Moda Transportasi Laut Infrastruktur Transportasi

Tabel 10. Perum Pelabuhan Indonesia : Cakupan Geografis Perum Pelabuhan Cakupan Provinsi Pelabuhan-Pelabuhan Yang Diatur Pelindo I Aceh, Sumatera Utara, Riau Belawan, Pekanbaru, Dunai, Tanjung Pinang, Lhokseumawe Pelindo II Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jakarta Tanjung Priok, Panjang, Palembang, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon, Jambi, Bengkulu, Banten, Sunda Kelapa, Pangkal Balam, Tanjung Pandan Pelindo III Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur sebelumnya Timor Timur Tanjung Perak, Tanjung Emas, Banjarmasin, Benoa, TenauKupang Pelindo IV Sulawesi S,SE,Tengah dan Utara, Maluku, Irian Jaya Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon, Sorong, Biak, Jayapura Berdasarkan Pengaturan Sistem Kepelabuhan Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN, 25 dua puluh lima Pelabuhan strategis utama yang dianggap sebagai pelabuhan komersial adalah : a. 8 pelabuhan di Sumatera b. 6 pelabuhan di JawaBali c. 4 pelabuhan di Kalimantan d. 3 pelabuhan di Sulawesi, e. 1 pelabuhan di Nusa Tenggara, f. 1 pelabuhan di Maluku g. 2 pelabuhan di Papua Sementara jumlah pelabuhan nasional ada 47 pelabuhan yang mencakup : a. 18 pelabuhan di Sumatera, b. 2 pelabuhan di JawaBali, c. 8 pelabuhan di Kalimantan, d. 5 pelabuhan di Sulawesi, e. 5 pelabuhan di Nusa Tenggara, f. 4 pelabuhan di Maluku, dan g. 5 pelabuhan di Papua. Dari 25 pelabuhan strategis, terdapat 4 pelabuhan utama nasional yaitu Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar, yang semuanya mengendalikan angkutan barang melalui kontainer untuk kegiatan ekspor dan impor. Dari keempat pelabuhan utama nasional tersebut, Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar yang mempunyai total 78 tempat sandar kapal dan 14 untuk kontainer. Jumlah lalu lintas barang di Tanjung Priok mencapai 36 MT, setengah diantaranya merupakan angkutan domestik, dengan kapasitas kontainer sebesar 3,6 juta TEUs. Perkembangan angkutan kargo dunia saat ini sekitar 80 persen diangkut menggunakan kontainer, dengan kapasitas kapal terus meningkat dari ukuran 1.500 TEUs hingga 9.000 TEUs. Kapal dengan ukuran 9.000 TEUs membutuhkan kedalaman sandar minimal 13 meter. Bahkan pada tahun 2013 kapal pengangkut kontainer ukuran 12.000 TEUs diperkirakan akan beroperasi yang membutuhkan kedalaman sandar minimal 18 meter. Agar dapat menampung kebutuhan lalu lintas kargo dan kapal seperti tersebut di atas, Indonesia harus meningkatkan kapasitas pelabuhan nasionalnya, termasuk membangun pelabuhan hub internasional. Berdasarkan laporan World Bank dalam Global Competitiveness Report 2008-2011 kualitas infrastruktur transportasi Indonesia khususnya kualitas pelabuhan masih jauh dari yang diharapkan , belum mengalami perkembangan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu berada pada peringkat 104 pada tahun 2008 dan tahun 2012, dari 155 negara yang disurvei. Tabel 11. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2008-2012 Infrastruktur Indonesia 2008 2009 2010 2011 2012 Infrastruktur Keseluruhan 86 2.95 84 3.20 82 3.56 76 3.77 78 3.75 Infrastruktur Jalan 105 2.5 94 2.9 84 3.5 83 3.5 90 3.4 Infrastruktur pelabuhan 104 3.0 95 3.4 96 3.6 103 3.6 104 3.6 Sumber : Global Competitiveness Report, World Bank 2008-2012 Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia pada tahun yang sama melayani sekitar 3.69 juta TEUs, atau 50 persen dari keseluruhan pergerakan kontainer di Indonesia. Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia Timur pada tahun yang sama melayani 1 juta TEUs, atau 34 persen dari keseluruhan pergerakan kontainer di Indonesia. Namun demikian, sebagian besar dari kontainer tersebut harus transhipment ke pelabuhan di Singapura dan Malaysia, termasuk kontainer untuk perdagangan intra ASEAN walaupun beberapa direct ship call telah dapat dilayani untuk pelayaran ke Asia Timur dan China. Ditinjau dari armada pengangkutnya, angkutan kargo laut Internasional didominasi oleh kapal dan armada asing, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Angkutan Laut Kargo EksporImpor Indonesia Tontahun No Pengangkut 2004 2005 2006 2007 2008 1 Perusahaan Nasional 16,277,341 24,599,718 29,363,757 31,381,870 38,061,415 2 Perusahaan Asing 448,789,548 468,370,236 485,789,846 500,514,225 515,684,903 Total 465,066,889 492,969,954 515,153,603 531,896,095 553,746,318 Keterangan : angka perkiraan Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut-Ditjen Hubla diolah kembali, 2011 Selain