Permintaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) Pedagang Martabak Kaki Lima dan Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

(1)

BOGOR

8.1 Pendapatan Usaha Martabak Kaki Lima di Kota Bogor

Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha martabak kaki lima yang dijalankan. Pendapatan atau keuntungan adalah selisih dari total penerimaan dengan total biaya. Perhitungan pendapatan usaha rata-rata pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 44.

Tabel 44. Perhitungan Pendapatan Usaha Rata-rata Pedagang Martabak Kaki Lima di Kota Bogor per Bulan

No Komponen Pendapatan Pedagang Martabak Kaki Lima

Jumlah

1. TOTAL PENERIMAAN (Rp) 19 745 625.00

a. Harga rata-rata martabak (Rp/porsi) 11 525.00

b. Jumlah rata-rata masakan (porsi) 1 708.75

2 TOTAL BIAYA (Rp) 13 907 465.93

a. Total Biaya Non Tunai (Rp) a.1. Biaya penyusutan gerobak (Rp) a.2. Biaya penyusutan loyang (Rp) a.3. Biaya penyusutan peralatan (Rp) a.4. Biaya penyusutan kompor gas (Rp) a.6. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (Rp)

506 009.22 58 333.33 6 666.67 8 333.33 3 925.89 628 785.71

b. Total Biaya Tunai (Rp) b.1. Biaya isi ulang LPG (Rp)

b.2. Biaya pembelian tepung terigu (Rp) b.3. Biaya pembelian mentega (Rp) b.4. Biaya pembelian gula (Rp) b.5. Biaya pembelian telur ayam (Rp) b.6. Biaya tenaga kerja luar keluarga (Rp)

b.7. Biaya pungutan (Rp) b.8. Biaya lain-lain (Rp)

13 401 456.71 181 125.00 1 202 437.50 580 875.00 632 759.00

986 750.00 770 883.30 177 000.00 8 870 110.00 3. PENDAPATAN ATAS BIAYA TUNAI (Rp) 6 344 168.30 4. PENDAPATAN ATAS BIAYA TOTAL (Rp) 5 838 159.07

5. R/C (Atas Biaya Tunai) 1.47

6. R/C (Atas Biaya Total) 1.42 Sumber : Data diolah (2011)


(2)

Penerimaan usaha martabak kaki lima adalah hasil kali jumlah martabak yang dihasilkan per bulan dikalikan dengan harga rata-rata martabak, diasumsikan satu bulan terdiri dari 30 hari. Rata-rata total penerimaan pedagang martabak kaki lima per bulan adalah Rp 19 745 625.00. Penerimaan terkecil pedagang martabak kaki lima adalah Rp 13 500 000.00 per bulan, sedangkan penerimaan terbesar pedagang martabak kaki lima adalah Rp 39 000 000.00 per bulan. Penerimaan responden pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 14. Rata-rata produk martabak manis yang paling digemari adalah produk dengan harga dan rasa biasa, seperti martabak isi kacang, martabak isi coklat, martabak isi keju, dan martabak isi ketan, sedangkan martabak manis dengan rasa lengkap atau istimewa jarang pembelinya. Berbeda dengan martabak manis, martabak telur dengan isi lebih banyak lebih digemari walaupun harganya lebih mahal.

Biaya-biaya yang dikeluarkan pedagang martabak kaki lima terdiri dari dua komponen biaya, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen-komponen biaya tetap terdiri dari biaya pungutan yang diberikan setiap hari untuk kebersihan dan keamanan, biaya penyusutan peralatan atau investasi awal (gerobak, loyang, dan peralatan lainnya), dan biaya penyusutan kompor gas. Diasumsikan umur ekonomis gerobak dan loyang adalah lima tahun, umur ekonomis peralatan adalah dua tahun, dan umur ekonomis kompor gas adalah tujuh tahun. Perhitungan biaya penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus, dapat dilihat pada Lampiran 15.


