Penyimpangan Genotipe dalam Sistem Perkawinan Inbreeding

lingkungan. Faktor penentu genetik yang benar-benar menolak selfing adalah system seksual dioecious dan system inkompatibilitas. Faktor genetik lain adalah postzygotic self-sterility sterilitas otomatis setelah zigot yaitu suatu mekanisme genetis yang menghasilkan keturunan hasil selfing dalam frekuensi rendah. Tanaman hutan yang biseksual, banyak yang mampu melakukan penyerbukan selfing dan outcrossing. Derajat selfing dari tanaman yang melakukan system perkawinan campuran tersebut menunjukkan variasi temporal dan spasial. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh kondisi lingkungan pada sistem perkawinan campuran. Derajat selfing biasanya diduga berdasarkan pola variasi genetik pada lokus-lokus gen penanda yang terdapat pada keturunan dari satu pohon induk dan atau suatu populasi. Metode yang digunakan adalah pendugaan derajat selfing berdasarkan alelik yang jarangunik pada lokus gen tertentu. Yang dimaksud dengan alelik yang jarang adalah alelik yang tidak dimiliki oleh pohon lain yang bereproduksi pada populasi yang sama. Alelik yang unik pada lokus gen yang ko-dominan akan mudah dikenali apabila pohon tersebut homozygot. Tetapi kasus ini jarang terjadi pada populasi alam. Pada populasi alam, alelik yang unik biasanya ditemukan pada organisme heterozigot. Metode lain yang digunakan untuk menduga derajat selfing adalah berdasarkan model perkawinan campuran. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari selfing berbeda dalam banyak hal dari struktur genotipik keturunan hasil outcrossing. Keturunan hasil selfing hanya mempunyai alelik-alelik dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan dapat berbeda dari pohon induknya, apabila pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil outsrossing membawa alelik-alelik yang ada di populasi. Penurunan proporsi heterozigot yang khas dapat diduga pada keturunan hasil selfing , bila dibandingkan dengan dengan keturunan dari outcrossing secara penuh. Penyimpangan genotipe biasanya selalu ada dalam sistem perkawinan dimana asumsi yang diberikan pada model perkawinan campuran tidak selalu terpenuhi pada populasi tanaman sesungguhnya. Misalnya, model perkawinan campuran mengasumsikan bahwa zigot yang berasal dari selfing atau crossing adalah secara acak. Namun ternyata, frekuensi alelik dari serbuk sari asing yang berhasil diasumsikan, tidak berbeda diantara pohon induk. Penyimpangan dan asumsi lainnya dari model perkawinan campuran kemungkinan adalah jenis tanaman dengan kerapatan rendah. Penyimpangan dari asumsi model tersebut dapat menyebabkan lahirnya pendugaan yang tidak ada artinya secara biologis, seperti derajat outcrossing yang secara nyata lebih tinggi dari 1, sehingga konsekuensinya derajat selfing menjadi negative suatu hal yang tidak mungkin terjadi Finkeldey 2005. Bentuk penyimpangan genotipe yang sering terjadi dalam sistem perkawinan adalah adanya inbreeding penyerbukan dalam. Selfing bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya inbreeding. Beberapa mekanisme dapat mengurangi kemungkinan selfing, akan tetapi tidak dapat dilakukan pada inbreeding. Tingkat inbreeding tidak hanya ditentukan oleh sistem reproduksi alami, tetapi juga oleh struktur famili yang mana dipengaruhi oleh karakteristik polen dan penyebaran benih Finkeldey 2005. Penyebaran polen dan benih yang melampaui batas area dapat meningkatkan kekerabatan genetik dari individu yang berdekatan didalam sebuah populasi perkawinan jadi berpotensi untuk inbreeding. Ketahanan hidup beberapa pohon dibandingkan dengan yang lainnya dalam sebuah populasi juga dapat mengakibatkan relatif sedikitnya individu yang secara genetik mendominasi gene pool . Hal ini, apabila dikombinasikan dengan faktor-faktor seperti ketidaksesuaian antara bunga jantan dan bunga betina, generasi yang overlapping didalam populasi, dan rasio seksual yang tidak sama, akan lebih berpotensi meningkatkan derajat inbreeding. Apomiksis, atau reproduksi uniparental yang tampaknya umum terjadi pada beberapa pohon hutan tropis Ashton 1988, juga berkontribusi terhadap terjadinya inbreeding. Akibat dari faktor-faktor tadi, maka ukuran populasi yang efektif sehubungan dengan kapasitas reproduksi, sering lebih kecil daripada jumlah total pohon dewasa. Inbreeding dapat juga terjadi pada jenis pohon yang dioecious yang sepenuhnya self-incompatible . Konsekuensi genetik dari inbreeding menghasilkan penurunan frekuensi heterozygote dibandingkan dengan keturunan yang bukan inbreeding, yang mempengaruhi seluruh lokus-lokus gen.

