Hasil dan Pembahasan Varians Fenotipe dan Genotipe, Heritabilitas dan Kemajuan Genetik

Walaupun karakter-karakter pada umumnya memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas pada penelitian ini, akan tetapi tidak didukung dengan nilai heritabilitas yang tinggi maka perlu evaluasi lebih lanjut terhadap nilai kemajuan genetiknya. Nilai duga kemajuan genetik untuk karakter WMB dan RHB, termasuk kedalam kriteria besar menurut klasifikasi Begum Sobhan 1991 diacu dalam Rostini et al.2006. Akan tetapi apabila karakter-karakter morfologi dievaluasi berdasarkan ke empat parameter yang diukur, maka karakter daya berkecambah DB dan waktu mulai berkecambah WMB, memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai heritabilitas rata-rata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar Tabel 15. Dengan demikian, diduga seleksi terhadap kedua karakter tersebut akan memperoleh hasil yang efektif. Tabel 15 Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas H dan kemajuan genetik KG keturunan berdasarkan morfologi benih dan kapasitas perkecambahan Mindi No Karakter Varge notipe Var fenotipe H KG Morfologi benih: 1 PB n=20 0,124 S 4,925 L - 0,0004 K 2 DM n=20 0,042 S 1,316 S - 0,0008 K 3 BB n=20 0,002 S 0,042 S - 0,0196 K Perkecambahan: 1 DB n=4 53,824 L 395,000 L 0,1362 R 0,0756 S 2 WMB n=4 71,019 L 302,71 L 0,2346 S 0,4264 B 3 TB n=4 23,810 L 142,590 L 0,1669 R 0,0166 K 4 RHB n=4 0,0166 S 0,108 S 0,1542 R 1,5034 B Keterangan : Kriteria varians fenotipe dan genotipe: L = luas, S = sempit Kriteria heritabilitas H: S = sedang, R = rendah Kriteria kemajuan genetik KG: B = besar, S = sedang, K = kecil Varians Fenotipe dan Genotipe, Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Karakter Morfologi Semai Mindi Hasil analisis varians fenotipik terhadap 17 karakter morfologi semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai PPS, panjang petiole daun semai PPDS dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun RPDS memiliki varians fenotip dan genotipe yang luas Tabel 16. Ketiga karakter yang mempunyai varians fenotipe yang luas cukup efektif dalam mendukung kegiatan seleksi pembibitan. Efektifitas seleksi suatu karakter tergantung kepada variasi genetik yang dimiliki dan kemudahan karakter tersebut untuk diturunkan Dudley 1997. Pewarisan karakter dapat dinilai dari besarnya nilai heritabilitas yang diperoleh. Sebanyak sepuluh karakter dari 17 karakter morfologi semai yang diukur menunjukkan varians genotipe yang luas dan sebelas karakter memperlihatkan varians fenotipe yang luas. Dengan demikian, variasi karakter morfologi yang diukur diduga bukan diturunkan dari induk akan tetapi lebih kuat disebabkan faktor lain selain genetik. Nilai duga heritabilitas memberikan indikasi kekuatan pewarisan genetik suatu karakter dari tetua kepada turunannya. Sehingga parameter ini dapat mengukur sampai sejauh mana penampilan suatu tanaman lebih disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Walaupun karakter-karakter pada umumnya memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas pada penelitian ini, akan tetapi tidak didukung dengan nilai heritabilitas yang tinggi maka perlu evaluasi lebih lanjut terhadap nilai kemajuan genetiknya. Panjang pucuk semai PPS, panjang petiole daun semai PPDS dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun RPDS memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar Tabel 15. Dengan demikian, seleksi terhadap ketiga karakter tersebut akan memperoleh hasil yang cukup efektif. Seleksi akan efektif dilakukan terhadap karakter yang mempunyai nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik tinggi Murdaningsih et al. 1990, Yousaf et al. 2008. Nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada populasi Wanayasa-Purwakarta sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya. Analisis komponen utama, dugaan kedekatan dalam kelompok dan pola kekerabatan antar pohon induk berdasarkan jarak taksonomi Analisis keragaman Hasil analisis ragam morfologi benih mindi menunjukkan bahwa semua karakter variabel morfologi benih memperlihatkan perbedaan yang nyata antar pohon induk. Hal ini berarti bahwa semua karakter morfologi benih yang diamati