Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan (Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)

(1)

PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT

MANDAILING DI KOTA MEDAN

(Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

DIAN ANGRAINI SIREGAR

NIM. 070905001

DEPARTEMEN ANTOPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Dian Angraini Siregar Nim : 070905001

Departemen : Antropologi

Judul : Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Lister Berutu, MA Dr. Fikarwin Zuska

NIP: 19600717 198703 1 005 NIP: 19621220 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universiras Sumatera Utara

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si NIP: 19680525 199203 1 002


(3)

PERNYATAAN

PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap meninggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Mei 2011


(4)

ABSTRAK

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi

partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah

laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan

partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan

kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.


(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, kasih dan rahmad-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa juga dengan segala kerendahan hati penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu dalam mendukung dan memberi semangat dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi FISIP USU dan Bapak Drs. Agustrisno, MSP, sebagai sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi.

Bapak Drs. Yance, M,Si sebagai dosen penasehat akademik yang telah banyak terlibat dan membantu dari awal perkuliahan hingga penulisan skripsi. Bapak Drs. Lister Brutu, MA, selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis.

Seluruh staf dan pengajar di FISIP USU khususnya Kak Nur dan Kak Sofi,di Departemen Antropologi dan seluruh guru yang telah sabar mendidik dan membimbing penulis dari sekolah SDN no. 142603 Mandailing Natal, SLTP Negeri 1 Mandailing Natal, serta SMA Negeri 1 Mandailing Natal. Terima kasih untuk bekal ilmu yang telah diberikan. Seluruh masyarakat Mandailing, khususnya yang menjadi informan peneliti. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Lurah dan kepala lingkungan dan Pejabat Desa lainnya yang telah memberikan izin melakukan kegiatan penelitian di wilayah tersebut. Terimakasih atas ilmu dan informasi yang dibutuhkan demi kelancaran penilisan skripsi ini.


(6)

Kepada keluargaku, terima kasih kepada almarhumah ibunda Jumaidah Batubara dan ayahanda tercinta Saipul Bahri Siregar yang telah membesarkan, mendidik, melimpahi kasih sayang dengan memberikan pendidikan sampai kejenjang perguruan tinggi. Untuk almarhumah Ibu terimakasih telah menjadi Ibu yang paling sempurna untuk penulis dan menjadi inspirasi bagi masa depan penulis, dan juga terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda yang berjuang sendiri untuk melanjutkan pendidikan penulis. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai awal ucapan terimakasih atas perjuangan, dukungan dan materi yang telah dikorbankan oleh almarhumah ibunda dan ayahanda penulis yang sangat hebat dan mulia di mata penulis. Ayah, Ibu perjuanganku masih akan terus berlanjut, berkati

anak-Mu ini ! saya akan memberikan yang terbaik membanggakan kalian.

Terima kasih kepada saudara- saudaraku, abang ku tersayang Edi Suprianto Siregar terimakasih atas dukungan dan nasehat-nasehat yang membangun adikmu menjadi lebih bijaksana dan dewasa, Kakak handa Epa pitriani Siregar terima kasih atas dukungan dan bantuan untuk selalu mengirimkan uang kuliah tepat waktu, dan terimakasih Kepada Kakak handa Epi Meilina Siregar atas makanan-makanan yang selalu di masakkan untukku, dan kepada Adikku tercinta Anggi Halomoan Siregar yang telah menjadi adik yang penurut dan selalu membantu penulis selama ini. Terima kasih atas dukungan dan do’a kalian sehingga penulis dapat memperoleh gelar sarjana. Terimakasih juga kepada abang ipar penulis Haryono dan Suretno, serta kakak ipar penulis Silpi yulia yang memberikan dukungan dan do’a serta menjadi bagian keluarga yang hangat bagi keluarga penulis. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada keponakan penulis Athalia Mumtas, Dea Rahmadani Siregar dan aditya Fitrah yang telah menjadi keponakan yang lucu-lucu dan menghibur penulis.

Terima kasih yang sangat mendalam juga penulis sampaikan kepada Wawan Idrus Matondang yang senantiasa mendampingi, membantu, mendukung, mendengar keluh-kesah


(7)

merupakan hal yang paling membahagiakan, ketulusan dan pengorbanan yang diberikan

kepada penulis menjadi penyemangat dan memberikan warna dalam hidup penulis.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Putri Dewi dan Risa Febrina yang telah menjadi sahabat perjuangan penulis selama empat tahun ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman angkatan 07,Indriani, Nurazizah, Bhita, Fiza,Martha, Junjung, Davi, Sri, Surya, Rini, Angel, Inggrid, Marni, Arni, Anugerah, Nugraha, Parlaungan, Wahyu, Fino, Fikri, Tino, Jonathan, Tia, Edi, Fauzi, Ijal, Rendi, Pardin dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih penulis ucapkan atas cerita-cerita dan canda yang telah kita lewati bersama selama empat tahun ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu kos Tiermin, Dermi, Masda, Juli, Iin, Lina, Nela, Lola, Inun, Siti, Olin yang telah menjadi bagian keluarga kecil penulis selama tinggal empat tahun ini. Kehangatan dan kekeluargaan yang kita jalin selama ini tidak akan terlupakan dan merupakan kengan termanis yang dialami oleh penulis. Terimakasih juga pernulis sampaikan kepada adik handa Wilda Hasanah Matondang yang telah membantu dan senantiasa mendengarkankan cerita cerita penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnyaatas segala dukungan moral dan do’a yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa meridoi dan membalas segala kebaikan kalian. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


(8)

Medan, Juni2011

Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

DIAN ANGRAINI SIREGAR, MAHASISWA Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. Penulis lahir di Malintang pada tanggal 21 September 1988, beragama Islam, anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Saipul Bahri Siregar dan almarhum Ibunda Jumaidah Batubara.

Penulis dibesarkan di Mandailing Natal. Pendidikan formal penulis Sekolah Dasar (SD) Negeri 142603 Mandailing Natal, tamat tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Mandailing Natal, tamat tahun 2004, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Mandailing Natal, taman tahun 2007. Pada tahun 2007 mengukuti pendidikan kesarjanaan I Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(10)

KATA PENGANTAR

Penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “ Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan”.

Skripsi ini menjelaskan secara menyeluruh mengenai Partuturon pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Mulai dari partuturon yang ideal sampai pada perubahan

partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Perubahan tersebut

diuraikan dari bab I sampai bab V. Adapun penguraikan yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah

BAB I Pendahuluan, menguraikan mengenai garis besar penulisan skripsi secara menyeluruh, antara lain latar belakang masalah partuturon Mandailing. Perumusan masalah penelitian sehinnga dapat diketahui apa yang ingin di kemukakan dalam penulisan skripsi ini, selanjutnya akan diuraikan juga lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka, metode penelitian, dan alat pengumpulan data, serta unit analisis penelitian. Penguraian pada bab ini, dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan mengenai materi penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian skiripsi ini.

BAB II Menjelaskan mengenai gambaran umum lokasi penelitian yang mayoritas penduduknya masyarakat Mandailing untuk menjelaskan tujuan penelitian tentang partuturon Mandailing, baik dari segi lingkungan geografis maupun sosial yang banyak berkaitan dengan penduduk. Pada penulisan akan mencakup mengenai sejarah desa, keadaan alam, pola pemukiman, keadaan penduduk. Penguraian dimaksudkan sebagai suatu penggambaran secara umum mengenai partuturon Mandailing.


(11)

BAB III. Menguraikan partuturon yang ideal pada ketentuan hukum adat Mandailing. penguraian partuturon ideal ini guna untuk member gambaran dan sebagai perbandingan bahwa perubahan partuturon itu ada pada masyarakat Mandailing di kota Medan, khususnya masyarakat Mandailing yang terdapat di beberapa lokasi penelitian.

BAB IV Menjelaskan penyebab terjadinya perubahan pada partuturon masyarakat Mandailing di kota Medan, mengenai alasan dan latar belakang fokus berubahnya partuturon. Bagaimana pengaruh dan implementasinya perubahan partuturon terhadap sikap, peran dan tanggung jawab pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Pada akhir bab V, penulis menyampaikan beberapa saran dan kesimpulan guna memajukan perspektif budaya dan

partuturon masyarakat Mandailing.

Perubahan Partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan disebabkan oleh banyak faktor dan perubahan tersebut membawa perubahan dalam hukum adat Mandailing serta dalam tatanan sosial dalam hubungan kekerabatan. Perubahan partuturon erat kaitannya dengan berubahnya sebutan dan sapaan, dimana setiap sebutan dan sapaan berubah maka hak dan tanggung jawab diantara sesame kerabat akan turut berubah.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik penulisan maupun isi dari skripsi ini dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini ke depannya dapat bermanfaat bagi civitas akademik, khususnya Antropologi.