(3)

Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada jumlah output yang diproduksi. Komponen biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari pembelian bahan bakar LPG, pembelian tepung terigu, mentega, gula, telur ayam, pembayaran upah tenaga kerja, dan biaya lain-lain yang dikeluarkan setiap hari. Upah tenaga kerja terdiri dari upah tenaga kerja dari dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK). Biaya lain-lain mencakup pembelian coklat, keju, kacang, ketan, daging ayam, daging sapi, telur bebek, garam, vanili, seledri, soda kue, dsb. Dalam perhitungan pendapatan pedagang martabak kaki lima, perhitungan biaya dikelompokkan menjadi dua komponen yaitu biaya tunai dan biaya non tunai. Total biaya rata-rata pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor adalah sebesar Rp 13 907 465.93 per bulan. Total biaya terendah adalah sebesar Rp 7 336 085.71 per bulan, sedangkan total biaya tertinggi yang dikeluarkan pedagang martabak kaki lima adalah sebesar Rp 20 271 402.38 per bulan. Rincian biaya yang dikeluarkan pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 19.

Pendapatan usaha atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor merupakan selisih total penerimaan usaha dengan total biaya tunai yang dikeluarkan dalam proses produksi. Hasil penelitian menunjukkan nilai pendapatan usaha atas biaya tunai terkecil pedagang martabak kaki lima adalah sebesar Rp 2 015 000.00 per bulan, sedangkan nilai pendapatan usaha atas biaya tunai terbesar pedagang martabak kaki lima adalah Rp 18 805 800.00 per bulan. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor adalah sebesar Rp 6 344 168.30 per bulan. Nilai pendapatan usaha atas biaya total terkecil pedagang martabak kaki lima adalah sebesar Rp 1 490 480.96 per bulan,


(4)

sedangkan nilai pendapatan usaha atas biaya total terbesar pedagang martabak kaki lima adalah Rp 18 728 597.62 per bulan. Pendapatan rata-rata atas biaya total pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor adalah sebesar Rp 5 838 159.07 per bulan Pendapatan usaha responden pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 40 responden pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor memiliki total penerimaan lebih besar dibandingkan total biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha martabak kaki lima ini menguntungkan untuk dilaksanakan. Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Nilai rasio penerimaan dan biaya menggambarkan efisiensi suatu usaha atau kegiatan produksi terhadap penggunaan satu unit input. Nilai R/C atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima yang terkecil adalah 1.16 sedangkan nilai R/C atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima yang terbesar adalah 2.57. Nilai R/C atas biaya tunai rata-rata pedagang martabak kaki lima adalah 1.47. Nilai R/C atas biaya total pedagang martabak kaki lima yang terkecil adalah 1.11 sedangkan nilai R/C atas biaya total pedagang martabak kaki lima yang terbesar adalah 2.36. Nilai R/C atas biaya total rata-rata pedagang martabak kaki lima adalah 1.42. Nilai R/C responden pedagang martabak kaki lima dalam penelitian ini menunjukkan angka lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa usaha martabak kaki lima menguntungkan untuk dijalankan.

8.2 Pendapatan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan usaha dengan total biaya yang dikeluarkan. Perhitungan pendapatan rata-rata pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 45.


(5)

Tabel 45. Perhitungan Pendapatan Rata-rata Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor per Bulan

No Komponen Pendapatan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele

Jumlah

1. TOTAL PENERIMAAN (Rp) 36884 625.00

a. Harga rata-rata masakan (Rp/porsi) 12 125.00

b. Jumlah rata-rata masakan (porsi) 3 002.25

2 TOTAL BIAYA (Rp) 25 366 265.92

a. Total Biaya Non Tunai (Rp)

a.1. Biaya Penyusutan Investasi Awal (Rp) a.2. Biaya Penyusutan Kompor Gas (Rp)

149 772.92 145 572.92

4 200.00

b. Total Biaya Tunai (Rp) b.1. Biaya isi ulang LPG (Rp) b.2. Biaya pembelian beras (Rp) b.3. Biaya pembelian lele (Rp) b.4. Biaya pembelian ayam (Rp)

b.5. Biaya pembelian minyak goreng (Rp) b.6. Biaya tenaga kerja (Rp)

b.7. Biaya lain-lain (Rp)

25 216 492.00 513 464.00 2 703 535.00 2 574 600.00 6 301 331.00

937 650.00 1 562 162.00 10 623 750.00 3. PENDAPATAN atas biaya tunai (Rp) 11 668 132.88 4. PENDAPATAN atas biaya total (Rp) 11 518 359 97

5. R/C atas biaya tunai 1.46

5. R/C atas biaya total 1.45 Sumber : Data diolah (2011)

Penerimaan usaha warung tenda pecel lele adalah hasil kali jumlah porsi masakan yang dihasilkan per bulan dikalikan dengan harga rata-rata masakan per porsi, diasumsikan satu bulan terdiri dari 30 hari. Rata-rata total penerimaan pedagang warung tenda pecel lele per bulan adalah Rp 36 884 625.00. Penerimaan terkecil pedagang warung tenda pecel lele adalah Rp 14 250 000.00 per bulan, sedangkan penerimaan terbesar adalah Rp 90 000 000.00 per bulan. Penerimaan responden pedagang warung tenda pecel lele dapat dilihat pada Lampiran 21.