memenuhi aspek teknis, Pelabuhan Utama juga harus memenuhi kriteria lain seperti: mampu melaksanakan volume bongkarmuat barang minimal 6.000.000 enam juta tontahun atau 5.000.000 lima juta TEUstahun, mendukung hinterland yang luas dan memiliki pusat pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya, perdagangan, industri, meningkatkan efektifitas implementasi azas cabotage , mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim Maritim State, meningkatkan daya saing produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “Unusual Business Growth ”, memiliki kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, dan mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif. Selain itu juga lokasi Pelabuhan Utama ini diharapkan terhubung dengan Hubungan Ekonomi kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan sebagainya, Hubungan Logistik, dan Hubungan Pelabuhan Internasional. Alternatif pelabuhan utama yang perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan berbagai kriteria tersebut adalah Sabang, Belawan, Kuala Tanjung, Batam, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Makasar, Bitung, Kupang, Sorong, dan Biak. Infrastruktur dan Jaringan Transportasi Global merupakan bagian dari konektivitas global global connectivity yang diharapkan mampu menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama national gate way ke pelabuhan hub internasional baik di wilayah barat Indonesia maupun wilayah timur Indonesia, serta antara Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia dengan Pelabuhan hub internasional di berbagai negara yang tersebar pada lima benua. Indeks konektivitas pelayaran laut LSCI Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional dari tahun 2004-2009 cenderung menurun sebesar 1.3 persen. Sementara LSCI negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina menunjukkan peningkatan. Vietnam menunjukkan kecenderungan peningkatan yang terbesar yaitu sebesar 13.9 persen Tabel 13. Tabel 13. Indeks Konektivitas Pelayaran Laut LSCI, Tahun 2004-2009 Negara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Trend Indonesia 25.9 28.8 25.8 26.3 24.9 25.7 -1.3 Malaysia 62.8 65.0 69.2 81.6 77.6 81.2 5.8 Thailand 31.0 31.9 33.9 35.3 36.5 36.8 3.8 Vietnam 12.9 14.3 15.1 17.6 18.7 26.4 13.9 Philipina 15.5 15.9 16.5 18.4 30.3 15.9 6.5 Sumber : UNCTAD, 2012 Pada tahun 2025 diharapkan Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik global, melalui jaringan infrastruktur multimoda sebagaimana disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Pengembangan Pelabuhan hubungan Internasional Aktivitas dan Instansi Pelabuhan Terdapat berbagai aktivitas di pelabuhan termasuk jasa yang diberikan terkait dengan pelabuhan, yaitu Jasa pelayanan kapal labuh, pandu, tunda, tambat, pelayanan barang dermaga, gudang, lapangan, tangki timbun, silo, handling bongakr muat peti kemas, general cargo, curah cair, curah kering, roro dan hewan, pelayanan penumpang terminal penumpang, lapangan parker, garbarata, jasa persewaan inland container depo, sewa lahan, sewa alat, sewa gedung, jasa bunkering bungker BBM, air kapal. Mengingat aktivitas di pelabuhan relatif beragam terutama terkait bisnis, maka hal tersebut tentunya akan menimbulkan lingkungan persaingan di antara pelaku-pelaku tersebut seperti : persaingan antar pelabuhan termasuk berbagai jasa yang diberikannya, persaingan antar terminalseluruh jasa kecuali labuh, pandu dan tunda, dan persaingan antar perusahaan bongkar muat dalam satu terminal handling. Bentuk persaingan yang terjadi dalam bentuk kualitas jasa yang diberikan, biaya, dan waktu pelayanan delivery. Sementara instansi pemerintah yang memegang fungsi pelaksanaan kegiatan di pelabuhan umum adalah : 1 Instansi perhubungan laut Syahbandar, 2 Bea CukaiPabean. 3 Imigrasi, 4 Karantina, dan 5 Kesehatan. Bea Cukai berwenang melakukan pengawasan terhadap[ lalu lintas barang yang keluar masuk wilayah pabean Indonesia serta memungut bea terhadap barang-barang yang menurut aturan dikenakan bea. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bea Cukai melakukan pelayanan melalui Kantor-Kantor Pabean yang memberikan pelayanan selama 24 dua puluh empat jam setiap hari terhadap kegiatan : 1 penanganan manifes; 2 pemeriksaan sarana pengangkut; 3 pemantauan kegiatan pembongkaran, pemuatan, dan penimbunan barang; 4 pengeluaran barang yang telah mendapat persetujuan pengeluaran; 5 penanganan barang penumpang, awak sarana pengangkut dan barang impor yang mendapat fasilitas pelayanan segera. Pelaksanaan pelayanan ini ditetapkan dalam Standar Pelayanan Publik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER20M.PAN042006. Sementara karantina berwenang memeriksa setiap hewan dan tumbuhan yang masuk ke wilayah Indonesia dan dapat menahan untuk mengkarantina apabila diketahui ada gejala penyakit menular. Lalu Lintas Barang Antar Pelabuhan Arus kontainer yang dikelola oleh PT. Pelabuhan Pelindo I –IV tiap tahunnya mengalami peningkatan dari segi volume. PT. Pelindo II dan PT. Pelindo III mengelola jumlah kontainer yang cukup banyak jika dibandingkan PT. Pelindo I dan PT Pelindo IV. Hal ini dikarenakan PT. Pelindo II dan PT. Pelindo III merupakan pintu gerbang kegiatan ekspor impor di Indonesia. Pada tahun 2009 misalnya, PT. Pelindo II menangani 4.75 juta TEUs dan 3.56 juta Box, jauh meningkat dari tahun 2005 yang menangani 3.7 TEUs dan 2.79 juta Box, sementara PT. Pelindo 3 pada tahun yang sama menangani 2.47 juta TEUs dan 2.99 juta box dari 1.92 juta TEUs dan 2.41 juta Box. Pada tahun yang sama PT. Pelindo I menangani 1.34 juta TEUs dan 1.19 Box dari 281 ribu TEUs dan 217 ribu Box pada tahun 2005, sementara PT. Pelindo IV menangani 1.18 juta TEUs dan 1.08 juta Box dari 735 ribu TEUs dan 715 ribu Box pada tahun 2005. Tabel 14. Arus Kontainer yang Dikelola PT. Pelabuhan Indonesia I-IV, Tahun 2005-2009 No Uraian Satuan 2005 2006 2007 2008 2009 1 PT. Pelindo 1 TEUs 281,106 304,002 319,202 900,623 1,340,337 Box 217,629 237,703 249,585 735,134 1,118,810 2 PT. Pelindo 2 TEUs 3,733,380 3,920,049 4,116,045 4,527,650 4,754,031 Box 2,798,545 2,938,472 3,085,346 3,393,880 3,563,559 3 PT. Pelindo 3 TEUs 1,916,494 1,994,534 2,213,353 2,388,827 2,468,310 Box 2,408,984 2,506,258 2,755,574 2,931,166 2,989,653 4 PT. Pelindo 4 TEUs 735,215 544,058 571,261 1,031,450 1,185,024 Box 715,023 612,298 692,913 978,354 1,076,174 5 Jumlah Total TEUs 6,666,195 6,762,643 7,219,861 8,848,590 9,747,702 Box 6,140,181 6,294,731 6,783,418 8,038,534 8,748,196 Sumber : Statistik Kementerian Perhubungan, 2010 Sementara kegiatan a rus bongkarmuat barang untuk angkutan luar negeri di pelabuhan utama, yaitu Belawan Medan, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya dan Makasar Makasar dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa dari empat pelabuhan utama, Tanjung Priok merupakan pelabuhan yang melakukan aktivitas muat dan bongkar tertinggi, disusul kemudian dengan Pelabuhan Belawan. Pada tahun 2009, jumlah muat di Tanjung Priok mencapai 9.71 juta ton, dan jumlah bongkarnya sebesar 186.67 juta ton. Sementara di Pelabuhan Belawan pada tahun yang sama, jumlah muat mencapai 5.16 juta ton dan jumlah bongkarnya mencapai 2.50 juta ton. Tabel 15. Arus Bongkar Muat Barang Angkutan Luar Negeri di Empat PelabuhanUtama, Tahun 2005-2009 No Uraian Satuan 2005 2006 2007 2008 2009 1 Belawan Muat Ton 5,525,676 4,505,600 4,730,880 5,203,958 5,158,945 Bongkar Ton 2,759,586 2,192,030 2,301,632 2,531,795 2,496,561 2 Tanjung Priok Muat Ton 7,622,715 8,003,851 8,404,043 9,244,447 9,706,669 Bongkar Ton 11,738,888 72,825,832 72,948,124 80,242,536 186,673,906 3 Tanjung Perak Muat Ton 736,509 679,074 680,163 973,890 815,982 Bongkar Ton 3,374,417 3,386,851 4,077,549 3,615,516 3,116,887 4 Makasar Muat Ton 1,036,423 1,036,423 1,085,204 434,289 374,277 Bongkar Ton 690,222 690,222 724,735 800,580 813,533 5 Jumlah Muat Ton 14,921,323 14,224,948 14,900,290 15,856,394 16,055,873 Bongkar Ton 18,563,113 79,094,935 80,052,040 87,190,727 193,100,887 Sumber : Statistika Kementerian Perhubungan, 2010 Permasalahan Infrastruktur Moda Transportasi Laut Permasalahan utama infrastruktur laut terkait pelabuhan menyangkut tiga hal pokok, yaitu:1 belum tersedianya pelabuhan hub internasional, 2 rendahnya produktivitas dan kapasitas pelabuhan, serta3 belum terintegrasinya manajemen kepelabuhanan. Belum Adanya Pelabuhan Hub Internasional Salah satu faktor penting bagi pengembangan logistik suatu negara adalah adanya pelabuhan hub Internasional baik laut maupun udara sebagai pusat pengendalian arus barang nasional, maupun internasional. Keberadaan pelabuhan hub internasional merupakan prasyarat bagi peningkatan daya saing nasional. Pelabuhan hub internasional adalah sebuah pelabuhan internasional yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul di mana kapal induk mother vessel yang dioperasikan oleh main line operator MLO yang melakukan kunjungan langsung direct call guna menaikkanmenurunkan barang, untuk selanjutnya diteruskan ke pelabuhan pengumpan oleh feeder operator. Kedalaman minimal pelabuhan harus mencapai 12 meter LWS. Walaupun saat ini Indonesia memiliki beberapa pelabuhan utama namun belum memiliki pelabuhan hub internasional, sehingga sebagian besar perdagangan Indonesia ekspor dan impor non curah peti kemas dipindahmuatkan melalui Pelabuhan Singapura, dan semakin banyak yang melalui Pelabuhan Port Klang dan Tanjung Pelepas Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak memiliki pelabuhan pindah muat trans-shipment yang mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua large trans oceanic vessels . Bahkan sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus dipindahmuatkan melalui pelabuhan penghubung di tingkat daerah. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dijadikan sebagai pelabuhan penghubung utama untuk Kawasan Timur Indonesia dari Kalimantan ke Papua. Hingga tahun 2012 diperkirakan kapal dengan kapasitas angkut lebih dari 10.000 sepuluh ribu kontainer akan melintasi alur pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini menuntut kesiapan pelabuhan dan infrastruktur penunjangnya untuk dapat melayani kapal yang lebih besar. Pemerintah telah merencanakan untuk menetapkan dua alternatif pelabuhan hubungan internasional di kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia. Dalam MP3EI menyebutkan bahwa Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan hubungan internasional di kawasan Barat dan Bitung sebagai pelabuhan hubungan internasional di kawasan Timur. Rendahnya Produktivitas dan Kapasitas Pelabuhan Produktivitas dan kapasitas pelabuhan nasional semakin tidak mampu mengimbangi peningkatan arus barang, baik arus domestik maupun internasional. Bangunan transit minim, kapasitas parkir yang kecil, jumlah dermaga yang terbatas dan dangkal, alat bongkar muat peti kemas yang tidak kompeten sehingga menyebabkan lamanya waktu siklus bongkar muat masing-masing kapal barang. Beberapa pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Makasar sudah sangat membutuhkan pengembangan kawasan pelabuhan untuk mengantisipasi penanganan arus barang yang semakin meningkat. Keterlambatan waktu seperti yang seringkali terjadi di Pelabuhan Jakarta, merupakan salah satu dari gambaran rendahnya produktivitas pelabuhan Indonesia. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas sekitar 30-40 peti kemasjam. Pada tahun 2007 kemudian mengalami peningkatan menjadi 60 peti kemasjam. Akan tetapi dengan semakin meningkatknya lalu lintas peti kemas dan kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok serta keterlambatan Pabean menyebabkan penurunan kembali produktivitas menjadi 40-45 peti kemas pada tahun 2008. Produktivitas tersebut hanya setengah dari tingkat produktivitas pelabuhan di Singapura dan pelabuhan- pelabuhan pemindahmuatan trans-shipment utama di Malaysia yang memiliki produktivitas sekitar 100-110 peti kemas per jam. Akibat dari keterlambatan penanganan kargo tersebut, perusahaan-perusahaan angkutan laut yang besar seringkali harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati karena harus menepati jadwal yang telah dibuat. Hal ini berimplikasi terhadap berbagai biaya pemulihan di samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga serta kerugian karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri para pengusaha jasa angkutan laut internasional Indonesia menikmati pelayanan pemindahmuatan trans-shipment yang sangat bersaing di Singapura dan Malaysia, namun harus membayar jasa bongkar muat yang tinggi karena tingginya biaya pelabuhan di Indonesia Ray 2008. Belum Terintegrasinya Manajemen Pelabuhan Pengurusan pergerakan barang dan dokumen saat ini masih dilakukan berbasis transaksi. Hal ini karena belum adanya pelayanan jasa logistik yang terpadu antara badan pengatur pelabuhan, pengusahaan pelabuhan, pengguna jasa pelabuhan, karantina, dan kepabeanan serta stakeholders lain yang terkait yang berorientasi kepada kelancaran arus barang dan kepuasan pelanggan. Selain itu belum ada sistem atau mekanisme kerjasama antara otoritas pengelola pelabuhan dengan kawasan industri yang berorientasi kelancaran arus barang ekspor dan impor untuk keperluan industri. Sistem administrasi yang berbelit-belit. Selain instansi pemerintah, di pelabuhan juga terdapat instansi lainnya yaitu Badan Usaha pelabuhan BUP, perusahaan bongkar muat PBM, ekspedisi muatan kapal laut EMKL, koperasi tenaga kerja bongkar muat TKBM, perusahaan pelayaran, eksportirimportir, perbankan, dan lainnya. Sementara Permasalahan lainnya adalah saat ini pelabuhan di dunia sedang dihadapkan