Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia
Infrastruktur pelabuhan ini diantaranya mencakup infrastruktur dasar seperti, alur pelayaran, kolam pelabuhan, penahan gelombang breakwater,
pelampung tambat mooring buoy, dan infrastruktur penunjang berupa dermaga, gudang, lapangan penumpukan dan jalan, maupun infrastruktur non fisik terkait
penanganan dan lain sebagainya. Menurut Global Competitiveness Report 2011- 2012, indeks kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3.6 dari skala 7.
Artinya, masih relatif jauh dari angka ideal. Di antara negara ASEAN sendiri, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih dibawah Singapura 6.8,
Malaysia 5.7, Thailand 4.7, dan Kamboja 4.0. Dengan kata lain dapat dikatakan infrastruktur pelabuhan Indonesia masih belum efektif dan efisien.
Tabel 43. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Impor Indonesia
Variabel Total
Laut Udara
Konstanta C -1.1658
-1.7994 2.5402
Ln_H 0.0070
0.02143 -0.1604
Ln_BBKR -0.1774
-0.1935 1.4201
INSTi 0.1470
0.2346 INSTj
0.0438 0.0450
-0.1921 PORTi
-0.2329 -0.2795
PORTj AIRPORTi
AIRPORTj 0.0730
0.0322 -0.4008
LSCIi 0.0624
0.0842 LSCIj
-0.0015 -0.0014
ROADi 0.0930
0.1188 -0.0840
ROADj 0.0871
0.1139 Adjusted R2
0.9043 0.9042
0.75011 S.E of Regresion
0.2818 0.3084
0.4278 F-stat
51.2842 51.8734
17.8022 Prob F-stat
0.0000 0.0000
0.0000 Sum square resid
27.8100 33.4045
64.7910 Durbin Watson Stat
1.7015 1.7464
1.7537 Fixed Effect
Intersept Maksimum
Minimum 1.3017
Kamboja -0.7637 Jerman
1.366 Kamboja -0.7690 Jerman
1.3687 Swedia -0.6648
Thailand Keterangan : nyata pada taraf 1, nyata pada taraf 5, nyata pada taraf
10 Selama ini pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan
pengumpan freeder port. Hal ini lebih karena Indonesia tidak memiliki
pelabuhan Hub Internasional terutama dalam hal kurang memadainya kedalaman pelabuhan atau deep sea port. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa
menjaga tingkat kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat memenuhi kriteria deep sea port. Sampai dengan tahun 2009, hampir setiap
tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialihkapalkan melalui pelabuhan hubungan internasional yang berada di negara tetangga seperti
Singapura dan Malaysia. Kapasitas pelabuhan yang ada saat ini belum memadai untuk mengakomodasi pertumbuhan perdagangan curah bulky maupun peti
kemas yang cenderung terus meningkat. Pada tahun 2011 Pelabuhan Tanjung Priok menangani hampir 6 juta TEU, padahal berdasarkan kapasitasnya hanya
mampu sampai 5 juta TEU. Akibatnya, seringkali kapal-kapal mengantri menunggu giliran untuk berlabuh dan bongkar muat. Akibatnya, waktu tunggu
dwell time pun menjadi lama yang pada akhirnya berakibat pada naiknya biaya. Seringkali waktu tunggu untuk berlabuh jauh lebih lama dibandingkan dengan
waktu berlayar, yang berimplikasinya pada tingginya biaya. Bahkan menurut laporan AUSAID 2012, diperkirakan pada tahun 2020 aliran peti kemas di
Indonesia akan mencapai 30 juta TEU. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat 50 persennya. Apabila tidak segera dibenahi kapasitas dan
kualitas pelabuhan yang ada saat ini tentunya akan semakin meningkatkan waktu tunggu dan semakin menurunkan daya saing perdagangan Indonesia.
Waktu tunggu dwell time adalah waktu yang diperlukan mulai dari peti kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu gerbang terminal. Pada
Bulan Juli dan Agustus 2011, waktu tunggu di Jakarta International Container Terminal JITC Tanjung Priok, yang menangani lebih dari dua per tiga
perdagangan internasional Indonesia adalah 6 hari. Jumlah ini mengalami peningkatan 22 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 4.9 hari.
