Tahapan Pertunjukan Gordang Sambilan

Perbedaan penggunaan Gordang Sambilan antara bentuk upacara adat dan hiburan secara kasat mata terlihat bahwa dalam penggunaan Gordang Sambilan dalam bentuk upacara adat disertai dengan perlengkapan adat dan tata urutan acara yang sesuai dengan ketentuan adat Mandailing namun pada bentuk penggunaan Gordang Sambilan secara hiburan tidak memerlukan adanya perlengkapan adat dan tata urutan penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan adat. Penggunaan secara hiburan dapat dianggap sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kesenian tradisional masyarakat Mandailing, yaitu kesenian Gordang Sambilan. Secara fungsi, Gordang Sambilan tidak mengalami perubahan fungsi karena fungsi Gordang Sambilan di kota Medan tetaplah sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing, perubahan yang tampak adalah pada aspek penggunaan, pada awalnya penggunaan Gordang Sambilan adalah sebagai bagian dalam rangkaian upacara atau acara adat namun pada saat sekarang di kota Medan penggunaan Gordang Sambilan berubah menjadi penggunaan pada bentuk hiburan sepenuhnya.

3.2.2. Tahapan Pertunjukan Gordang Sambilan

Pertunjukan Gordang Sambilan pada dasarnya merupakan bentuk pertunjukan yang boleh dilakukan atas izin Raja namun pada perkembangannya di kota Medan, pertunjukan Gordang Sambilan dapat dilakukan tanpa izin raja, posisi raja sebagai pemberi izin dimanifestasikan dalam bentuk pengetua-pengetua adat ataupun orang yang dituakan dalam masyarakat Mandailing di kota Medan. Pertunjukan Gordang Sambilan pada acara adat dimulai dengan pemberian sesajian kepada arwah-arwah leluhur dan permohonan kepada arwah leluhur, namun acara seperti ini tidak lagi dilakukan di kota Medan disebabkan karena nilai-nilai agama telah merasuki masyarakat Mandailing sehingga kegiatan yang bertentangan dengan agama tidak lagi dilakukan, agama menganggap kegiatan seperti itu merupakan perbuatan dosa musyrik. Kemudian acara dilanjutkan dengan mufakat raja-raja yang dalam hal ini diwakilkan pada pengetua adat, kemudian pemukulan gordang dua yang dilakukan oleh dalihan na tolu lalu dilanjutkan oleh datu peruning-uningan ahli gordang kemudian dimulai permainan Gordang Sambilan, selama permainan Gordang Sambilan diiringi oleh tari sarama 4 yang dibawakan oleh datu, kemudian dilanjutkan dengan permainan gordang dua lalu acara manyoda gordang dan acara adat pun selesai. Adapun pertunjukan Gordang Sambilan berlangsung selama 2 dua hari berturut-turut dimulai dari pagi hari hingga sore hari keesokan harinya. Penyelenggaraan pertunjukan Gordang Sambilan di kota Medan memiliki 2 dua sistem susunan acara, yaitu secara adat atau hiburan, pada penjelasan berikut ini dijelaskan susunan acara menurut adat karena susunan acara hiburan tidak memiliki sifat mengikat dalam artian penggunaan Gordang Sambilan tidak serumit penggunaan secara adat. Sebelum dijelaskannya lebih lanjut mengenai tahapan pertunjukan Gordang Sambilan, terlebih dahulu dijelaskan mengenai perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan pada acara adat Mandailing yang menggunakan Gordang Sambilan, perlengkapan tersebut. Di dalam adat Mandailing burangir sirih memegang peranan penting, karena kehadiran burangir menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan sifatnya menurut adat. Burangir diperlukan jika akan mengundang raja-raja adat atau jika melakukan suatu sidang adat. Dalam bahasa adat burangir disebut napuran. Yang dimaksud dengan burangir di dalam hal ini bukan meliputi sirih saja, tetapi termasuk perlengkapannya, yaitu sontang gambir, soda kapur sirih, pining pinang dan timbako tembakau serta bahan lainnya, seperti : itak, poltuk, sira, nyiro, pege, nira, nyiro disahan, gulaen nalom- lom. Dalam bahasa adat keseluruhan perlengkapan burangir