dapat dijadikan untuk mengidentifikasi keragaman fenotipik didalam populasi sembilan pohon induk. Tabel 16 Varians fenotipe, varians genotipe, heritabilitas H dan kemajuan genetik KG progeni mindi berdasarkan pertumbuhan semai. No Karakter Var genotipe Var fenotipe H KG 1 TTBS n=10 3,732 L 41,091 L 0,0908 R 0,0021 K 2 TBDS n=10 2,019 L 21,399 L 0,0943 R 0,0032 K 3 DBS n=10 2,432 L 26,133 L 0,0930 R 0,0080 K 4 RTDS n=10 4,653 L 49,692 L 0,0936 R 0,0051 K 5 KLBS n=10 0,006 S 0,287 S 0,0221 R 0,0461 K 6 PPS n=10 4,900 L 50,782 L 0,0964 R 0,0048 K 7 PDTS n=10 3,152 L 37,396 L 0,0842 R 0,0021 K 8 JDS n=10 1,994 L 22,264 L 0,0895 R 0,0018 K 9 PADS n=10 0,315 S 4,020 L 0,0784 R 0,0005 K 10 LADS n=10 0,0579 S 0,855 S 0,0677 R 0,1737 B 11 JADP n=10 0,1380 S 1,754 S 0,0786 R 0,2249 B 12 RPLDS n=10 0,1657 S 1,654 S 0,1002 R 0,2262 B 13 PPDS n=10 2,389 L 23,052 L 0,1036 R 0,0202 K 14 JLDS n=10 0,1157 S 1,279 S 0,0905 R 0,1793 B 15 BLDS n=10 0,0065 S 0,067 S 0,0975 R 1,4948 B 16 RPDS n=10 28,755 L 720,982 L 0,1061 R 0,9834 S 17 LWR n=10 55,625 L 595,052 L 0,0934 R 0,0188 K Singkatan pada karakter dapat dilihat pada Tabel 14 Karakter perkecambahan yang diukur meliputi daya berkecambah DB, waktu mulai berkecambah WMB, total hari perkecambahan TB dan rata-rata harian berkecambah RHB juga menunjukkan bahwa pohon induk yang diamati menunjukkan perbedaan nyata dilihat dari beberapa variabel perkecambahan yang diukur diantaranya WMB, TB dan RHB. Dengan demikian, variabel perkecambahan tersebut dapat dijadikan penciri dalam keragaman fenotipik pada populasi pohon induk mindi. Daya berkecambah tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan pohon induk, jadi tidak dapat dijadikan penentu dalam keragaman populasi pohon induk. Sebagian besar karakter morfologi semai yang diukur mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap keragaman populasi 9 pohon induk, kecuali karakter KLBS kelurusan batang semai, RPLDS ratio panjang lebar daun semai dan JLDS jarak helai daun terlebar . Dengan demikian, karakter morfologi semai yang diukur pada umumnya dapat dijadikan ciri untuk menentukan keragaman populasi pohon induk Tabel 17. Tabel 17 Analisis ragam variabel morfologi benih, perkecambahan dan morfologi semai mindi Karakter Wilks Lambda F df1 df2 Sig. Morfologi benih PB n=20 .914 2.020 8 171 .047 DM n=20 .887 2.735 8 171 .007 BB n=20 .847 3.854 8 171 .000 Perkecambahan DB n=4 .606 2.198 8 27 .060 WMB n=4 .172 16.241 8 27 .000 TB n=4 .528 3.011 8 27 .015 RHB n=4 .564 2.611 8 27 .029 Morfologi semai TTBS n=10 0,542 8,548 8 81 0,000 TBDS n=10 0,519 9,373 8 81 0,000 DBS n=10 0,538 8,687 8 81 0,000 RTDS n=10 0,520 9,348 8 81 0,000 KLBS n=10 0,955 0,476 8 81 0,870 PPS n=10 0,448 12,455 8 81 0,000 PDTS n=10 0,666 5,083 8 81 0,000 JDS n=10 0,595 6,902 8 81 0,000 PADS n=10 0,717 3,996 8 81 0,000 LADS n=10 0,779 2,872 8 81 0,007 JADP n=10 0,715 4,030 8 81 0,000 RPLDS n=10 0,887 1,286 8 81 0,262 PPDS n=10 0,188 43,838 8 81 0,000 JLDS n=10 0,865 1,585 8 81 0,142 BLDS n=10 0,763 3,143 8 81 0,004 RPDS n=10 0,081 115,116 8 81 0,000 LWR n=10 0,711 4,114 8 81 0,000 Singkatan pada karakter dapat dilihat pada Tabel 14 Panjang benih, diameter benih dan berat benih adalah merupakan karakter morfologi yang kuat untuk membedakan 6 populasi mindi di Jawa Barat Yulianti et al. 2011. Demikian juga kapasitas perkecambahan benih merupakan karakter yang secara fisiologis dapat menentukan keragaman populasi pada jenis Indian rice Jones Nielson 1999. Keragaman populasi yang dikaitkan dengan karakter morfologi, anatomi, fisiologi dan biokimia benih sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti Hattermer 1991, Kundu Tigerstedt 1999, Rawat Bakshi 2011. Hasil penelitian Rawat Bakshi 2011 menyebutkan bahwa karakter morfologi benih, perkecambahan dan penampilan awal pertumbuhan semai jenis Pinus wallichiana berkorelasi dengan faktor geografis, sehingga karakter-karakter tersebut dapat dijadikan penentu dalam seleksi provenan yang unggul. Hasil perhitungan Canonical Discriminant Analysis CDA menunjukkan adanya tiga fungsi pertama yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman yang dapat diduga dari karakter morfologi benih, empat fungsi