Hasil dan Pembahasan Hasil :

et al . 2007. Melalui proses seleksi primer maka akan diperoleh primer yang spesifik untuk suatu jenis tanaman. Tanaman mindi belum memiliki primer spesifik, sehingga diperlukan pendekatan terhadap primer spesifik jenis lain dari satu famili yang sama Meliaceae yaitu mimba Azadirachta indica Boontong et al. 2008. Menurut White Powel 1997 sekuen primer pada mikrosatelit dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi satu spesies lain yang berdekatan secara taksonomis dalam satu famili. Keberhasilan amplifikasi pasangan primer mikrosatelit dikatagorikan dalam alel yang polimorfik, multi alel dan alel yang sulit dibaca Nurtjahjaningsih 2010. Hasil amplifikasi silang primer mikrosatelit pada mindi yang dilakukan terhadap delapan primer spesifik yang dikembangkan dari mimba memperlihatkan bahwa ada tujuh primer yang teramplifikasi dalam fragmen yang polimorfik dan satu primer teramplifikasi dalam fragmen monomorfik. Primer yang teramplifikasi polimorfik selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi keragaman genetik pada proses PCR yaitu diantaranya: Ai_5, Ai_11, Ai_13, Ai_34, Ai_4, Ai_6, dan Ai_14. Suatu gen dikatakan polimorfik apabila sedikitnya ditemukan dua alel yang berbeda Finkeldey et al 2005 dan hanya alel polimorfik yang bisa digunakan untuk analisis genetik Nurtjahjaningsih 2010. Keragaman genetik Dari delapan primer mikrosatelit yang diamplifikasi, ada tujuh primer yang memperlihatkan lokus polimorfik, maka untuk proses PCR digunakan ketujuh lokus primer tersebut. Hasil PCR selanjutnya di elektoforesis pada gel akrilamid dan di visualisasi menggunakan foto digital Gambar 14. Gambar 14. Pola polimorfik DNA mikrosatelit pada mindi dengan rentang ukuran 100-220 bp Indeks fiksasi Fis adalah jumlah pasangan pada lokus yang memperlihatkan ketidak-seimbangan genotipe. Indeks ini sinonim dengan L-D Linkage Disequilibrium, dan ukuran populasi efektif Ne Nurtjahjaningsih 2008. Indeks fiksasi pada sebagian besar lokus kecuali lokus Ai_11, Ai_4 dan Ai_14, memperlihatkan ketidak-seimbangan genotipe yang ditunjukkan dengan nilai yang lebih besar dari nol, namun rata-rata nilai Fis pada lokus gen adalah -0,0680 Tabel 7. Tabel 7 Rangkuman F-statistik untuk semua lokus Lokus gen N Fis Fit Fst Nm Ai_5 156 0,3356 0,5983 0,3954 0,3823 Ai_11 156 -0,1603 0,2164 0,3247 0,5200 Ai_13 156 0,1946 0,3932 0,2466 0,7638 Ai_34 156 0,3167 0,3543 0,0551 4,2846 Ai_4 156 -0,4325 -0,4165 0,0111 22,1966 Ai_6 156 0,2083 0,3158 0,1358 1,5909 Ai_14 156 -0,7471 -0,6890 0,0332 7,2701 Rata-rata 156 -0,0680 0,1190 0,1751 1,1778 Keterangan: N = jumlah sampel Fis = nilai indeks fiksasi Fst = nilai perbedaan genetik antar populasi Fit = nilai F pedigree Nm = aliran gen, diperoleh dari Fst = 0,251- FstFst Nei’s Dari data ini dapat dijelaskan bahwa lokus gen secara keseluruhan tidak menunjukkan kelebihan homozigot yang menyimpang dari nol. Perbedaan genetik antar populasi dievaluasi dengan menghitung nilai Fst Weir Cockerham 1984. Nilai Fst pada semua lokus berkisar antara 0,0111-0,3954 dan rata-rata mencapai 0,1751. Nilai ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan perbedaan genetik antara populasi adalah 0,1751 atau sekitar 17. Nilai Fst ini cukup tinggi karena perbedaan genetik yang terjadi disebabkan populasi dipisahkan oleh perbedaan geografis yaitu antara Sumedang dan Bandung. Nilai Fit rata-rata mencapai 0,119, ini berarti bahwa nilai inbreeding yang dihasilkan oleh individu itu sendiri adalah sebesar 11. Aliran gen yang terbentuk pada populasi rata-rata mencapai 1,1778. Aliran gen terbesar terjadi pada lokus Ai_4, dan hal ini menggambarkan variasi genetik lokus cukup tinggi berdasarkan penyebaran gen yang terjadi. Indeks fiksasi pada populasi Sumedang yang menunjukkan nilai lebih dari nol terjadi pada tiga lokus yaitu Ai_5, Ai_13, Ai_34 dan Ai_6 Tabel 8. Secara spesifik keempat lokus tersebut menyebabkan ketidak-seimbangan genotipe pada populasi Sumedang. Secara keseluruhan indeks fiksasi pada populasi Sumedang menghasilkan nilai lebih dari nol yaitu rata-rata 0,0960. