PEMBAHASAN UMUM Biological and genetical aspects of reproductive system of mindi (Melia Azedarach Linn.)
proses penyilangan khusus yaitu penyerbukan terkendali dengan teknik emaskulasi bunga di dalam satu malai.
Tahapan perkembangan bunga mindi terdiri atas beberapa fase dan fase yang paling penting adalah fase ketika sepal membuka dan kolom staminal
berwarna ungu terlihat dengan antera yang membuka dan stigma berwarna hijau terang ditengahnya, maka pada saat ini periode penyerbukan dimulai. Stigma
yang reseptif dan polen yang matang merupakan prasyarat untuk keberhasilan penyerbukan. Reseptivitas stigma pada mindi berlangsung selama satu hari dan
pagi hari mulai pk. 08.00 sampai pk. 11.00 merupakan periode reseptif yang efektif. Sementara itu viabilitas polen mindi yang baik terjadi pada rentang waktu
dari pk. 07.00 sampai pk. 11.00, dengan demikian waktu penyerbukan yang efektif dimana stigma reseptif dan polen viabel adalah pada pk. 08.00-pk.11.00.
Petal atau mahkota bunga mindi berwarna putih dan saat mekar tercium aroma yang khas seperti bunga melati. Hal ini memberikan indikasi bahwa
tanaman mindi melakukan penyerbukan juga dibantu oleh serangga, khususnya lebah atau ngengat yang menyukai warna bunga putih. Sementara aroma yang
dikeluarkan juga menarik serangga untuk mengunjungi bunga. Walaupun demikian, perlu penelitian tersendiri terkait vektor penyerbuk mindi.
Bunga dalam keadaan mekar antesis bertahan selama satu hari. Implikasinya adalah periode untuk melakukan penyerbukan dibatasi oleh waktu.
Apabila bunga tidak mendapat kunjungan dari serangga penyerbuk pada periode penyerbukan, maka ada peluang bagi bunga untuk melakukan penyerbukan
sendiri. Walaupun demikian, tanaman mindi juga melakukan penyerbukan silang outcrossing dilihat dari ratio jumlah buahbunga yang cukup tinggi yaitu rata-
rata 70 hasil penyerbukan silang terkendali. Dengan demikian, hasil penyerbukan secara biologi perlu didukung analisis genetik untuk melihat apakah
ada penyimpangan struktur genetik pada sistem perkawinan mindi, sehingga bisa diduga terjadinya penyerbukan silang atau sendiri pada mindi.
Morfologi buah sangat penting dipelajari terutama untuk mengetahui lapisan-lapisan dinding yang membentuk buah dan biji yang ada di dalamnya.
Hal ini berguna ketika akan melakukan ekstraksi pengeluaran biji dari buah atau skarifikasi yaitu perlakuan memecahkan dormansi kulit biji secara fisik untuk
mempercepat perkecambahan. Buah mindi termasuk tipe drupe yaitu buah yang ditandai dengan pengerasan lapisan dalam perikarp yang membentuk endokarp.
Pemecahan dormansi kulit biji mindi cukup sulit dilakukan karena ketebalan dan
kekerasannya. Perendaman biji dengan asam sulfat cukup membantu memecahkan dormansi untuk skala penelitian tapi tidak efisien dan tidak aman
dilakukan untuk skala luas terutama oleh masyarakat petani. Siklus reproduksi mempunyai peranan penting dalam dinamika populasi
tanaman karena keberhasilan manipulasi penyilangan dapat dilakukan dengan mempercepat atau memperlambat pembungaan. Satu siklus reproduksi tanaman
mindi memerlukan waktu lima sampai enam bulan dimulai dari munculnya tunas generatif. Siklus reproduksi biasanya dimulai dari inisiasi bunga yang dalam
pengamatannya memerlukan metode tersendiri dengan membuat irisan tunas jaringan secara mikroskopis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inisiasi
bunga mindi terjadi lebih dari tiga bulan. Sehingga satu siklus reproduksi apabila dimulai dari inisiasi bisa berlangsung lebih dari enam bulan. Dari pengamatan
siklus ini, maka diketahui waktu mulai terlihatnya pembungaan mindi di Gambung Bandung Selatan yakni bulan September
– Oktober dimana pada bulan ini primordia bunga sudah terinisiasi. Dengan demikian, tanaman mindi tidak
mengalami dormansi antara pembentukan primordia bunga menjadi kuncup bakal malai. Informasi ini sangat penting ketika praktisi akan merencanakan
pemanenan buah untuk bahan pertanaman. Saat inisiasi bunga mindi terdeteksi bulan Agustus-September maka dapat diprediksi buah diunduh pada bulan
Januari-Februari atau sekitar enam sampai tujuh bulan kemudian atau dua-tiga bulan setelah bunga mekar karena bunga mekar terjadi pada bulan Oktober.