efektif berdasarkan empat karakter perkecambahan benih dan delapan fungsi utama berdasarkan morfologi semai Tabel 18. Besaran korelasi canonical yang dimiliki setiap fungsi dapat menetapkan secara definitif adanya keragaman. Ketiga fungsi tersebut, menerangkan bahwa keragaman populasi pohon induk dilihat dari nilai korelasi canonical dapat dijelaskan oleh variabel panjang, diameter dan berat benih sebesar 43,6 pada fungsi 1, sebesar 30,5 pada fungsi 2 dan 20,9 pada fungsi 3. Apabila fungsi 1 dan 2 digabung maka nilai kumulatifnya adalah 88,1. Dengan demikian, fungsi 1 dan fungsi 2 cukup mampu menduga adanya keragaman sebesar 88,1 Tabel 18. Pada karakter perkecambahan, fungsi 1 dengan nilai Eigenvalue sebesar 6,192 mampu menduga adanya keragaman sebesar 72,7, fungsi 2 dengan nilai Eigenvalue sebesar 1,323 mampu menduga adanya keragaman sebesar 15,5. Apabila kedua fungsi tersebut digabung, maka akan menghasilkan nilai kumulatif sebesar 88,3, sehingga dari kedua fungsi tersebut akan mampu menduga adanya keragaman pada populasi pohon induk mindi sebesar 88,3 berdasarkan karakter perkecambahan benih mindi Tabel 18. Hasil perhitungan CDA di atas memperlihatkan adanya delapan fungsi pertama yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman yang dapat diduga dari karakter morfologi semai. Dari delapan fungsi tersebut, ada empat fungsi efektif yang memiliki nilai korelasi canonical di atas 70 dan dapat menduga keragaman populasi pohon induk mindi berdasarkan 17 karakter morfologi semai. Dengan demikian, keragaman populasi pohon induk mindi yang didasarkan pada karakter morfologi semai dapat diduga sebesar 96,3 pada fungsi 1 dengan nilai Eigenvalue 12,807, pada fungsi 2 sebesar 79,8 dengan nilai Eigenvalue 1,758, pada fungsi 3 dengan nilai Eigenvalue 1,081 sebesar 72,1 dan fungsi 4 dengan nilai Eigenvalue 1,011 sebesar 70,9. Tabel 18 Nilai eigenvalue dan persentase total variasi dari karakter morfologi benih,perkecambahan dan morfologi semai mindi Fungsi Eigenvalue Keragaman Kumulatif Canonical Correlation Morfologi benih: 1 0,234 a 61,2 61,2 0,436 2 0,103 a 26,9 88,1 0,305 3 0,046 a 11,9 100,0 0,209 Perkecambahan: 1 6,192 a 72,7 72,7 0,928 2 1,323 a 15,5 88,3 0,755 3 0,633 a 7,4 95,7 0,623 4 0,367 a 4,3 100,0 0,518 Morfologi semai: 1 12,807 a 72,9 72,9 0,963 2 1,758 a 10,0 82,9 0,798 3 1,081 a 6,2 89,1 0,721 4 1,011 a 5,8 94,8 0,709 5 0,409 a 2,3 97,1 0,539 6 0,285 a 1,6 98,8 0,471 7 0,173 a 1,0 99,7 0,384 8 0,044 a 0,3 100,0 0,205 Apabila keempat fungsi tersebut digabung, maka akan menghasilkan nilai kumulatif sebesar 94,8, sehingga dari keempat fungsi tersebut akan mampu menduga adanya keragaman pada populasi pohon induk mindi sebesar 94,8 berdasarkan karakter morfologi semai mindi. Analisis berdasarkan PCA Principal Component Analysis bertujuan untuk mengetahui kedekatan antar pohon induk dengan variabel fenotipik baik morfologi benih, kapasitas perkecambahan maupun morfologi semai. Gambar 16 Analisis komponen utamaPCA pohon induk mindi berdasarkan karakter morfologi benih Pohon induk P13 dan P29 berada dalam kuadran yang memiliki kekuatan pada karakter diameter benih dan berat benih. Sedangkan pohon-pohon induk P24 dan P28 memiliki kedekatan dalam karakter panjang benih, P2 berada satu kuadran dengan P24 dan P28 namun cukup jauh dengan kedua karakter tersebut. Pohon induk lainnya P8, P15, P17 dan P20 berada pada kuadran yang berbeda dan satu sama lain berjauhan berdasarkan karakter panjang, diameter dan berat benih Gambar 14. Gambar 17 Analisis komponen utamaPCA pohon induk mindi berdasarkan karakter perkecambahan Hasil PCA dengan dasar karakter perkecambahan memperlihatkan bahwa pohon induk P20 dan P28 memiliki kedekatan dalam karakter total hari perkecambahan TB dan pohon induk P15 memiliki karakter daya berkecambah DB dan rata-rata harian berkecambah RHB yang cukup besar, namun tidak ada kedekatan dengan pohon induk lain berkaitan dengan kedua karakter tersebut. Pohon induk lainnya P2, P8, P17, P13, P24 dan P29 masing-masing tidak memiliki kedekatan dalam karakter perkecambahan Gambar 17. Gambar 18 Analisis komponen utamaPCA pohon induk mindi berdasarkan karakter morfologi semai Hasil analisis komponen utama