Bertambahnya waktu tunggu di pelabuhan memberikan dampak negatif pada perekonomian melalui dua hal. Pertama, bagi industri yang berorientasi ekspor
menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia di luar negeri. Bagi industri manufaktur “just in time”, sistem
dimana perusahaan harus mengelola jadwal mengimpor bahan mentah dan mengekspor barang jadi secara ketat akan terpengaruh sehingga menganggu rantai
pasok yang efisien. Kedu a, “waktu adalah uang”, waktu tunggu yang lebih lama
akan meningkatkan biaya, sehingga harga yang akan dibayar konsumen menjadi lebih mahal.
Sumber : World Bank, 2010 Gambar 23. Waktu Tunggu Dwell Time Tahun 2010
Dari enam hari waktu tunggu yang diperlukan untuk menurunkan barang dari kapal sampai keluar pintu gerbang terminal meliputi 3 komponen, 1 pra
penyelesaian prosedur kepabenan waktu mulai saat kapal tiba hingga dokumen impor diajukan kepada bea cukai, 2 penyelesaian prosedur kepabenan, dan 3
pasca penyelesaian prosedur kepabeanan waktu antara penyelesaian dokumen dan pengeluaran barang melalui pintu gerbang JITC.
Sumber : World Bank, 2010 Gambar 24. Komponen Waktu Tunggu Dwell Time Indonesia, Tahun 2010
Menurut World Bank 2010, penyebab utama keterlambatan adalah pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan yang mencapai 58 persen Gambar 24.
Penyebab lamanya waktu pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan ini terkait peraturan termasuk metode pembayaran yang digunakan di Tanjung Priok.
Sebagian besar importir dan produsen Indonesia wajib menunggu hingga kapal tiba dan harus membayar pajak dan bea masuk di muka sebelum mengajukan
dokumen. Sementara umumnya di negara maju, mengijinkan pengajuan dokumen impor sebelum kapal tiba dan pada akhir proses dengan menyediakan satu faktur
yang mencakup biaya pelabuhan, pajak dan bea masuk. Hal inilah diantaranya yang mempengaruhi dwell time di pelabuhan Indonesia. Keterlambatan akan
semakin parah ketika kapal tiba hari kamis atau akhir pekan, karena administrasi baru bisa diselesaikan mulai hari senin. Akibat keterlambatan penanganan kargo
tersebut banyak kapal menghindari Tanjung Priok untuk berlabuh. Bahkan untuk keperluan ekspor impor terutama kapal-kapal asing memilih berlabuh di
Singapura dan Malaysia. Menurut Ray 2008, rata-rata waktu pulang pergi kapal suatu ukuran
yang menjumlahkan seluruh waktu yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk waktu tunggu, wakatu pelayanan, waktu tidak efektif, waktu kerja, dan lainnya juga
menandakan kualitas pelabuhan Indonesia terutama Tanjun Priok yang masih rendah, dimana kapal-kapal memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan sekitar 3.5
hari. Walaupun jauh mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 79 hari, namun masih relatif tertinggal dibandingkan Singapura dan
Malaysia yang bisa mencapai 1 hari. Hasil kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU tahun 2012,
biaya pelayaran masih relatif terbesar yaitu berkisar antara 52-60 persen dari total biaya angkutan, tergantung dari komoditas dan lokasinya. Biaya terbesar lainnya
adalah biaya pelabuhan baik pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan sekitar 27-36 persen, sisanya adalah biaya angkutan darat sekitar 9-16 persen. Selama ini
komponen tarif di pelabuhan Indonesia mencapai 60 persen dari total biaya angkutan laut. Apabila infrastruktur pelabuhan semakin baik sehingga kegiatan di
pelabuhan menjadi efisien yang diindikasikan dengan biaya dan tarif pelabuhan bisa turun 50-70 persen, maka biaya perdagangan laut pun akan menurun secara
signifikan. Buruknya infrastruktur ini tentunya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan akan terus membebani industri, karena barang dan jasa yang dihasilkan
tidak memiliki daya saing di pasar internasional dan tidak memiliki daya saing terhadap barang impor.
