penggunaan lahan pertanian terkait dengan beberapa faktor yaitu manusia, pertumbuhan penduduk, dan lingkungan fisik lahan. Kualitas manusia ditentukan
umur, kepribadian, dan pendidikan, serta segala sesuatu yang menentukan kualitas manusia dalam menentukan keputusan. Misalkan petani muda berpendidikan yang
memiliki pemikiran yang sudah maju akan lebih cepat menerima teknologi baru di bidang pertanian dibandingkan petani tua yang konservatif. Kualitas manusia dan
jumlah penduduk mempengaruhi pola penggunaan lahan. Selain itu tingkat perubahan penggunaan lahan terkait dengan tingkat kesesuaian lahan dan
lingkungan fisik lahan. Penggunaan lahan pada daerah datar lebih cepat berubah menjadi penggunaan lain dibandingkan dengan di daerah yang berlereng. Daerah
datar lebih subur dibandingkan daerah berlereng, karena daerah yang berlereng lebih banyak terjadi erosi dan longsor akibat curah hujan yang terjadi sehingga
bahan tanah yang subur yang berada diatas permukaan terbawa oleh air menuju daerah yang lebih rendah Saeful Hakim dan Nasoetion, 1996.
2.3. Land Rent
Rustiadi et al. 2009 menyatakan bahwa land rent merupakan nilai dari kegiatan yang dilakukan pada sebidang lahan yang menghasilkan pendapatan
bersih tiap meter persegi per tahun. Land rent adalah nilai surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah
pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total Barlowe, 1986. Nilai land rent yang lebih tinggi dapat menggeser kegiatan usaha yang mempunyai land rent
lebih rendah. Hal ini dapat mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan. Secara umum aktivitas industri memiliki nilai land rent paling besar kemudian
perdagangan, pemukiman, pertanian, dan kehutanan. Keterkaitan nilai land rent dengan perubahan penggunaan lahan sangat erat, karena penggunaan lahan
cenderung akan berubah dari aktivitas dengan land rent rendah ke aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan
akibat dari perkembangan nilai land rent usaha non pertanian yang lebih tinggi dari pada land rent pertanian di suatu lokasi yang lebih produktif. Namun yang
sering terjadi untuk memperoleh hasil ekonomi yang besar mengabaikan kepentingan lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian perbandingan nilai land rent pertanian dan non pertanian yang telah dilakukan oleh Rumiris 2008 dan Ariani 2011
disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa perbandingan nilai land rent pertanian lebih rendah dari pada nilai land rent non pertanian.
Tabel 1. Hasil penelitian nilai land rent pertanian dan non pertanian No
Perbandingan Land Rent Nilai Perbandingan Land Rent
Rpm
2
tahun 1. Pertanian sawah : Pemukiman
1 : 33 2. Pertanian sawah : Kos-kosan
1 : 55 Pertanian sawah : Warung
1 : 720 Pertanian sawah : Pemukiman
1 : 3
Sumber: Rumiris 2008 dan Ariani 2011
2.4. Lahan Kritis
Meningkatnya pembukaan tanah serta penggunaan lahan yang dilakukan penduduk secara sembarangan dapat menyebabkan tingginya laju erosi. Tingginya
laju erosi akibat pembukaan lahan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas tanah dan kerusakan tanah yang dikenal sebagai lahan kritis Rahim,
2006. Departemen Kehutanan 2003 mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan
yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau berkurangnya fungsi produksi dan tata air. Penggunaan lahan yang kurang baik
atau tidak memperhatikan teknik konservasi tanah menimbulkan erosi, tanah longsor, penurunan kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan. Sitorus 2004
menyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini mengalami penurunan produktivitas dilihat dari penggunaan lahan pertanian, karena
pengelolaan dan penggunaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah.
Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang terjadi di dalam atau di luar lahan hutan. Lahan dapat dikategorikan sebagai lahan kritis
apabila lahan tersebut mengalami masalah kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah secara fisik, kimia, hidrologi, dan sosial ekonomi akibat dari segala
penggunaan dan kesalahan pengelolaan. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan tekstur dan struktur tanah. Lahan kritis secara
kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburannya rendah karena penyediaan unsur mineral tanah sangat rendah dan adanya pencucian unsur hara
yang berlebihan. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap, dan menyimpan air Sitorus, 2004.