untuk karakter morfologi semai memperlihatkan bahwa pohon induk P17, P8, P29 dan P13 terdapat dalam satu kuadran yang sama dan memiliki kedekatan dalam karakter morfologi semai diantaranya JDS, JLDS, TTBS. PPS, PDTS, LADS dan PADS. Sedangkan pohon induk P2, P20, P28 berada dalam satu kuadran, namun yang memiliki karakter morfologi semai KLBS yang kuat adalah P28 dilihat dari jaraknya yang lebih dekat. Pohon induk P15 berada pada satu kuadran tersendiri dan mempunyai karakter semai BLDS, RPDS, PPDS, TBDS dan RTDS yang besar. Namun masih perlu dibuktikan lebih lanjut apakah P15 memiliki karakter morfologi tersebut. Pohon induk P24 juga berada sendiri pada satu kuadran yang di dalamnya terdapat karakter morfologi JADP, RPLDS, DBS dan LWR yang kemungkinan dimiliki secara kuat oleh pohon induk P24. Akan tetapi dugaan ini masih harus dievaluasi dengan menganalisis besarnya kedekatan pohon induk tersebut terhadap karakter morfologi semai. Untuk mengetahui dengan jelas seberapa besar kedekatan pohon induk berdasarkan karakter fenotipik benih maka didekati dengan analisis Predicted Group Membership PGM. Hampir semua pohon induk, masing-masing memiliki karakter morfologi benih dengan besaran persentase yang bervariasi Tabel 17. Pohon induk P2 mempunyai 25 karakter morfologi benih dan 75 karakter morfologi benih tersebar di pohon induk lainnya dengan besaran 5 sampai 20. Karakter morfologi benih paling tinggi dimiliki oleh pohon induk P13 50. P28 dan P24 memiliki kedekatan yang cukup besar pada karakter morfologi benih yaitu 40 terutama variabel diameter seperti yang diperlihatkan pada Gambar 14. Memperhatikan matrik hasil klasifikasi PGM Tabel 19, tampak bahwa pada umumnya populasi pohon induk pada tegakan di Wanayasa memiliki kesamaan dalan karakter morfologi benih yang diwakili dengan variabel panjang, diameter dan berat benih. Karakter morfologi benih paling kuat dimiliki oleh pohon induk P13 yaitu sebesar 50 yang berdasarkan analisis PCA dicirikan oleh karakter diameter benih Gambar 14. Sedangkan pohon induk yang tidak mempunyai kedekatan satu sama lain berdasarkan PCA adalah P2, P8, P15, P17, P20 dan P29. Dalam hal ini apabila dihubungkan dengan hasil klassifikasi PGM yang menunjukkan kedekatan satu sama lain berdasarkan karakter morfologi benih, maka keragaman yang ditunjukan pada PCA kemungkinan dari karakter fenotipik benih lain yang tidak diamati. Tabel 19 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasar kan karakter morfologi benih mindi Pohon induk Predicted group membership Jumlah benih dalam setiap pohon induk P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 5 4 4 1 3 2 1 20 P13 3 10 1 2 1 2 1 20 P8 1 3 3 5 1 2 4 1 20 P15 1 1 2 6 1 5 1 2 1 20 P17 2 1 2 4 2 1 8 20 P24 2 2 1 3 2 5 2 2 1 20 P28 2 3 1 2 8 2 2 20 P20 2 1 3 4 2 7 1 20 P29 3 4 1 4 4 2 2 20 Total 19 27 18 28 13 30 6 31 8 180 Persentase P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 25 20 20 5 15 10 5 100 P13 15 50 5 10 5 10 5 100 P8 5 15 15 25 5 10 20 5 100 P15 5 5 10 30 5 25 5 10 5 100 P17 10 5 10 20 10 5 40 100 P24 10 10 5 15 10 25 10 10 5 100 P28 10 15 5 10 40 10 10 100 P20 10 5 15 20 10 35 5 100 P29 15 20 5 20 20 10 10 100 Berkaitan dengan karakter perkecambahan, 25 karakter dimiliki oleh pohon induk P28, sedangkan 75 karakter perkecambahan lainnya diduga disebar ke pohon induk P15 50 dan P29 25. Jadi ada kedekatan karakter perkecambahan antara ketiga pohon tersebut. Pohon induk lainnya pada umumnya tidak mengindikasikan kekuatan pada karakter perkecambahan yang ditunjukkan dengan nilai 0. Sementara itu P29 diduga memiliki kedekatan 100 karakter perkecambahan dengan P8, demikian juga untuk P20 dengan P28 Tabel 20. Melihat hasil analisis PCA, P29 dan P8 berada pada kuadran yang berjauhan Gambar 15 yang mengindikasikan keragaman diantara keduanya, namun pada hasil analisis PGM menunjukkan kedekatan yang sangat erat 100. Dalam hal ini keragaman yang diperlihatkan pada hasil analisis PCA kemungkinan berasal dari karakteristik perkecambahan lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Sedangkan pada P20 dan P28 kedekatan yang ditunjukan pada analisis PGM didukung oleh hasil analisis PCA dimana kedua pohon induk tersebut