disebut opat ganjil lima gonop, istilah berarti bahwa perlengkapan yang lima tersebut harus lengkap baru disebut genap. Sirih beserta panyurduannya yang disebut dengan salipi partaganan atau haronduk sumpit yang terbuat dari pandan kemudian dibungkus dengan kain tonun patani kain adat. Dalam acara adat selalu disebut burangir si rara uduk, si bontar adop- adop, sataon so ra busuk, sa bulan so ra malos, istilah secara harfiah dapat diartikan sebagai setahun tidak bisa busuk rusak, sebulan tidak layu. 4 Menurut Syamsul Bahri Lubis, tari sarama ini mengikut pada jenis lagu yang dibawakan, seperti sarama babiat ataupun sarama datu, tarian sarama datu dibawakan oleh datu dengan posisi kaki diam serta tidak banyak bergerak serta posisi mata yang menghadap keatas yang bermakna sebagai permohonan izin kepada Tuhan, tarian sarama dibawakan dalam kondisi kesurupan yang telah diatur sedangkan menurut Irwansyah Harahap, sarama merupakan tindakan trance atau kesurupan yang dialami oleh dukun datu. Bagi masyarakat Mandailing yang masih memegang teguh adat, sirih yang telah tersusun dan disodorkan merupakan bentuk tutur kata dan sopan santun yang tidak ternilai harganya. Melalui sirih orang akan mudah memberi sesuatu, mudah untuk memaafkan segala kesalahan, mudah untuk berbuat serta mudah untuk untuk saling menolong. Pada penyelenggaraan acara adat dengan menggunakan Gordang Sambilan, setidaknya burangir sirih dipergunakan sebagai persembahan kepada raja-raja atau pengetua adat, yaitu : burangir panyomba persembahan serta burangir pataonkon. Selain penggunaan sirih pada penyelenggaraan upacara adat yang menggunakan Gordang Sambilan, juga termasuk dalam alat upacara adat adalah : kain adat ulos adat ulos adat mandailing disebut dengan nama tonun patani yang memiliki warna coklat kemerah-merahan yang dikombinasikan dengan menggunakan benang emas dan sirumbai dengan benang emas juga. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan kesan kewibawaan dan magis-religius. Oleh karena ulos jenis ini sudah sangat langka maka dalam setiap upacara adat digunakan kain ulos tenunan Sipirok yang disebut dengan abit godang. Pada upacara adat dengan sifat horja siriaon upacara adat suka cita diperlukan adanya pintu gerbang yang dibuat di pekarangan rumah serta simpang jalan menuju rumah pintu gerbang ini pada umumnya berjumlah 2 buah, pintu gerbang ini bermakna sebagai lambing penyambutan pada para tamu yang nantinya hadir dalam upacara adat tersebut. Pintu gerbang tersebut terbuat dari bambu dan daun kelapa serta terdapat tulisan horas tondi madingin sayur matua bulung yang berarti doa dan harapan agar acara ini berikut dengan semua yang hadir diberikan kesejahteraan dan panjang umur. Disamping penggunaan bambu dan daun kelapa muda yang dibuat pintu gerbang, juga dihiasi dengan daun beringin yang bermakna sebagai tempat berlindung, pohon pisang yang memiliki makna sebagai perkawinan yang bersifat kekal, sanggar yang bermakna tekun, tabah, dingin-dingin memiliki makna kesejukan dan kedamaian, tebu memiliki makna agar kehidupan berjalan dengan manis, silinjuang silang sae suada mara bermakna sebagai selamat tanpa mara bahaya. Selain hal-hal yang telah disebutkan ada juga perlengkapan penting yang harus ada dalam setiap penyelenggaraan gordang sambilan pada konteks upacara adat, yaitu peralatan adat yang mencakup bendera adat mandera adat, payung adat berwarna kuning keemasan dan diberi rumbai jambul, pedang podang dan tombak, langit-langit dan tabir, rompayan serta pelaminan. Berdasarkan peralatan adat ini dapat diketahui siapa yang menyelenggarakan acara, jenis acara dan seberapa besar acara tersebut, keseluruhan peralatan adat ini disebut dengan paraget atau pago-pago, keseluruhan peralatan tersebut di pasang di halaman. Dari peralatan adat tersebut ada 