Medan, Juli 2011 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS……… i

ABSTRAK ……… . ii

UCAPAN TERIMA KASIH ………. iii

RIWAYAT HIDUP ………...………. vii

KATA PENGANTAR ……… viii

DAFTAR ISI……… xi

DAFTAR BAGAN ……….. xv

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR GAMBAR ……….. xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 9

1.3. Lokasi Penelitian ……….. . 10

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 11

1.5. Kajian Pustaka ……… 12

1.6. Metode Penelitian ………... 21

1.6.1. Penentuan Inorman ……… 22

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 25

1.6.3. Teknik Analisa Data……… 27

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Kota Medan ………... 29

2.2. Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian ………... 32

2.2.1. Wilayah Sei Mati Medan Maimun ………... 33

2.2.2. Wilayah Mariendal (Simpang Limun), Kecamatan Medan Amplas……… 34

2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat …….. 36 2.2.4. Wilayah Bandar Selamat, Kecamatan Medan


(13)

2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung ……… 39

2.3. Geografis ……… 40

2.4. Visi dan Misi Kota Medan ……….. 40

2.4.1. Visi Kota Medan ……….. 41

2.4.2. Misi Kota Medan ………. 42

2.5. Keadaan Penduduk ………. 43

2.6. Organisasi Masyarakat ……… 43

2.7. Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan ……… 44

BAB III. PARTUTURON IDEAL PADA MASYARAKAT MANDAILING 3.1. Hukum Adat Mandailing ………. 48

3.2. Dasar Hukum Adat Mandailing ………... 51

3.2.1. Patik ……….. 51

3.2.2. Uhum ………. 52

3.2.3. Ugari ……….. 53

3.2.4. Hapantunon ……… 54

3.3. Kaidah-Kaidah Masyarakat Mandailing ……….. 55

3.4. Pola Perkawinan Masyarakat Mandailing ……… 56

3.4.1. Perkawinan Semarga ………. 56

3.4.2. Pernikahan Sungsang ………. 57

3.4.3. Pernikahan dengan Boru Tulang ……… 57

3.4.4. Pernikahan Sambar Bulung ………. 58

3.5. Unsur Dalihan Na Tolu ……….. 58

3.6. Partuturon Mandailing ……… 61

3.6.1. Ego dengan Keluarga Inti ……… 61

3.6.2. Ego dengan Keluarga Luas………... 64

3.6.3. Ego dengan Kahanggi ……….. 64

3.6.4. Ego dengan Anak Boru ……… 72


(14)

3.7. Sopan Santun Kekerabatan ………. 77

3.7.1. Hubungan Kerabat Akrab ………. 81

3.7.2. Hubungan Kerabat Tabu ……… 83

3.8. Pengaruh Partuturon Terhadap Sikap ………... 84

BAB IV IMPLEMENTASI PARTUTURON ETNIS MANDAILING YANG BERUBAH SERTA KONSEKUENSI YANG DI TIMBULKAN 4.1. Partuturon Berubah Dalam Keberagaman Etnis ………. 89

4.2. Partuturon Berubah Karena Latar Belakang Lingkungan Tempat Dibesarkan ………. 92

4.3. Partuturon Berubah Karena Faktor Didikan dan Bimbingan Orangtua ……… 94

4.4. Partuturon Berubah Karena Faktor Lamanya Menetap…………. 95

4.5. Partuturon Berubah Karena Faktor Kurangnya Kesadaran Etnisitas ……… 96

4.6. Sikap Dalam Partuturon Ynag Berubah ………... 98

4.7. Dalihan Na Tolu Dalam Adat Siriaon………... 102

4.8. Rompak Tutur ………... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… … 109

5.2. Saran ……….. 115

DAFTAR PUSTAKA ……….. 118

LAMPIRAN

1. Hasil foto selama Penelitian 2. Daftar Informan

3. Interview Guide 4. Surat penelitian


(15)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga inti ……. 51

Bagan 2: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga luas……. 54

Bagan 3: Bagan yang menggambarkan kelompok Kahanggi …….. 58

Bagan 4: Bagan yang menggambarkan kelompok Anak boru ……. 61

Bagan 5: Bagan yang menggambarkan kelompok Mora ………….. 64

Bagan 6: Bagan yang menggambarkan hubungan kerabat akrab ….. 69


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Sebutan dan sapaan ideal ego pada keluarga inti ………….. 52

Tabel 2: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga inti …. 53

Tabel 3: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada keluarga luas ……. 55

Tabel 4: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga luas …. 56

Tabel 5: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok

Kahanggi ………... 59

Tabel 6: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok

Kahanggi ……….. 60

Tabel 7: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok

Anak boru ……… 62

Tabel 8: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok

Anak boru ……….... 63

Tabel 9: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok Mora … 65


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1: Monumen Guru Patimpus………. .. 24 Gambar 2: Peta Kota Medan ………. 38


(18)

ABSTRAK

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi

partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah

laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan

partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan

kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia terdiri dari beragam etnis, seperti etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Batak, etnis Minang serta etnis Mandailing. Setiap etnis ini memiliki budaya dan sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Setiap etnis yang terdapat di Indonesia memiliki sistem kekerabatan yang berbeda. Pada dasarnya kekerabatan terbentuk melalui hubungan genetik atau darah. Kekerabatan akan membentuk lahirnya garis keturunan, seperti penarikan garis keturunan secara patrilineal artinya hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah, garis keturunan bersifat matrilineal dimana hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ibu. Disamping itu, terdapat juga hubungan kekerabatan yang bersifat bilateral dimana hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah maupun menurut garis ibu.

Kekerabatan juga akan membentuk lahirnya sistem istilah kekerabatan, di mana di dalam masyarakat terdapat istilah-istilah yang berbeda-beda. Istilah dapat dijadikan sebagai penentu sopan santun diantara sesama kerabat. Dalam istilah kekerabatan terdapat istilah menyapa (term of address) dan istilah menyebut (term of refrence). Istilah menyapa dipakai ego untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat dalam pembicaraan langsung. Sebaliknya istilah menyebut dipakai ego apabila ia berhadapan langsung dengan orang lain ketika berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga.

Istilah kekerabatan juga dapat diklasifikasikan ke dalam Istilah Denotatif; istilah

Designatif; dan istilah Klasifikatori. Istilah Denotatif merupakan istilah yang hanya


(20)

istilah denotatif, karena kecuali satu orang kerabat si ayah itu tidak ada lagi disebutkan terhadap kerabat yang lain yang disebut dengan istilah itu. Istilah Designatif adalah istilah yang menunjukkan ke satu tipe kerabat/ lebih dari satu orang kerabat, yang semuanya berada dalam satu macam hubungan terhadap ego. Istilah sons dalam bahasa Inggris misalnya menunjukkan kelebih satu orang kerabat ego ( apabila ego mempunyai lebih dari satu orang laki-laki,tetapi semua sons dari ego itu berada dalam satu macam hubungan kekerabatan terhadap ego. Istilah Klasifikatoris adalah istilah yang mengklasifikasikan ke dalam lebih dari satu orang kerabat. Misalnya istilah saudara dalam bahasa Indonesia adalah suatu istilah

klasifikatoris, karena dalam istilah itu diklasifikasikan lebih dari satu orang kerabat seperti

saudara - saudara sekandung laki- laki dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung perempuan dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung laki-laki dari ego yang lebih muda, dan saudara-saudara sekandung perempuan dari ego yang lebih muda dan sebagainya. (Koentjaraningrat: 1972: 143 ).

Istilah kekerabatan melahirkan adat sopan santun yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap kerabat dan bagaimana hak dan kewajiban untuk bersikap hormat dan menyayangi di antara sesama kerabat. Adat sopan santun pergaulan dalam masyarakat pada umumnya memiliki ketentuan bersikap, dimana ada ketentuan adat terhadap kerabat-kerabat dapat kita perlakukan dengan sikap bebas. Ada ketentuan kepada siapa kita harus bersikap sangat hormat, yang menyebabkan adanya pantangan-pantangan memandang muka atau berbicara langsung. Hal ini yang menyebabkan lahirnya ketentuan adat untuk bersikap sungkan, sikap bergurau serta sikap bergaul pada setiap etnis, begitu juga dengan etnis Mandailing yang tergolong memiliki adat yang cukup kuat.

Etinis Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus etnis asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang etnis tersebut turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang


(21)

Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah

Tanah Lembah Mandailing. Namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan

nama suku bangsa yang mendiaminya. Berdasarkankan tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamai Mandailing Godang

(Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada

di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatera Barat.

Marga atau klen etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya. Marga tersebut diperoleh berdasarkan garis keturunan langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang diperoleh berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun

Masyarakat Mandailing memiliki sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari :

a. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga.

b. Anak Boru, yaitu golongan yang diberi boru ( perempuan )

c. Mora, yaitu pihak yang memberi boru ( perempuan )

Kelompok-kelompok kekerabatan yang mewakili peran terhadap partuturon biasanya berbentuk luas antara lain sebagai berikut jika ego yang ditentukan adalah Ayah :

Kahanggi

Kahanggi merupakan golongan teman semarga yang terdiri dari: adik atau abang kandung (sebapak), adik atau abang kandung (seibu), adik atau abang dari sepupu, saudara kandung ayah. Kesemua kelompok Kahanggi ini antara lain kelompok saudara sekandung, Ayah bersaudara, Kakek bersaudara, sifatnya paralel dan saudara sepupu dari pihak Ibu.