Upaya yang sedang diupayakan untuk mengurangi dwell time diantaranya penerapan Auto Gate System sistem pintu otomatis di Jakarta Internasional
Container Terminal JICT, yang merupakan terobosan untuk meningkatkan kecepatan layanan pemasukan dan pengeluaran kontainer di pintu kawasan
pelabuhan TPS. Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan operasional tempat pemeriksaan fisik terpadu TPFT di CDC Banda dan di Graha Segara.
Program ini merupakan upaya bersama antara Bea Cukai dengan Karantina untuk melakukan pemeriksaan fisik barang secara terpadu untuk meninkatkan kecepatan
layanan. Penerapan integrated cargo release i-Care System melalui pengoperasian cargolink di TPK Koja yang melakukan integrasi secara elektronik
seluruh layanan yang terkait dengan pengeluaran barang pasca persetujuan dari Bea Cukai post-clearance juga mulai diupayakan.
Menurut World Bank 2011 untuk perdagangan lintas perbatasan khususnya kegiatan impor Indonesia menunjukkan bahwa jumlah dokumen yang
diperlukan untuk mengimpor barang adalah 6, relatif lebih banyak dibanding Thailand 3, dan Singapura 4. Terkait dengan waktu, waktu yang dibutuhkan
dalam pengurusan impor barang di Indonesia paling lama 27 hari dibanding negara ASEAN lainnya. Sementara untuk biaya impor mencapai US 660 per
kontainer. Biaya ini mencakup biaya resmi untuk dokumen, biaya administrasi bea dan cukai, pengawasan teknis, dan biaya penanganan terminal handling.
Dari Tabel 44 terlihat bahwa kinerja prosedural kegiatan impor Philipina dan Vietnam tahun 2011 terus mengalami peningkatkan dibandingkan tahun 2010
terutama dalam hal waktu dan biaya impor per kontainer.
Tabel 44. Prosedural Impor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 Negara
2010 2011
Dokume n
jumlah Waktu
hari Biaya
US kontainer
Dokume n
jumlah Waktu
hari Biaya
US kontainer
Indonesia 6
27 660
6 27
660 Singapura
4 3
439 4
4 439
Thailand 3
13 795
3 13
795 Malaysia
7 14
450 7
14 450
Philipina 8
16 819
8 14
730 Vietnam
8 21
940 8
21 645
Sumber : World Bank, 2010-2011 Hasil estimasi indikator kualitas infrastruktur transportasi lainnya yaitu
LSCI dan kualitas jalan serta kualitas bandara Indonesia sebagai negara pengimpor juga berpengaruh signifikan, walaupun dengan nilai koefisien yang
relatif lebih kecil dibandingkan kualitas pelabuhan. LSCI Indonesia berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor Indonesia, baik untuk model 1 maupun
model 2, masing-masing sebesar 0.0624 dan 0.0842. Hal ini dikarenakan belum efisiennya komponen pembentuk LSCI Indonesia sehingga tingkat konektivitas
terhadap jaringan pelayaran internasional masih relatif rendah. Tidak demikian halnya dengan LSCI negara asal impor yang sudah relatif lebih baik. Hal ini
diindikasikan dengan koefisien yang signifikan dan bertanda negatif, masing- masing dengan koefisien -0.0015 dan -0.0014.
Sama halnya dengan hasil estimasi biaya ekspor, hasil estimasi kualitas jalan menunjukkan bahwa kualitas jalan Indonesia berpengaruh signifikan positif
terhadap biaya impor model 1 dan model 2. Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur jalan banyak yang beraspal sehingga semakin mudah diakses,
justru akan meningkatkan biaya impornya. Hal ini diduga terkait dengan masih tingginya biaya-biaya perjalanan yang ilegal pungutan liar sepanjang perjalanan
barang baik di sekitar pelabuhan maupun dari pelabuhan sampai ke tujuan produsenkonsumen. Pentingnya infrastruktur jalan adalah dalam proses
pengangkutan barang di sekitar pelabuhan, dari kapal ke gudang penyimpanan sementara, tempak cek fisik, maupun dari pelabuhan ke gudang importer di luar
pelabuhan sampai ke konsumen akhir. Belum lagi sering terjadi kemacetan di
dalam bandara maupun sekitar bandara yang seringkali menimbulkan biaya. Sementara untuk model 3 berpengaruh signifikan negatif.