Pusat Penelitian Tanah 2004 mengklasifikasikan lahan kritis berdasarkan karakteristik penutup vegetasi, tingkat torehan atau kerapatan drainase,
penggunaan lahan, dan kedalaman tanah sebagai indikator penentu tingakat kekritisan lahan. Tingkat kekritisan lahan dan karakteristiknya Pusat Penelitian
Tanah 1997 sebagai berikut: 1 Potensial kritis: penutupan vegetasi 75 ; tingkat kerapatan agak-cukup
tertoreh; penggunaan lahan hutan, kebun campuran; vegetasi belukar dan perkebunan; kedalaman tanah dalam 100 cm,
2 Semi kritis: penutupan vegetasi 50-75 ; tingkat kerapatan cukup-sangat tertoreh; penggunaan lahan pertanian lahan kering; vegetasi semak belukar
dan alang-alang; kedalaman tanah dalam 60-100 cm, 3 Kritis: penutupan vegetasi 25-50 ; tingkat kerapatan sangat-sangat tertoreh
sekali; penggunaan lahan pertanian lahan kering; vegetasi rumput dan semak; kedalaman tanah dalam 30-60 cm, dan
4 Sangat kritis: penutupan vegetasi 25 ; tingkat kerapatan sangat-sangat tertoreh sekali; penggunaan lahan Gundul; vegetasi rumput dan semak;
kedalaman tanah dalam 30 cm. Sitorus 2004 mengklasifikasikan lahan kritis berdasarkan kerusakan fisik
lahan sebagai berikut: 1 Potensial kritis: lahan yang masih kurang produktif, mulai terjadi erosi ringan,
dan dapat berubah menjadi lahan hampir kritis yang dicirikan dengan: mulai terjadi erosi ringan, lapisan atas 20 cm, vegetasi relatif masih rapat,
kemiringan lereng datar sampai berbukit, dan tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi,
2 Hampir kritis: lahan yang kurang produktif, terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk pertanian dengan produksi rendah yang dicirikan dengan:
terjadi erosi permukaan sampai alur, kedalaman efektif 5 cm, penutupan
lahan sedang 50 sampai 70 , kemiringan lereng 18, dan kesuburan rendah,
3 Kritis: lahan tidak produktif dan apabila akan diusahakan harus direhabilitasi yang dicirikan dengan: Lahan mengalami erosi parit, kedalaman solum tanah
dangkal 60 cm, Presentase penutupan lahan rendah antara 25 sampai 50 , dan Kesuburan tanah rendah, meliputi ladang yang rusak, padang rumput,
dan semak belukar, dan 4 Sangat kritis: lahan yang sangat rusak dan sangat sulit direhabilitasi yang
dicirikan dengan : erosi sangat tinggi, lapisan produktif habis tererosi 30 cm, penutupan tanah 25 , kemiringan lereng 30 , dan kesuburan tanah
sangat rendah. Departemen Kehutanan 2012, menyatakan bahwa penetapan kriteria
lahan kritis yang dilaksanakan oleh Direktotar Rehabilitasi dan Konservasi Tanah pada 17 Juni 1997 dan 23 Juli 1997 yang dimaksud dengan lahan kritis adalah
lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Dengan demikian
penilaian lahan kritis di setiap tempat harus mengacu pada kriteria yang ditetapkan dan sesuai dengan fungsi tempat tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan
penentuan kriteria lahan kritis sebagai sasaran utama dari arahan RLKT. Metode yang dilakukan adalah melakukan tumpang susun overlay secara spatial masing-
masing data tersebut untuk kemudian dilakukan pembobotan skoring. Besaran nilai bobot tingkat kekritisan lahan diperoleh dari hasil perkalian antara bobot dan
nilai skor. Parameter fisik lahan berupa kelas lereng, jenis tanah, geologi, curah hujan. Kriteria untuk menetapkan lahan kritis kawasan budidaya pertanian yang
dilakukan oleh Departemen Kehutanan 2003, yaitu kawasan hutan lindung, kawasan lindung diluar kawasan hutan. Kriteria lahan kritis RLKT disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria tingkat kekritisan lahan menurut RLKT
Kriteria RLKT, Departemen Kehutanan, 1997 Tingkat kekritisan lahan berdasarkan atas jumlah kumulatif skor tiap kelas jumlah
nilai bobot x skor : 1.
Tidak Kritis: 426-500 2.
Potensial Kritis: 351-425 3.
Agak Kritis: 276-350 4.
Kritis: 201-275 5.
Sangat Kritis: 115-200 Berdasarkan kriteria dibawah ini:
a. Produktivitas 30: 80 5, 61-80 4, 41-60 3, 21-40 2, 20 1
b. Lereng 20: Datar 5, Landai 4, agak curam 3, curam 2, sangat curam 1
c. Erosi 15 : ringan 5, sedang 4, berat 3, sangat berat 2
d. Batu-batuan : sedikit 5, sedang 3, banyak 1
e. Manajemen : baik 5, sedang 3, buruk 1
III. METODOLOGI PENELITIAN