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat inbreeding yang terjadi lebih besar daripada yang diharapkan terjadi pada populasi Sumedang. Pada populasi Bandung ada dua lokus yang menunjukkan nilai indeks fiksasi di atas angka nol yaitu lokus Ai_13 dan Ai_6. Nilai rata-rata di populasi Bandung menghasilkan indeks fiksasi di bawah nol -0,2850. Dengan demikian, dibandingkan dengan populasi Sumedang, populasi Bandung memperlihatkan tingkat inbreeding yang masih rendah. Nilai Fit rata-rata di Sumedang menunjukkan nilai 0,1615, yang berarti tingkat inbreeding yang dihasilkan individu di populasi Sumedang rata-rata 16 dan di Bandung tingkat inbreeding yang dihasilkan individunya itu sendiri rata- rata masih sangat rendah dengan nilai jauh dari nol -0,1764. Tabel 8 Rangkuman F-statistik untuk semua lokus pada dua populasi Lokus gen N Fis Fit Fst Nm Sumedang Ai_5 40 0,6507 0,6802 0,0846 2,7047 Ai_11 40 -0,1150 0,0883 0,1823 1,1211 Ai_13 40 0,0751 0,1774 0,1105 2,0116 Ai_34 40 0,5687 0,5733 0,0107 23,1875 Ai_4 40 -0,0513 -0,0507 0,0006 399,500 Ai_6 40 0,1342 0,2114 0,0892 2,5525 Ai_14 40 -0,6224 -0,5686 0,0331 7,295 Rata-rata 40 0,0960 0,1615 0,0725 3,2001 Bandung Lokus gen N Fis Fit Fst Nm Ai_5 38 -0,2737 -0,1525 0,0952 2,3766 Ai_11 38 -0.2467 0,0990 0,2773 0,6517 Ai_13 38 0,3472 0,4065 0,0908 2,5031 Ai_34 38 -0,1125 -0,0844 0,0253 9,6386 Ai_4 38 -0,8228 -0,8000 0,0125 19,7500 Ai_6 38 0,2876 0,3594 0,1004 2,2410 Ai_14 38 -0,8486 -0,8474 0,0007 370,000 Rata-rata 38 -0,2850 -0,1764 0,0845 2,7087 Keterangan: N = jumlah sampel Fis = nilai indeks fiksasi Fst = nilai perbedaan genetik antar populasi Fit = nilai F pedigree Nm = aliran gen, diperoleh dari Fst = 0,251- FstFst Nei’s Perbedaan genetik Fst antar populasi induk dan anak pada di Sumedang rata-rata 7 dan pada di Bandung perbedaannya rata-rata 8. Perbedaan ini cukup rendah, hal ini menggambarkan bahwa secara genetik perbedaan populasi induk dan anak di Sumedang atau di Bandung tidak terlalu jauh. Pohon Jati di Padangan dalam satu plot populasi memiliki perbedaan genetik yang rendah yaitu antara 3,4-7,8 Novita 2005. Aliran gen Nm rata-rata yang terjadi pada populasi Sumedang dan Bandung berturut-turut adalah 3,200 dan 2,708. Populai Sumedang menghasilkan aliran gen yang lebih besar daripada Bandung hal ini terjadi karena pohon induk di Sumedang lebih tersebar daripada di Bandung. Berdasarkan hasil Analysis of Molecular Variance AMOVA, keragaman genetik pohon induk dan anak yang tersimpan di dalam populasi mencapai 67 dan sisanya tersimpan pada keragaman genetik antar populasi Tabel 9. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik lebih banyak tersimpan di dalam populasi daripada keragaman yang tersimpan antar populasi. Dengan demikian, sumbangan keragaman yang besar diberikan oleh keragaman di dalam individu induk atau anak itu sendiri. Pada beberapa jenis tanaman hutan lainnya seperti oak Querqus macrocarpa, gaharu Girinops verstegii, mindi juga menunjukkan nilai keragaman dalam populasi yang lebih tinggi daripada antar populasi masing-masing menyumbangkan keragaman sebesar 97,31, 89 dan 69 Craft Ashley 2007, Siburian 2009, Yulianti 2011. Tabel 9 Hasil analisis keragaman molekuler AMOVA Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah Estimasi Variasi Antar populasi 3 47,294 15,765 0,753 33 Dalam