Untuk moda transportasi udara, kualitas infrastruktur yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor adalah kualitas bandara Indonesia dengan
koefisien yang bertanda negatif sebesar -0.4008. Sampai saat ini peran moda transportasi udara dalam angkutan barang masih relatif terbatas, terutama untuk
barang- barang tertentu yang berkarakteristik ‘time delivery”, bernilai tinggi, dan
relatif ringan. Peran utama moda transportasi udara masih didominasi untuk angkutan penumpang. Dengan demikian masalah infrastruktur bandara pun tidak
serumit seperti yang terjadi di moda transportasi laut. Masalah yang seringkali terjadi dalam hal infrastruktur bandara diantaranya, pertumbuhan jumlah bandara
yang relatif stagnan, kapasitas penyimpanan kargo sudah melebihi kapasitas yang ada. Sementara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan negatif
sebesar -0.0840. Masalah jalan menuju bandara tidak serumit seperti jalan menuju pelabuhan.
Sementara hasil estimasi pengaruh indikator kualitas infrastruktur terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 45. Berdasarkan hasil estimasi model 1
total dan model 2 moda transportasi laut terlihat bahwa kualitas pelabuhan Indonesia berpengaruh positif terhadap volume impor Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia akan mendorong peningkatan volume yang diimpornya.
Hasil estimasi tingkat konektivitas pelayaran Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional Indonesia berpengaruh signifikan negatif untuk kedua
model 1 dan 2. Artinya semakin terkoneksi dengan jaringan pelayaran intenasional maka impor Indonesia volume ekspor dari negara pengekspor ke
Indonesia justru semakin menurun baik total maupun moda transportasi laut. Hal ini diduga terkait dengan armada domestik yang belum mampu menguasai pasar
luar negeri.
Tabel 45. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Volume Impor Indonesia
Variabel Total
Laut Udara
Konstanta C 13.1484
12.3760 14.0264
Ln_GDPcapi 1.3618
1.3337 5.2387
Ln_GDPcapj -1.2990
-1.3614 -4.3353
Ln_Trdopnnsi -1.7885
-1.8427 -5.4565
Ln_Trdopnnsj 0.6370
0.6277 4.9996
PORTi 0.2639
0.5798 PORTj
LSCIi -0.0257
-0.0205 LSCIj
-0.0020 -0.0021
JLNi -0.0321
-0.1952 0.4506
JLNj -0.0268
AIRINFRAi -0.13288
-4.5743 AIRINFRAj
Adjusted R2 0.9821
0.9815 0.9828
S.E of Regresion 0.4124
0.4169 0.3286
F-stat 294.0416
284.4566 314.2882
Prob F-stat 0.0000
0.0000 0.000000
Sum square resid 59.5311
60.8587 38.0284
Durbin Watson
Stat 1.6554
1.6400 2.0330
Fixed Effect Intersep
Maksimum 1.8821 Qatar
1.9197 Qatar 5.6332 Estonia
Minimum -2.2743
Bangladesh -2.3782
Bangladesh -7.4245 Cina
Keterangan : nyata pada taraf 1, nyata pada taraf 5, nyata pada taraf 10
Untuk moda transportasi laut dan udara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan terhadap perdagangan. Untuk moda transportasi laut,
kualitas jalan berpengaruh negatif. Artinya, semakin baik kualitas jalan di negara pengimpor akan menurunkan volume yang diperdagangkan. Hal ini diduga masih
banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi selama perjalanan barang. Untuk melihat indikator kualitas kelembagaan mana yang lebih banyak
memengaruhi biaya impor Indonesia dapat dilihat pada Tabel 46. Hasil estimasi menunjukkan untuk ketiga model yaitu tanpa membedakan moda transportasi,
moda transportasi laut dan moda transportasi udara, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor Indonesia adalah indikator terkait
efisiensi peraturanbirokrasi pemerintah dan indikator korupsi Indonesia. Kedua indikator tersebut untuk ketiga model konsisten berpengaruh signifikan negatif.
