Saran Latar Belakang Permintaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) Pedagang Martabak Kaki Lima dan Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

129 yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen yaitu harga minyak goreng, jumlah tenaga kerja, dan dummy masakan bebek bebek. 3. Analisis pendapatan usaha menunjukkan usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele adalah usaha yang cukup menguntungkan untuk dijalankan. Nilai RC ratio atas biaya total rata-rata pada pedagang martabak kaki lima adalah 1.42 sedangkan pada pedagang warung tenda pecel lele adalah 1.45.

9.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh responden pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor menggunakan LPG 3 kg sebagai bahan bakar utama dalam usahanya. Karena itu, keberadaan LPG sangat dibutuhkan. Diperlukan peran pemerintah dalam hal distribusi LPG agar tidak terjadi kelangkaan LPG di lapangan. 2. Berdasarkan hasil penelitian, penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa harga LPG pada fungsi permintaan LPG oleh pedagang warung tenda pecel lele berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk membuktikan pengaruh nyata harga LPG terhadap permintaan LPG pedagang warung tenda pecel lele pada selang 90 persen. 3. Program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG memberikan dampak pada pola konsumsi dan permintaan bahan bakar pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Penelitian lanjutan dapat dilaksanakan 130 untuk membandingkan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG dan menganalisis tentang dampak konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap permintaan bahan bakar pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta usaha-usaha mikro lainnya. 4. Elastisitas harga LPG terhadap permintaan LPG pada pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu, berarti nilai elastisitas harga LPG bersifat elastis. Penelitian lebih lanjut dapat menganalisis mengenai kenaikan harga LPG terhadap permintaan LPG dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Kekayaan alam yang melimpah terutama dari hasil tambang berupa minyak bumi pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries yang merupakan organisasi dari negara-negara penghasil minyak bumi. Namun penurunan produksi minyak bumi dalam negeri dan peningkatan konsumsi minyak bumi menyebabkan Indonesia berubah status menjadi negara net importir. Kondisi perminyakan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun Produksi Minyak ribu barrel Konsumsi Minyak ribu barrel Impor Minyak Mentah ribu barrel Ekspor Minyak Mentah ribu barrel Kapasitas Pengilangan ribu barrel Output Pengilangan ribu barrel Cadangan Minyak MB 2000 1 272.5 996.4 219.1 622.5 1 057.0 968.2 5 123 2001 1 214.2 1 026.0 326.0 599.2 1 057.0 1 006.1 5 095 2002 1 125.4 1 075.4 327.7 639.9 1 057.0 1 002.4 4 722 2003 1 139.6 1 112.9 306.7 433.0 1 057.0 944.4 4 320 2004 1 094.4 1 143.7 330.1 412.7 1 055.5 1 011.6 4 301 2005 1 059.3 1 139.9 341.5 374.4 1 057.0 1 054.1 4 188 2006 883.0 1 061.3 289.6 301.3 1 057.0 1 053.5 4 370 2007 837.6 1 047.9 298.3 319.3 1 050.6 1 213.2 3 990 2008 856.7 1 054.1 260.8 214.1 1 050.6 1 184.1 3 990 Sumber : Organization of Petroleum Exporting OPEC 2008 Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data ekspor dan impor minyak mentah pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 Indonesia adalah net eksportir, 2 tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS Production Sharing Contract sehingga penerimaannya tidak masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN sedangkan impor seluruhnya dilakukan oleh Pertamina sehingga masuk pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pertamina, 2007. Dilihat dari sisi konsumsi, permintaan minyak bumi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah menyebabkan konsumsi minyak bumi semakin meningkat pula. Peningkatan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1930-2010 Tahun Jumlah Penduduk Juta Jiwa Pertumbuhan 1930 60.7 - 1961 97.1 59.96 1971 119.2 22.76 1980 146.9 23.23 1990 178.6 21.57 2000 2010 205.1 237.6 14.83 15.84 Sumber : Badan Pusat Statistik 2010 Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 adalah 60.7 juta jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi 237.6 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi menyebabkan defisit bahan bakar minyak BBM, sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri pemerintah melakukan impor dari negara lain. Minyak dan gas bumi merupakan sumberdaya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam 3 perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hal ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan minyak dan gas bumi ini secara tidak langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin negara. Harga minyak dunia pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan harga minyak dunia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Harga Rata-Rata Minyak Dunia Tahun 2005-2008 Tahun Harga Rata-rata Minyak Dunia West Texas Intermediate Spot AverageWTI USDbarel 2005 53.4 2006 64.3 2007 72.3 2008 97.0 Sumber : Kementerian Keuangan 2010 Berdasarkan Tabel 3, rata-rata harga minyak dunia West Texas Intermediate Spot Average pada tahun 2005 adalah sebesar USD 53.4 per barel meningkat menjadi USD 64.3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72.3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008 terjadi peningkatan harga yang sangat drastis mencapai USD 97.0 per barel. Seiring dengan peningkatan harga minyak dunia WTI, harga minyak mentah Indonesia Indonesian Crude-Oil PriceICP juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata USD 51.6 per barel, kemudian pada semester II 4 mengalami peningkatan menjadi USD 71.6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai 61.6 per barel Kementerian Keuangan, 2010. Terjadinya kenaikan harga minyak dunia ini mengakibatkan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali pada tahun 2005. