamar,  karena  khawatir  kala u tiba-tiba
Anti  membuka  pintu.  Cepat  kuraih  bungkus  rokok  di  atas  meja.  Masih ada  empat  batang.  Kusu st  batang  pertama.  Kuhisap,  lalu  kukepulkan
asapnya. Persis seperti yang dilakukan suamiku. Ini pertama kali seumur hidupku merokok. Beberapa kali aku batuk -batuk, karena asap memenuhi
tenggorokkan  dan  menyesakkan  dada,  tapi  aku  tak  mau  menyerah.  Ini pemberontakan, aku ingin suamiku juga tahu. Aku bisa melakukan seperti
yang ia lakukan. hlm. 146
Lintang merasakan kekecewaan karena  sikap  Aji,  meskipun  Lintang  telah menghabiskan  empat  puntung  rokok,  Aji  tidak  terlalu  menggubrisny a.  Aji  tidak
memperhatikannya,  hanya  sesal  yang  Lintang  rasakan.  Hal  ini  terlihat  pada  kutipan berikut.
116 Jantungku  seakan  hampir  berhenti  berdetak.  Kenapa hanya  itu?  Kenapa sebatas  itu  Mas  Aji  menanggapi  pemberontakan  yang  sudah  kulakukan
dengan susah payah? Seharusnya dia kaget alang kepalang. Tidakkah dia khawatir? Mengapa dia tidak memarahiku? Perasaanku hancur, dongkol,
marah, malu. Malu pada diri sendiri. Amarah dan emosi telah membuatku nekat melakukan hal sia-sia. Aku sadar, seharusnya aku tidak melakukan
perbuatan konyol itu. Bersusah payah, berkorban, menahan sesak di dada demi  menghabiskan  empat  batang  rokok.  Tetap  saja  hasilnya  nihil.
Perhatian  suamiku  tak  juga  aku  dapatkan.  Yang  ada  hanya  penyesalan. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Kena pa begitu bebal?  hlm. 147
Aji sangat sulit untuk ditemui dan cuek dengan omongan tetangga mengenai dirinya.  Ia  dan  teman-temannya  sangat  hobi  main bridge sehingga  tidak  ada  waktu
untuk  Lintang,  istrinya.  Lintang  tidak  ada  kesempatan  untuk  berbicara  mes ki  lewat telepon. Hal ini terlihat paa kutipan berikut.
117 Siang tadi, aku menelepon ke Rumah Sakit Sardjito, ingin menghubungi suamiku.  Aku  sudah  mempertimban gkan  dengan  cermat  kapan  waktu
yang  tepat  untuk  menelepon, yaitu  waktu  Mas  Aji  selesai  praktik  dan belum pulang. Terlambat sedikit saja, Mas Aji sudah pergi. Meski sudah
menelepon  tepat  waktu,  ternyata  aku  masih  kalah  cepat  dengan  Joni. Begitu  kata  bagian  resepsionis.  Katanya  sejak  sebelum  selesai  praktik
Mas  Aji sudah  ditunggui  pria  berkulit  putih, tinggi, plonthos.  Pasti Joni. Siapa  lagi  kalau  bukan  Joni?  Dan  apa  lagi  yang  ada  dalam  otak  mereka
berdua,  selain  kartu-kartu  sialan  itu? Bridge  Hobi  yang  membuat kesabaranku nyaris habis. hlm. 158
118 …Suamiku  sangat  cuek.  Dia  lebih  senang  berkumpul  dengan  teman -
temannya ketimbang bercengkrama dengan keluarga. Saat ini dia sedang gila  bermain bridge.  Seenak  hati  dia  bekumpul  d engan  teman-temannya
di  rumah  kami  setiap  malam.  Praktis,  kebiasaan  suamiku  menjadin pergunjingan  tetangga.  Tapi  dasar  suamiku  sudah  tak  punya  hati,  tak
punya  rasa.  Dia  sama  sekali  tak  terpengaruh  omongan  tetangga.”  hlm. 162
Lintang sangat  senang  saat  mendapatkan  perhatian  dari  Anggoro.  Selama bersama Aji tidak pernah ia mendapatkan perhatian seperti itu. Hal ini terdapat pada
kutipan berikut ini. 119
“Kok merokok? Sudah sering?” tanya Mas Anggoro penuh selidik. Mendengar  pertanyaannya,  hatiku  semakin
berbunga-bunga.  Aku membutuhkan  perhatian  itu.  Aku  rindu  perlakuan  seperti  itu.  Perlakuan
yang  selama  ini  aku  harapkan  dari  suamiku,  namun  tak  pernah kudapatkan.hlm. 160
120 Apalagi selama aku dirawat di rumah sakit, Mas Anggoro hampir setiap hari  datang  menjenguk.  Dia  tak  pernah  datang  dengan  tangan  kosong.