(22)

Mora

Mora merupakan pihak yang memberi boru atau perempuan yang terdiri dari: Ibu

mertua dari perempuan, abang atau adik dari ibu, abang atau adi sepupu ibu, paman ibu, paman dari keluarga sepupu nenek, mora dari kelompok marga ibu.

Anak Boru

Anak boru merupakan gologan yang diberi boru yang terdiri dari: bapak atau ibu

mertua dari anak, adik atau kakak dari mertua anak, adik atau kakak permpuan bapak, paman dari suami adik atau kakak. (Said, 2009)

Kekerabatan yang terbentuk melalui marga, perkawinan serta hubungan darah akan melahirkan istilah-istilah partuturon. Partuturon adalah berisi aturan hubungan antar perorangan atau unsur dalam dalihan na tolu (etika bertutur), dimana tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Partuturon dapat mengatur sistem dan ketentuan kekerabatan sebagai berikut:

a. Partuturon mengatur dan menentukan bagaimana seseorang bersikap berbicara

terhadap orang lain begitu juga sebaliknya.

b. Partuturon akan menunjukkan sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain

berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan, atau hubungan perkawinan. c. Partuturon merupakan penentu etika, sikap dan tingkah laku. (Pandapotan, 2005)


(23)

“ Jolo tinitip sanggar, Asa binahen huru-huruan,

Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturon”

Pantun tersebut berarti :

Pinpin dipotong rata

Dijadikan sebagai sanggar burung Ditanya dulu marga

Agar diketahui kekerabatan.

Pantun di atas mengingatkan orang untuk martutur agar tidak terjadi komunikasi satu sama lainnya dengan saling menyebut nama karena terasa kurang etis atau kurang sopan. Oleh karena itu dalam berkomunikasi tutur dipergunakan. Partuturon dimulai dari keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum berumah tangga. Dalam kontek Mandailing disebut Sabagas. Keluarga initi atau sabagas ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagai 1 Keluarga Inti

Keterangan:


(24)

Laki-laki

Perempuan

Bagian 1 di atas menggambarkan seorang laki-laki ( ego ) dengan orang tuanya serta seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuanya. Contoh sebutan dan sapaan yang berubah dalam keluarga inti tergambar pada tabel 1 berikut.

sebutan Mandailing yang ideal

Sebutan Mandailing yang dipakai sekarang

( yang berubah)

Keterangan

Amang Ayah, Bapak, Papa,papi Ayah ego

Inang Umak, Omak, Mamak, Ibu,

Mama, Mami

Ibu ego

Umak ni sianu, Umak Dek, Mama, Panggil nama Istri ego Ayah ni sianu, Ayah

ucok/butet,

Ayah, Papa, Abang Suami

Angkang Bang, Panggil nama Abang ego

Anggi Dedek, Adek, Panggil nama Adik ego

Berdasarkan tabel sapaan Mandailing di atas, menunjukkan bahwa seiring berjalannya waktu partuturon cendrung berubah dalam kekerabatan pada sebagian kelompok masyarakat Mandailing, terlebih pada masyarakat yang melakukan migrasi khususnya ke kota Medan. Masyarakat Mandailing mencoba menyesuaikan diri dengan etnis lain dan membentuk suatu hubungan sosial. Pengaruh lingkungan ini yang terkadang menjadi pemicu berubahnya garis kekerabatan sehingga Partuturon juga ikut berubah. Dampak dari perubahan Partuturon inilah yang membuat hubungan kekerabatan dan kedekatan diantara sesama kerabat berbeda,


(25)

karena setiap tutur berubah maka hubungan kekerabatan juga turut berubah. memberikan pengaruh terhadap sikap, dan tanggung jawab diantara sesama kerabatnya.

Berdasakan hasil pengamatan sementara saya di lapangan berubahnya partuturon ini dapat saya gambarkan melalui pernikahan semarga. Terjadinya pernikahan semarga di kalangan masyarakat migrasi Mandailing, dipicu oleh berubahnya partuturon sehingga mana kerabat yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi sudah tidak dapat dibedakan. Kasus lain yang saya jumpai di lapangan yang memperkuat argumen sementara saya bahwa

partuturon di kalangan migransi Mandailing berubah adalah kasus keluarga Mandailing yang

melakukan pernikahan semarga.

Faktor lain terjadinya perubahan Partuturon disebabkan oleh perkawinan campur. Perkawinan etnis Mandailing dengan Etnis Jawa misalnya. Keluarga ini justru lebih sering atau bahkan lebih memahami budaya dan Partuturon Jawa karena lebih dominan menggunaan tutur Jawa di kesehariannya. Kepada pihak ayah pun yang berasal dari etnis Mandailing justru .menggunakan tutur sesuai ketentuan tutur Jawa. Hal ini yang membuat

Partuturon Mandailing berubah, bahkan apabila secara terus menerus dibiarkan maka tutur

Mandailing bisa hilang dari masyarakat Mandailing di kota Medan.

Berdasarkan uraian di atas Maka saya merasa Partuturon perlu untuk diteliti.

Partuturon bukan hanya istilah dalam berkomunikasi melainkan penunjuk hubungan

kekerabatan dan penentu sikap serta tanggung jawab diantara sesama kerabat. Partuturon merupakan suatu jembatan perekat kekerabatan diantara sesama kerabat. Melalui Partuturon hubungan kekerabatan juga tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu untuk tetap menjaga

partuturon Mandailing dan untuk memperbaiki partuturon yang sudah berubah hal ini perlu

untuk diteliti agar menimbulkan kesadaran moral masyarakar Mandailing yang ada di kota Medan.


(26)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Partuturon dan perubahan yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Permasalahan tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

A. Bagaimana Partututron yang ideal dalam budaya Mandailing?

B. Bagaimana implementasi Partuturon pada masyarakat Mandailing di kota Medan? C. Bagaimana perubahan Partuturon pada masyarakat Mandailing serta konsekuensinya

terhadap perubahan status dan peran?

1.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Medan, dengan lokasi yang dianggap merefresentasikan etnis Mandailing di kota Medan. Adapun lokasi tersebut meliputu 1. Kawasan Seimati, 2. Kawasan Bandar Selamat, 3. Kawasan Simpang Limun, 4. Kawasan Sei Agul, 5. Kawasan Medan Tembung. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan didasarkan atas :

Kota Medan merupakan.

1. Pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara, sehingga kota Medan adalah bentuk kota modern yang di huni oleh berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus adalah masyarakat Mandailing.


(27)

3. Kawasan Bandar selamat dan Simpang Limun merupakan daerah pusat transportasi antar daerah di kota Medan yang didiami oleh masyarakat Mandailing. Dimana pada kawasan Bandar Selamat penelitian ini di lakukan di , Jl. Letjen Sudjono kec. Medan Tembung . Sedangkan pada kawasan Simpang Limun di , Jl. M. Baasir, kel. Pangkalan Mashuar

4. Kawasan Sei Mati secara historis kawasan ini merupakan kawasan yang didiami oleh masyarakat Mandailing pada saat kesultanan Deli berkuasa. Tepatnya penelitian di kawasan ini dilakukan di Jl. Brigjen Katamso, Kel. Sei Mati, Kec. Medan Maimun. 5. Kawasan Medan Tembung, pada kawasan ini dominan di huni oleh etnis Mandailing.

Sehingga penelitian tepatnya di lakukan di Kawasan Medan Tembung, kompleks perumahan Indah Berlian Tembung blok V, kec. Percut Sei Tuan kab. Deli Serdang 6. Kawasan Sei Agul, merupakan kawasan alternative yang juga banyak didiami oleh

etnis Mandailing. Penelitian pada kawasan ini di lakukan di , Jl. Karya Setuju Ling. XVII, kel. Karang Berombak, kec. Medan Barat

Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya. Hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang mewakili beberapa etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan penetapan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui partuturon yang ideal pada masyarakat Mandailing

2. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi partuturon pada masyarakat Mandailing sesuai dengan hubungan kekerabatan.


(28)

3. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan berubahnya partuturon etnis Mandailing dan pengaruhnya terhadap status dan peran dalam hubungan kekerabatan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan Masyarakat Mandailing tentang Istilah partuturon hak dan kewajiban yang terkandung di setiap partuturon tersebut. Menjadi kesadaran moral juga bagi para migransi Mandailing bagaiman bersikap atau berintraksi dengan sesama kerabatnya. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi kontribusi bagi para masyarakat Mandailing di Medan tentang istilah partuturon .

1.5. Kajian Pustaka

Bachofen dalam Koentjaraningrat, 2007: 38, menyatakan bahwa di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Pertama manusia dalam keadaan promoskuitas, dimana manusia hidup serupa sekawanan binatang . laki-laki dengan wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Dalam hal ini keluarga inti belum ada. Namun lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena anak-anak hanya mengenal ibunya tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga seperti ini, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari, dan dengan demikian timbul adat eksogami.

Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunan diperhitungkan menurut garis ibu ( Matriarchate ) ini merupakan tingkatan kedua dalam proses perkembangan manusia. Pada tingkat perkembangan manusia yang ketiga terjadi karena pria tidak puas dengan keadaan tersebut, sehingga para pria mengambil calon istri mereka dari kelompok lain dan menbawa gadis-gadis itu ke kelompok mereka sendiri.


(29)

Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria. Timbul kelompok keluarga dimana ayah sebagai kepala keluarga yang disebut Patriarchate.

Dalam tingkat terahir terjadi perubahan yaitu exsogami berubah menjadi endogami .

endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak

demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berbah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan Parental.

Freeman dalam Ihromi, 1994: 116, menyatakan keluarga luas merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri labih dari satu keluarga inti., dimana seluruhnya merupakan satu kesatuan sosial yang erat dan biasanya hidup bersama pada satu tempat atau satu pekarangan. Diman keluarga luas ini terdiri dari tiga yaitu pertama keluarga luas udrolokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih anak laki-laki maupun perempuan. Yang kedua keluarga luas virilokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki-laki. Dan yang terahir keluarga luas uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih dari anak-anak perempuan. Keluarga ambilineal kecil, merupakan kelompok kekerabatan yang terjadi bila suatu keluarga luas mendapat suatu kepribadian yang disadari oleh para warganya, tidak selama mereka hidup tetapi yang dinggap ada sejak dua-tiga tingkatan dalam waktu yang lama. Nenek moyang yang menurunkan kelompok, malahan sering masih hidup sebagai warga senior dari kelompok, dan masih saling kenal dan tahu akan hubungan kekerabatannya (Ihromi, 1994: 116).

Menurut Keesing garis keturunan adalah suatu kelompok keturunan yang terdiri dari orang-orang yang secara parilineal atau matrilineal adalah keturunan dari leluhur yang sama. Kerabat perkawinan yang memiliki ketentuan yang mengharuskan perkawinan di luar suatu kelompok atau kategori perkawinan diantara sesama mereka tidak diperkenankan ( Keesing, 1981 : 223 ).


(30)

Schneider dalam Ihromi,1981:111, berpendapat bahwa sistem simbolik berkaitan secara tidak langsung dengan seks dan reproduksi, dan masyarakat lain biasanya mempunyai konseptualisasi yang sangat berbeda mengenai lingkup kekerabatan dari hubungan yang sama, yang berkaitan secara tidak langsung dengan hubungan yang dianggap sebagai hubungan orang tua biologis. Bagaimana cara suatu masyarakat memandang pertalian biologis antara yang dianggap ayah dan anak serta ibu dan anak, hubungan ini adalah hubungan yang tidak bisa diganggu gugat karena merupakan dasar bagi ikatan kekerabatan. (Ikhromi, 1994 : 111)

kerabat yang lain dengan dua istilah yang berbeda kalau mereka saling menyebut. Demikian dalam bahasa Indonesia A menyebut B ( ialah istilah saudara laki-laki ayahnya ) dengan istilah paman, sebaliknya B menyebut A ( istilah anak saudara laki-lakinya ) dengan istilah lain, ialah kemenakan. Kalau dua orang kerabat termasuk satu tipe kerabat, tentu prinsip ini tidak terpakai, dan kedua orang itu akan saling sebut-menyebut dengan istilah yang sama (Koentjaraningrat, 1972: 62).

Murdock dalam Koentjaraningrat, juga membagi istilah kekerabatan kedalam beberapa tipe, diantaranya adalah :

1. Tipe Hawai ( tipe generation ), dimana semua istilah saudara sepupu berbeda dengan

istilah yang mengacu semua saudara sekandung.

2. Tipe Eskimo, ( tipe lineal ), dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu

berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung.

3. Tipe Iroquois ( tipe bifurcate merging ), dimana istilah yang mengacu semua saudara

sepupu sejajar sama, kecuali istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang, yang menggunakan istilah untuk mengacu saudara sekandung.


(31)

4. Tipe Sudan, ( bifurcate-collateral ), dimana istilah yang mengacu semua saudara

sepupu sejajar berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang maupun dengan istilah yang mengacu ke semua istilah untuk saudara sekandung. 5. Tipe Omaha, dimana istilah yang mengacu ke semua saudara sepupu sejajar sama

dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung, dan dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang patrilateral berbeda dengan istilah mengacu semua saudara.

6. Tipe Crow, dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu sejajar sama dengan

istilah yang mengacu semua sadara sekandung. Dan dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang Matrilineal berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sepupu (Koentjaraningrat, 1990: 62) kerabat karena keturunan (Geneologis Khainship ),maupun kerabat karena perkawinan (Affinal Khinship) (Berutu, 2006: 21)

Kekerabatan adalah unit-unit hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti

kelompok kekerabatan lain seperti

Istilah kekerabatan (kinship) mengandung pengertian sebuah jaringan hubungan kompleks berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah dengan seseorang lainnya. Contoh kongkrit dari hubungan berdasarkan pertalian


(32)

karena perkawinan, yakni seseorang menjadi kerabat bagi yang lain atas ikatan perkawinan yang dilakukan oleh saudaranya. Contoh kongkrit dari hubungan atas perkawinan misalnya kakak atau adik ipar, bibi yang dinikahi oleh adik ibu.

Mayor Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan atau masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga ynag memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan . anggota kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, mertua, cucu, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya (http://r4gsblog.blogspot.com diakses /2010/07).

Hamzah, menyebutkan : Hukum adat bukanlah peraturan hukum yang tidak berubah, yang diam-diam saja. Akan tetapi hukum adat itu berubah karena dipengaruhi oleh pengaruh dari dalam dan luar karena keadaan sosial juga berubah. Kelakuan-kelakuan manusia dalam masyarakat berubah juga yang mengakibatkan perubahan dalam hukum adat (Hamzah,1960: 16).

Keberagaman budaya dan rasa sosial yang menuntut setiap masyarakat harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, hal inilah yang terjadi pada masayarakat mandailing. Mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya bahkan tanpa disadari proses penyesuaian diri ini lambat laun membuat perubahan pada budayanya bahkan melupakan nilai budayanya sendiri.

Prins dalam Surojo, 1971: 339 bukunya Adat en Islamitische Plichtenleer in Indonesia menyebutkan bahwa Proses penyesuaian dengan dunia modern ini menjumpai suatu problema yang sangat memperlambat jalannya proses, yaitu proses individualisasi sering persekutuan-persekutuan desa.


(33)

Kesing menyatakan bahwa kekerabatan berperan sebagai model dasar dalam hubungan dengan orang lain. Kewajiban antara kerabat dipandang sebagai ikatan moral, dimana suatu kelompok keluarga batih yang di dasarkan pada ikatan pasangan, incest dihindarkan, dan pemilikan pangan bersama. Kewajiban kekerabatan melambangkan kolektif sebagai kebalikan dari individu, kewajiban sosial bukannya memuaskan diri sendiri. Hal-hal tersebut melambangkan budaya sebagai kontras dari biologis atas dasar warisan tradisional.

( Keesing, 1989: 211.)

Jaringan Ikatan Kekerabatan

Atau = ikatan perkawinan

Hubungan orang tua dengan anak

( disini ayah dengan anak perempuan )

Konvensi Antropologi dalam Melukiskan Hubnugan Kekerabatan

A B C D E F G H I J


(34)

K L M N O P

Q R S T V Y W Z z.1

Pendapat Scheneider ini dijadikan sebagai gambaran hubungan kekerabatn yang terbentuk melalui hubungan darah yang melahirkan kerabat yang luas dengan acuan ego “M” (Ihromi, 1972: 214).

Tata Interaksi di Lingkungan Keluarga menurut Izarwisma 1989 sebagai berikut:

Tata Interaksi dalam Keluga Inti :

# Interaksi antara Suami dan Istri.

# Interaksi antara suami dengan anak laki-laki

#Pergaulan antara suami dengan anak perempuan.

# Inetraksi antara istri dengan anak laki- laki.

# Interaksi antara istri dengan anak perempuan.

# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak laki-laki.

# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

# Interaksi antara anak perempuan dengan anak perempuan.

Tata Interaksi Di Luar Keluarga Inti


(35)

# Interaksi anak dengan kerabat ayah:

• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ayah.

• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ayah. • Interaksi anak dengan saudara tiri ayah.

# Interaksi anak dengan kerabat ibu:

1. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ibu

2. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ibu. 3. Interaksi antara anak dengan saudara tiri ibu.

# Interaksi anak dengan saudara-saudara:

1. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ayah. 2. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ayah. 3. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orang tua ayah. 4. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ibu.

5. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ibu. 6. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orangtua ibu.

Berdasarkan pendapat Izarwisma dapat dijadikan sebagai gambaran hubungan kekerabatan serta ketentuan-ketentuan tata kelakuan berinteraksi dalam sisitem kekerabatan di antara sesama kerabat . (Izarwisma,1989:56-89)

1.6. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mendiskripsikan situasi atau area populasi tertentu


(36)

yang bersifat factual secara sistematis dan akurat. Penelitian deskiptif dapat pula diartikan sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk memotret fenomena individu, situasi, atau kelompok tertentu yang terjadi secara kekinian. (Denim, 2002:41 )

1.6.1. Penentuan Informan

Informan adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian. (Bungin, 2007:76).

