Dalam pembelajaran bahasa Jawa ini ada 4 aspek yang diajarkan oleh guru yaitu :mendengarkan, berbicara, membaca, menulis. Keempat aspek
tersebut tidak dapat terpisah antara satu aspek dengan aspek lainnya. Salah satu aspek yang terdapat dalam pembelajaran Bahasa Jawa
adalah aspek berbicara. Penggunaan Bahasa Jawa dalam komunikasi bermasyarakat sangat erat kaitannya dengan internalisasi keterampilan
berbicara aksara Jawa di sekolah dasar. Pembelajaran berbicara Bahasa Jawa merupakan upaya terhadap pelestarian terhadap budaya Jawa agar tetap
berkembang di masyarakat, yaitu melalui pelajaran Bahasa Jawa. Menurut Ekowati dalam Mulyana, 2008: 246, hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran Bahasa Jawa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran antara lain: a Tahap perencanaan pembelajaran; b
Pemanfaatan apersepsi; c Pengelolaan siswa; d Pemilihan pendekatan pembelajaran; e Pemilihan metode pembelajaran; f Pengembangan sumber
belajar; g Pengembangan media pembelajaran; h Pengembangan sistem penilaian; i Tindak lanjut pembelajaran; j Peningkatan kualitas guru.
2.1.5 Bahasa Jawa Ragam Krama
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang unik. Dikatakan unik karena dalam bahasa Jawa dikenal adanya tingkatan-tingkatannya. Dalam tulisan ini
disebutkan dua tingkatan tersebut yaitu: 1 dua ragam bahasa tadi yang sampai sekarang tetap digunakan dengan baik oleh masyarakat dan sekolah-
sekolah dan 2 kehidupan Jawa hanya dikenal ngoko dan krama. Dalam kehidupan Jawa umumnya tidak kenal dengan rinci mengenai bahasa
madyamadya ngoko, madyantara, madya krama, bahasa kedaton, ngoko andhap, antyabasa, ngoko andhap, bahasa antya, seperti yang dikatakan oleh
Bastomi 1995:65. Lebih jelasnya Bastomi 1995:65 mengatakan bahwa tingkatan-
tingkatan bahasa Jawa digunakan untuk menunjukkan tingkatan masyarakat penuturnya, yaitu: 1 ngoko, digunakan masyarakat tingkat bawah, 2
madya, digunakan oleh masyarakat tingkat menengah, dan 3 krama, digunakan oleh masyarakat tingkat tinggi.
Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.
a. Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral leksikon
ngoko dan netral tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap.
Contoh: Yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya iso
―Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa‖ b.
Ngoko Alus Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh
yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau
leksikon krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara orang ke 2 atau 3.
Contoh: Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa?
―Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?‖ Sasangka, 2001:183
Tampak bahwa pada butir tindak ‗pergiberangkat‘ dan asmane ‗namanya‘ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk
menghormati mitra tutur Sasangka, 2004:100. Ragam krama ialah bentuk unggah- ungguh bahasa Jawa yang
berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama. Afiks yang muncul dalam ragam ini semuanya
berbentuk krama misalnya afiks dipun-, -ipun, dan -aken. Ragam krama digunakan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya
daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga bentuk varian, yaitu krama lugu, krama andhap dan krama alus.
a. Krama Lugukrama madya
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika
dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan.
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
―Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?‖ Tampak afiks di-
pada diijolake ‗ditukarkan‘ dan dipadosi ―dicari‘ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini
daripada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan
untuk menurunkan derajat kehalusan. b.
Krama andhap yaitu bentuk krama yang digunakan untuk menghormati lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri.
Contoh: Bapak kajenge sowan mareng griyani njenengan
―Bapak ingin berkunjung kerumah anda‖ c.
Krama Alus karma inggil Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu
bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi. Contoh:
Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ―Uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota‖
Tampak bahwa afiks dipun- ‗di‘ seperti pada dipunlintukaken
‗ditukarkan‘ merupakan afiks penanda leksikon krama Sasangka, 2004:101- 113.
2.1.6 Hakikat Berbicara