5 lima peralatan yang satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, artinya kelima peralatan ini harus lengkap dalam arti tidak boleh kurang satu pun diantaranya, adapun peralatan adat tersebut adalah bendera adat, payung adat, pedang dan tombak, langit-langit dan tabir serta rompayan. Bendera adat sendiri terbagai atas 9 sembilan macam yang memiliki makna masing-masing dan sebagai tiang bendera dipergunakan bambu yang telah diatur dapat berdiri dalam posisi terkulai dengan ujung yang menjulur kearah luar atau dalam , arah ini menentukan apakah acara adat tersebut bersifat siriaon atau siluluton. Adapun beberapa bentuk dan warna bendera adalah : 1. Mandera Merah Putih, dipasang di halaman dengan posisi berdiri tegak lurus dan memiliki makna bahwa Mandailing bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Mandera Raja Panusunan atau disebut dengan Tonggol Raja berbentuk segitiga dengan panjang 3 tiga meter serta memiliki warna kuning keemasan yang menggambarkan kebangsawanan raja. 3. Mandera raja-raja Desa Na Walu atau disebut dengan Tonggol Raja Desa Na Walu yang berbentuk segitiga dengan panjang 3 tiga meter serta memiliki warna dasar kuning, hitam dan merah. 4. Mandera Harajaon kerajaan berbentuk persegi panjang dengan ujung lancip seperti segitiga dan panjang 7 tujuh meter, lebar 54 cm, berwarna kuning yang memiliki makna sebagai ketinggian adat martabat dan kebangsawanan dari setiap kerajaan di Mandailing tidak memiliki cacat atau disebut dengan kuning bersih nada martias sanga marlandon, diujungnya dibuat jambul dari kain kuning itu juga dengan bentuk setengah lingkaran. 5. Mandera Lipan-lipan, bentuk dan coraknya meyerupai lipan dengan panjang 7 tujuh meter, lebar 54 cm, berbentuk persegi panjang dengan ujung runcing menyerupai segitiga dan diujungnya diberi kain warna merah dengan bentuk setengah lingkaran dan pada bagian kanan bendera diberi jambul benang berbentuk silang dengan warna merah, kuning, putih dan selang-seling. Pada dasarnya bendera ini menggambarkan binatang lipan betina yang berbisa dan ditakuti, warna merah, putih dan hitam dalam posisi selang-seling mengikuti lebar bendera dengan ukuran setiap warna adalah 30 cm. 6. Mandera Siarabe atau biasa disebut dengan Mandera Sende Jantan yang memiliki panjang 7 tujuh meter dan lebar 54 cm. berwarna merah, hitam, putih, kuning. Warna-warna ini berbentuk segitiga dan dibuat dalam posisi selang-seling berbentuk runcing seperti tanda panah dan diberi jambul pada setiap ujungnya yang terbuat dari benang yang sama dengan warna kain. 7. Mandera Alibutongan atau disebut dengan Mandera Marawan di Langit yang berarti bendera pelangi atau awan dilangit, yang memiliki panjang 7 tujuh meter, lebar 54 cm serta warna merah, putih, hitam, dibentuk segitiga dan disusun menurut garis lurus dari kiri ke kanan. Selain bendera adat sebagai peralatan adat, ada juga yang harus dilengkapi sebagai bagian dari peralatan adat, yaitu tanduk kerbau yang dibalut dengan kain berwarna kuning yang menandakan bahwa acara adat tersebut diselenggarakan oleh keturunan raja-raja Mandailing. Setelah seluruh peralatan adat terlengkapi maka berlanjut pada susunan pertunjukan Gordang Sambilan yag pada umumnya meliuputi : Manyantan Gondang Dalam adat kebudayaan Mandailing, sirih memegang peranan penting dalam setiap acara adat, baik yang bersifat siluluton maupun siriaon, terutama pada setiap pembukaan acara, baik acara makobar sidang ataupun memulai setiap bentuk acara lainnya. Dalam hal membunyikan uning-uningan 5 alat musik atau bunyi-bunyian pada acara-acara adat, yang akan membunyikan uning-uningan ini disurdu burangir yang berarti pemberian sirih, dalam pertunjukan Gordang Sambilan acara ini disebut acara 5 Didalam masyarakat adat Mandailing dikenal alat musik atau bunyi-bunyian uning-uningan