berada dalam kuadran yang sama dan letak keduanya berdekatan dengan karakter total hari perkecambahan TB. Pohon induk P2 dan P8 masing-masing memiliki 70 karakter morfologi semai dan 30 karakter semai lainnya diduga disebar ke pohon induk lainnya. P2 menyebarkan ke P8, P17 dan P29, sedangkan P8 ke P17 dan P20. Pohon induk P13 dan P17 masing-masing mempunyai 80 karakter morfologi semai dan 20 lainnya secara berturut-turut disebarkan ke P20, serta P13 dan P8 Tabel 20. Pohon induk P15 adalah satu-satunya pohon yang memliliki 100 karakter morfologi semai dan apabila disilangkan dengan hasil analisis PCA, ternyata pohon induk ini berada dalam satu kuadran tersendiri yang mempunyai 5 karakter semai yang kuat yaitu BLDS, RPDS, PPDS, TBDS dan RTDS Gambar 16. Tabel 20 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan kapasitas perkecambahan benih mindi Pohon induk Predicted group membership Jumlah individu P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 1 2 1 4 P13 3 1 4 P8 1 1 2 4 P15 3 1 4 P17 3 1 4 P24 3 1 4 P28 2 1 1 4 P20 4 4 P29 4 4 Total 3 3 5 3 4 5 5 3 5 36 Persentase P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 25 50 25 100 P13 75 25 100 P8 25 25 50 100 P15 75 25 100 P17 75 25 100 P24 75 25 100 P28 50 25 25 100 P20 100 100 P29 100 100 Pohon induk P24 mempunyai 60 karakter morfologi semai dan 40 karakter lainnya disebar ke P17, P28, P20. Hasil PCA menunjukkan bahwa P24 berada pada satu kuadran dengan 4 karakter morfologi semai Gambar 16. Pohon induk P20 dan P29 masing-masing memiliki 20 karakter semai dan sebesar 70 karakter semai lainnya dari P20 disebar ke P29. Sebaliknya, P29 menyebarkan karakter semai lainnya sebesar 60 ke P20. Walaupun hasil PCA memperlihatkan posisi P20 dan P29 yang berjauhan, tampaknya kedua pohon induk tersebut memiliki kedekatan yang cukup kuat dalam karater fenotipik lainnya. Karakter morfologi semai merupakan perwakilan karakter fenotipik yang sangat kuat mempengaruhi keragaman pohon induk mindi di lokasi Wanayasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pohon induk dengan nilai persentase keragaman yang tinggi 60-100. Banyaknya karakter morfologi semai yang diukur 17 karakter menyebabkan banyaknya variasi untuk membedakan sifat fenotipe pohon induk. Tabel 21 Matrik hasil klasifikasi dugaan kedekatan antar pohon induk berdasarkan karakter semai mindi Pohon induk Predicted group membership Jumlah individu P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 7 1 1 1 10 P13 8 2 10 P8 7 2 1 10 P15 10 10 P17 1 1 8 10 P24 1 6 1 2 10 P28 1 3 4 1 1 10 P20 1 2 7 10 P29 1 1 6 2 10 Total 9 10 10 10 15 6 5 14 11 90 Persentase P2 P13 P8 P15 P17 P24 P28 P20 P29 Total P2 70 10 10 10 100 P13 80 20 100 P8 70 20 10 100 P15 100 100 P17 10 10 80 100 P24 10 60 10 20 100 P28 10 30 40 10 10 100 P20 10 20 70 100 P29 10 10 60 20 100 Hasil penelitian Hidayat 2011 menyebutkan bahwa karakter tinggi, diameter dan kekokohan batang pada bibit surian Toone sinensis umur 6 bulan merupakan karakter yang cukup kuat untuk dijadikan pembeda dalam keragaman antar provenan, demikian juga karakter panjang daun, panjang anak daun dan lebar anak daun. Hasil analisis pada semai mindi juga memperlihatkan bahwa karakter di atas menjadi yang penciri utama dalam penilaian keragaman pohon induk. Pada semai mindi maupun bibit surian karakter KLBS kelurusan batang tidak menjadi penentu dalam keragaman. Hal ini disebabkan pertumbuhan batang pada semai mindi umur 5-6 minggu ataupun surian masih relatif muda, sehingga pembentukan batang masih cukup baik rata-rata lurus dan merata pada semua semai, sehingga indeks kelurusan batang mindi atau surian tidak berbeda antar pohon induk. Analisis klaster berdasarkan jarak taksonomi dimaksudkan untuk mengetahui kedekatan rata-rata antar pohon induk dengan mengelompokan ke dalam beberapa klaster berdasarkan tingkat perbedaan secara morfologis. Hasil analisis klaster disajikan dalam bentuk dendrogram. Dengan memotong titik jarak pada angka 15 maka diperoleh dua klaster yang memperlihatkan keragaman berdasarkan karakter morfologi benih Gambar 17. Pada gambar dendrogram terlihat bahwa klaster pertama terdiri dari 5 pohon induk P24, P28, P2, P13 dan P29 berjarak 2 