Biaya yang dikeluarkan pedagang warung tenda pecel lele terdiri dari dua komponen biaya, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus dikeluarkan


(6)

walaupun tidak ada produksi. Komponen-komponen biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan peralatan atau investasi awal (terpal, spanduk, meja, kursi, piring, gelas, dan berbagai perlengkapan lainnya), dan biaya penyusutan kompor gas. Diasumsikan umur ekonomis penyusutan peralatan atau investasi awal adalah empat tahun, dan umur ekonomis kompor gas adalah lima tahun. Perhitungan biaya penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus, dapat dilihat pada Lampiran 22.

Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada jumlah output yang diproduksi. Komponen biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari pembelian bahan bakar LPG, pembelian beras, ikan lele, daging ayam, minyak goreng, pembayaran upah tenaga kerja, dan biaya-biaya selain biaya di atas yang dikeluarkan setiap hari seperti cabai, tomat, bawang, garam, bebek,

seafood, mentimun, kemangi, selada, bumbu-bumbu, dsb. Dalam penelitian ini

perhitungan biaya dibagi menjadi biaya tunai dan non tunai. Total biaya rata-rata pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor adalah Rp 25 366 265.03 per bulan. Total biaya tunai adalah Rp 25 216 492.11 per bulan. Total biaya yang dikeluarkan responden pedagang warung tenda pecel lele dapat dilihat pada Lampiran 24.

Pendapatan usaha pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor merupakan selisih total penerimaan usaha dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Hasil penelitian dalam Lampiran 25 menunjukkan nilai pendapatan usaha rata-rata atas biaya total Rp 11 518 359.97, nilai pendapatan usaha atas biaya total terbesar adalah Rp 45 256 866.67 per bulan, sedangkan yang terkecil adalah Rp 2 496 033.33. Pendapatan atas biaya tunai rata-rata


(7)

pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor adalah sebesar Rp 11 668 132.89 per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor memiliki total penerimaan lebih besar dibandingkan total biaya yang harus dikeluarkan. Nilai R/C atas biaya total pedagang warung tenda pecel lele adalah 1.45 sedangkan nilai R/C atas biaya tunai pedagang warung tenda pecel lele adalah 1.46. Nilai R/C responden pedagang warung tenda pecel lele dalam penelitian ini menunjukkan angka lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa usaha warung tenda pecel lele menguntungkan untuk dijalankan.


(8)

9.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dibagi menjadi karakteristik umum, karakteristik usaha, dan karakteristik berdasarkan pola konsumsi LPG.

a. Karakteristik umum pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele meliputi jenis kelamin dan umur, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan sumber modal. Pedagang martabak di daerah penelitian seluruhnya adalah laki-laki dan sebagian besar tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pengalaman berdagang mereka sebagian besar adalah antara 5-10 tahun. Sumber modal pedagang martabak kaki lima ini kebanyakan adalah modal sendiri, selain itu berasal dari pinjaman keluarga atau koperasi. Pedagang warung tenda pecel lele di daerah penelitian sebagian besar adalah tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pengalaman berdagang mereka sebagian besar adalah antara 6-10 tahun. Sumber modal pedagang warung tenda pecel lele ini adalah modal sendiri, selain itu berasal dari pinjaman keluarga.

b. Karakteristik usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele meliputi penggunaan bahan baku utama, jumlah output yang dihasilkan, rata-rata harga output, dan jumlah tenaga kerja. Sebagian besar usaha martabak kaki lima menggunakan tepung terigu sebanyak 100-200 kg/bulan, dan menghasilkan 1 500 - 2 000 martabak/bulan dengan harga


(9)

rata-rata Rp 10 000.00 sampai Rp 13 000.00 per martabak. Jumlah tenaga kerja pada usaha martabak kaki lima ini rata-rata adalah satu orang. Sebagian besar usaha warung tenda pecel lele menggunakan 200-400 kg beras, 100-200 kg lele, 200-300 kg ayam dalam sebulan. Usaha warung tenda pecel lele rata-rata menghasilkan 2 000 sampai 3 000 porsi dalam sebulan dengan harga rata-rata Rp 10 000.00 sampai Rp 15 000.00 per porsi. Jumlah tenaga kerja pada usaha warung tenda pecel lele ini rata-rata adalah 2-3 orang.

c. Karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berdasarkan pola konsumsi LPG meliputi tempat pembelian LPG, frekuensi pembelian LPG, dan jumlah penggunaan LPG. Sebagian besar pedagang martabak kaki lima mendapatkan LPG dari pasar, dan membeli 1 tabung LPG dalam sekali pembelian. Dalam sebulan pedagang martabak kaki lima rata-rata membeli LPG sebanyak 13 kali dan menghabiskan rata-rata 36 kg LPG. Pedagang warung tenda pecel lele mendapatkan LPG dari agen, dan membeli satu tabung dalam sekali pembelian. Dalam sebulan pedagang warung tenda pecel lele rata-rata membeli LPG lebih dari 28 kali dan menghabiskan rata-rata 103 kg LPG. 2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan LPG pada pedagang

martabak kaki lima terdapat empat variabel yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen yaitu harga LPG, harga telur ayam, jumlah tenaga kerja,

dan dummy jenis martabak, sedangkan pada fungsi permintaan LPG oleh


(10)

yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen yaitu harga minyak goreng, jumlah tenaga kerja, dan dummy masakan bebek bebek.

3. Analisis pendapatan usaha menunjukkan usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele adalah usaha yang cukup menguntungkan untuk dijalankan. Nilai R/C ratio atas biaya total rata-rata pada pedagang martabak kaki lima adalah 1.42 sedangkan pada pedagang warung tenda pecel lele adalah 1.45.

9.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh responden pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor menggunakan LPG 3 kg sebagai bahan bakar utama dalam usahanya. Karena itu, keberadaan LPG sangat dibutuhkan. Diperlukan peran pemerintah dalam hal distribusi LPG agar tidak terjadi kelangkaan LPG di lapangan.

2. Berdasarkan hasil penelitian, penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa harga LPG pada fungsi permintaan LPG oleh pedagang warung tenda pecel lele berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk membuktikan pengaruh nyata harga LPG terhadap permintaan LPG pedagang warung tenda pecel lele pada selang 90 persen.

3. Program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG memberikan dampak pada pola konsumsi dan permintaan bahan bakar pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Penelitian lanjutan dapat dilaksanakan


(11)

untuk membandingkan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG dan menganalisis tentang dampak konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap permintaan bahan bakar pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta usaha-usaha mikro lainnya. 4. Elastisitas harga LPG terhadap permintaan LPG pada pedagang martabak

kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu, berarti nilai elastisitas harga LPG bersifat elastis. Penelitian lebih lanjut dapat menganalisis mengenai kenaikan harga LPG terhadap permintaan LPG dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.


(12)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Kekayaan alam yang melimpah terutama dari hasil tambang berupa minyak bumi pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang merupakan organisasi dari negara-negara

penghasil minyak bumi. Namun penurunan produksi minyak bumi dalam negeri dan peningkatan konsumsi minyak bumi menyebabkan Indonesia berubah status menjadi negara net importir. Kondisi perminyakan Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun Produksi

Minyak (ribu barrel) Konsumsi Minyak (ribu barrel) Impor Minyak Mentah (ribu barrel) Ekspor Minyak Mentah (ribu barrel) Kapasitas Pengilangan (ribu barrel) Output Pengilangan (ribu barrel) Cadangan Minyak (MB)

2000 1 272.5 996.4 219.1 622.5 1 057.0 968.2 5 123 2001 1 214.2 1 026.0 326.0 599.2 1 057.0 1 006.1 5 095 2002 1 125.4 1 075.4 327.7 639.9 1 057.0 1 002.4 4 722 2003 1 139.6 1 112.9 306.7 433.0 1 057.0 944.4 4 320 2004 1 094.4 1 143.7 330.1 412.7 1 055.5 1 011.6 4 301 2005 1 059.3 1 139.9 341.5 374.4 1 057.0 1 054.1 4 188 2006 883.0 1 061.3 289.6 301.3 1 057.0 1 053.5 4 370 2007 837.6 1 047.9 298.3 319.3 1 050.6 1 213.2 3 990 2008 856.7 1 054.1 260.8 214.1 1 050.6 1 184.1 3 990 Sumber : Organization of Petroleum Exporting /OPEC (2008)

Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data ekspor dan impor minyak mentah pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 Indonesia adalah net eksportir,


(13)

tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS (Production Sharing

Contract) sehingga penerimaannya tidak masuk Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) sedangkan impor seluruhnya dilakukan oleh Pertamina sehingga masuk pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pertamina, 2007).