populasi 74 110,872 1,498 1,498 67 Total 77 158,167 2,251 100 Keragaman genetik populasi pohon induk dan anakan Keragaman genetik He populasi pohon induk rata-rata pada semua lokus lebih tinggi 0,501 daripada populasi anakan 0,415 di lokasi Sumedang, demikian juga yang terjadi pada populasi pohon induk dan anakan di Bandung masing-masing yaitu 0,478 dan 0,288 Tabel 10. Hasil ini sejalan dengan hasil keragaman genetik dengan penanda RAPD pada populasi pohon induk di Sumedang yang dilaporkan paling tinggi keragamannya dibandingkan dengan populasi pohon induk di beberapa lokasi lainnya di Jawa Barat Yulianti 2011. Hal ini diduga diperoleh dari hasil persilangan acak dengan ketersediaan sumber bunga dan ukuran luas populasi yang efektif. Tabel 10 Keragaman genetik pada dua populasi pohon induk dan anakan untuk semua lokus Populasi N PLP Na Ne I He Sumedang Induk 20 40 2,285 2,093 0,755 0,501 Anak 20 40 2,142 1,776 0,615 0,415 Bandung Induk 20 40 2,428 1,935 0,720 0,478 Anak 18 40 2,000 1,482 0,445 0,288 Rataan 40 2,213 1,821 0,633 0,420 Keterangan: N : jumlah sampel untuk seluruh lokus PLP: Persentase Lokus Polimorfik Na: jumlah alel observasi untuk seluruh lokus Ne: jumlah alel efektif untuk seluruh lokus I : Indeks Shanon He: heterosigositas harapan Hasil skoring pohon induk dan anakan pada populasi Padasari- Sumedang dan Gambung-Bandung disajikan pada Lampiran 8. Tingkat polimorfisme pada semua lokus baik untuk pohon induk maupun anakan pada populasi Sumedang dan Bandung berkisar antara 30-50 atau rata-rata 40 Tabel 10. Persentase ini cukup tinggi dan tingkat polimorfisme yang tinggi cocok untuk identifikasi keragaman genetik sebagai penanda spesifik Yuskianti 2011. Jumlah alel efektif Ne per lokus berkisar antara 1,935-2,093 pada populasi pohon induk dan antara 1,486-1,776 pada populasi anakan. Semakin banyak jumlah alel terdeteksi akan semakin tinggi dugaan keragaman genetiknya. Pada semua lokus, frekuensi allel efektif pada induk baik dari populasi Sumedang maupun Bandung lebih tinggi daripada anakan. Nilai Indeks Shanon I rata-rata pada kedua populasi mencapai nilai 0,633, hal ini berarti kesamaan genetik antar populasi Sumedang dan Bandung adalah 63. Demikian juga, nilai He pohon induk lebih tinggi daripada He anakan untuk kedua populasi. Hal ini berarti terjadi penurunan kualitas genetik pada populasi anak yang diduga ada penyimpangan genotipe. Penyimpangan dapat terjadi ketika komposisi polen yang berkontribusi pada sistem perkawinan berbeda setiap musim dan menentukan kombinasi alel yang berbeda pada populasi anakan Nurtjahjaningsih 2008. Ketika perkawinan terjadi di bawah kondisi polen yang terbatas, maka sedikit polen yang dapat melakukan penyerbukan dan biasanya polen yang tidak baik pun bisa menyerbuki ovul sehingga menghasilkan benih yang kurang baik akibat adanya inbreeding atau lethal gen Hegland Totland 2007. Variasi genetik yang terjadi pada anakan untuk kedua populasi menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada tetuanya Tabel 10. Hal ini memberikan indikasi bahwa tidak semua gen induk diekspresikan kepada turunannya. Menurut Moran et al. 1980 tingkat keragaman genetik yang sama antara populasi pohon induk dengan anakannya menunjukkan derajat perkawinan silang outcrossing rate yang tinggi dan adanya perkawinan acak yang diimbangi dengan kontribusi yang tinggi dari semua pohon induk dalam mewariskan gennya Panmictic Equilibrium Chaix et al. 2003. Pernyataan ini menghasilkan dugaan bahwa perkawinan acak sedikit terjadi pada jenis mindi di kedua lokasi. Keragaman genetik pada tujuh lokus mikrosatelit terhadap semua sampel pohon induk N=20 dan anakan N=18-20 baik dari populasi Sumedang maupun Bandung disajikan