Artinya, semakin efisien peraturan atau birokrasi pemerintah terkait perdagangan akan semakin menurunkan biaya. Demikian halnya dengan variabel korupsi,
semakin tidk ada indikasi korupsi akan semakin menurunkan biaya. Tabel 46. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap
Biaya Impor Indonesia Variabel
Total laut
Udara Konstanta C
0.7007 0.6344
2.4504 Ln_H
0.0375 0.0594
-0.1353 Ln_BBKR
0.1136 0.1703
1.2737 INFRAi
-0.0182 -0.0082
-0.0112 INFRAj
-0.0485 -0;0196
-0.1430 CORRUPi
-0.0040 -0.0078
-0.0072 CORRUPj
-0.0004 -0.0018
0.0017 BURDENi
-0.0410 -0.0688
-0.1766 BURDENj
0.0304 0.0371
-0.0884 CRIMEi
0.0243 0.0380
-0.0220 CRIMEj
Adjusted R2 0.9162
0.9137 0.7343
S.E of Regresion 0.2853
0.3122 0.4178
F-stat 59.8084
57.9696 15.8599
Prob F-stat 0.0000
0.0000 0.0000
Sum square resid 28.5070
34.1233 61.1022
Durbin Watson Stat 1.6382
1.696 1.7576
Fixed Effect Intersep
Maksimum 1.1199
Kamboja 1.1554
Kamboja 1.1582 Swedia
Minimum -0.5629 Brazil
-0.6338 Cina -0.7057 Brazil
Keterangan : nyata pada taraf 1, nyata pada taraf 5, nyata pada taraf 10
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kelembagaan adalah adanya National Single Window
NSW yang mulai diterapkan pada tahun 2007 di Pelabuhan Tanjun Priok. NSW ini merupakan sistem yang memungkinkan single submission dari data dan
informasi, single and synchronous processing dari data dan informasi, serta a single decision making untuk pemeriksaan dan pengeluaran barang yang akan
mempermudah DJBC dan pelaku perdagangan dalam kegiatan perdagangnnya
sehingga efektivitas dan kinerja lalulintas barang meningkat, minimisasi waktu dan biaya terutama terkait custom release dan clearance of cargoes, yang pada
akhirnya akan meningkatkan daya saing perdagangan. Ada 18 Kementerian dan Lembaga atau 21 instansi yang terintegrasi dalam memberikan izin pelayanan
untuk ekspor dan impor. Sampai saat ini ada sembilan pelabuhan yang sudah menerapkan sistem INSW untuk 90 persen volume perdagangn luar negeri.
Terkait dengan indikasi korupsi, beberapa temuan lapang survei Kementerian Keuangan 2013 menunjukkan walaupun sudah relatif mengalami
perbaikan, namun masih ditemukan adanya pungutan yang yang sifatnya ilegal terutama pada saat pengecekan dokumen dan cek fisik untuk jalur merah. Hal ini
umumnya dilakukan atas inisiatif importir untuk mempercepat proses pengeluaran barang, karena biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Jalur merah adalah
proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang, dan dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan
Surat Persetujuan Pengeluaran Barang SPPB. Kriteria jalur merah meliputi : importir baru, importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi high risk
importir, barang impor sementara, barang Operasional Perminyakan BOP golongan II, barang re-impor, terkena pemeriksaan acak, barang impor tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi danatau berasal dari negara yang berisiko tinggi. Untuk
mengatasi hal tersebut, pada akhir 2012, pemerintah sudah berupa membangun fasilitas pemeriksanaan fisik terpadu yang biasanya selain melibatkan DJBC juga
instansi Karantina. Fasilitas ini akan dioperasikan mulai tahun 2013 ini. Hasil estimasi indikator indikator kejahatan terorganisir organized crime