2.4 Penanda Genetik Mikrosatelit

Mikrosatelit atau SSRs Simple Sequence Repeats merupakan penanda genetik yang terdiri dari rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Penanda mikrosatelit sangat cocok untuk menganalisis tingkat keragaman genetik dalam populasi serta aliran gen yang terjadi dengan kriteria ko-dominan, allel ganda dan mengandung polimorfisme tinggi serta diwariskan mengikuti hukum Mendel White Powel 1997, Weising et al 2005. Akan tetapi, proses yang panjang dalam mengisolasi mikrosatelit dan frekuensi SSR yang relatif rendah pada tanaman Powel et al. 1996, menyebabkan sekuen primer dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi satu spesies lain yang berdekatan secara taksonomis dalam satu famili White Powel 1997. Keuntungan lain yaitu apabila satu primer yang spesifik telah didesain, lokus SSR dapat diamplifikasi dari hanya sedikit sampel DNA dengan PCR. Primer PCR yang digunakan khusus untuk mengamplifikasi motif berulang yang hipervariabel dalam genom inti atau organel. Sehingga alel lokus tunggal yang tegas dapat dengan mudah dinilai. Akan tetapi, lokasi bermikrosatelit berbeda antar taxa, sehingga diperlukan pengembangan yang mahal dan sulit Linhart 2002. Namun demikian, studi tentang konservasi mikrosatelit antar tanaman legume mengindikasikan bahwa ada potensi yang tinggi untuk mentransfer penanda mikrosatelit antar taxa yang berdekatan Dayanandan et al. 1997. Karena polimorfisme yang tinggi maka mikrosatelit dipandang sebagai penanda molekuler paling informatif dalam memberikan informasi genetik untuk studi keragaman genetik pada populasi alam Rafalski et al. 1996. Beberapa permasalahan dalam penggunaan penanda mikrosatelit diantaranya: 1 Pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman. Primer-primer itu perlu diskrining dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain 2 Slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat salah atau menyimpang sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya. 3 Ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan oleh Taq polimerase yang menambah nukleotida adenosin sampai ujung 3’ produk amplifikasi. Permasalahan juga dapat terjadi ketika pendataan dan dikenal dengan homoplasi. Homoplasi didefinisikan ketika dua alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi dapat menyebabkan masalah dalam menganalisis genetika populasi, yaitu dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran pohon tetangga, metode penetapan dan analisis filogenetika Estoup et al. 2002. Karena kemampuannya dala menghasilkan pita polymorfik, mikrosatelit sangat cocok digunakan dalam mengidentifikasi secara individual, menilai keragaman genetik dan aliran gen serta mengindentifikasi provenan mimba India dan mimba Thailand Boontong et al. 2008. Mikrosatelit bersama dengan AFLP juga digunakan dalam mengembangkan pemetaan gen yang baru Gailing Wuehlisch 2004. Teknik mikrosatelit telah banyak digunakan pada tanaman kehutanan seperti Azadirachta indica Boontong et al. 2008, mahoni Swietenia macrophylla Lemes et al. 2003, Lemes et al. 2010, Cabralea canjerana Meliaceae Pereira et al. 2011, Phitocelebium elegans Dayanandan et al. 1997. 2.5 Perbenihan Tanaman Mindi 2.5.1 Sumber Benih Benih yang baik selayaknya diperoleh dari sumber benih yang sudah diidentifikasi sejarah genetis, sebaran asal mapun kesesuaian tempat tumbuhnya. Hasil penelitian Pramono et al. 2008 menyatakan bahwa di Jawa Barat masih sedikit ditemukan tegakan mindi yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih yang layak untuk disertifikasi. Namun demikian, berdasarkan zonasi ketinggian tempat, beberapa daerah dapat direkomendasikan sebagai berpotensi untuk dikembangkan menjadi areal sumber benih hutan rakyat. Daerah tersebut diantaranya Kecamatan Cigugur – Kab. Ciamis, Kec. Wanayasa – Kab. Purwakarta, Kec. Megamendung dan Sukaraja – Kab. Bogor, Kec. Cimalaka – Kab. Sumedang, Kec. Babakan Rema - Kab. Kuningan, Kec. Ciwidey – Kab. Bandung. Secara genetis, keragaman populasi tanaman mindi di hutan rakyat tersebut dikatagorikan sedang yaitu antara 0,16-0,19 Yulianti 2011, dengan penampakan fenotipe batang dan tajuk yang memperlihatkan pertumbuhan tegakan yang baik.