pada Tabel 11. Jumlah alel Na untuk setiap penanda ditemukan pada pohon induk dan anakan dari kedua populasi berkisar antara 2,000-3,000, sementara jumlah alel efektif Ne untuk induk dari populasi Sumedang berkisar antara 1,471 – 2,909 dan untuk anak berkisar antara 1,280 – 2,198. Sedangkan dari populasi Bandung Ne untuk induk ada pada kisaran 1,600-2,150 dan untuk anak pada kisaran 1,057-2,000. Tingkat heterosigositas harapan He berdasarkan Nei’s untuk pohon induk dan anak dari populasi Sumedang masing-masing berkisar antara 0,320-0,656 dan 0,219-0,545. Populasi Bandung memperlihatkan tingkat He pada induk antara 0,375-0,535 dan anak antara 0,054-0,500. Tingkat heterosigositas harapan He pada semua lokus untuk pohon induk maupun anakan terdapat pada kisaran yang relatif homogen kecuali pada beberapa lokus yaitu Ai_5 dan Ai_13. Hal ini menunjukkan adanya kedekatan pada variasi genetik pohon induk dengan anakan. Tabel 11 Keragaman genetik lokus mikrosatelit pada sampel pohon induk dan anakan mindi dari dua populasi Lokus gen N Na Ne He Sumedang Ai_5: induk 20 3,000 2,524 0,604 anak 20 2,000 1,342 0,255 Ai_11: induk 20 2,000 1,995 0,499 anak 20 2,000 1,280 0,219 Ai_13: induk 20 2,000 1,471 0,320 anak 20 3,000 2,198 0,545 Ai_34: induk 20 2,000 1,782 0,439 anak 20 2,000 1,956 0,489 Ai_4: induk 20 2,000 1,995 0,499 anak 20 2,000 2,000 0,500 Ai_6: induk 20 2,000 2,909 0,656 anak 20 2,000 1,995 0,499 Ai_14: induk 20 2,000 1,980 0,495 anak 20 2,000 1,663 0,399 Bandung Ai_5: induk 20 2,000 1,600 0,375 anak 18 2,000 1,057 0,054 Ai_11: induk 20 2,000 1,923 0,480 anak 18 2,000 1,180 0,152 Ai_13: induk 20 2,000 1,835 0,455 anak 18 2,000 1,246 0,197 Ai_34: induk 20 3,000 1,937 0,484 anak 18 2,000 1,314 0,239 Ai_4: induk 20 2,000 2,000 0,500 anak 18 2,000 1,906 0,475 Ai_6: induk 20 3,00 2,150 0,535 anak 18 2,00 1,670 0,401 Ai_14: induk 20 3,00 2,099 0,524 anak 18 2,00 2,000 0,500 Keterangan: N : jumlah sampel untuk dua populasi Na : jumlah alel observasi Ne : jumlah alel efektif He : heterozigot harapan menurut Nei Struktur Hardy-Weinberg dan Struktur Inbreeding pada Populasi Keturunan Frekuensi genotipe yang diamati diperoleh dari nilai frekuensi alel dan hasil pengujian statistik struktur genetik dibandingkan dengan dua acuan struktur yaitu struktur Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding. Struktur genetik pada setiap lokus yang dibandingkan dengan struktur Hardy-Weinberg diuji dalam setiap sampel menggunakan log-ratio probabilitas atau uji-G. Hasil perolehan nilai-G, menunjukkan penyimpangan yang signifikan dari kesetimbangan Hardy-Weinberg HWE di lokasi Sumedang yang teramati pada empat lokus kecuali lokus Ai_5, Ai_11 dan Ai_14. Di lokasi Bandung penyimpangan terjadi pada dua lokus yaitu A1_4 dan Ai_14 Tabel 12. Pada kedua lokasi terjadi penyimpangan walaupun terjadi pada lokus yang berbeda. Tingkat signifikansi bervariasi dari tahap 1 sampai 5. Menurut Muller-Starck Liu 1989 frekuensi genotipe observasi tidak dapat dijelaskan dengan asumsi bahwa terjadi pengecualian pada perkawinan acak. Tabel 12 Hasil pengujian statistik struktur genetik dan dua acuan struktur Hardy- Weinberg dan struktur inbreeding Lokus gen Nilai-G rasio probabilitas Hardy-Weinberg Struktur inbreeding Sumedang Bandung Sumedang Bandung Ai_5 1,30 ns 0,00 ns 0,00 ns 0,00 ns Ai_11 2,68 ns 0,09 ns 0,00 ns 0,00 ns Ai_13 43,10 0,20 ns 0,00 ns 0,00 ns Ai_34 10,36 0,36 ns 0,00 ns 0,00 ns Ai_4 12,00 6,69 0,00 ns 0,00 ns Ai_6 15,47 2,35 ns 0,00 ns 0,00 ns Ai_14 2,57 ns 17,00 0,36 ns 0,00 ns Tingkat signifikansi: 0.05 , 0.01 , non-signifikan ns Nilai struktur inbreeding yang tidak signifikan pada populasi Sumedang dan Bandung terdeteksi pada semua lokus Tabel 12. Nilai