Dalam penelitian ini peneliti membagi informan ke dalam tiga kategori yaitu:

a. Informan Pangkal

Informan pangkal adalah orang yang biasanya ditemui pertama sekali oleh si peneliti dan dari informan pangkalnya, peneliti dapat banyak informasi mengenai siapa yang dapat dijadikan sebagai informan kunci. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal penulis adalah masyarakat Mandailing yang terdapat di lokasi yang sudah saya tentukan sebelumnya di lima kawasan yang terdapat di kota Medan. Inporman pangkal penulis adalah Bapak Lurah, Tokoh adat yang dalam adat Mandailing disebut parhata. Informan pangkal tersebut menjadi petunjuk awal bagi penulis tentang penggambaran lokasi penelitian, serta menjadi penunujuk informan-informan lainnya yang da[at dijadikan sebagai informan biasa maupun informan kunci.

b. Informan Biasa

Informan biasa dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat Mandailing yang terdapat di lima kawasan penelitian tersebut dengan menggunakan teknik snow ball. Teknik ini merupakan teknik penentuan informan penelitian dengan mengikuti informasi-informasi


(37)

dari informan sebelumnya. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan dan juga masyarakat Mandailing yang masih belum lama menetap di kota Medan. Hal ini dilakukan pada tahap awal untuk mengetahui perbandingan perubahan budaya dan adat masyarakat Mandailing jika diperhatikan dari lama waktu menetap di kota Medan. Informan biasa dalam penelitian ini berjumlah 8 orang, diantaranya adalah Bapak Khoiruddin dan Ibu Sakiah yang merupakan masyarakat Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan. Bapak Abdul Kholid dan Ibu Sulastri, Bapak Rido dan Ibu Patimah . Informan selanjutnya adalah Ibu Saodah dan Reni. Informan tersebut penulis jadikan sebagai informan selanjutnya yang bertujuan untuk mengumpulkan data yang lebih mendalam tentang masalah penelitian.

c. Informan Kunci

Dalam penelitian ini peneliti membuat suatu pengkategorian siapa yang menjadi informan kunci dengan melalui beberapa pertimbangan diantaranya :

a. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis Mandailing, hal ini bertujuan untuk menentukan partuturan yang ideal. Untuk memperoleh informasi tentang

partuturon yang ideal dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang

yang melakukan pernikahan dengan etnis yang sama. diantaranya 3 pasangan yang sudah lama menetap dikota Medan dan 2 pasangan yang belum lama menetap di kota Medan, diantaranya Bapak Ali dan Ibu Eka, pasangan Bapak Sawal dan Ibu Hotimah, Bapak Sawal dan Ibu Rukiah. Bapak ilham dan Ibu Mutiah.

b. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis lain, yang bertujuan untuk melihat seperti apa tutur yang dipakai oleh keluarga yang dibangun atas dasar dua budaya yang berbeda. Dalam hal ini penelitian ini dilakukan dengan memilih beberapa informan


(38)

pernikahan antara etnis Mandailing dengan etnis Jawa, pernikahan etnis Mandailing dengan etnis Minang, pernikahan etnis Mandailing dengan etnis Aceh, yaitu Bapak Abdul dan ibu Halimah, Bapak Sapii dan Ibu Lianti, pasangan Bapak Darwin dan Ibu Ningsih.

c. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan semarga, hal ini bertujuan untuk melihat apakah faktor partuturon mempengaruhi terjadinya hubungan semarga di kalangan masyarakat Mandailing di kota Medan. Informan yang dipilih adalah etnis Mandailing yang melakukan pernikahan semarga, diantaranya pernikahan marga Nasution dengan Nasution, pernikahan Marga Lubis dengan marga Lubis, pernikahan marga Rangkuti dengan Rangkuti. Informan tersebut adalah Bapak Hasan Nasution dan Ibu Laila Nasution, Bapak Burhan Pulungan dan Ibu salmah Pulungan, Bapak Najamuddin Lubis dengan Ibu Minawati Lubus, Bapak Aswar Rangkuti dan Ibu Yusnita Rangkuti.

d. Tokoh Masayarakat Mandailing, hal ini bertujuan untuk peneliti agar lebih menambah pengetahuan tentang adat partuturon Mandailing yang ideal, sehingga mempermudah peneliti untuk membedakan mana tutur yang ideal dan mana tutur yang berubah. Informan yang dipilih adalah informan yang menjadi parhata adat dan sekaligus menjadi pinpinan dalam organisasi perkumpulan marga Nasution. Bapak Sutan nasaruddin sakti Lubis (Petua adat), Bapak Kholid Nasution (Petua adat),Bapak Arman Nasutian (anggota organisasi perkumpulan marga Nasution).

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sehingga penelitian ini kebenaran datanya dapat dijamin. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :


(39)

1. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian pengamatan betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamatan kemudian mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka (Bungin, 2007:161).

Observasi partisipasi dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan dan melakukan observasi langsung dengan masyarkat yang bersangkutan. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan masyarakat Mandailing di lokasi penelitian tersebut, dan tatanan sosial budaya dan adat yang berlaku dilingkungan masyarakat Mandailing. observasi partisipasi ini penulis gunakan untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan. Penulis mengamati bagaimana perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing dan tutur seperti apa yang dipergunakan, penulis mengamati perubahan sikap dan tanggung jawab pada masyarakat Mandailing, serta mengamati perubahan pola pelaksanaan pesta pernikahan masyarakat Mandailing. peneliti mengamati inplementasi perubahan partuturon terhadap sikap dan tingkah laku serta tanggungjawab dalam hubungan kekerabatan masyarakat Mandailing di kota Medan.

2. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan Tanya jawab sampai bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai, dengan atau tanpa pedoman ( guide ) wawancara. Dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan demikian ke khasan wawancara mendalam adalah keterlibatan pewawancara dalam kehidupan informan (Bungin, 2007:108).

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menentukan informan kunci yang disebutkan di atas. Melalui wawancara mendalam informasi yang dibutuhkan bahkan yang


(40)

tidak tahu sebelumnya dapat dikorek melalui pikiran dan kenyataan yang sebenarnya terjadi dilapangan. Melalui wawancara peneliti memperoleh data yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini. Peneliti memperoleh perubahan partuturon seperti apa yang terjadi, dan apa yang melatar belakangi terjadinya perubahan partuturon, peneliti juga mengetahui perubahan adat dan budaya Mandailing dalam pelaksanaan pesta pernikahan. Peneliti memeperoleh data tentang inplementasi partuturon yang berubah terhadap sikap yang turut berubah pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

b. Data Sekunder, dapat diperoleh melalui:

Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur seperti, buku, majalah, jurnal, laporan penelitian dan lain-lain

c. Dokumentasi.

Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuru data histori. (Bungin, 2007:121)

d. Metode penelusuran Data Online

Perkembangan internet yang semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat. Para akademis juga menjadikan internet sebagai salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian (Bungin, 2007:124 )


(41)

1.6.3. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan dan dokumen yang terkumpul. Proses analisis data dilakukan terus – menerus, baik di lapangan maupun setelah pengumpulan data. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan mengkategorikan data. Setelah itu, kemudian dihubungkan antar kategori yang ada dan di interpretasikan. Dalam penelitian ini unit analisa data adalah individu dan kelompok. Dimana individu di tujukan kepada Tokoh adat yang dianggap mengetahui adat Partuturon Mandailing, sedangkan kelompok dikategorikan kepada Mora, Kahanggi, Anak boru yang dianggap mewakili anggota kerabat dari berbagai pihak kekerabatan baik kerabat melalui hubungan darah dan perkawinan


(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Kota Medan

Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “ Medan ” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 1590, sampai saat ini usia kota Medan telah mencapai 422 Tahun.

Keberadaan kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan berkembang semenjak Guru Patimbus membangun kampung tersebut, Guru Patimbus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan. Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “ Tabib “ atau “ Orang Pintar “, kemudian kata “ Pa “ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. (http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/ Januari/ 2011. )

Berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis menuju Medan tahun 1887, sebelum akhirnya status diubah menjadi Gubernemen yang dipinpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915. Secara historis, perkembangan kota Medan


(43)

sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah mendorong berkembangnya kota Medan sebagai Pusat Perdagangan sejak masa lalu :

Gambar 1


(44)

( Sumber Dian Angraini )

Keberadaan kota Medan tidak lepas dari peran para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang ataupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marylan telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat peragangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan perkembangan kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya Medan menjadi Ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini selain merupakan suatu wilayah kota juga sekaligus Ibukota Sumatera Utara.

Gambaran kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai keberadaan kota Medan sebagai kawasan yang menjadi fokus lokasi penelitian ini, sebagai pusat pemerintahan kota Medan yang memiliki 21 daerah kecamatan dan 151 daerah kelurahan

tersebut, hanya beberapa kecamatan saja yang diambil sebagai lokasi penelitian, karena dianggap lokasi tersebut mewakili keberadaan masyarakat Mandailing beserta dengan kelengkapan adat istiadatnya oleh karena itu daerah tersebut menjadi pusat lokasi penelitian.

