BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Antropologi secara harfiah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia beserta kebudayaannya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar 1980:193. Dari
definisi tersebut maka ilmu antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia beserta segala aspek kehidupan manusia.
Antropologi visual adalah salah satu sub-ilmu dari antropologi yang mempelajari manusia dan kebudayaannya dengan perhatian terhadap bentuk penyajian data secara
visual, Sejalan dengan hal tersebut ada dua fokus penting dalam kajian visual antropologi, yaitu penggunaan materi visual dalam suatu bentuk penelitian antropologi
dan studi mengenai sistem visual dan budaya kasat mataterlihat Morphy dan Marcus, 1999:1-2. Kemunculan sub-ilmu visual antropologi menimbulkan dua golongan
pendapat dalam ilmu antropologi secara umum, kedua golongan tersebut adalah golongan pertama yang memiliki pendapat bahwa visual antropologi hanyalah suatu data-
subtitution data tambahanpelengkap dalam penelitian antropologi, golongan kedua adalah golongan yang berpendapat bahwa visual antropologi merupakan suatu sub-ilmu
dari antropologi yang memiliki konsekuensi metodologis terhadap antropologi Ibid, 1999:1-2.
Tulisan ini tidak memihak pada salah satu golongan pendapat mengenai visual antropologi karena penulis mencoba untuk melihat kedua hal tersebut bukan sebagai
suatu perbedaan melainkan sebagai dua hal yang memiliki keterkaitan serta memiliki peran yang penting dalam penelitian.
Penggunaan visual antropologi dalam tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan penggunaan Gordang Sambilan secara menyeluruh, adapun penggunaannya adalah
sebagai bentuk kesenian. Koentjaraningrat mengatakan bahwa kesenian merupakan salah satu bagian dari
tujuh unsur kebudayaan universal 1996:80-81, sebagai bagian dari tujuh unsur
kebudayaan, kesenian memiliki peranan yang menentukan dalam suatu bentuk kebudayaan, salah satunya adalah upacara keagamaan, dalam upacara keagamaan
terdapat unsur menyanyi nyanyian suci dan memainkan drama Koentjaraningrat, 1980:393, dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan
keindahan itu dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu : 1 seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan 2 seni suara, atau kesenian yang
dinikmati oleh manusia dengan telinga Koentjaraningrat, 1980:395-396, dalam hal ini kesenian dimunculkan salah satunya dalam bentuk alat musik.
Menurut Koentjaraningrat bagi masyarakat Indonesia, pada umumnya kebudayaan adalah “kesenian”, yang bila dirumuskan, bunyinya sebagai berikut :
Kebudayaan dalam arti kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga
ia dapat dinikmati dengan pancainderanya yaitu penglihat, penghidu, pengecap, perasa, dan pendengar 1999:19.
Masyarakat Sumatera Utara terdiri dari enam sub-grup Batak yaitu : Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola Sipirok Purba, 2004:60, keenam
sub-grup Batak ini memiliki akar kebudayaan yang sama seperti adat istiadat dan kekerabatan, keenam sub-grup ini memiliki budaya merantau ke pusat kota dalam hal ini
kota Medan, kebudayaan merantau pada keenam sub-grup masyarakat Batak ke pusat kota seperti kota Medan diawali pada masa kolonial, tepatnya ketika perkebunan-
perkebunan besar dibuka di Sumatera Timur dengan pusat pemerintahan terletak di kota Medan.
Dari keenam sub-grup Batak yang menjadi pekerja perkebunan di masa kolonial Belanda ini salah satunya adalah etnis Mandailing
1
yang mendapatkan keistimewaan dari pihak Sultan Deli berupa hak pakai tanah sebagai tempat tinggal para pekerja di daerah
Sei Mati. Sebagai masyarakat yang melakukan perpindahan dari desa ke kota sebagai pekerja perkebunan, masyarakat Mandailing tidak serta merta melupakan
kebudayaannya.
1
Etnis Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun dimanapun ia bertempat tinggal, etnis Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun di
manapun ia bertempat tinggal Nasution, 2005:13.