yang tidak berbeda dengan analisis struktur inbreeding pada populasi Sumedang dan Bandung menunjukkan terjadinya inbreeding pada sistem perkawinan mindi pada kedua populasi ini. Kedua populasi menghasilkan nilai koefisien inbreeding yang cenderung homogen. Menurut Ziehe et al. 1993 kecenderungan ini menunjukkan indikasi inbreeding. Sampel populasi Sumedang memperlihatkan kecenderungan tingkat penyimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel populasi Bandung berdasarkan analisis Hardy-Weinberg. Hal ini menandakan terjadinya penyimpangan pada sistem perkawinan acak mindi dan penyimpangan yang terjadi disebabkan adanya inbreeding menurut hasil analisis struktur inbreeding Menurut Gregorius dalam Muller-Starck Liu 1989 penyimpangan dari struktur inbreeding dapat dideteksi secara detail jika pendugaan koefisien inbreeding dilakukan untuk homosigot dan heterosigot tunggal pada setiap lokus gen. Beberapa lokus pada populasi Sumedang dan Bandung menunjukkan respon yang berbeda terhadap Hardy_Weinberg, karena itu perlu perlu analisis untuk melihat kemungkinan adanya fenomena lain seperti perkawinan berpilih. Adanya penyimpangan pada beberapa lokus di lokasi Sumedang dan Bandung menurut analisis Hardy-Weinberg dapat juga dikatakan sebagai akibat dari fenomena lain selain inbreeding. Seperti yang telah disebutkan fenomena tersebut diantaranya disebabkan adanya perkawinan berpilih assortative mating . Analisis lebih detail terhadap kemungkinan adanya preferensi alel pada genotipe keturunan, digunakan persamaan Gregorius Hattemer 1987: U j:i = P j: i R j:i dengan : U j:i : mating preferensi j = 1,2,3........ P j: i : frekuensi mating genotipe aktual R j:i : frekuensi mating potensial Kisaran nilai berdasarkan Gregorius Hattemer 1987 yaitu apabila U1 mengindikasikan populasi negatif terhadap mating preferensi dan U1 mengindikasikan positif mating preferensi. Pada Tabel 13 hanya dilakukan analisis masing-masing terhadap tiga lokus yang memperlihatkan penyimpangan dan tidak ada penyimpangan dari struktur Hardy-Weinberg. Lokus Ai_13 pada sampel Sumedang menunjukkan penyimpangan yang tinggi dari struktur Hardy_Weinberg dan terdeteksi adanya inbreeding Tabel 12. Pada analisis preferensi, alel 1 dan 2 tidak memperlihatkan adanya perkawinan berpilih, namun alel 3 positif mengindikasikan mating preferensi. Sedangkan lokus Ai_13 pada sampel Bandung merupakan lokus yang tidak menunjukkan penyimpangan genetik dari struktur Hardy_Weinberg, namun memperlihatkan adanya inbreeding Tabel 12 dan mating preferensi pada tipe gen A1A2 Tabel 13. Tabel 13 Parameter alel preferensi U j:i untuk lokus dengan genotipe yang menyimpang dan tidak menyimpang dari struktur Hardy-Weinberg Sampel Lokus Genotipe Frekuensi U j:i Sumedang Ai_13 A1A1 0,100 0,494 A2A2 0,150 0,600 A3A3 0,050 20,00 A1A2 0,700 0,778 Ai_4 A1A1 0,05 0,200 A2A2 0,05 0,200 A1A2 0,900 0,900 Ai_14 A2A2 0,450 2,222 A1A2 0,550 0,672 Bandung Ai_13 A1A1 0,778 0,984 A1A2 0,222 1,778 Ai_4 A1A1 0,222 0,595 A1A2 0,778 1,222 Ai_14 A1A2 1,000 1,000 Fenomena tersebut dapat terjadi karena secara biologi, tipe penyerbukan mindi menunjukkan kecenderungan self-compatible Gambar 13 BAB 3 yang mengindikasikan kemampuan mindi melakukan penyerbukan sendiri selfing dan menghasilkan benih yang viabel. Lokus Ai_4 pada sampel Sumedang dan Bandung menunjukkan penyimpangan struktur Hardy-Weinberg dan struktur inbreeding. Hasil analisis mating preferensi, semua tipe gen adalah negatif melakukan perkawinan berpilih. Dengan demikian, penyimpangan pada lokus Ai_4 lebih banyak disebabkan adanya inbreeding daripada fenomena perkawinan berpilih. Lokus Ai_14 pada sampel Sumedang tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sedangkan