Dilihat dari sisi konsumsi, permintaan minyak bumi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah menyebabkan konsumsi minyak bumi semakin meningkat pula. Peningkatan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1930-2010

Tahun Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) Pertumbuhan (%)

1930 60.7 -

1961 97.1 59.96

1971 119.2 22.76

1980 146.9 23.23

1990 178.6 21.57

2000 2010

205.1 237.6

14.83 15.84 Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 adalah 60.7 juta jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi 237.6 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi menyebabkan defisit bahan bakar minyak (BBM), sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri pemerintah melakukan impor dari negara lain.

Minyak dan gas bumi merupakan sumberdaya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam


(14)

perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hal ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan minyak dan gas bumi ini secara tidak langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin negara.

Harga minyak dunia pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan harga minyak dunia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Harga Rata-Rata Minyak Dunia Tahun 2005-2008

Tahun Harga Rata-rata Minyak Dunia/West Texas Intermediate Spot Average/WTI

(USD/barel)

2005 53.4

2006 64.3

2007 72.3

2008 97.0

Sumber : Kementerian Keuangan (2010)

Berdasarkan Tabel 3, rata-rata harga minyak dunia (West Texas

Intermediate Spot Average) pada tahun 2005 adalah sebesar USD 53.4 per barel

meningkat menjadi USD 64.3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72.3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008 terjadi peningkatan harga yang sangat drastis mencapai USD 97.0 per barel. Seiring dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-Oil Price/ICP)

juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata USD 51.6 per barel, kemudian pada semester II


(15)

mengalami peningkatan menjadi USD 71.6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai 61.6 per barel (Kementerian Keuangan, 2010).

Terjadinya kenaikan harga minyak dunia ini mengakibatkan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali pada tahun 2005. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002

(Milyar Rupiah)

Tahun Anggaran Biaya Pokok BBM Hasil Penjualan Bersih Subsidi

1994/1995 14 049.00 14 935.60 -886.60

1995/1996 15 829.50 14 858.30 -28.80

1996/1997 20 171.90 17 314.30 2 587.60

1997/1998 34 145.60 18 279.50 15 866.10

1998/1999 36 593.90 29 140.90 7 453.00

1999/2000 71 411.36 30 487.96 40 923.40

2000/2001 88 837.08 35 027.48 53 809.60

2001/2002 108 798.35 39 417.55 68 380.80 Sumber : Biro Pusat Statistik (2003)

Dalam anggaran belanja negara subsidi dialokasikan dengan tujuan untuk mengendalikan harga komoditas yang disubsidi, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya produk yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dalam hal ini bahan bakar minyak, dengan harga terjangkau. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) realisasi anggaran subsidi BBM pada tahun 2005 adalah 95.6 triliun rupiah, mengalami penurunan menjadi 64.2 triliun rupiah pada tahun 2006. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 83.8 triliun rupiah, terus meningkat menjadi 139.1 triliun


(16)

rupiah pada tahun 2008, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 45.0 triliun rupiah. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), anggaran subsidi BBM pada tahun 2010 adalah 88.9 triliun rupiah (Kementerian Keuangan, 2011).

Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini dikendalikan pemerintah dengan cara mengurangi pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya adalah dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG. Sebelum melakukan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan perhitungan tentang jumlah subsidi yang dapat dihemat dengan adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil perhitungan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 20.12 triliun per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Minyak Tanah dan LPG

Perbandingan Minyak Tanah LPG

Kesetaraan 1 liter 0.57 kg

Nilai Kalori 8 498.75 (Kcal/liter) 6 302.58 (Kcal/liter) Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi 10 000 000 kiloliter 5 746 095 MT/tahun Asumsi Harga Keekonomian Rp 5 665 /liter Rp 7 127 /kg

Harga Jual Rp 2 000 /liter Rp 4 250 /kg

Besaran Subsidi Rp 3 665 /liter Rp 2 877 /kg

Total Subsidi Rp 36.65 triliun/tahun Rp 16.53 triliun/tahun

Besarnya subsidi yang bisa dihemat Rp 20.12 triliun/tahun

Sumber : Departemen ESDM (2007)