Indonesia yang berpengaruh signifikan positif untuk model 1 dan model 2. Artinya, semakin tidak ada biaya terkait kejahatan terorganisir justru akan
meningkatkan biaya impor. Hal ini diduga walaupun secara resmi biaya untuk keamanan terkait kejahatan terorganisir semakin baik atau semakin tidak
memberatkan, namun masih adanya biaya-biaya yang sifatnya tidak resmi yang yang harus dikelurkan para importir untuk mengatasi masalah keamanan atas
barang-barang yang diimpornya, terutama apabila harus mengalami penyimpanan sementara di pelabuhan. Menurut Carana 2004 dalam Ray 2008, pengiriman
kargo dari Indonesia biasanya menarik premi asuransi sekitar 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidah hanya
oleh perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok kejahatan terorganisisr, pencuraian umum dan pencuraian
kecil sekaligus pemogokan dan penghentian kerja. Dari penjelasan ini terlihat bahwa masalah keamanan terutama di negara Indonesia sebagai negara
pengekspor merupakan faktor penting yang harus mendapat perhatian. Sementara untuk moda transportasi udara, kejahatan terorganisir tidak
serumit dengan apa yang terjadi di pelabuhan. Masalah keamanan di bandara lebih dikarenakan dalam hal gudang penyimpanan kargo yang sudah melebihi kapasitas
sehingga seringklai terjadi kehilangan. Variabel lainnya yang digunakan dalam model yang diduga memengaruhi
biaya impor adalah harga barang yang diperdagangkan, harga bahan bakar. Hasil estimasi ketiga variabel tersebut dapat dilihat juga di Tabel 46. Berdasarkan Tabel
46 terlihat bahwa variabel harga bahan bakar untuk ketiga model berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor. Koefisien harga bahan bakar tertinggi
terlihat pada model 3, yaitu model moda transportasi udara yaitu sebesar 1.2657. Artinya apabila terjadi peningkatan harga bahan bakar avtur sebesar 1 persen akan
meningkatkan biaya impor sebesar 1.2657. Dengan kata lain, apabila terjadi perubahan harga bahan bakar, biaya impor lebih responsif pada moda transportasi
udara dibandingkan moda transportasi laut. Hasil estimasi pengaruh masing-masing indikator kualitas kelembagaan
terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 47. Untuk model 1 yaitu total tanpa membedakan moda transportasi terlihat bahwa ketiga indikator
kelembagaan yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan. Variabel kebebasan korupsi dari kedua negara yang terlibat perdagangan baik negara
pengimpor Indonesia maupun negara pengekspor asal impor berpengaruh positif terhadap perdagangan, masing-masing sebesar 0.0716 dan 0.0102. Artinya,
semakin tidak ada indikasi korupsi baik di negara pengimpor maupun negara pengekspor akan meningkatkan volume perdagangan, meningkatkan impor oleh
Indonesia dan sebaliknya. Demikian halnya dengan variabel efisiensi peraturan
pemerintah burden of government regulatory negara pengimpor berpengaruh signifikan positif,yaitu sebesar 0.1120.
Untuk model 2 yaitu impor Indonesia melalui moda transportasi laut, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan adalah efisiensi terkait
peraturan pemerintah di negara Indonesia maupun terkait dengan kejahatan terorganisisr baik di negara Indonesia maupun negara asal impor Indonesia.