dari klaster kedua terdiri dari 4 pohon induk P17, P20, P8 dan P15. Apabila disilangkan antara hasil cluster analysis dengan PCA, maka klaster pertama merupakan kelompok yang terdiri dari populasi pohon induk yang sama dengan kelompok pohon induk yang berada pada kuadran yang relatif dekat dengan penentu karakter morfologi benih Gambar 14. Demikian juga dengan klaster kedua terdiri dari pohon induk yang sama dengan pohon induk pada kuadran PCA yang tidak memiliki penciri karakter morfologi benih. Kombinasi analisis PCA dan teknik lain sangat tepat digunakan untuk pengelompokan Mohammadi Prasanna 2003 dan Cluster analysis adalah metode yang sangat sesuai untuk mengetahui hubungan kekerabatan Mellingers 1972. Menurut Mohammadi Prasanna 2003 manfaat utama menggunakan PCA disilangkan dengan cluster analysis adalah bahwa masing-masing karakter fenotipe genotipe dapat digabung menjadi hanya satu kelompok. Seperti yang diperlihatkan pada hasil analisis PCA untuk karakter morfologi benih yang disilangkan dengan hasil cluster analysis menunjukkan hasil yang sejalan. Gambar 19 Dendrogram hasil clustering populasi pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi benih Cluster analysis untuk karakter perkecambahan benih dalam bentuk dendrogam dipotong pada titik jarak antara angka 5 dan 10, maka diperoleh tiga klaster yang menunjukkan adanya keragaman fenotipik berdasarkan karakter perkecambahan Gambar 18. Klaster pertama terdiri dari sekelompok pohon induk berjumlah 4 pohon P17,P8, P13 dan P24, klaster kedua terdiri dari 3 pohon induk P2, P20, P28 dan klaster ketiga terdiri dari 2 pohon induk P29 dan P15. Hasil cluster analysis disilangkan dengan hasil PCA maka terlihat klaster pertama menunjuk pada kelompok pohon induk pada kuadran yang berjauhan dengan kelompok yang memiliki karakter perkecambahan, klaster kedua merupakan kelompok pohon induk yang sama dengan kelompok pada kuadran yang mempunyai kedekatan dengan karakter WMB dan TB, dan klaster ketiga adalah kelompok yang sama dengan pohon induk yang memiliki kedekatan dengan karakter DB dan RHB. Gambar 20 Dendrogram hasil clustering pohon induk mindi menggunakan karakter perkecambahan Dengan memotong titik jarak pada angka 10 maka diperoleh tiga klaster yang memperlihatkan keragaman berdasarkan karakter morfologi semai Gambar 18. Pada gambar dendrogram terlihat bahwa klaster pertama terdiri dari enam pohon induk P28, P20, P8, P17, P13 dan P29, klaster kedua terdiri dari dua pohon induk P2 dan P15 dan klaster ketiga terdiri dari satu pohon induk P24. Jarak antara klaster pertama dan kedua cukup dekat yaitu keduanya ada di bawah angka 5, sedangkan klaster ketiga memiliki jarak yang agak jauh antara angka 5 – 10 dengan kedua klaster lainnya. Dengan demikian, pohon- pohon induk pada klaster pertama masing-masing memiliki kedekatan fenotipik yang berdasarkan morfologi semai, pohon induk P2 memiliki kesamaan karakter morfologi semai dengan P15 sehingga berada dalam satu klaster. Pohon induk P24 pada klaster ketiga memiliki karakter morfologi semai tersendiri yang berbeda cukup jauh dengan pohon induk lainnya yaitu dengan jarak 25. Apabila disilang dengan hasil analisis PCA, pohon induk P2 dan P15 masing-masing berada pada kuadran yang berbeda Gambar 16 sementara hasil clustering kedua pohon induk tersebut berada dalam satu kelompok. Dalam hal ini ada dugaan bahwa kedekatan keduanya adalah berdasarkan karakter fenotipik lainnya diluar karakter morfologi semai yang diukur. Pohon induk P24 pada analisis PCA berada pada kuadran tersendiri yang mempunyai beberapa karakter morfologi semai yang tampaknya cukup kuat mempengaruhinya, sehingga dapat dibedakan dengan pohon induk lainnya dan ini didukung dengan hasil clustering yang membentuk kelompok tersendiri dengan jarak yang cukup jauh Gambar 19. Gambar 21 Dendrogram hasil clustering populasi pohon induk mindi menggunakan karakter morfologi semai Pembahasan Evaluasi keragaman genetik populasi tegakan mindi di Wanayasa- Purwakarta dilakukan berdasarkan marka morfologis terhadap keturunan menurut karakter morfologi benih, kapasitas perkecambahannya dan karakter pertumbuhan semai. Evaluasi keragaman genetik berdasarkan marka DNA