Proses pembungaan dan pembuahan akan berulang terus setiap tahun dalam periode yang relatif sama karena tanaman mindi tidak mengalami fase dormansi
pada setiap tahap perkembangannya. Informasi inisiasi bunga sangat bermanfaat juga apabila akan mempercepat pembungaan tanaman mindi
dengan perlakuan silvikultur dan waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut adalah satu atau dua bulan sebelum terjadinya inisiasi.
Selama periode reproduksi, kemungkinan kegagalan hidup dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan mulai dari pembungaan hingga pembuahan.
Kegagalan pada setiap tahap tersebut mempunyai risiko yang sama terhadap kualitas dan kuantita produksi benih yang dihasilkan, dengan demikian perlu
manajemen yang baik pada setiap peristiwa perkembangan tanaman. Penggunaan penanda mikrosatelit untuk jenis mindi yang dikembangkan
dari delapan pasang lokus primer untuk mimba Azadirachta indica adalah cukup baik dan bermanfaat sebagai penanda mikrosatelit dalam menganalisis
keragaman genetik dan struktur inbreeding jenis mindi. Dari delapan penanda tersebut hanya satu yang menghasilkan fragmen monomorfik dan selanjutnya
tidak digunakan dalam proses PCR. Hasil evaluasi terhadap tujuh lokus yang digunakan sebagai marker DNA, lokus Ai_11 dapat menjadi penanda spesifik
mikrosatelit yang efektif untuk mendeteksi keragaman genetik dan struktur inbreeding
tanaman mindi. Namun perlu parameter lebih detil untuk menjelaskan penanda mikrosatelit spesifik untuk mindi sehingga dapat mengambil kesimpulan
yang lebih akurat. Keragaman genetik populasi pohon induk dan keturunan pada kedua
populasi termasuk kedalam katagori rendah yang ditunjukan dengan nilai He masing-masing dengan kisaran 0,49-0,51 untuk pohon induk dan 0,297-0,426
untuk anakan. Pada jenis tanaman hutan lainnya seperti mimba India Azadirachta indica menghasilkan nilai He antara 0,51-0,85 dan mimba Thailand
berkisar antara 0,50-0,80 Boontong et al 2008, mahoni Swietenia macrophylla antara 0,72-0,91 Lemes et al 2002. Jumlah alel Na pada pohon induk dan
anakan berkisar antar dua dan tiga dan jumlah alel efekitf Ne ada pada rentang 2,285-2,429 pada populasi pohon induk dan antara 2,000-2,143 pada populasi
anakan. Nilai keragaman genetik pohon induk berada pada kisaran yang lebih tinggi daripada keragaman genetik keturunan.
Penurunan kualitas genetik dapat terjadi melalui tipe penyerbukan pada tanaman mindi yang memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri karena
memiliki karakteristik biologi reproduksi yang mendukung ke arah selfing. Karakteristik tersebut diantaranya tipe malai yang tegak dan bunga mekar secara
simultan antar ranting dalam malai, tipe bunga hermaprodit dengan posisi stigma dan antera yang berdekatan dan sejajar, reseptivitas stigma dan polen viabel
terjadi pada rentang waktu yang sama serta kemampuan menghasilkan buah setelah menyerbuk sendiri. Dengan demikian, diduga anakan yang ada pada
populasi Sumedang maupun Bandung merupakan sebagian dari produk penyerbukan sendiri.
Hasil penyerbukan terkendali yang dilakukan pada tanaman mindi di Megamendung-Bogor menunjukkan bahwa tanaman ini mampu melakukan
penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri. Persentase bunga yang menjadi buah pada penyerbukan sendiri selfing berkisar antara 42-57 Gambar 13
dan nilai tersebut menurut Karron 1987 dapat dikatagorikan sebagai tanaman yang mempunyai self-compatible tinggi highly self-compatible. Hasil analisis
secara genetik terhadap keturunan mindi membuktikan bahwa terjadi penyimpangan genotipe dari struktur genetik Hardy-Weinberg baik pada populasi
di Sumedang maupun Bandung. Penyimpangan itu terdeteksi pada sebagian kecil lokus. Penyimpangan yang terjadi termasuk katagori rendah karena hasil
evaluasi pada struktur inbreeding hanya ada dua sampai tiga lokus dari tujuh lokus yang secara signifikan menunjukkan penyimpangan. Penyimpangan yang
terjadi bukan karena adanya inbreeding karena menurut Ziehe et al.1993 suatu populasi dikatakan inbreeding apabila hasil pengukuran struktur inbreeding
memperlihatkan kecenderungan homogen dan bernilai positif. Beberapa fenomena selain inbreeding dapat menjelaskan penyebab penyimpangan,
diantaranya perkawinan berpilih, seleksi viabilitas dan efek Wahlund Muller- Starck Liu 1989. Adanya pembungaan awal atau akhir early and late
flowering pada tanaman memungkinkan terjadinya perkawinan berpilih dan pada
mindi fenomena ini perlu diamati lebih jauh untuk menjelaskan dugaan perkawinan berpilih yang menyebabkan penyimpangan genotipe.