yang dinamakan dengan gondang tunggu-tunggu dua, yaitu gondang topap yang terdiri dari 2 dua buah dan gordang sambilan yang berjumlah 9 sembilan buah. Jika uning-uningan dibunyikan, biasanya disertai dengan tor-tor tarian adat Pandapotan, 2005 : 141. manyantan atau manyoda gondang, adapun susunan acara ini adalah : para pemain Gordang Sambilan duduk bersama diatas tikar kemudian diberikan sirih disurdu burangir, hal ini bertujuan agar para pemain bersedia untuk memainkan Gordang Sambilan tersebut serta ikhlas hati dalam memainkannya., kemudian Gordang Sambilan terlebih dahulu disantani, disantani merupakan prosesi tepung tawar, adapun campurannya adalah santan kelapa dicampur dengan beras ketan merah, lalu hasil campuran tersebut dipercikkan pada Gordang Sambilan dengan menggunakan daun dingin-dingin, acara manyantani ini bertujuan agar pemain Gordang Sambilan bermain dengan baik serta tidak ada halangan yang dalam pelaksanaan acara nantinya. Pemukulan Gong Dalam bentuk pertunjukan Gordang Sambilan sebagai pengisi acara adat Mandailing, Gordang Sambilan difungsikan sebagai manifestasi adat Mandailing, hal ini terlihat dari pemukulan gong sebagai tanda telah datang raja pada acara tersebut, pemukulan gong ini bertujuan agar para tamu dapat mengetahui bahwa raja telah hadir pada acara tersebut dan kepada orang yang mempunyai acara tersebut, pemukulan gong tersebut berfungsi agar tuan rumah selaku pemilik hajatan mempersiapkan diri untuk menyambut raja. Maniggung Gordang pemukulan gordang Pada acara maniggung gordang, yang melakukannya adalah perwakilan dari raja panusunan, pada prakteknya pemukulan ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang dapat dianggap sebagai tokoh masyarakat Manadailing maupun pengetua adat atau orang-orang tua Mandailing di kota Medan. Tor-Tor Pada upacara-upacara adat Mandailing selalu disertai dengan acara manortor, pada dasarnya acara manortor ini diselenggarakan pada acara-acara adat margondang, namun pada proses perkembangannya manortor ini juga dilakukan pada acara-acara hiburan dengan tujuan agar menarik perhatian dengan cara merubah gerakan tor-tor menjadi suatu tarian yang menarik bagi penontonnya. Tor-tor memiliki aturan dalam pelaksanaannya yang dikategorikan berdasarkan kedududukannya di dalam upacara adat tersebut, berdasarkan kelompoknya, manortor terbagi atas : 1. Tor-tor Suhut, Kahanggi Suhut, Mora dan Anakboru. 2. Tor-tor Raja-raja. 3. Tor-tor Raja Panusunan, 4. Tor-tor Naposo Bulung. Pada setiap penyelenggaraan upacara adat maupun hiburan yang menggunakan gordang sambilan di kota Medan, tor-tor yang dilakukan pada umumnya termasuk dalam kelompok tor-tor Naposo Bulung tor-tor muda-mudi dengan tujuan agar semua orang dapat manortor sehingga kemeriahan upacara adat tidak terbatas pada pihak penyelenggara upacara adat melainkan dapat memberikan hiburan tradisional kepada masyarakat sekitar lokasi upacara adat tersebut. Manyoda Gondang menutup acara gordang Dalam susunan acara adat selalu dimulai dengan acara pembukaan dan diakhiri dengan penutupan acara, dalam penutupan acara dimana pertunjukan Gordang Sambilan juga selesai maka gordang terlebih dahulu harus disoda, sama seperti prosesi manyantan gordang, para pemain Gordang Sambilan didudukan diatas tikar lalu diberi sirih. Kepada para pemain kemudian diucapkan terima kasih karena telah melaksanakan tugas dengan baik, kemudian diambil kapur sirih yang basah lalu dibuat tanda silang dengan menggunakan kapur sirih tersebut pada Gordang Sambilan, dengan demikian gordang tidak boleh dibunyikan lagi sampai acara adat lain berikutnya. Tek-tek do mulo ni gondang somba do mulo nit tor-tor Pada pertunjukan Gordang Sambilan dalam acara adat, dimulai dengan acara manyantan gondang, lalu pemukulan gong dalam prosesi penyambutan raja ataupun