BAB III DESKRIPSI GORDANG SAMBILAN
3.1. Latar Belakang Gordang Sambilan
Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang. Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gordang Sambilan
merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing. Pengertian secara
harfiah ini sejalan dengan pendapat Edi Nasution “Perkataan gondang mengandung beberapa arti: 1 alat musik; 2 nama lagu atau repertoar; 3 komposisi musik; 4 jenis
musik tertentu; dan 5 sebagai musik itu sendiri. Sedangkan istilah gordang jelas tidak sama dengan gondang.” Surat Edi Nasution, tanggal 17 – desember – 2007, hal ini
semakin ditegaskan kembali oleh Edi Nasution “Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma berladang di bukit-bukit, baik
tanaman palawija maupun padi. Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam tugal yang disebut Ordang yang digunakan untuk melobangi tanah, setelah
tanah berlobang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut
Mangordang, sedangkan menurut Ahmad Samin Siregar 1977:87 adalah, Gondang merupakan gendang, dalam artian gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang,
dalam artian sebagai gendang besar dalam hal ini gordang sambilan. Informan dilapangan menyebutkan bahwa asal mula Gordang Sambilan
merupakan wujud dari 9 sembilan ripe ripa puak kampung
1
yang terdapat di daerah Huta Pungkut. Pada zaman dahulu, disaat diadakannya upacara di daerah Huta Pungkut
maka ke 9 sembilan kepala kampung atau Raja Pamusuk tersebut akan berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Dari 9 sembilan kepala kampung atau pengetua adat
tersebut ada satu orang yang diangkat sebagai seorang Hatobangon yang merupakan perwakilan dari suatu kampung. Seorang Hatobangon dipilih berdasarkan pertimbangan
usia serta pengalaman, pemahaman adat yang dimilikinya.
1
Keterangan ini didapat melalui hasil wawancara dengan Bapak Samsul Bahri Lubis, Bapak Ridwan Nasution.
Persekutuan diantara 9 sembilan kampung tersebut memiliki seorang raja daripada raja yang disebut dengan Raja Panusunan. menurut L. S Diapari gelar Patuan
Naga Humala Parlindungan, Raja Panusunan merupakan peralihan nama dari sebelumnya yaitu Raja Janjian. Raja Janjian merupakan kepala atau raja dari suatu persekutuan
kampung-kampung di Mandailing sebelum kedatangan Belanda sedangkan Raja Panusunan merupakan Raja Pamusuk di kampungnya sedangkan Raja Pamusuk
merupakan pengetua adat atau biasa disebut raja kampung 1990:160. Gordang Sambilan yang terdiri dari sembilan buah gendang, memiliki penamaan
yang berdasarkan ukuran, adapun ukuran Gordang yang terbesar disebut dengan Jangat, Jangat ini terdiri dari dua buah gendang terbesar, selanjutnya adalah Hudong-Kudong,
sama seperti Jangat, Hudong-Kudong ini terdiri dari dua buah gendang, adapun Gordang selanjutnya disebut dengan Padua, lalu Gordang berikutnya adalah Patolu, penyebutan
kedua Gordang tersebut mewakili empat buah gendang, masing-masing dua buah gendang Padua dan dua buah gendang Patolu, yang terakhir pada susunan Gordang
Sambilan adalah Enek-enek, yang berjumlah satu buah gendang. Adapun susunan Gordang Sambilan, tampak pada gambar berikut :
Foto 3 Susunan Gordang Sambilan
Sumber foto : Irwansyah Harahap Pemberian nama pada setiap bagian Gordang Sambilan tidaklah sama di beberapa
wilayah Mandailing. Di daerah Pakantan untuk sepasang Gordang yang paling besar disebut Jangat. Pasangan berikutnya yang lebih kecil dari Jangat disebut Hudong-
Kudong. Pasangan-pasangan berikutnya tersebut Padua dan Patolu, dan yang paling akhir dari susunan Gordang Sambilan dinamakan Enek-enek.
Di daerah Ulu Pungkut dan Tamiang, nama-nama Gordang ini dilihat dari ukuran yang terbesar hingga terkecil, yaitu : Jangat, yang terdiri dari tiga buah gendang, dan
masing-masing memiliki penamaan yang berbeda, Jangat Siangkaan untuk penyebutan pertama, kemudian Jangat Silitonga untuk menyebutkan urutan yang kedua, kemudian
Jangat Sianggian, untuk ketiga. Pasangan gordang pada urutan keempat dan kelima disebut Pangoloi, sedangkan pasangan Gordang urutan keenam dan ketujuh disebut
Paniga. Gordang urutan kedelapan disebut dengan Hudong-Kudong serta yang kesembilan pada daerah Huta Pungkut disebut Teke-teke dan pada daerah Tamiang
disebut Eneng-eneng. Dalam adat Mandailing kedudukan musik yang mempergunakan ensambel
Gordang Sambilan dianggap lebih tinggi dari ensambel musik lainnya, karena pada kenyataannya bahwa untuk meletakkan perangkat musik Gordang Sambilan di tenpat
berlangsungnya upacara, harus terlebih dahulu diadakan upacara tersendiri dengan menyembelih seekor kambing, kemudian dilakukan pemukulan Jangat sebagai tanda
permohonan izin kepada arwah leluhur. Memukul Jangat ini dinamakan Maniggung Gordang. Setelah acara ini selesai barulah Gordang Sambilan dapat dipergunakan
menurut informan penulis Bapak Ridwan Nasution. Gordang Sambilan ini pada penggunaannya hanya boleh dipergunakan atas izin
dan kehendak raja
2
, hal ini dibuktikan dengan adanya tempat penyimpanan khusus Gordang Sambilan yang disebut dengan Bagas Godang, tempat tersebut berada disekitar
lingkungan tempat tinggal raja tersebut. Penggunaan Gordang Sambilan merupakan suatu bentuk seni pertunjukan musik yang melibatkan aspek lain dari suatu bentuk kehidupan
sosial, hal ini terlihat dari penggunaan Gordang Sambilan yang harus melalui izin raja serta memiliki tempat penyimpanan tersendiri yang terdapat pada halaman rumah raja
Bagas Godang.
3.2. Pertunjukan Gordang Sambilan