pada sampel Bandung terjadi penyimpangan, serta hasil analisis struktur inbreeding keduanya positif inbreeding. Nilai preferensi kedua sampel cenderung U1 yang mengindikasikan populasi tersebut positif terhadap mating preferensi. Penjelasan yang mungkin diberikan untuk fenomena seperti itu adalah adanya ketergantungan tipe gen terhadap penyerbukan sendiri self-fertilization Muller-Starck Liu 1989. Pada sampel Bandung semua lokus yang dianalisis memperlihatkan nilai lebih dari satu pada tipe gen heterosigot yang mengindikasikan peningkatan heterosigositas akibat adanya perkawinan berpilih pada alel heterosigot. Kadang- kadang dugaan heterosigositas yang tinggi dapat menuntun pada keberadaan alel langka ketika lokus mikrosatelit diterapkan pada analisis genetik Chakraborty et al. 1997. Menurut Gregorius Hattemer 1987 mating preferensi adalah tipe perkawinan yang dapat meningkatkan heterosigositas dan frekuensi alel tertentu serta mendorong kesetabilan alel tertentu dalam populasi. Pembahasan: Evaluasi keragaman genetik pohon induk dan keturunan berdasarkan marka DNA dengan penanda mikrosatelit dilakukan terhadap tegakan mindi di lokasi Padasari-Sumedang dan Gambung-Bandung. Hasil evaluasi terhadap tujuh lokus yang digunakan sebagai marker DNA, lokus Ai_11 dapat menjadi penanda spesifik mikrosatelit yang efektif untuk mendeteksi keragaman genetik dan struktur inbreeding mindi. Lokus Ai_4 pada penelitian mimba Meliaceae merupakan lokus yang paling bermanfaat untuk menilai keragaman genetik dan aliran gen Boontong et al. 2008. Secara keseluruhan keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan pada kedua populasi menunjukkan keragaman dengan katagori rendah masing-masing dengan nilai He pada kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,297-0,426 untuk anakan. Keragaman genetik jenis mahoni Swietenia macrophylla dengan menggunakan penanda mikrosatelit pada semua lokus mencapai besaran antara 0,72-0,91 Lemes et al. 2002, pada mimba Azadirachta indica berkisar antara 0,51-0,85 untuk mimba India dan 0,50-0,80 untuk mimba Thailand Boontong et al. 2008 serta pada Khaya senegalensis dengan kisaran 0,219 – 0,889 populasi Ghana dan 0,418 - 0,904 populasi Senegal Sexton et al. 2010. Keragaman yang rendah yang terdeteksi pada populasi mindi di Sumedang dan Bandung terjadi karena adanya inbreeding, karena hasil analisis menyatakan hasil yang tidak berbeda dengan struktur inbreeding. Beberapa fenomena lain dapat menjadi penyebab rendahnya keragaman genetik diantaranya terjadinya perkawinan berpilih assortative mating , yaitu adanya genotipe yang spesifik memilih perkawinan pada saat pembungaan sedikit misalnya saat pembungaan awal early flowering atau pembungaan akhir late flowering. Keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan mindi lebih banyak disumbangkan dari keragaman individu yaitu sebesar 65 dan sisa keragaman terjadi karena perbedaan populasi. Hal ini menunjukkan masih besarnya keragaman dalam populasi yang diduga terjadi karena adanya persilangan antar individu pohon yang umum terjadi pada tanaman hutan Craft Ashley 2007 dan pada mindi hal ini dimungkinkan karena kemampuan menyerbuk silang cukup tinggi 70. Jumlah alel Na pada pohon induk dan anakan berkisar antar dua dan tiga dan jumlah alel ekspektasi Ne ada pada rentang 2,285-2,429 pada populasi pohon induk dan antara 2,000-2,143 pada populasi anakan. Nilai keragaman genetik pohon induk berada pada kisaran yang lebih tinggi daripada keragaman genetik anakan. Hal ini memberikan indikasi bahwa terjadi penurunan kualitas genetik yang diwariskan oleh tetuanya. Penurunan kualitas diduga berkaitan dengan beberapa karakter morfologi bunga, masa