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG dirasa perlu dilaksanakan. Program konversi


(17)

minyak tanah menjadi LPG direncanakan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2010. Kota Bogor yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah sasaran konversi pada tahun 2007 (Pertamina, 2007). Target program konversi minyak tanah menjadi LPG adalah rumah tangga kelas sosial C1 atau yang berpendapatan di bawah Rp 1.5 juta/bulan dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dalam usahanya. Program konversi minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi energi pada rumah tangga. Selain memberikan pengaruh kepada rumah tangga, adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG ini juga memberikan pengaruh kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro, dalam hal pola konsumsi bahan bakarnya.

Berdasarkan Sensus Ekonomi Tahun 2006, penyebaran usaha di Indonesia didominasi oleh skala usaha mikro yaitu sebesar 83.27 persen dibandingkan 15.81 persen usaha kecil dan 0.67 persen usaha menengah (BPS, 2006). Dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah, usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor yaitu sebesar 80 persen dari keseluruhan jumlah usaha yang ada di Kota Bogor (Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009). Perkembangan jumlah perusahaan menurut skala usaha di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha di Kota Bogor Tahun 2007-2009

No. Jenis Usaha 2007 2008 2009

1. Usaha Mikro 23 873 25 718 25 804 2. Usaha Kecil 6 366 4 822 4 838 3. Usaha Menengah 1 598 1 607 1 614 Sumber : Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2009)


(18)

Tabel 6 menunjukkan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Usaha mikro pada tahun 2007 berjumlah 23 873 atau sebesar 75 persen dari jumlah keseluruhan, meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25 718 dan 25 804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah.

Usaha mikro pada penelitian ini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang kaki lima di Kota Bogor. Di Kota Bogor terdapat 51 titik pedagang kaki lima dengan jumlah keseluruhan 9 710 PKL. Pedagang kaki lima Kota Bogor sebagian besar jenis barang dagangannya adalah berupa makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh yaitu sebesar 43 persen (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor, 2010). Jenis barang yang dijual oleh pedagang kaki lima Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis Barang Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Bogor

No. Jenis Barang Dagangan Persentase (%)

1. Makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh 43.00

2. Hasil pertanian 38.00

3. Industri dan kerajinan 9.00

4. Jasa (tambal ban dan servis) 2.00

5. Bekas pakai 1.00

6. Lainnya 11.00

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2010)

Martabak dan pecel lele adalah salah satu jenis makanan yang berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele merupakan pedagang mikro yang juga terkena dampak dari adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap kegiatan usaha mereka. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum program konversi menggunakan minyak tanah atau LPG 12 kg yang tidak disubsidi, setelah program konversi minyak tanah menjadi LPG pedagang


(19)

martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menggunakan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah sebagai bahan bakar dalam kegiatan usahanya. Sebagai akibat dari konversi minyak tanah menjadi LPG, terdapat perubahan pola konsumsi dan permintaan bahan bakar yang dilakukan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang bagaimana permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.2 Rumusan Masalah

Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM, dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG beserta isinya, kompor gas dan aksesorisnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah.

Adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG yang dilaksanakan oleh pemerintah akan mengubah kebiasaan rumah tangga, dalam hal ini pola konsumsi terhadap penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Usaha mikro yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dalam produksinya, harus menggantinya dengan menggunakan LPG sebagai bahan bakar dalam proses produksi usahanya.

Kota Bogor adalah salah satu daerah sasaran konversi minyak tanah menjadi LPG, dan sudah menjalankan program konversi minyak tanah menjadi LPG kurang lebih empat tahun. Hal ini mengakibatkan Kota Bogor dapat dijadikan salah satu daerah penelitian, untuk menganalisis permintaan LPG oleh


(20)

rumah tangga dan usaha mikro sebagai target program konversi minyak tanah menjadi LPG.