Populasi Sumedang lebih tinggi penyimpangannya daripada populasi Bandung. Perbedaan genetik antar populasi mencapai 17. Deviasi
heterosigositas dari individu anakan berdasarkan nilai indeks fiksasi Fis rata- rata adalah -0,0680. Hal ini berarti bahwa penyimpangan yang terjadi pada
populasi keturunan dari kedua lokasi relatif masih rendah. Kenyataan ini memperkuat dugaan adanya inbreeding pada sistem perkawinan tanaman mindi
dalam katagori rendah. Dugaan ini didukung oleh tipe penyerbukan mindi yang juga mampu melakukan penyerbukan silang sebesar 70. Fenomena
perkawinan berpilih assortative mating di populasi Sumedang dan Bandung terdeteksi pada tingkat rendah.
Evaluasi terhadap pola keragaman genetik populasi pohon induk mindi yang diduga dari karakter fenotipik pada kondisi lingkungan di Wanayasa-
Purwakarta menunjukkan bahwa tiga karakter morfologi benih tidak memperlihatkan varians genotipe yang luas dan hanya satu karakter PB yang
menunjukkan varians fenotipe yang luas. Hasil analisis komponen utama menunjukkan kedekatan antar sembilan pohon induk mindi berdasarkan karakter
struktur benih. Nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik untuk karakter morfologi benih termasuk katagori rendah. Berdasarkan evaluasi terhadap
beberapa analisis yang digunakan, karakter morfologi benih tidak cukup efektif
digunakan menjadi penciri dalam kegiatan seleksi pohon induk mindi di lokasi Wanayasa-Purwakarta.
Sementara hasil
evaluasi terhadap
karakter perkecambahan
menunjukkan bahwa tiga karakter mempunyai varians fenotipe dan genotipe yang luas termasuk DB daya berkecambah, WMB waktu mulai berkecambah
dan TB total perkecambahan. Nilai heritabilitas karakter perkecambahan rata- rata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Hasil
analisis fungsi komponen utama kapasitas perkecambahan mampu menduga keragaman pohon induk sebesar 88,3.
Dengan demikian, ketiga karakter perkecambahan cukup akurat untuk mendukung seleksi pohon induk.
Evaluasi keragaman genetik anakan berdasarkan karakter pertumbuhan semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai PPS, panjang petiole daun
semai PPDS dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun RPDS memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang
berkisar antara sedang-besar. Secara keseluruhan nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini
memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada plot penelitian Wanayasa sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya. Walaupun
demikian, berdasarkan analisis komponen utama pertumbuhan semai merupakan karakter yang sangat kuat mempengaruhi keragaman antar pohon
induk mindi yang ditunjukkan dengan nilai persentase yang tinggi 60-100 pada analisis PGM. Karakter pertumbuhan semai yang kuat mempengaruhi
keragaman antar pohon induk tampaknya lebih disebabkan faktor lingkungan daripada genetik. Akan tetapi, penggunaan tiga karakter pertumbuhan semai
yaitu panjang pucuk, panjang petiole dan ratio panjang petiole terhadap panjang daun, dalam seleksi pembibitan akan memperoleh hasil yang cukup efektif
karena memiliki penilaian yang tinggi berdasarkan parameter yang diukur. Penilaian terhadap kualitas fenotipik pohon induk berdasarkan karakter
morfologi benih, kapasitas perkecambahan dan pertumbuhan semainya menghasilkan ketetapan bahwa pohon induk P2, P15 dan P24 pada plot populasi
di Wanayasa-Purwakarta memperlihatkan keberagaman karakter fenotipik yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain. Ketiga pohon induk tersebut
masing-masing berada pada kelompok yang berbeda pada pengukuran jarak fenotip berdasarkan cluster analysis. Dengan demikian, pohon induk yang secara
fenotipik memperlihatkan keragaman tersebut layak untuk dijadikan pohon
penghasil benih dalam perencanaan pengembangan sumber benih hutan rakyat. walaupun demikian, analisis keragaman berdasarkan marka molekuler masih
diperlukan untuk memperkuat dugaan keragaman genetik berdasarkan fenotipik.