Sistem Perkawinan Keragaman Genetik dan Sistem Perkawinan .1 Keragaman Genetik

Oleh karena itu, sistem perkawinan sangat penting dalam membentuk struktur genotipik dari generasi selanjutnya. Menurut Finkeldey 2005 sistem perkawinan populasi tanaman melibatkan beberapa aspek penting yaitu diantaranya penyerbukan sendiri selfing, penyerbukan silang outcrossing, kawin acak random mating, dan kawin berpilih assortative mating. Tipe sistem perkawinan pada suatu jenis tanaman memiliki pengaruh yang kuat terhadap pola keragaman dan sistem perkawinannya sangat tergantung pada karakter yang dipilih mating reference untuk mengelompokan tipe-tipe perkawinan kedalam kawin acak ataupun berpilih. Pemilihan mating reference tergantung pada keberadaan informasi tentang frekuensi tipe genotypes di dalam populasi danatau pada aspek khusus dari sistem perkawinan Starck, Gregorius 1988. Apabila frekuensi dan pemilihan tipe perkawinan yang tepat mating reference telah ditentukan maka karakter dasar dari suatu sistem perkawinan disebut sebagai mating preferences perkawinan yang dikehendaki. Sistem perkawinan dalam suatu tegakan sumber benih perlu dipahami dengan benar karena akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas generasi keturunannya. Dikatakan bahwa potensi yang besar dari suatu sumber benih tidak akan terjadi secara maksimal pada generasi keturunannya apabila beberapa faktor tidak diperhatikan, seperti tidak seimbangnya produksi bunga betina dan bunga jantan, kurangnya sinkronisasi perkembangan diantara organ reproduksi, perbedaan kompatibilitas antar klon, frekuensi yang signifikan dari penyerbukan sendiri secara alami dan pengaruh yang tidak dikehendaki dari sumber polen ekternal Burczyk Chalupka 1997. Menurut El-Kassaby et al. 1984 proses pembungaan akan mempengaruhi keberhasilan perkawinan antar klon di dalam suatu populasi sumber benih, dengan demikian akan berdampak terhadap kualitas maupun kuantitas produksi benih yang dihasilkan. Kang 2000 juga mengindikasikan bahwa kelimpahan bunga merupakan kunci keberhasilan perkawinan, karena komposisi genetik pada suatu tegakan sumber benih sangat tergantung pada jumlah bunga betina dan jantan yang dihasilkan oleh populasi pohon induk. Demikian juga, proporsi relatif bunga betina dan jantan akan mempengaruhi jumlah benih bernas melalui tingkat ketersediaan polen ketika organ betina reseptif Choi et al. 2004. Ikatan yang penting antara setiap generasi berikutnya dari jenis yang bereproduksi seksual adalah transmisi gamet dari organ jantan ke organ betina Nurtjahjaningsih 2008. Pola transmisi adalah merupakan sistem perkawinan suatu jenis Hartl Clark 1997, maka bersama-sama dengan aliran gen yang dimediasi oleh polen dan biji mempunyai pengaruh yang kuat terhadap struktur genetik populasi tanaman Burczyk et al 2004, Dow Ashley 1998. Berbagai tipe sistem perkawinan dijelaskan sebagai berikut Finkledey 2005: Perkawinan Acak random mating: Dalam populasi perkawinan acak, semua mating preferences adalah sama dengan satu. Sebuah tipe Ti dikatakan berkawin acak jika tidak menunjukkan adanya preferensi terhadap tipe tertentu lainnya. Preferensi kawin dari tipe Ti terhadap tipe Tj berarti tipe Tj lebih sering menjadi pasangan dari tipe Ti dibandingkan dengan ‘yang dikehendaki’ berdasarkan frekuensinya di populasi. Dalam hal ini tipe Ti lebih menyukai tipe Tj sebagai pasangan perkawinan Finkeldey 2005. Perkawinan Berpilih Assortative Mating: Kawin acak sulit terjadi pada jenis pohon hutan tropis yang mempunyai kerapatan rendah. Struktur spasial dan karakter pembungaan early atau late flowering akan menyebabkan adanya preferensi diantara tipe-tipe tertentu atau disebut perkawinan berpilih assortative mating. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kawin berpilih adalah merupakan sebuah penyimpangan dari kawin acak. Perkawinan Tidak Acak Non-Random Mating: Dalam populasi pohon hutan perkawinan tidak acak diharapkan akan sering terjadi. Hal ini disebabkan periode pembungaan yang jelas bervariasi pada individu pohon, dan kemungkinan inkompatibilitas prezygotic pada kebanyakan jenis pohon angiospermae, memunculkan berbagai bentuk positif atau negatif dari assortative mating. Penyerbukan sendiri self pollination dimungkinkan terjadi pada jenis yang berumah satu monoceous dan hermaprodit, namun biasanya dicegah dengan mekanisme genetika yang luas atau perbedaan pematangan antera putik jantan dengan stigma putik betina yang kesemuanya disebut self-incompatibility. Self-incompatibility secara genetis sering terjadi pada banyak pohon hutan tropis, yang ditandai dengan sedikit atau tidak ada pembentukan biji setelah melakukan penyerbukan sendiri Bawa et al. 1985. Pada jenis konifer, umumnya yang terjadi adalah perbedaan waktu pematangan antara bunga jantan dan bunga betina, namun dapat juga karena pemandulan sendiri self-sterility dimana biji gugur sebelum matang dan kematian ini diduga karena matinya gen resesif, yaitu terjadi setelah individu yang berkerabat dekat melakukan penyerbukan inbreeding NAS 1991. Pada tanaman mindi belum diketahui secara jelas model perkawinan yang terjadi. Walaupun struktur bunga memiliki tipe hermaprodit, namun belum diketahui apakah melakukan perkawinan sendiri atau silang atau campuran keduanya. Memperhatikan potensi reproduksi yang cukup tinggi pada tanaman mindi dengan keberhasilan reproduksi sebelum perkecambahan KRSP 34 Syamsuwida 2009, tidak dipublikasi, maka diduga tanaman mindi banyak melakukan perkawinan silang outcrossing, sehingga menghasilkan ratio ovul terhadap biji yang relatif tinggi. Walaupun hal ini masih perlu dikaji dengan menganalisis secara genetik pohon induk dan keturunannya untuk mengetahui derajat outcrossing tanaman mindi.