2.2 Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian

Letak lokasi penelitian berada pada wilayah administratif kotamadya Medan yang juga merupakan Ibukota dari Sumatera Utara. Lokasi penelitian berada pada lima kawasan yang terdiri dari:


(45)

1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Medan Amplas 3. Wilayah Sei Agul, Medan Barat

4. Wilayah Bandar Selamat, Medan Tembung 5. Wilayah Pancing, Medan Tembung

Adapun ke-lima wilayah ini merupakan perwakilan dari wilayah masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan. Letak lokasi dan keadaan alam akan dijelaskan terkait dengan lima wilayah tersebut.

2.2.1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

Sejarah berdirinya daerah Sei Mati diawali pada zaman penjajahan Belanda, melalui perkebunan yang dikelola oleh Belanda yang memerlukan tenaga kerja dalam perkebunannya tersebut. Banyak pekerja yang akhirnya datang ke kota Medan, diantara para pekerja tersebut banyak pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Seiring berjalannya waktu para pekerja di perkebunan Belanda tersebut semakin banyak dibutuhkan dan hal ini juga yang menyebabkan jumlah masyarakat Mandailing semakin bertambah banyak di kota Medan. Pada masa itu jumlah tenaga kerja mayoritas berasal dari etnis Mandailing yang beragama Islam. Untuk mencari perlindungan mereka menghadap Sultan Deli, hal ini dikarenakan mereka berpendapat persamaan agama akan membuat Sultan Deli mau membantu mereka. Usaha yang dilakukan untuk menghadap Sultan Deli tidak sia-sia karena beliau memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal para pekerja yang berasal dari Mandailing.


(46)

Pada saat sekarang ini wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Sungai Mati di bawah naunagan kelurahan Medan Maimun. Adapun luas kecamatan Medan Maimun adalah 2,98 km2, pada tahun 2010 kecamatan ini memiliki penduduk sebesar 48.995 jiwa. Dan kepadatan penduduknya adalah 16. 441,28 jiwa/km ( kecamatan dalam angka 2010 )

Kecamatan Medan Maimun adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota Medan, Sumatera Utatara. Kecamatan Medan Mimun berbatasan dengan Polonia di sebelah barat, Medan kota di timur, Medan Johor di selatan, dan Medan Petisah di Utara.

Istana peninggalan Kesultanan Deli yang terkenal adalah Istana Maimun, terletak di kecamatan ini. Kecamatan Medan Maimun memiliki enam kelurahan, yaitu:

1. Sukaraja 2. Aur 3. Jati 4. Hamdan 5. Sei Mati 6. Kampung Baru

2.2.2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Kecamatan Medan Amplas

Daerah Mariendal pada saat ini merupakan suatu istilah untuk menyebutkan daerah administratif kelurahan Sitirejo. Pada dasarnya daerah ini merupakan pusat transportasi darat di kota Medan. Daerah ini merupakan suatu tempat berkumpulnya masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis dan golongan, hal tersebut dimungkinkan karena daerah ini merupakan pusat transportasi yang merupakan darah pintu utama bagi masyarakat yang berada di luar


(47)

Kecamatan Medan Amplas juga terdapat Terminal Terpadu Amplas yang merupakan terminal keluar masuk mobil angkutan umum antar kota dan proinsi. Sebagai pusat transportasi, terminal Amplas juga merupakan tempat pertukaran informasi. Pertukaran dan perpidahan penduduk dari daerah lain. Proses perpindahan penduduk berdampak pada proses migrasi masyarakat. Proses migrasi didsarkan pada kondisi kota Medan sebagai pusat pemerintahan Sumatera Utara secara administratif. Pandangan-pandangan terhadap pusat kota sebagai barometer pembangunan perkembangan yang tercermin dari proses migrasi yang terjadi di kota Medan, adanya doktrin pada masyarakat yang beranggapan kota Medan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, sehingga hal ini yang membuat banyak para pendatang yang melakukan migran ke kota Medan, termasuk masyarakat Mandailing.

Kecamata Medan Amplas adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Amplas berbatasan dengan Medan Johor di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di timur, Kabupaten Deli Serdang di selatan, Medan Kota dan Medan Denai di utara.

Pada tahun 2010 kecamatan Medan Amplas memiliki penduduk sebesar 88.638 jiwa. Luasnya adalah 11,19 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 7. 921,8 jiwa/km. kecamatan ini memiliki tujuh kelurahan, diantaranya sebagai berikut:

1. Amplas 2. Sitirejo 3. Sitirejo III 4. Timbang Deli 5. Harjosari 6. Harjosari II 7. Bangun Mulia


(48)

2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat

Sei Agul merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh masyarakat Mandailing di kota Medan, pemilihan daerah ini didasarkan sebagai daerah alternatif tempat tinggal yang dikarenakan mayoritas pendududk masyarakat Mandailing di wilayah ini memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Profesi pedagang ini pada awalnya dilakukan di Pajak Bundaran atau sekarang ini dikenal dengan Pajak Petisah, di wilaah ini mereka melakukan proses perdagangan dan perekonomian.

Perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing adalah berdagang hasil-hasil alam, seperti sayuran, buah-buahan, maupun hasil kerajinan tangan seperti kain dan peralatan rumah tangga. Masyarakat Mandailing ini kemudian membentuk suatu tempat yang dianggap lebih dekat dengan tempat mereka melakukan perdagangan sehingga lebih memudahkan mereka menuju tempat perdagangan karena jarak yang tidak terlalu jauh dengan lokasi termpat tinggal. Masyarakat Mandailing memilih tinggal di daerah Sei Agul karena dianggap wilayah yang lebih dekat dengan lokasi perdagangan yang mereka lakukan.

Kecamatan Medan Barat adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Barat berbatasan dengan Medan Deli di sebelah barat, Medan Petisah di timur, Medan Timur di selatan, dan Medan Helvetia di utara.

Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 86.706 jiwa. Luasnya kecamatan ini adalah 6,82 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 12.713,49 jiwa/km


(49)

Medan Barat adalah salah satu daerah jasa dan perniagaan di kota Medan. Daerah Medan Barat terdapat sebuah bengkel khusus kreta api yang dimiliki oleh PT. Kreta Api Indonesia Eksploitasi Sumatera Utara ( PT. KAI.ESU ).

Kecamatan ini mempunyai enam kelurahan, diantaranya :

1. Glugur Kota 2. Karang Berombak 3. Pulo Brayan Kota 4. Sei Agul

5. Silalas 6. Kawasan

2.2.4. Wilayah Bandar Selamat , Kecamatan Medan Tembung

Bandar Selamat pada perkembangannya merupakan pusat transportasi antar kota yang terdapat di kota Medan, sama hal seperti wilayah Mariendal, kecamatan Medan Amplas. Terbentuknya wilayah Bandar Selamat sebagai pusat Transportasi kota Medan dipengaruhi oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut.

Kebijakan pemerintah kota Medan yang melarang kenderaan berat melintas di dalam kota, memunculkan pembangunan jalan tol untuk memudahkan perjalanan kenderaan berat yang ingin melintas di kota Medan.

Pembangunan jalan tol diwilayah Bandar Selamat telah menyebabkan wilayah tersebut menjadi lokasi perwakilan kenderaan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendraan antar kota di wilayah ini didominasi oleh usaha kendraan yang berasal dari daerah Mandailing dan sekitarnya, hal ini kemudian menyebabkan banyaknya masyarakat Mandailing yang mendiami wilayah ini , selain itu pada


(50)

wilayah ini terdapat organisasi HIKMA ( Organisasi Keluarga Mandailing ). Organisasi ini setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga, tujuan organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antara masyarakat Mandailing di kota Medan.

2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung

Dalam penelitian ini wilayah pancing Medan Tembung juga merupakan lokasi penelitian dikarenakan masyarakat Mandailing juga banyak mendiami wilayah ini,wilayah Sei Agul, wilayah ini juga merupakan daerah alternatif tempat tingal. Adanya faktor jarak dimana dalam hal ini masyarakat Mandailing yang datang ke kota Medan dengan tujuan untuk menetap memilih jarak yang dekat dengan pusat transportasi yang menghubungkan antara tempat tinggal di kota Medan dan perwakilan transportasi serta kampung halaman mereka.

Kecamatan Medan Tembung adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan Perjuangan di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di Timur, Medan Denai di selatan, dan Kbupaten Deli Serdang di sebelah Utara. Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11 jiwa/km. kecamatan ini memiliki tujuh kelurahan diantaranya :

1. Tembung 2. Bandar Selamat 3. Indra Kasih


(51)

4. Siderejo 5. Siderejo Hilir 6. Bantan 7. Bantan Timur

2.3. Geografis

Koordinat geografis kota Medan Permukaan tanahmya cendrung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m atas permukaan laut.

Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, sedangkan di sebelah barat , selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Kota medan sendiri menjadi kota induk dari beberapa kota satelit di sekitarnya seperti kota Binjai, Lubuk Pakam, Deli Tua, dan Tebing Tinggi.

Luas kota Medan saat ini adalah 265,10 km2. sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 51,32 km2, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagai wilayah Kabupaten Deli Serdang.

2.4. Visi dan Misi Kota Medan

Untuk mewujudkan pembangunan kota Medan yang lebih terarah, terencana, menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan rencana strategik sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan. Kemasyarakatan di kota Medan untuk lima tahun ke depan.


(52)

Rencana stategik yang di tetapkan sekaligus menjadi strategi dasar bagi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan dan pengembangan kota, serta memberikan orientasi dan komitmen bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, disamping adanya rencana pembangunan kota yang handal, perlu adanya pengukuran pencapaian kinerja sebagai bentuk akuntabilitas publik guna menjamin peningkatan pelayanan umum yang diinginkan.

2.4.1. Visi Kota Medan

Pembangunan kota Medan merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu visi merupakan simpul dalam upaya menyusunan rencana strategis pembangunan kota. Sebagai gambaran identitas masa depan kota Medan maka perumusan visi didasarkan pada pertimbangan:

1. Persyaratan pembangunan kota, seperti berkembangnya demokrasi dan partisipasi, mendorong penegakan hukum, keadilan sosial dan ekonomi, pemerintahan yang kuat, efisien dan efektif, birokrasi yang kreatif dan inovatif, stabilitas politik dan keamanan yang kondusif, pelayanan publik yang prima, pemerataan pembangunan, dan pembangunan kota yang berkelanjutan.

2. Masalah dan tantangan serta kebutuhan pembangunan kota Medan dalam rangka mewujudkan kemajuan kota Medan yang metropolitan.

3. Kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan regional yang mendorong perkembangan kota Medan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan Indonesia bagian barat.


(53)

4. Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi

5. Nilai –nilai luhur, norma dan budaya yang telah lama dianut seluruh warga kota Medan.

2.4.2. Misi Kota Medan

Untuk mempertegas tugas dan tanggung jawab pembangunan dari seluruh

stakeholder maka visi pembangunan kota dijabarkan ke dalam misi yang jelas, terarah

dan terukur. Misi ini menjelaskan tujuan dan saran yang ingin dicapai dalam pembangunan kota sehingga diharapkan seluruh stakeholder dapat mengetahui dan memahami kedudukan dan peran masing-masing masyarakat dalam pembangunan. Adapun misi kota Medan adalah :

1. Mewujudkan percepatan pembangunan daerah pinggiran, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemajuan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat kota.

2. Mewujudkan tata pemerintahan yang lebih baik dengan birokrasi yang lebih efisien, efektif, kreatif, inovatif, dan responsif.

3. Peranan kota yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip keadilan sosial, ekonomi, budaya. Membangun dan mengembangkan pendidikan, kesehatan serta budaya daerah.

4. Meningkatkan suasana religius yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.


(54)

Penduduk kota Medan dapat digolongkan pada kategori masyarakat heterogen, yaitu masyarakat yang terdiri dari beragam etnis, suku, agama, ras dan golongan. Komposisi masyarakat kota Medan terdiri atas Melayu, Batak, ( Mandailing Toba, Pak-Pak. Simalungun, Angkola), Jawa, Aceh, Tionghoa, India (Tamil, Sikh ).

Komposisi masyarakat kota Medan yang heterogen terbagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terbelah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di kota Medan.

Luas kota Medan yang mencapai 265,10 km2 dan terdiri dari 21 daerah kecamatan yang terpecah lagi pada 155 daerah kelurahan. Kepadatan penduduk kota Medan mencapai 2.036.018 jiwa, dengan tingkat kepadatan 7.681 jiwa/km2.

2.6. Organisasi Masyarakat

Dari lima wilayah penelitian yang tersebar di kota Medan, masing-masing wilayah tersebut memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah persatuan masyarakat yang didasarkan atas aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di kota Medan terdapat pada beberapa organisasi

Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian, karena organisasi masyarakat merupakan kunci pembuka kepada beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun organisasi masyarakat tersebut adalah :


(55)

1. HIKMA, merupakan himpunan keluarga Mandailing. Organisasi masyarakat ini merupakan wadah perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan. HIKMA di kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu : Dewan Pengurus Daerah Tingkt I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang terdapat di jalan Letda Sujono-Medan.

2. IKANAS, adalah organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organisasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi.

3. Oorganisasi ini pada umumnya berdasarkan marga ataupun tempat asal (daerah Mandailaing)

2.7. Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan.

Pemilihan lokasi ini didasarkan atas beberapa hal, seperti sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Lokasi penelitian ini juga mendukung untuk melihat karakteristik masyarakat Mandailing di kota Medan. Karakteristik yang dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa jauh masyarakat Mandailing di kota Medan dalam memandang dan melakukan adat budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteriktik masyarakat Mandailing pada penelitian ini dibagi atas beberapa bagian :

1. Karakteristik masyarakat Mandailing yang masih memegang adat budaya Mandailing dalam kehidupan mereka tanpa berusaha menggabungkannya dengan adat budaya lain yang terdapat di sekitar lingkungan.


(56)

2. Karakteristik masyarakat Mandailing yang memegang adat budaya Mandailing dalam proses menggabungkannya dengan budaya lain yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

3. Karakteristik masyarakat Mandailing yang tidak mengenal adat budaya Mandailing dan memegang budaya lain seperti budaya Jawa, Melayu dan sebagainya

Adapun indikator yang dapat menunutun penelitian ini untuk dapat menjelaskan gambaran umum mengenai karakteristik masyarakat Mandailing di kota Medan. Adapun karakteristik masyarakat Mandailing di kota Medan adalah linguistik, sosial dan budaya.

Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah ( bahasa Mandailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa ini juga menyangkut masalah tutur yang dipergunakan untuk kerabat yang diharapkan dapat memberi gambaran tentang masalah penelitian ini. Indikator sosial adalah indikator yang berusaha untuk menangkap prilaku, cara pandang masyarakat Mandailing di kota Medan, dan melihat apakah mereka masih menggunakan adat Mandailing di kota Medan. Indikator yang terahir adalah budaya, indikator ini berhubungan dengan indikator linguistik dan sosial.

Melalui indikator ini dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat Mandailing yang melalui wawancara kepada informan dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Mandailing sebagian besar sudah berpikiran dan bertindak sesuai dengan lingkungannya, dalam hal ini dijelaskan bahwa masyarakat tersebut masih memegang adat budaya Mandailing dan berusaha untuk menerima budaya lain yang terdapat disekitarnya. Disisi lain karakteristi masyarakat Mandailing masih ada yang tetap mempertahankan adat buda Mandailing dalam kehidupan sehari-harinya, meskipun jumlah masyarakat Mandailing yang terdapat pada karakteristik ini cendrung sangat sedikit.


(57)

Peta Kota Medan Gambar 2


(58)

(59)

BAB III

PARTUTURON IDEAL PADA MASYARAKAT MANDAILING UMUMNYA

3.1. Hukum Adat Mandailing

Hukum adat Mandailing merupakan hukum adat yang harus dijalankan oleh seluruh masyarakat Mandailing, dimana hukum adat mandailing ini sering disebut dengan

(Paradaton). Hukum adat akan menjadi pedoman hidup masyarakat Mandailing serta

menjadi tolak ukur kedudukan seseorang di kalangan masyarakat. Pada dasarnya hukum adat dipimpin oleh kaum tua (hatobangon) masyarakat Mandailing. Hatobangon pada masyarakat Mandailing memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam Hukum adat (paradaton) masyarakat Mandailing. Setia upacara adat akan terlebih dahulu di musyawarahkan dengan pihak hatobangon dan disetujui baru acara tersebut dapat dilaksanakan. Hal ini merupakan wujud dari hukum adat Mandailing yang menunjukkan rasa hormat terhadap tetua suatu daerah (huta).

Masyarakat Mandailing terbentuk melalui tetua suatu huta yang dijadikan sebagai

hatobangon pada Masyarakat Mandailing. Hatobangon ini juga merupakan kelompok

pembangun huta pada masyarakat Mandailing yang disebut (pambuka huta). Pambuka huta merupakan orang yang pertama sekali membuka suatu lahan dan dijadikan sebagai tempat bermukim. Kemudian disusul oleh beberapa orang sehingga berkembang menjadi suatu daerah perkampungan (huta) yang membentuk suatu kemasyarakatan bagi masyarakat Mandailing.