Kebudayaan masyarakat Mandailing salah satunya dimunculkan dalam bentuk upacara adat yang memiliki unsur kesenian, dimana Gordang Sambilan digunakan
sebagai alat musik pengiring upacara adat tersebut. Gendang secara harfiah dapat dikatakan sebagai suatu jenis alat musik pukul, di
daerah Tapanuli Batak pada umumnya gendang dikenal dengan berbagai macam nama, gendang yang diangkat dalam masalah ini adalah Gordang Sambilan. Gordang dapat
diartikan sebagai suatu lagu dari keseluruhan musik Gordang. Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai 1 menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat
usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari Manortor pada saat upacara berlangsung http:www.silaban.net20060702
. Gordang Sambilan yang menjadi fokus adalah penggunaan Gordang Sambilan
bagi masyarakat etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan, memang pada kenyataannnya banyak alat musik tradisional Mandailing lainnya namun pemilihan
Gordang Sambilan menjadi fokus tulisan ini dikarenakan Gordang adalah suatu alat musik yang memiliki susunan atau formasi lengkap dalam memainkannya tidak seperti
alat musik lainnya yang dapat dimainkan secara tunggal sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa gordang merupakan alat musik ritmis, ritmis dalam hal ini berarti bahwa
Gordang Sambilan dalam penggunaannya berupa alat musik yang memiliki kemampuan untuk mengiringi suatu komposisi repertoir lagu.
Kegunaan Gordang Sambilan yang terdapat pada masyarakat Mandailing secara tradisional diperuntukkan dan hanya dimiliki serta dapat digunakan oleh raja dan
keturunannya. Oleh sebab itu, Gordang Sambilan ditempatkan disebuah tempat khusus yang disebut dengan Bagas Gondang Rumah Besar di dekat kediaman Raja. Dalam
masyarakat Mandailing, Gordang Sambilan pada dasarnya memiliki makna ganda. Secara linguistik dapat diartikan sebagai : 1. menunjukkan pada perangkat gendang yang terdiri
dari sembilan buah, atau 2. sebagai suatu kesatuan antara Gordang Sambilan beserta kelengkapannya. Beberapa komposisi dalam permainan Gordang Sambilan secara
tradisional diantaranya berhubungan dengan ritual maupun seremonial yang bersifat spiritual Harahap dan Rithaony, 2004:4.
Ketertarikan akan penggunaan Gordang Sambilan pada masyarakat etnis Mandailing di kota Medan disebabkan karena Gordang disamping sebagai suatu alat
musik ternyata memiliki penggunaan yang lain yaitu sebagai suatu media ritual adat dan yang menjadi fenomena adalah penggunaan Gordang Sambilan daerah perantauan etnik
Mandailing Medan. Gordang Sambilan menarik untuk diteliti karena pada saat sekarang ini sudah
jarang sekali upacara adat Mandailing di kota Medan yang menggunakan Gordang Sambilan kalaupun ada kemungkinan Gordang tersebut telah mengalami perubahan dari
bentuk dan makna aslinya, seperti jenis irama yang dibawakan, peruntukkannya serta adanya alat musik tambahan yang tidak termasuk dalam perlengkapan Gordang Sambilan
secara mainstream. Makna yang terkandung dari Gordang Sambilan merupakan suatu bentuk manifestasi dari sistem kebudayaan masyarakat Mandailing, dan hal ini menjadi
suatu daya tarik sendiri serta menjadi kekayaan dalam khasanah budaya Indonesia secara luas. Makna Gordang pada masyarakat Mandailing adalah sebagai suatu alat musik yang
memiliki peranan penting dalam setiap kegiatan masyarakat, dalam upacara-upacara masyarakat Mandailing, Gordang selalu ada untuk mengiringi acara tersebut, seperti :
kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain lain. Secara praktis tujuan penulisan mengenai penggunaan Gordang Sambilan suatu
video etnografi pada masyarakat Mandailing di kota Medan adalah untuk melihat seberapa jauh eksistensi Gordang Sambilan hiburan dan ritual dalam konteks
masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan serta sebagai sebentuk kajian visual antropologi. Dalam masyarakat Mandailing sendiri Gordang Sambilan
sudah mengalami pergeseran makna menjadi suatu bentuk hiburan, sedangkan pada asal mulanya Gordang adalah suatu media kesenian yang mengandung nilai-nilai ritual bagi
masyarakat Mandailing sendiri.
1.2. Perumusan Masalah