pada ancaman kongesti penumpukan yang disebabkan oleh volume yang meningkat dan juga yang menyulitkan bahwa peningkatan volume tersebut hanya terjadi satu arah yang menyebabkan ketidakseimbangan ketersediaan kontainer dan peralatannya di semua titik. Angkutan laut juga menghadapi kenaikan biaya energi yang tinggi dan peningkatan persyaratan keamanan. Kenaikan biaya ini pada akhirnya harus ditanggung oleh pelanggan. Untuk meningkatkan kualitas pelabuhan Indonesia dan meningkatkan daya saing perdagangan dan perekonomian, pemerintah sudah merencanakan akan membangun pelabuhan hub internasional yaitu di Kuala Tanjung Barat dan Bitung Timur. Selain memenuhi persyaratan aspek teknis pelabuhan internasional, lokasi Pelabuhan Hub Internasional dipilih dengan kriteria diantaranya berada di wilayah depan atau dilalui ALKI, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya, perdagangan, industri, meningkatkan efektifitas azas cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim, meningkatkan daya tahan dan daya saing produk domestik, filtering barang impor yang mengancam produsen produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “unusual business growth”, memiliki kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif. Berdasarkan konsep wilayah depan dan wilayah dalam, maka diharapkan pintu-pintu masuk pelabuhan untuk barang-barang impor, terutama komoditas pokok dan strategis dan barang impor yang berpotensi merugikan industri domestik, hanya akan diperbolehkan masuk Indonesia melalui wilayah depan Negara Indonesia. Pintu wilayah depan ini memiliki peranan sebagai sarana untuk menyaring barang masuk, yang dilaksanakan melalui proses clearance pabean, karantina, dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia dengan tidak melanggar azas kesepakatan agreement baik ASEAN 2015 maupun WTO 2020. Wilayah depan adalah wilayah yang langsung berbatasan dengan negara lain atau wilayah yang berbatasan dengan perairan internasional, sedangkan wilayah dalam adalah wilayah yang berupa daratan dan lautan yang dikelilingi oleh wilayah depan. Wilayah dalam menjadi kedaulatan penuh NKRI, walaupun demikian di Wilayah Dalam, kapal berbendera asing masih diperbolehkan untuk melintasi perairan Indonesia sepanjang lintasan ALKI sampai sejauh 25 dua puluh lima mil di sebelah kiri dan kanan garis ALKI dan memenuhi ketentuan Internasional innocent passage, namun tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan perikanan. Selain itu juga lokasi pintu-pintu masuk ini diharapkan menjadi Hub Ekonomi dan Hub Logistik yang menjadi fasilitator kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga dalam kerangka kerjasama segitiga IMT Indonesia, Malaysia dan Thailand, IMS Indonesia, Malaysia dan Singapura, BIMP Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philipina dan AIDA Australia dan Indonesia. Sesuai dengan MP3EI untuk Wilayah Barat Indonesia adalah Kuala Tanjung, sedangkan untuk Wilayah Timur Indonesia yang menjadi Hub Internasional berdasarkan atas kriteria tersebut adalah Bitung. Adapun pergerakan barang dari pintu-pintu masuk ke wilayah dalam Indonesia akan diperlakukan sebagai pergerakan barang-barang dalam negeri. Dengan demikian tujuan strategis yang ingin dicapai adalah agar kelancaran barang ekspor bisa dijamin dan distribusi produk nasional dapat menjangkau seluruh pelosok secara efektif dengan biaya logistik yang rendah dan menjamin keberlangsungan pasokan. Kebijakan Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan moda transportasi laut adalah : Instruksi Presiden INPRES RI No. 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional Kebijakan ini terkait dengan Azas Cabotage, yaitu memberi hak perusahaan angkutan dalam negeri beroperasi komersial secara ekslusif menggunakan bendera Indonesia. Dengan kata lain, muatan angkutan dalam negeri harus dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Hal ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan juga mampu menghemat penggunaan devisa negara. Kebijakan Inpres ini diharapkan dapatmenjadi titik awal kebangkitan industry pelayaran nasional, karena dengan kebijakan ini diarahkan untuk mengimbangi industry pelayaran asing yang telah lama menikmati dan memonopoli jasa transportasi laut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Undang-undang Nomor 17 ini merupakan hasil revisi dari Undang-undang Nomor 21 tahun 1992. Undang-undang Nomor 17 mengandung sekitar 355 pasal mencakup berbagai macam masalah yang terkait dengan kelautan seperti pelayaran, navigasi, perlindungan lingkungan, kesejahteraan pelaut, kecelakaan maritim, pengembangan sumberdaya manusia, keterlibatan masyarakat. Undang- undang pelayaran tahun 2008 memberikan fondasi untuk reformasi pelabuhan di Indonesia secara menyeluruh. Undang-undang tersebut menghapus monopoli sektor negara atas pelabuhan dan membuka peluang untuk partisipasi baru sektor swasta. Hal ini dapat mengarah pada masuknya persaingan di sektor pelabuhan, yang dapat memberikan tekanan untuk menurunkan harga dan meningkatkan pelayanan pelabuhan. Undang-undang ini juga menyediakan pemisahan yang jelas antara operator dan pengatur regulator. Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 Tahun 2002 Tentang Tatanan Kepelabuhanan Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 menjelaskan mengenai bagaimana tatanan pelabuhan dalam hal pengaturan, pengawasan, dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan pendayagunaan dan pengembangan pelabuhan, dimana pelabuhan nasional. Selain itu, dalam keputusan menteri ini menjelaskan juga mengenai jenis-jenis pelabuhan, peran dan fungsi masing- masing jenis pelabuhan dan klasifikasi penentuan jenis pelabuhan di Indonesia. KM Perhubungan No. 54 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut Keputusan Menteri ini menjelaskan mengenai bagaimana penyelenggaraan pelabuhan laut, bagaimana penetapan lokasi pelabuhan laut, siapa saja pelaksana dari pelabuhan laut, dan pelayanan jasa yang dilayani di pelabuhan laut. Selain itu, dalam keputusan menteri ini dijelaskan mengenai penetapan pelabuhan laut yang terbuka bagi perdagangan internasional, bukan hanya untuk perdagangan nasional saja. KM Perhubungan No. 55 Tahun 2002 Tentang Pelabuhan Khusus Keputusan Menteri Perhubungan No. 55, menjelaskan mengenai pengaturan pelabuhan khusus. Pelabuhan khusus merupakan pelabuhan yang dikelola untuk menunjang kegiatan usaha pokok tertentu di bidang pertambangan, perindustrian, pertanian, dan kegiatan pokok lainnya yang membutuhkan fasilitas pelabuhan. Selain itu, fungsi dari pelabuhan khusus yaitu untuk menunjang kegiatan pemerintahan, penelitian, pendidikan, dan pelatihan serta sosial. Dalam Keputusan Menteri ini juga dijelaskan mengenai penetapan wilayah bagi pembangunan pelabuhan khusus, yaitu berada diluar daerah lingkungan kerja dan terpisah dengan pelabuhan umum. Persyaratan pembangunan pelabuhan khusus, tarif yang berlaku dalam penggunaan pelabuhan khusus juga ditetapkan dalam keputusan menteri ini. KM Perhubungan No. 50 Tahun 2003 Tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Dan Pelabuhan Laut Keputusan Menteri Perhubungan No. 50 Tahun 2003 menjelaskan mengenai tarif yang ditetapkan bagi jasa pelabuhan yang telah diberikan. Jasa pelabuhan yang dimaksud adalah jasa untuk kapal, barang, penumpang, alat maupun jasa pelabuhan lainnya. Tarif yang ditetapkan, besarannya tergantung pada jenis jasa pelabuhan yang diakses, klasifikasi, dan fasilitas yang tersedia di pelabuhan. KM Perhubungan No. 39 Tahun 2004 Tentang Mekanisme Penetapan Tarif Dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang Diselenggarakan Oleh Badan Usaha Pelabuhan Keputusan Menteri Perhubungan No. 39 ini merupakan revisi dari Keputusan Menteri Perhubungan No. 30 tahun 1999. KM Perhubungan No. 39 ini membahas mengenai bagaimana mekanisme penetapan tarif pelabuhan yang akan diberlakukan. Besaran tarif kemudian dikonsultasikan dengan menteri perhubungan yang meliputi tarif pelayanan jasa kapal, jasa barang, dan jasa penumpang. Tarif yang ditentukan, kemudian akan berlaku sekurang-kurangnya dua tahun semenjak penetapannya. KM Perhubungan No.72 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Perhubungan No. 50 Tahun 2003 Tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Dan Pelabuhan Laut. KM Perhubungan No. 72 yang merupakan revisi dari KM sebelumnya, yaitu KM perhubungan No. 50 tahun 2003. Tarif yang akan diambil akan dibedakan berdasarkan jenis kapal angkutan laut dalam negeri dan luar negeri. Dalam KM ini, hanya merevisi sebagian dan menambah beberapa pasal. Namun, pada intinya isi pasal ini hamper sama dengan KM sebelumnya.

5.1.2. Moda Transportasi Udara