Masyarakat adat Mandailing di mulai dari satu keluarga menjadi beberapa keluarga, kemudian berkembang dari satu keluarga menjadi satu marga (suku), dan kemudian


(1)

3. Partuturon dapat berubah melalui faktor bahasa yang dipergunakan sehari-hari.

Aturan adat akan tetap terlaksanakan ketika aturan dan adat itu terus di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan adat Mandailing terkait istilah

partuturon Mandailing, melalui bahasa dan istilah sehari-hari yang tidak berdasarkan

ketentuan adat akan membuat sebagian besar masyarakat Mandailing melupakan istilah-istilah partuturon Mandailing karena tutur sesuai adat jarang dipakai. Hal ini juga besar pengaruhnya terhadap perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

4. Perubahan partuturon pada masarakat Mandailing di kota Medan juga tidak terlepas dari klengahan orang tua mendidik anak-anaknya untuk tetap melestarikan adat budaya Mandailing. banyak kalangan remaja yang tidak mengetahui adat dan istlah

partuuron Mandailing karena pada dasarnya sejak kecil tidak diperkenalkan dengan

adat Mandailing bahkan tidak diajari untuk mengerti adat dan menggunakan bahasa serta istilah partuturon mandailing

Berubahnya partuturon menyebabkan berubahnya status dan peran seseorang, serta dapat menghilangkan nila-nilai adat dimana dalam adat Mandailing terdapat aturan sikap diantara sesama kerabat. Ketentuan untuk bersikap sangat hormat, bersikap sungkan serta bersikap bebas. Ketentuan bersikap pada masyarakat Mandailing dapat berubah ketika istilah

partuturon yang dipakai juga berubah. Misalnya istilah amang dan inang adalah istilah untuk

penyebutan ayah dan ibu yang sesuai adat Mandailing dimana ketika istilah amang dan inang ini dipakai hubungan antara anak dan kedua orangtuanya juga akan mengikuti aturan adat Mandailing. dalam adat Mandailing seorang anak perempuan selain harus hormat juga harus bersikap sungkan terhadap ayahnya. Anak perempuan tidak dapat bersikap lebih bebas karena anak perempuan diharuskan lebih dekat dengan inang (ibu). Begitujuga terhadap saudara laki-laki (ankang) harus bersikap sungkan. Sikap sungkan ini akan melahirkan


(2)

pantangan-pantangan misalnya anak perempuan tidak diperbolehkan tidur disetiap ruangan rumah melainkan harus di kamar.

Sebaliknya anak laki-laki harus bersikap sungkan terhadap ibu dan saudara perempuannya (iboto). Hal ini dilakukan karena masyarakat Mandailing memiliki adat sopan santun yang sangat tinggi sehingga ketika dua orang yang berlainan jenis meskipun itu ibu atau saudara kita harus tetap menjaga jarak untuk menghindari hal-hal yang buruk. Hal ini biasanya diharuskan ketika anak-anaknya beranjak dewasa.

Ketika tutur berubah dengan istilah papa dan mama untuk menyebut ayah dan ibu maka hukum adat mandailing itupun semakin hilang. Ketentuan sikap sangat hormat, sungkan dan bebas sudah tidak berlaku lagi. Semua anggota keluarga dapat bersikap sangat bebas selama dalam konteks hormat. Anak perempuan bisa sangat bebas terhadap ayahnya tanpa ada rasa sungkan begitu juga terhadap saudara laki-lakinya (iboto). Anak laki-laki juga bersikap bebas terhadap ibu Dan saudara perempuannya (iboto) karena aturan –atyran untk menjaga sikap dan pantangan-pantangan itu sudah tidak ada lagi. Perubahan istilah partuturon papa dan mama membuat sikap turut berubah dari aturan yang menggunakan istilah inang dan amang.

Perubahan partuturon ini membuat hubungan kekerabatan semakin renggang karena dengan tutur yang berbeda maka rasa kesatuan etnisitas juga akan semakin hilang. Begitu juga dengan penunjukan identitas yang tidak sesuai dengan jati diri sebagai etnis Mandailing. dengan istilah yang berubah hubungan kekerabatan juga semakin jauh bahkan hilang.

marga merupakan penunjukan identitas yang dapat menentukan sejahmana hubungan kekerabatan dengan kerabat yang lain. Orang yang semarga dalam ketentuan adat Mandailing dianggap sebagai saudara atau kerabat dekat karena dianggaap memiliki hubungan darah melalui nenek moyang yang sama. melalui marga akan membentuk hubungan kekerabatan


(3)

atau dianggap saudara. Sehingga dalam adat Mandailing ada ketentuanuntuk menghindari pernikahan semarga karena dianggap tabu.

5.2.Saran

Perubahan merupakan hasil cipta manusia dimana perubahan terjadi karena banyak faktor dan kepentingan yang terkait di dalamnya. Perubahan dapat memberikan dampak yang lebih baik, namun sebaliknya perubahan juga dapat memberi dampak yang tidak baik.seperti halnya perubahan partuturon telah memberi pengaruh yang kurang baik terhadap hubungan kekerabatan masyarakat Mandailing di kota Medan.

Berdasarkan hasil penelitian perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing dipicu oleh banyak faktor, oleh sebab itu perlu adanya upaya pelestarian budaya dan adat Mandailing di kota Medan. Sehingga perlu ditegaskan beberapa saran yang bertujuan untuk merubah pola pikir dan cara pandang masyarakat Mandailing yang terdapat di kota Medan dalam melihat istilah-istilah partuturon yang sesuai dengan adat dan budaya Mandailing :

1. Masyarakat Mandailing sudah selayaknya mengetahui dan memahami serta melaksanakan budaya dan adat Mandailing. Berpedoman terhadap ketentuan adat Mandailing merupakan kewajiban setiap masyarakat Mandailing. Seseorang layak menyatakan jati dirinya sebagai masyarakat yang berasal dari etnis Mandailing jika sudah melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab untuk tetap mempertahankan kelestarian budaya dan adat-istiadat etnis Mandailing.

2. Masyarakat Mandailing yang berada di perantauan khususnya di kota Medan pada dasarnya tetap memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk tetap memahami dan menjalankan budaya dan adat Mandailing. Tanggungjawab


(4)

terhadap kelangsungan budaya dan adat Mandailing akan semakin berat karena terdapat keberagaman budaya lain yang dilengkapi dengan adat-istiadat masing-masing. Sehingga untuk tetap melestarikan budaya Mandailing harus diawali dengan pengablikasian adat dan budaya Mandailing dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan tetap memahami bahasa dan istilah Mandailing serta hukum-hukum adat Mandailing.

3. Perubahan adat Mandailing dikota Medan yang terkait dengan berubahnya istilah

partuturon dapat diatasi melalui kesadaran setiap individu dari etnis Mandailing

untuk tetap mempertahankan nilai budaya Mandailing di kota medan dengan memahami serta menggunakan aturan-aturan adat mandailing seperti bahasa dan istilah-istilah partuturon adat Mandailing

4. Peran dan didikan orang tua juga sangat dibutuhkan dalam pelestarian budaya dan adat Mandailing. Orang tua sudah selayaknya mengenalkan adat dan budaya Mandailing terhadap anak-anaknya sejak dini. Mulai dari aturan adat Mandailing, bahasa mandailing dan istilah partuturon Mandailing. sehingga anak tumbuh dengan pribadi yang mengenal adat istiadat sesuai dengan jati dirinya.

5. Sarana pendidikan seperti sekolah-sekolah juga perlu membekali mental dan jiwa nasionalisme dan etnisitas terhadap anak-anak. Pembentukan pola pikir bahwa setiap manusia berasal dari satu ras tau etnis yang harus dilestarikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

6. Istilah partuturon, bahasa dan hukum adat Mandailing merupakan pedoman keharmonisan hubungan diatara sesama kerabat pada masyarakat Mandailing. untuk itu agar hubungan diantara sesama kerabat tetap terjalin sesuai peran dan tanggungjawabnya maka istilah partuturon pun harus sesuai hukum adat.


(5)

DARTAR PUSTAKA Bachri. 1999.

Pergeseran Hukum Adat di Sumatera Utara. Medan: Makalah.

Bungin, Burhan. 2007.

Penelitian Kualitatif. Surabaya : Kencana Prenada Media Group.

Berutu, Lister. 2006.

Pertuturen Pakpak. Medan: PT. Grasindo Monoraama.

Denim, Sudarwan. 2002.

Menjadi Peneliti Kualitatif. Bengkulu: CV. Pustaka Setia.

Ihromi, T.O.1994.

Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Izarwisma. 1989.

Tata Kelakuan Keluarga di Lingkungan Pergaulan dan Masyarakat. Jakarta:

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Hamzah, Suhunan, Prof, SH, 1960.

Diktat Hukum Adat. Fakultas Hukum USU : Medan.

Mohammad, Said, Soetan Koemala Boelan. 2009.

Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang.

Pandapotan, SH. 2005.

Adat Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov.Sumatera Utara.

Keesing, Roger. 1989.

Antropologi budaya. Edisi kedua, Jilid 1. Jakarta:Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat. 1972.


(6)

Koentjaraningrat. 2007.

Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:PenerbitUniversitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 1990.

Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.

Ritonga, Parlaungan, 2004.

Partuturan dalam Masyarakat Tapanuli Selatan. Medan : Bartong Jaya.

Sati. 2005.

Menuju Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Soeroengan.

Situs Internet :

(http//id.wikipedia.org/wiki/Medan gambar guru patimpus diakses pada 23/ Januari/ 2011. ) gambaran kota Medan diakses pada 25 Februari 2011 Diakses 21/02/2011 ) ( Maret 2010.)