dengan penanda mikrosatelit dilakukan baik terhadap pohon induk maupun anakan. Hasil evaluasi terhadap tiga karakter morfologi benih dan empat karakter perkecambahan menunjukkan bahwa morfologi benih termasuk panjang PB, diameter DM dan berat benih BB tidak menunjukkan varians genotipe yang luas dan hanya satu karakter PB yang menunjukkan varians fenotipe yang luas. Dengan demikian, karakter morfologi benih tidak efektif digunakan untuk kegiatan seleksi pohon induk. Hal ini didukung pula oleh hasil Predicted Group Membership PGM pada analisis komponen utama yang menunjukkan kedekatan antar sembilan pohon induk mindi berdasarkan karakter struktur benih. Sementara hasil evaluasi terhadap karakter perkecambahan menunjukkan bahwa dari empat karakter perkecambahan, tiga diantaranya mempunyai varians fenotipe dan genotipe yang luas yaitu DB daya berkecambah, WMB waktu mulai berkecambah dan TB total perkecambahan, sehingga ketiga karakter perkecambahan dapat digunakan dalam mendukung kegiatan seleksi pohon induk. Walaupun demikian, hasil evaluasi terhadap nilai varians ini harus didukung oleh nilai heritabilitas dan nilai duga kemajuan genetik untuk menghasilkan ketetapan yang lebih akurat. Dilihat dari nilai heritabilitas dan nilai kemajuan genetik, karakter morfologi benih termasuk katagori rendah, sedangkan karakter perkecambahan yaitu karakter daya berkecambah DB dan waktu mulai berkecambah WMB, memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai heritabilitas rata-rata sedang dan kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Dengan demikian, kedua karakter tersebut cukup akurat untuk mendukung seleksi pohon induk dan berdasarkan hasil analisis fungsi komponen utama kapasitas perkecambahan mampu menduga keragaman pohon induk sebesar 88,3 Evaluasi keragaman genetik anakan berdasarkan karakter pertumbuhan semai menunjukkan bahwa panjang pucuk semai PPS, panjang petiole daun semai PPDS dan ratio panjang petiol terhadap panjang daun RPDS memiliki varians fenotipe dan genotipe yang luas serta nilai kemajuan genetik yang berkisar antara sedang-besar. Dengan demikian, penggunaan ketiga karakter tersebut dalam seleksi pembibitan akan memperoleh hasil yang cukup efektif. Secara keseluruhan nilai duga heritabilitas semua karakter pertumbuhan semai yang diukur termasuk kriteria rendah. Hal ini memberikan indikasi bahwa karakter pertumbuhan semai mindi pada plot penelitian Wanayasa sangat sedikit diwariskan kepada keturunannya. Walaupun demikian, berdasarkan analisis komponen utama pertumbuhan semai merupakan karakter yang sangat kuat mempengaruhi keragaman antar pohon induk mindi yang ditunjukkan dengan nilai persentase yang tinggi 60-100 pada analisis PGM. Karakter pertumbuhan semai yang kuat mempengaruhi keragaman antar pohon induk tampaknya lebih disebabkan faktor lingkungan daripada genetik. Hasil pengukuran jarak fenotipe berdasarkan cluster analysis menunjukkan keragaman pohon induk yang dibagi menjadi beberapa kelompok baik berdasarkan karakter morfologi benih, perkecambahan maupun pertumbuhan semai. Berdasarkan ketiga karakter fenotipik yang di analisis secara clustering, pohon induk P2, P15 dan P24 pada umumnya memperlihatkan keberagaman karakter fenotipe yang tinggi dibandingkan dengan pohon induk lain. Jarak antar ketiga pohon induk tersebut yaitu P2 dengan P15 berjarak 80,7 meter, P2 dengan P24 berjarak 111,8 meter dan jarak antara P15 dengan P24 adalah 33,9 meter Lampiran 9. Informasi jarak antar pohon pada keragaman fenotipik diperlukan terkait faktor lingkungan yang kemungkinan mempengaruhi pertumbuhan pohon. .

V. PEMBAHASAN UMUM