reseptivitas dan tipe penyerbukan mindi yang berpeluang melakukan penyerbukan sendiri dan mampu menghasilkan benih self-compatible. Sehingga keturunan yang diperoleh sebagian diduga hasil dari penyerbukan sendiri. Hasil penyerbukan terkendali yang dilakukan pada tanaman mindi di Megamendung-Bogor menunjukkan bahwa tanaman ini mampu melakukan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Persentase bunga yang menjadi buah pada penyerbukan sendiri selfing berkisar antara 42-57 Gambar 13 dan nilai tersebut menurut Karron 1987 dapat dikatagorikan sebagai tanaman yang mempunyai self-compatible tinggi highly self-compatible. Hasil analisis secara genetik pada keturunan mindi membuktikan bahwa penyimpangan genotip dari struktur genetik Hardy-Weinberg terjadi pada sebagian besar lokus di populasi Sumedang. Dengan demikian, penyimpangan yang terjadi termasuk katagori tinggi karena hasil evaluasi pada struktur Hardy-Weinberg ada empat lokus dari tujuh lokus yang secara nyata menunjukkan penyimpangan serta hasil analisis struktur inbreeding memberikan indikasi terjadi inbreeding pada sistem perkawinan acak mindi. Penyimpangan struktur genetik yang terjadi dapat juga disebabkan oleh fenomena seperti adanya perkawinan berpilih assortative mating, seleksi viabilitas dan efek Wahlund Wahlund effect Muller-Starck Liu, 1989. Fenomena inbreeding pada sistem perkawinan tanaman dapat dievaluasi apabila hasil pengukuran struktur inbreeding memperlihatkan kecenderungan homogen dan bernilai positif Ziehe et al. 1993. Populasi Sumedang lebih tinggi penyimpangannya daripada populasi Bandung. Nilai indeks fiksasi dan indeks pedigree populasi Sumedang menunjukkan angka positif, yang berarti nilai inbreeding terdeteksi pada populasi ini, sedangkan kedua nilai indeks tersebut pada populasi Bandung memperlihatkan angka negatif. Perbedaan genetik antar populasi mencapai 17. Deviasi antara nilai heterosigositas yang diamati dengan nilai heterosigositas yang diharapkan dari individu induk dan anakan berdasarkan nilai indeks fiksasi terdeteksi pada empat lokus dengan nilai relatif rendah dan indek fiksasi Fis rata-rata adalah -0,0680. Hal ini berarti bahwa penyimpangan yang terjadi pada populasi induk dan anak dari kedua lokasi relatif masih rendah. Memperhatikan karakteristik penyerbukan tanaman mindi yang mampu melakukan penyerbukan silang maupun sendiri, maka hasil analisis genetik terhadap sistem reproduksi mindi yang cenderung menyimpulkan inbreeding rendah adalah cukup relevan. Apabila kecenderungan yang terjadi berkaitan dengan frekuensi homosigot ada pada setiap lokus maka diasumsikan bahwa sebagian dari penyimpangan genotipe yang signifikan dari perkawinan acak adalah disebabkan inbreeding Muller-Starck Liu 1989. Kenyataan pada tanaman mindi, frekuensi homosigot cenderung ditemukan pada sebagian besar lokus. Dengan demikian dugaan adanya inbreeding semakin kuat walaupun dalam tingkat yang rendah. Penyimpangan yang terjadi kemungkinan diakibatkan oleh fenomena yang terkait perkawinan berpilih yaitu adanya variasi genotipe yang tergantung pada periode tahunan pembungaan sehingga tanaman melakukan preferensi terhadap struktur spasial dan karakter pembungaan early atau late flowering Tomimatsu Ohara 2006. Namun dugaan ini perlu diperkuat dengan pengamatan terhadap pola pembungaan mindi dalam satu populasi pada beberapa periode pembungaan. Hasil analisis genetik terhadap dugaan perkawinan berpilih menunjukkan adanya tipe gen pada sampel Sumedang dan Bandung yang positif mating preferensi namun terjadi pada lokus yang berbeda. Dengan demikian, fenomena perkawinan berpilih dapat terjadi pada mindi. Fenomena lain yang terkait sistem reproduksi seperti seleksi