Kota Bogor memiliki letak yang strategis (BPS Kota Bogor, 2010). Letaknya yang strategis menjadikan Kota Bogor sebagai wilayah transit dan tujuan wisata, baik wisata alam, budaya maupun wisata kuliner. Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan beberapa sektor, khususnya sektor perdagangan. Data menunjukkan bahwa usaha mikro mendominasi di Kota Bogor dengan jumlah 23 873 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 25 804 pada tahun 2009. Usaha mikro di Kota Bogor 43 persen adalah usaha di bidang makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh yang banyak menggunakan bahan bakar minyak dalam usahanya. Dalam penelitian ini diteliti usaha martabak kaki lima untuk mewakili makanan cemilan, dan usaha warung tenda pecel lele mewakili makanan berat untuk mengenyangkan, karena kedua jenis makanan ini berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Penelitian Hardian, 2011 menunjukkan bahwa jumlah pedagang martabak kaki lima yang tersebar di enam kecamatan di Kota Bogor adalah 106 orang, dan penelitian Abidin, 2011 menunjukkan bahwa pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor berjumlah 148 orang.

LPG sebagai bahan bakar memegang peranan penting bagi usaha mikro dalam hal ini usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. LPG adalah salah satu input utama yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan mendatangkan keuntungan bagi pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Permintaan LPG sebagai bahan bakar utama dipengaruhi oleh harga LPG itu sendiri dan harga barang-barang input lain yang digunakan dalam proses produksi. Harga


(21)

bahan-bahan pokok yang digunakan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sangat fluktuatif. Perkembangan harga bahan-bahan pokok ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menjadi hal yang penting, karena akan berhubungan dengan kelangsungan produksi dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele tersebut.

Tabel 8. Perkembangan Harga Bahan Pokok di Indonesia Tahun 2010-2012

No. Komoditas Unit 1/12

2010

1/11 2011

1/12 2011

2/01 2012

1/02 2012 1. Minyak Goreng Kemasan Rp/620ml 8 399 9 697 9 645 9 652 9 654 2. Minyak Goreng Curah Rp/kg 10 750 10 566 10 547 10 831 11 354 3. Daging Sapi Rp/kg 67 633 71007 70 886 71687 72 432 4. Daging Ayam Broiler Rp/kg 25 808 24 268 23 680 25 870 26 796 5. Daging Ayam Kampung Rp/kg 44 864 46 278 47 334 47 401 47 960 6. Telur Ayam Ras Rp/kg 16 005 16 592 16 620 17 201 17 854 7. Telur Ayam Kampung Rp/kg 36 023 35 994 36 301 36 183 36 600 8. Tepung Terigu Rp/kg 7 577 7 562 7 601 7 674 7 604 9.. Beras Medium Rp/kg 7 002 7 675 7 736 7 940 8 079 10. Gula Pasir Rp/kg 11 142 10 465 10 447 10 481 10 830 11. Susu Kental Manis Rp/kg 8 315 8 666 8 710 8 710 8 697 12. Cabe Merah Keriting Rp/kg 26 080 25 585 26 315 34 016 24 105 13. Cabe Merah Biasa Rp/kg 22 685 22 419 25 785 31 558 21 901 14. Bawang Merah Rp/kg 23 628 14 277 13 643 13 212 12 461

Sumber : Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya?


(22)

2. Bagaimanakah permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya?

3. Bagaimanakah pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. Atas dasar tujuan utama penelitian maka tujuan operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya.

2. Menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan terutama para pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele untuk mengevaluasi usahanya dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usahanya.


(23)

Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan penelitian ini dapat sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagai sumber informasi dan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Pedagang martabak dibatasi pada pedagang martabak kaki lima yang melaksanakan usahanya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak dan termasuk dalam skala usaha mikro. Jenis martabak yang dijual adalah martabak manis dan martabak telur. Pedagang pecel lele dibatasi pada pedagang warung tenda pecel lele yang menyajikan pecel lele, pecel ayam, bebek goreng, dan aneka masakan seafood. Pedagang warung tenda pecel lele dalam penelitian ini termasuk

skala usaha mikro. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berada di enam kecamatan di Kota Bogor.

Keterbatasan penelitian ini terletak pada faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel harga bahan bakar substitusi LPG seperti minyak tanah, arang, dan sebagainya.


(24)

2.1 Bahan Bakar Minyak dan Gas

BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang

dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Minyak mentah

dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dahulu untuk

menghasilkan produk-produk minyak (oil products), gas, naphta, light sulfur wax

residue (LSWR) dan aspal (Nugroho, 2005).

2.1.1 Minyak Tanah

Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna yang jernih. Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah

yang memiliki titik didih antara 150˚C dan 300˚C. Minyak tanah digunakan sebagai alat bantu penerangan, memasak, water heating, dan lain-lain yang

umumnya untuk pemakaian domestik atau rumahan (Pertamina, 2007).