Indikator kelembagaan terkait efisiensi peraturan pemerintah Indonesia sebagai negara pengimpor berpengaruh signifikan positif terhadap volume impor, yaitu
sebesar 0.0626, sementara indikator kelembagaan terkait kejahatan terorganisir baik di negara Indonesia sebagai pengimpor maupun negara asal impor Indonesia
berpengaruh signdifikan negatif, masing-masing sebesar -0.0849 dan -0.0604. Tabel 47. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap
Volume Impor Indonesia Variabel
Total Laut
Udara Konstanta C
10.8823 13.2101
10.2056 Ln_GDPcapi
2.1710 1.5616
4.5425 Ln_GDPcapj
-2.1750 -1.4964
-4.4020 Ln_Trdopnnsi
-2.1098 -1.9442
-5.6838 Ln_Trdopnnsj
2.0157 0.8160
5.2641 CORRUPTi
0.0176 0.0021
0.0715 CORRUPTj
0.0102 BURDENi
0.1120 0.0626
-0.1118 BURDEN j
-0.0865 -0.0770
0.0243 CRIMEi
-0.0809 -0.0849
-0.0134 CRIMEj
-0.1714 -0.0604
Adjusted R2 0.9810
0.9803 0.9889
S.E of Regresion 0.4411
0.4036 0.3147
F-stat 275.5470
268.9387 488.9777
Prob F-stat 0.0000
0.0000 0.0000
Sum square resid 67.9148
57.0300 34.7655
Durbin Watson Stat 1.7614
1.6266 1.9474
Intersep Maksimum
3.5884 Kuwait 2.2922 Qatar
6.1200 Mauritius
Minimum -2.3607
Bangladesh -2.4171
Bangladesh -7.7793
Cina Keterangan : nyata pada taraf 1, nyata pada taraf 5, nyata pada taraf
10
Dari hasil estimasi dan pembahasan mengenai pengaruh kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan
terhadap biaya maupun volume perdagangan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya bahwa kualitas infrastruktur dan kelembagaan
secara keseluruhan sangat menentukan perdagangan internasional baik terkait biaya maupun volume perdagangan, baik ekspor maupun impor. Mengingat
infrastruktur transportasi sangat menentukan perdagangan, dari indikator transportasi yang dianalisis menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan port quality
sangat menentukan perdagangan. Hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien kualitas pelabuhan yang relatif lebih besar. Terlebih lagi dengan perdagangan
antar negara lebih banyak 95 dilakukan melalui moda transportasi laut. Namun demikian bukan berarti moda transportasi udara tidak menjadi penting.
Moda transportasi udara sangat diperlukan dalam perdagangan produk yang bersifat cepat rusakbusuk, “time delivery”, bernilai tinggi tidak bersifat bulky.
Komponen pembentuk kualitas pelabuhan yang sangat menentukan lancarnya lalu lintas perdagangan sehingga diharapkan mampu meningkatkan
daya saing perdagangan Indonesia relatif sangat kompleks diantaranya terkait dengan kapasitas pelabuhan yang sudah tidak mencukupi lagi, terlebih lagi
dengan semakin meningkatnya arus perdagangan yang terjadi saat ini yang diduga akan terus meningkat. Belum adanya pelabuhan yang berkapasitas pelabuhan hub
internasional yang merupakan pelabuhan utama primer yang mampu melayani angkutan alih muat transshipment peti kemas nasional dan internasional dengan
skala pelayanan transportasi laut dunia. Hal ini lebih dikarenakan masih terbatasnya kedalaman pelabuhan di Indonesia yang umumnya tidak bisa lebih
dari 12 meter dan sangat rawan terhadap kedangkalan, yang pada akhirnya hanya kapal yang berkapasitas kecil dan menengah yang bisa berlabuh. Hal lainnya
terkait dengan posisi pelabuhan utama yang umumnya berada di pusat kota sehingga seringkali menyebabkan kemacetan di sekitar pelabuhan maupun
menuju atau dari pelabuhan yang berimplikasi pada biaya. Dari penjelasan di atas terlihat sangat diperlukan perluasan dan pengembangan pelabuhan. Namun hal ini
tentunya akan memerlukan waktu yang lama sehingga prioritas yang harus
dilakukan adalah meningkatkan efektifitas kegiatan yang ada saat ini seperti mengurangi waktu tunggu dwell time dan efisiensi kepabenanan.
Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah masih terbatasnya sarana bongkar muat dan SDM serta belum efektif dan efisiennya pengelolaan pelabuhan
juga menyebabkan kualitas pelabuhan Indonesia belum menggembirakan. Terkait dengan indikator kelembagaan, walaupun hasil estimasi dan pembahasan kualitas
kelembagaan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perdagangan, namun terlihat bahwa indikator kualitas kelembagaan terkait dengan efisiensi
peraturan atau birokrasi pemerintahan terutama pada kegiatan impor yang memang dirasakan para importir dan industri lebih sulit dan berbelit.
Halaman ini sengaja dikosongkan