sebagai tanda upacara telah dimulai, kemudian dilanjutkan dengan Tek-tek do mulo ni gondang somba do mulo ni tor-tor, secara harfiah istilah ini dapat berarti bahwa apabila gordang telah dipukul tek-tek maka dimulai acara dengan tor-tor tarian persembahan dengan kata lain istilah tersebut dapat mencakup keseluruhan upacara adat yang menggunakan Gordang Sambilan. Susunan acara adat dengan gordang sambilan yang telah diuraikan merupakan bentuk penggunaan gordang sambilan pada upacara adat sedangkan pada penggunaan hiburan tidak memiliki susunan acara serta keharusan terhadap peralatan adat. Pertunjukan Gordang Sambilan yang ada dan dimainkan di kota Medan sesungguhnya tidak lagi memiliki nilai-nilai tradisional yang utuh, dengan artian penggunaan dan pertunjukan Gordang Sambilan yang dilakukan masih menggunakan aturan-aturan adat namun pada beberapa bagian, aturan adat tersebut ada yang dihilangkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut mayarakat Mandailing yaitu ajaran agama Islam. Penggunaan Gordang Sambilan di kota Medan merupakan penggunaan Gordang Sambilan menuju kearah penggunaan sebagai sarana hiburan, hal ini diakui oleh beberapa informan dilapangan, menurut Bapak Syahdan syahputra, umur 65 Tahun, mewakili masyarakat Mandailing kota Medan mengatakan bahwa pada waktu dahulu Gordang Sambilan dimainkan atas izin Raja dengan dihadiri oleh pengetua-pengetua adat serta dilakukan berbagai upacara untuk melangsungkan upacara dengan penggunaan Gordang Sambilan, namun semenjak perpindahan masyarakat Mandailing ke kota Medan, penggunaan Gordang Sambilan di kota Medan tidak lagi menggunakan tahapan upacara dengan menggunakan adat sepenuhnya selain bertentangan dengan ajaran agama Islam pada beberapa bagian, juga terhalang dari sisi ekonomis, yaitu penggunaan dana yang besar untuk menyelenggarakan upacara adat dengan Gordang Sambilan, sedangkan menurut Bapak Ridwan Nasution, 50 Tahun, yang merupakan pimpinan kelompok musik Gordang Sambilan “Gunung Kulabu” mengatakan bahwa semenjak perpindahan yang dilakukannya bersama dengan kelompok musiknya dari Mandailing ke Medan pada sekitar tahun 1970-an, ia tidak lagi memainkan komposisi Gordang Sambilan dalam upacara yang menggunakan adat sepenuhnya, ia menambahkan bahwa masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan yang ingin menggunakan Gordang Sambilan pada upacara adat mengharapkan agar upacara yang dilakukan dengan menonjolkan sisi kepraktisan sehingga hal ini menjadi alasan untuk mengurangi jatah adat pada pertunjukan Gordang Sambilan, selain itu faktor agama juga memegang peranan pada perubahan penggunaan Gordang Sambilan. Beliau juga mengakui bahwa telah ada kesepakatan antara dirinya dengan kelompoknya ketika masih bermain di daerah Mandailing – Tapanuli Selatan untuk tidak melakukan tindakan yang berhubungan dengan adat yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Informan lainnya, yaitu Bapak Samsul Bahri Lubis, 64 tahun, selaku pimpinan kelompok musik Gordang Sambilan “Parata Namalos Group” mengatakan bahwa pertunjukan Gordang Sambilan pada saat sekarang merupakan pertunjukan hiburan dengan tujuan utama memperkenalkan seni budaya masyarakat Mandailing dan meningkatkan peran generasi muda dalam pertunjukan Gordang Sambilan, ia mengatakan bahwa masalah adat sepenuhnya atau tidak itu bukan merupakan alasan utama dari perubahan penggunaan Gordang Sambilan, faktor utama dari perubahan penggunaan Gordang Sambilan adalah masyarakat Mandailing itu sendiri, pada satu sisi adat harus dijalani sedangkan pada sisi lain mereka mengharapkan kepraktisan dalam penggunaan, kedua hal ini tidak memiliki titik temu sehingga menimbulkan perubahan pada penggunaan Gordang Sambilan yang didominasi pada penggunaan dalam bentuk hiburan.

3.3. Tujuan Pertunjukan Gordang Sambilan