Kadang  membawakan  makanan,  kadang  bacaan -bacaan  ringan  untukku. Perhatian Mas Anggoro itu membuatku menjadi manusia  yang berharga,
sesuatu  yang  sanagt  kuharapkan  bisa  aku  peroleh  dari  suamik u.  Bukan hanya  itu,  Mas  Anggoro  bahkan  rela  membawakan  baju  ko torku  ke
loundry, lalu mengantarnya kembali setelah bersih. hlm. 168
121 Justru  yang  terjadi,  semakin  hari  hubun gan  kami  semakin  dekat.  Pernah sekali waktu Mas Anggoro telepon ke kantor, hanya sekedar menanyakan
apakah aku sudah makan siang atau belum. Meski hanya sekedar bertanya soal makan siang atau belum. Meski hanya sekedar bertanya soal makan
siang, tapi bagiku itu sangat berarti. Perhatian seorang lelaki yang sangat aku  harapkan,  ternyata  bisa  dipenuhi  oleh  Mas  Anggoro,  bukan  dari
suamiku sendiri. hlm. 178
Saat  dihadapkan  dengan  Anggoro  yang  penuh  dengan  perhatian,  Lintang mulai membandingkan dengan sikap Katriningsih teman sekantornya dan juga sikap
suaminya sendiri. Sikap Lintang ini merupakan reaksi yang muncul karena perhatian teman dan suaminya tidak ia dapatkan. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
122 Berbeda dengan Katriningsih, teman satu kanto r dan satu kamarku itu tak pernah  menjengukku.  Tak  urung  sikap  itu  menjadi  bahan  perbincangan
sesama peserta kursus.  hlm. 168 123 Saat  aku  berjumpa  dengannya,  tak  ada  yang  berubah  dari  dia.  Dia  tetap
memberi  perhatian  lebih  padaku.  Dia  pribadi  yang  sa ngat  baik  dalam
bekerja  sama.  Aku  menyaksikannya  sendiri  saat  penyusunan  laporan kkelompok. Dia juga tipe pekerja keras, begitu fokus saat bekerja. Tidak
seperti… Ah, aku tak pantas membandingkan mereka. hlm. 177
Emosi  yang  memuncak  membuat  Lintang  mengucapkan  kata  perceraian kepada Aji, suaminya. Reaksi Lintang ini terjadi karena kurangnya kasih sayang Aji,
tetapi  hal  tersebut  membuat  ia  menyesal  karena  ucapannya  diketahui  oleh  anaknya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
124 “Aku sudah tak tahan jadi istrimu, Mas. Aku minta cerai saja”
Sungguh  aku  mengucapkan  kalimat  itu  tanpa  sadar,  hanya  karena  emosi yang  mencapai  puncak.  Suamiku  yang  biasanya  santai,  mendengar  kata -
kataku  juga  kaget  bukan  kepalang.  Dan  terlebih  yang  memb uatku menyesal, saat itu ternyata Anti mendengar. hlm. 238
Setelah  menikah  dengan  Aji,  perhatian  dan  rasa  kasih  sayang  tidak  didapat oleh  tokoh  utama.  Tokoh  utama  sering  meneteskan  air  mata.  Hal  ini  merupakan
reaksi  tidak  terpenuhinya  rasa  cinta  dan  ras a  memiliki  dari  Aji,  suaminya.    Hal ini tampak pada kutipan no. 109
—114. Pada kutipan no. 115 dan 116, tokoh utama ingin memberontak  dengan  cara  ia  merokok.  Hal  ini  dilakukan  semata -mata  untuk
mendapatkan  perhatian  dari  suaminya,  meski pun  hal  tersebut  hanya  sia -sia  dan kecewa yang di dapat. Kutipan no. 117 dan 118 memperlihatkan bahwa suami tokoh
utama sangat cuek dan tidak memiliki waktu untuk istrinya. Saat  dihadapkan  dengan  Anggoro  yang  penuh  perhatian,  Lintang  mulai
membandingkan  dengan  sikap  Katriningsih  teman  sekantornya  dan  juga  sikap suaminya sendiri. Sikap Lintang ini merupakan reaksi yang muncul karena perhatian
teman  dan  suaminya  tidak  ia  dapatk an.  Hal  ini  tampak  pada  kutipan  no. 119 —123.