2.3.3 Penyimpangan Genotipe dalam Sistem Perkawinan Inbreeding

Ketika polen dari suatu pohon menyerbuki bunga yang terdapat pada pohon itu sendiri, maka disebut penyerbukan sendiri selfing. Hal ini juga dapat diterapkan pada penyerbukan yang terjadi antara ramet bahan tanaman berasal dari organ vegetatif dari famili yang sama. Meskipun ramet-ramet tersebut berbeda tanaman, mereka tetap identik secara genetik. Selfing sering terjadi pada geitonogami penyerbukan dari bunga yang berbeda pada satu tanaman dan autonogami penyerbukan dari bunga yang sama. Kedua tipe sexual ini termasuk pada tumbuhan hermaprodit yaitu tanaman yang berbunga sempurna dimana gamet jantan maupun betina dihasilkan pada satu bunga yang sama. Penyerbukan sendiri ini tidak mungkin terjadi pada jenis tanaman yang dioecious berumah dua dimana bunga jantan dan bunga betina dihasilkan pada dua individu yang berbeda. Untuk mengetahui seberapa besar ovul yang dibuahi oleh serbuk sari pada penyerbukan sendiri maka dapat diduga dengan besarnya derajat selfing s. Derajat selfing satu tanaman biasanya dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor penentu genetik yang benar-benar menolak selfing adalah system seksual dioecious dan system inkompatibilitas. Faktor genetik lain adalah postzygotic self-sterility sterilitas otomatis setelah zigot yaitu suatu mekanisme genetis yang menghasilkan keturunan hasil selfing dalam frekuensi rendah. Tanaman hutan yang biseksual, banyak yang mampu melakukan penyerbukan selfing dan outcrossing. Derajat selfing dari tanaman yang melakukan system perkawinan campuran tersebut menunjukkan variasi temporal dan spasial. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh kondisi lingkungan pada sistem perkawinan campuran. Derajat selfing biasanya diduga berdasarkan pola variasi genetik pada lokus-lokus gen penanda yang terdapat pada keturunan dari satu pohon induk dan atau suatu populasi. Metode yang digunakan adalah pendugaan derajat selfing berdasarkan alelik yang jarangunik pada lokus gen tertentu. Yang dimaksud dengan alelik yang jarang adalah alelik yang tidak dimiliki oleh pohon lain yang bereproduksi pada populasi yang sama. Alelik yang unik pada lokus gen yang ko-dominan akan mudah dikenali apabila pohon tersebut homozygot. Tetapi kasus ini jarang terjadi pada populasi alam. Pada populasi alam, alelik yang unik biasanya ditemukan pada organisme heterozigot. Metode lain yang digunakan untuk menduga derajat selfing adalah berdasarkan model perkawinan campuran. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari selfing berbeda dalam banyak hal dari struktur genotipik keturunan hasil outcrossing. Keturunan hasil selfing hanya mempunyai alelik-alelik dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan dapat berbeda dari pohon induknya, apabila pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil outsrossing membawa alelik-alelik yang ada di populasi. Penurunan proporsi heterozigot yang khas dapat diduga pada keturunan hasil selfing , bila dibandingkan dengan dengan keturunan dari outcrossing secara penuh. Penyimpangan genotipe biasanya selalu ada dalam sistem perkawinan dimana asumsi yang diberikan pada model perkawinan campuran tidak selalu terpenuhi pada populasi tanaman sesungguhnya. Misalnya, model perkawinan campuran mengasumsikan bahwa zigot yang berasal dari selfing atau crossing adalah secara acak. Namun ternyata, frekuensi alelik dari serbuk sari asing yang berhasil diasumsikan, tidak berbeda diantara pohon induk. Penyimpangan dan