Pada awalnya angkutan udara dipandang sebagai angkutan yang mahal dan hanya digunakan dalam keadaan yang mendesak. Namun kemajuan e-commerce, perkembangan global supply chain, dan segala upaya untuk menurunkan tingkat inventory yang relatif mahal serta memperpendek order cycle time telah merubah hal tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong kenaikan volume angkutan udara akhir-akhir ini. Walaupun dari segi tonase barang yang diangkut melalui moda transportasi udara ini relatif kecil, namun dari segi nilai barang dari tahun ke tahun terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Selain waktu tempuh perjalanan yang cepat menjadi keunggulan moda ini dibandingkan dengan moda lainnya, juga sangat mudah diprediksi jadwal kedatangannya karena terbang berdasarkan jadwal yang sudah tertentu. Selain itu moda transportasi udara juga merupakan moda yang relatif cukup seamless dibandingkan moda lainnya sehingga menambah keunggulan moda ini. Namun kelemahannya adalah harga yang relatif tinggi dan keterbatasan kapasitas angkut. Oleh karena itu, moda transportasi udara tidak efisien untuk mengangkut barang-barang yang relatif murah dan volumetric besar, ringan, dan makan tempat. Mengingat keterbatasan moda angkutan udara yang hanya mampu mengangkutmengirim barang-barang dengan volume kecil karena keterbatasan kapasitas pesawat angkut, relatif tidak terlalu berat dan mempunyai nilai komersial yang tinggi, maka komoditas yang diangkutnya pun relatif terbatas, diantaranya barang-barang elektronik seperti komputer, obat-obatan, barang- barang mudah busuk, majalah, koran, dan barang-barang fashion. Perusahaan produsen biasanya berani membayar mahal karena barang-barang tersebut peka waktu time delivery dan membutuhkan pengamanan tinggi selama perjalanan. Sarana Prasarana Prasarana angkutan udara berperan penting dalam perdagangan Internasional Indonesia. Direktur Jenderal Perhubungan Udara menetapkan prasarana untuk angkutan udara meliputi : a. Jumlah bandar udara b. Realisasi pembangunan fasilitas landaan c. Realisasi pembangunan fasilitas terminal d. Realisasi pembangunan fasilitas banguna e. Fasilitas komunikasi, navigasi dan pengamatan f. Jumlah peralatan keamanan bandara Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, danatau bongkar muat kargo danatau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. Di Indonesia bandar udara dimiliki oleh dua pihak yaitu pemerintah dan swasta atau peruahaan tertentu. 1 Dimiliki oleh Pemerintah, a. Pemerintah Pusat, yang otoritas pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara BUMN, yaitu PT. Persero Angkasa Pura I dan II; serta bandar udara yang berada dibawah pengawasan Departemen Perhubungan, Dirjen Perhubungan Udara sebagai Unit Pelaksana Teknis; b. Pemerintah Daerah, pada umumnya bandara yang dimiliki oleh, pemerintah Daerah sudah berkembang untuk kepentingan komersial; c. Bandar Udara Militer. 2 Dimiliki oleh komunitasperusahaan tertentu, pada umumnya berupa bandar udara kecil privat airstrips. Kepemilikan bandar udara olehpihak swasta di Indonesia, belum terlalu banyak, biasanya hanyadimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di wilayah-wilayah terpencil Indonesia untuk memperlancar sistem pengangkutanperusahaan swasta mereka. Berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bandara dibedakan menjadi tiga yaitu, bandara internasional, domestik, dan bandara perintis. Di Indonesia, tiga jenis bandar udara tersebut berjumlah sebanyak 514 bandara yang tersebar di provinsi di Indonesia. Jumlah bandara terbesar terdapat di Provinsi Papua yang mencapai 202 bandara termasuk bandara perintis dan Papua Barat sebanyak 36 bandara. Moda transportasi udara merupakan alat transportasi utama untuk daerah dengan kondisi alam pegunungan dan kepulauan seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Bandar udara perintis saat ini tidak dikenal di Dirjen Perhubungan Udara karena pengkalsifikasiannya telah diubah Kementerian Keuangan, 2012. Untuk bandar udara, yang menjadi skala prioritas adalah mengembangkan dan meningkatkan fasilitas penanganan kargo sebagai hub setidaknya untuk lima bandara internasional, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Menado, dan Denpasar. Kelima bandara tersebut selain secara infrastruktur sudah relatif cukup baik, juga berperan menjadi pusat-pusat mobilitas orang dan barang yang cukup prospektif. Berdasarkan World Bank dalam Global Competitivenss Report 2008- 2012 menunjukkan bahwa peringkat kualitas bandara Indonesia terus menurun sejak tahun 2008 sampai saat ini. Walaupun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2009 dari 75 menjadi 68, namun kemudian terus menurun pada tahun 2011 menjadi peringkat 80, bahkan pada tahun 2012 ini terus menurun kembali menjadi peringkat 89 dengan skor 4.2. Tabel 16. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Udara Indonesia, Tahun 2008-2012 Infrastruktur Indonesia 2008 2009 2010 2011 2012 Infrastruktur Keseluruhan 86 2.95 84 3.20 82 3.56 76 3.77 78 3.75 Infrastruktur Jalan 105 2.5 94 2.9 84 3.5 83 3.5 90 3.4 Infrastruktur Bandara 75 4.4 68 4.7 69 4.6 80 4.4 89 4.2 Sumber : Global Competitiveness Report, World Bank 2008-2012 Berdasarkan panjang landasannya, jumlah bandar udara di Indonesia tahun 2010 adalah sebanyak 219 Tabel 17. Angka ini tidak termasuk bandar udara perintis yang dikelola oleh perusahaan swasta. Jumlah bandara tersebut telah melayani jutaan penumpang baik dari domestik maupun mancanegara. Tabel 17. Jumlah Bandara di Indonesia berdasarkan Panjang Landasan, Tahun 2010 Panjang Landasan m Tipe Pesawat Jumlah Bandara 1800 B.737 175 1800 x 2250 B.737 - F.100 25 2250 x 3000 A.330, A.300, B.762 6 3000 B.747 10 Total 219 Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Infrastruktur lainnya adalah indikator landas pacu dan Gambar 9 menunjukkan bahwa landasan pacu telah mengalami rehabilitasi dan pembangunan. Pembangunan landas pau tertinggi terjadi di tahun 2009 yang mencapai hampir 8 juta m 2 , dan pembangunan tersebut turun di tahun 2010 menjadi hanya sekitar 1 juta m 2 . Pembanguan dan rehabilitasi landas pacu ini merupakan salah satu peningkatan kualitas infrastruktur bandara seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap angkutan udara. Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 9. Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan Tahun 2006 – 2010 Salah satu bagian utama dari bandar udara adalah adanya terminal. Terminal merupakan bangunan utama dengan fasilitas lengkap untuk melayani arus penumpang dan bagasi. Fasilitas lengkap tersebut terdiri dari tempat untuk kedatangan atau keberangkatan penumpang, pengecekan keberangkatan, tempat pemriksaan barang bawaan, ruang tunggu untuk penumpang yang akan berangkat, kantor perusahaan penerbangan, Kantor Bea dan Cukai serta pertokoan. Semakin berkembangnya industri transportasi udara, maka kebutuhan akan fasilitas terminal semakin tinggi untuk menampung lalu lintas penumpang. Pembangunan terminal di bandar udara dari tahun 2006 mengalami penurunan drastis ke tahun 2007 dan semakin menurun di tahun 2008 sebagai imbas dari adanya krisis di Eropa. Tahun 2009 pembangunan terminal meningkat dan terus naik di tahun 2010. Total luas terminal yang dibangun di tahun 2010 adalah seluas 12 ribu m 2 Gambar 10. Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 10. Realisasi Pembangunan Fasilitas Terminal Tahun 2006 – 2010 Sejalan dengan pembangunan terminal maka fasilitas bangunan diperlukan untuk mendukung agar bandar udara semakin nyaman dan tidak hanya berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang saja. Realisasi pembanguan dan rehabilitasi fasilitas bangunan secara umum memiliki tren meningkat. Di tahun 2010 pembangunan fasilitas bangunan mencapai 199 ribu m 2 dan rehabilitasi seluas 76 ribu m 2 Gambar 11. Pembangunan fasilitas ini mutlak dilaksanakan mengingat pengguna bandar udara semakin meningkat setiap tahunnya. Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 11. Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan Tahun 2006 – 2010 Dalam industri jasa transportasi udara, prasarana komunikasi, navigasi dan pengamatan mutlak diperlukan. Peralatan komunikasi digunakan untuk menghubungkan antar stasiun point to point maupun antara pilot pesawat udara dengan unit Air Traffic Service ATS. Sedangakan fasilitas navigasi dan pengamatan merupakan prasarana penunjang operasi bandara untuk mendeteksi dan menetahui posisi pesawat serta mmberikan informasi arah dan jarak pesawat. Secara umum, saat ini infrastruktur pelayanan Air Traffic Management ATM di Indonesia sudah kuno obsolete, baik dalam hal teknologi maupun kebutuhan operasional. Teknologi radar pengawasan sekunder SSR, secondary surveillance radar mulai digunakan namun perlu dilengkapi dengan konsep operasi yang komprehensif mengenai bagaimana kemampuan pengawasan tersebut dapat dalam digunakan dalam penyediaan layanan ATM. Teknologi Automatic Dependent Surveillance Broadcast ADSB telah diuji coba tetapi belum diimplementasikan Martodihardjo, 2011. Oleh karena itu pemerintah telah merencanakan prasarana dengan teknologi yang lebih baik di masa mendatang Tabel 18. Telekomunikasi penerbangan masa depan menggabungkan semua jaringan melalui ATN Aeronautical Telecommunication Network. Navigasi penerbangan masa depan adalah navigasi satelit dengan tingkat akurasi yang tepat dalam menentukan posisi dan memiliki jaringan luas.