viabilitas terhadap homosigot tertentu misalnya pada tahap presigot sebelum fertilisasi yaitu ketika proses seleksi terhadap polen yang kompatibel Abreu et al. 2012. Hal lain yang dapat menjelaskan adanya penyimpangan genetik adalah terkait efek Wahlund Muller-Starck Liu 1989. Pada populasi Sumedang fenomena ini mungkin terjadi, karena sampel anakan yang diperoleh, dikumpulkan dari daerah sekitar pohon induk, tidak langsung berasal dari benih yang diambil dari pohon induk terpilih. Kondisi ini memungkinkan adanya anakan dari daerah lain tercampur pada saat sampling, sehingga ditemukan genotipe yang menyimpang dari populasi tersebut. Namun demikian, perlu analisis lebih lanjut terhadap kemungkinan adanya efek Wahlund pada sampel bibit dari Sumedang. 4.2 Keragaman Fenotipik Keturunan 4.2.1 Bahan dan Metode Bahan: Bahan tanaman untuk pengukuran fenotipik keturunan adalah tegakan mindi yang ada di Wanayasa-Purwakarta terletak pada 06 O 39’378” S dan 107 O 32’479”E dengan ketinggian 620 m dpl. sebanyak 9 pohon induk dan anakan yang berasal dari benih yang diunduh dari 9 pohon induk terpilih. Bahan dan peralatan yang digunakan untuk pengukuran pohon dan pengambilan sampel buah di lapang antara lain: hagameter, teropong, pita ukur, galah berkait, kantong plastik, silica gel, kertas label, bak kecambah dan timbangan. Metode: Metode yang digunakan dalam pengamatan variasi fenotipik keturunan mindi adalah metode observasi deskriptif dengan cara pengukuran karakter morfologi benih, kapasitas perkecambahan dan semai, masing-masing berjumlah 20 benih untuk pengukuran dimensi benih, 4 x 25 benih untuk perkecambahan dari setiap pohon induk dan 10 anakan berasal dari 9 pohon induk untuk pengukuran morfologi semai. Variabel yang diukur terdiri atas beberapa karakter morfologi benih dan kapasitas perkecambahan dan morfologi semai Tabel 14. Pengukuran karakter morfologi semai merupakan pengembangan dari Hidayat 2010 pada pengukuran bibit suren sebagai hasil modifikasi dari beberapa penelitian tanaman hutan yang dilaksanakan oleh Kremer et al. 2002, Rawat Bakshi 2011, Samal et al. 2003, Ginwal et al. 2004, dan Ozel 2010. Ditetapkan tiga karakter morfologi benih, empat karakter perkecambahan dan 17 karakter pertumbuhan semai yang terdiri dari karakter batang dan daun serta modifikasi metode pengukurannya Tabel 14. Tabel 14 Pengamatan karakter fenotipik keturunan mindi diadopsi dari Hidayat 2010 No Karakteristik Kode Satuan Cara pengukuran penghitungan A Struktur benih 1 Panjang PB mm Diukur dengan mengguna kan caliper dari bagian hilum pangkal sampai ujung 2 Diameter DM mm Diukur dengan mengguna kan caliper pada bagian tengah benih 3 Berat BB gr Ditimbang dengan mengguna kan timbangan analitik digital B Karakter perkecambahan 1 Daya berkecambah DB persen Dihitung dengan menghitung jumlah benih yang berkecambah normal dibagi dengan jumlah total benih yang ditabur dikali 100 2 Waktu mulai berkecambah WMB hari Dihitung dengan menghitung jumlah hari benih mulai berkecambah sejak penaburan 3 Total hari perkecambahan TB hari Dihitung dengan menghitung jumlah hari perkecambahan sejak benih ditabur hingga pengamatan diakhiri 4 Rata-rata harian berkecambah RHB hari Dihitung dari perbandingan DB dengan TB C Karakter semai 1 Tinggi total batang semai TTBS cm Diukur dengan alat mistar dari pangkal batang sampai ujung batang utama semai 2 Tinggi batang bebas daun TBDS cm Diukur dengan alat mistar dari pangkal batang sampai cabang daun pertama 3 Diameter batang semai DBS mm Diukur dengan mengguna kan caliper pada ketinggian batang 1 cm diatas permukaan media tumbuh Gambar 5 4 Kekokohan batang semai RTDS indeks Dihitung dari perbandingan nilai TTBS dengan DBS dikali 100