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002 Milyar Rupiah Tahun Anggaran Biaya Pokok BBM Hasil Penjualan Bersih Subsidi 19941995 14 049.00 14 935.60 -886.60 19951996 15 829.50 14 858.30 -28.80 19961997 20 171.90 17 314.30 2 587.60 19971998 34 145.60 18 279.50 15 866.10 19981999 36 593.90 29 140.90 7 453.00 19992000 71 411.36 30 487.96 40 923.40 20002001 88 837.08 35 027.48 53 809.60 20012002 108 798.35 39 417.55 68 380.80 Sumber : Biro Pusat Statistik 2003 Dalam anggaran belanja negara subsidi dialokasikan dengan tujuan untuk mengendalikan harga komoditas yang disubsidi, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya produk yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dalam hal ini bahan bakar minyak, dengan harga terjangkau. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat LKPP realisasi anggaran subsidi BBM pada tahun 2005 adalah 95.6 triliun rupiah, mengalami penurunan menjadi 64.2 triliun rupiah pada tahun 2006. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 83.8 triliun rupiah, terus meningkat menjadi 139.1 triliun 5 rupiah pada tahun 2008, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 45.0 triliun rupiah. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN, anggaran subsidi BBM pada tahun 2010 adalah 88.9 triliun rupiah Kementerian Keuangan, 2011. Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini dikendalikan pemerintah dengan cara mengurangi pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya adalah dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG. Sebelum melakukan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan perhitungan tentang jumlah subsidi yang dapat dihemat dengan adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil perhitungan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 20.12 triliun per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Minyak Tanah dan LPG Perbandingan Minyak Tanah LPG Kesetaraan 1 liter 0.57 kg Nilai Kalori 8 498.75 Kcalliter 6 302.58 Kcalliter Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi 10 000 000 kiloliter 5 746 095 MTtahun Asumsi Harga Keekonomian Rp 5 665 liter Rp 7 127 kg Harga Jual Rp 2 000 liter Rp 4 250 kg Besaran Subsidi Rp 3 665 liter Rp 2 877 kg Total Subsidi Rp 36.65 triliuntahun Rp 16.53 triliuntahun Besarnya subsidi yang bisa dihemat Rp 20.12 triliuntahun Sumber : Departemen ESDM 2007 Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG dirasa perlu dilaksanakan. Program konversi 6 minyak tanah menjadi LPG direncanakan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2010. Kota Bogor yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah sasaran konversi pada tahun 2007 Pertamina, 2007. Target program konversi minyak tanah menjadi LPG adalah rumah tangga kelas sosial C1 atau yang berpendapatan di bawah Rp 1.5 jutabulan dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dalam usahanya. Program konversi minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi energi pada rumah tangga. Selain memberikan pengaruh kepada rumah tangga, adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG ini juga memberikan pengaruh kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro, dalam hal pola konsumsi bahan bakarnya. Berdasarkan Sensus Ekonomi Tahun 2006, penyebaran usaha di Indonesia didominasi oleh skala usaha mikro yaitu sebesar 83.27 persen dibandingkan 15.81 persen usaha kecil dan 0.67 persen usaha menengah BPS, 2006. Dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah, usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor yaitu sebesar 80 persen dari keseluruhan jumlah usaha yang ada di Kota Bogor Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009. Perkembangan jumlah perusahaan menurut skala usaha di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha di Kota Bogor Tahun 2007-2009 No. Jenis Usaha 2007 2008 2009 1. Usaha Mikro 23 873 25 718 25 804 2. Usaha Kecil 6 366 4 822 4 838 3. Usaha Menengah 1 598 1 607 1 614 Sumber : Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor 2009 7 Tabel 6 menunjukkan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Usaha mikro pada tahun 2007 berjumlah 23 873 atau sebesar 75 persen dari jumlah keseluruhan, meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25 718 dan 25 804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah. Usaha mikro pada penelitian ini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang kaki lima di Kota Bogor. Di Kota Bogor terdapat 51 titik pedagang kaki lima dengan jumlah keseluruhan 9 710 PKL. Pedagang kaki lima Kota Bogor sebagian besar jenis barang dagangannya adalah berupa makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh yaitu sebesar 43 persen Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor, 2010. Jenis barang yang dijual oleh pedagang kaki lima Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Barang Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Bogor No. Jenis Barang Dagangan Persentase 1. Makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh 43.00 2. Hasil pertanian 38.00 3. Industri dan kerajinan 9.00 4. Jasa tambal ban dan servis 2.00 5. Bekas pakai 1.00 6. Lainnya 11.00 Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor 2010 Martabak dan pecel lele adalah salah satu jenis makanan yang berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele merupakan pedagang mikro yang juga terkena dampak dari adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap kegiatan usaha mereka. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum program konversi menggunakan minyak tanah atau LPG 12 kg yang tidak disubsidi, setelah program konversi minyak tanah menjadi LPG pedagang 8 martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menggunakan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah sebagai bahan bakar dalam kegiatan usahanya. Sebagai akibat dari konversi minyak tanah menjadi LPG, terdapat perubahan pola konsumsi dan permintaan bahan bakar yang dilakukan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang bagaimana permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.2 Rumusan Masalah