Pengembangan sumber benih mindi untuk hutan rakyat khususnya di Jawa Barat memerlukan dukungan limu pengetahuan yang kuat dalam rangka penyediaan benih bermutu tinggi. Pemilihan pohon induk sebagai penghasil benih yang merupakan awal untuk memperoleh benih bermutu, memerlukan pemahaman yang dalam tentang sistem reproduksi tanaman baik dari aspek biologi maupun genetik. Hasil penelitian pada berbagai lokasi hutan rakyat di Jawa Barat menunjukkan bahwa tegakan mindi yang dikelola masyarakat memiliki keragaman genetik yang relatif rendah. Hal ini dapat terjadi karena berbagai kemungkinan seperti sejarah penyebaran mindi yang merupakan jenis introduksi, penggunaan benih untuk penanaman yang berasal dari beberapa pohon induk dan keterbatasan pengetahuan dalam upaya budidayanya. Seperti yang telah diketahui bahwa keragaman genetik dalam populasi dipengaruhi terutama oleh penyebaran geografis dari jenis, sistem perkawinan, cara penyebaran biji dan sistem reproduksi Hamrick et al 1992. Secara geografis penyebaran mindi pada hutan rakyat di Jawa Barat cukup terbatas, mengingat lahan rata-rata hutan rakyat yang dimiliki petani relatif tidak luas. Cara penyebaran biji mindi secara alami tidak jauh, karena buah mindi tidak bersayap dan mempunyai bobot yang relatif berat sehingga ketika masak, buah jatuh di bawah pohon dan buah kurang disukai hewan. Sistem perkawinan tanaman mindi terindikasi acak, akan tetapi dari tipe penyerbukan dan analisis struktur inbreeding pada populasi Sumedang diduga sistem perkawinan mindi cenderung acak namun ada penyimpangan genotipe. Sistem reproduksi mindi secara biologi menunjukkan beberapa karakteristik morfologi bunga, masa reseptif dan polen viabel serta tipe penyerbukan yang mendukung terjadinya penyerbukan sendiri selfing. Morfologi bunga dan proses perkembangan bunga mindi, mempunyai peran yang penting dalam mencari jawaban mengapa keragaman genetik rendah. Mindi memiliki tipe bunga hermaprodit, dengan proses pemekaran yang simultan antar ranting bunga dalam satu malai menyebabkan besarnya peluang terjadi penyerbukan sendiri secara alami pada suatu populasi. Konsekuensinya pada program pemuliaan yang melakukan kegiatan hibridisasi akan memerlukan proses penyilangan khusus yaitu penyerbukan terkendali dengan teknik emaskulasi bunga di dalam satu malai. Tahapan perkembangan bunga mindi terdiri atas beberapa fase dan fase yang paling penting adalah fase ketika sepal membuka dan kolom staminal berwarna ungu terlihat dengan antera yang membuka dan stigma berwarna hijau terang ditengahnya, maka pada saat ini periode penyerbukan dimulai. Stigma yang reseptif dan polen yang matang merupakan prasyarat untuk keberhasilan penyerbukan. Reseptivitas stigma pada mindi berlangsung selama satu hari dan pagi hari mulai pk. 08.00 sampai pk. 11.00 merupakan periode reseptif yang efektif. Sementara itu viabilitas polen mindi yang baik terjadi pada rentang waktu dari pk. 07.00 sampai pk. 11.00, dengan demikian waktu penyerbukan yang efektif dimana stigma reseptif dan polen viabel adalah pada pk. 08.00-pk.11.00. Petal atau mahkota bunga mindi berwarna putih dan saat mekar tercium aroma yang khas seperti bunga melati. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman mindi melakukan penyerbukan juga dibantu oleh serangga, khususnya lebah atau ngengat yang menyukai warna bunga putih. Sementara aroma yang dikeluarkan juga menarik serangga untuk mengunjungi bunga. Walaupun demikian, perlu penelitian tersendiri terkait vektor penyerbuk mindi. Bunga dalam keadaan mekar antesis bertahan selama satu hari. Implikasinya adalah periode untuk melakukan penyerbukan dibatasi oleh waktu. Apabila bunga tidak mendapat kunjungan dari serangga penyerbuk pada periode penyerbukan, maka ada peluang bagi bunga untuk melakukan penyerbukan sendiri. Walaupun demikian, tanaman mindi juga melakukan penyerbukan silang outcrossing dilihat dari ratio jumlah buahbunga yang cukup tinggi yaitu rata- rata 70 hasil penyerbukan silang terkendali. Dengan demikian, hasil penyerbukan secara biologi perlu didukung analisis genetik untuk melihat apakah ada penyimpangan struktur genetik pada sistem perkawinan mindi, sehingga bisa diduga terjadinya penyerbukan silang atau sendiri pada mindi. Morfologi buah sangat penting dipelajari terutama untuk mengetahui lapisan-lapisan dinding yang membentuk buah dan biji yang ada di dalamnya. Hal ini berguna ketika akan melakukan ekstraksi pengeluaran biji dari buah atau skarifikasi yaitu perlakuan memecahkan dormansi kulit biji secara fisik untuk mempercepat perkecambahan. Buah mindi termasuk tipe drupe yaitu buah yang ditandai dengan pengerasan lapisan dalam perikarp yang membentuk endokarp. Pemecahan dormansi kulit biji mindi cukup sulit dilakukan karena ketebalan dan