2.1.2 Liquefied Petroleum Gas

LPG (Liquefied Petroleum Gas) secara harafiah berarti gas minyak bumi

yang dicairkan. LPG adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Gas akan berubah menjadi cair jika ditambah tekanan dan diturunkan suhunya. Komponennya didominasi oleh propana (C3H8) dan butana

(C4H10). LPG juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil

misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Pertamina memasarkan LPG sejak

tahun 1969 dengan merek dagang ELPIJI (Pertamina, 2007).

LPG dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan karena volume LPG dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Tabung LPG tidak diisi secara penuh, hanya


(25)

sekitar 80-85 persen dari kapasitasnya untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya. Rasio antara volume

gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasanya sekitar 250:1.

Berdasarkan komposisi propana dan butana, LPG dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1. Mix LPG, yang merupakan campuran dari propana dan butana,

2. LPG propana, yang sebagian besar terdiri dari dari C3,

3. LPG butana, yang sebagian besar terdiri dari C4.

Spesifikasi masing-masing LPG tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. LPG butana dan LPG mix biasanya dipergunakan oleh masyarakat umum untuk bahan bakar

memasak, sedangkan LPG propana biasanya dipergunakan di industri-industri sebagai pendingin, bahan bakar pemotong, untuk menyemprot cat dan lainnya. ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung (3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg) dan curah merupakan LPG mix, dengan komposisi + 30 persen propana dan

70 persen butana. Varian lain adalah LPG odourless (tidak berbau).

LPG berbentuk gas pada suhu kamar. Pengubahan bentuk LPG menjadi cair adalah untuk mempermudah pendistribusiannya. Berdasarkan cara pencairannya, LPG dibedakan menjadi:

1. LPG Refrigerated, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara didinginkan (titik

cair Propana + -42°C, dan titik cair Butana + -0.5°C). LPG jenis ini umum digunakan untuk mengapalkan LPG dalam jumlah besar (misalnya, mengirim LPG dari negara Arab ke Indonesia). Dibutuhkan tangki penyimpanan khusus


(26)

yang harus didinginkan agar LPG tetap dapat berbentuk cair serta dibutuhkan proses khusus untuk mengubah LPG Refrigerated menjadi LPG Pressurized,

2. LPG Pressurized, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara ditekan (4-5 kg/cm2).

LPG jenis ini disimpan dalam tabung atau tangki khusus bertekanan. LPG jenis inilah yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi di rumah tangga dan industri, karena penyimpanan dan penggunaannya tidak memerlukan penanganan khusus seperti LPG Refrigerated.

ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung dan curah adalah LPG Pressurized. Adapun sifat umum ELPIJI Pertamina adalah:

1. Tekanan gas ELPIJI cukup besar, bila bocor segera membentuk gas, memuai dan mudah terbakar,

2. Berat jenis ELPIJI lebih besar dari udara sehingga cenderung bergerak ke bawah,

3. ELPIJI tidak mengandung racun,

4. Berbau sehingga mudah mendeteksi kebocoran.

Salah satu resiko penggunaan ELPIJI adalah terjadinya kebocoran pada tabung atau instalasi gas sehingga bila terkena api dapat menyebabkan kebakaran. Pada awalnya, gas ELPIJI tidak berbau, dengan demikian sulit mendeteksi bila terjadi kebocoran. Menyadari hal itu Pertamina menambahkan gas mercaptan,

yang baunya khas dan menusuk hidung. Langkah itu sangat berguna untuk mendeteksi bila terjadi kebocoran tabung gas (Pertamina, 2007).

Bahan bakar cair LPG disimpan dan dikemas dalam tabung baja dalam berbagai ukuran. Tabung tersebut telah diuji oleh Dinas Pembinaan Norma-Norma Keselamatan Kerja (DPNKK) sesuai standar tes 4.B240 Interstate


(27)

Commerce Commission (ICC). Berat tabung bervariasi sesuai dengan ukuran,

yaitu : 3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg, dan skid tank (1000 kg dan 4000 kg)

Tabung dilengkapi dengan valve atau klep yang berguna menahan gas

agar tidak mengalir keluar, sekaligus merupakan celah untuk mengeluarkan gas.

Valve harus tertutup dengan segel alumunium (rain cap) sebagai jaminan keaslian

tabung. Pada lubang valve terdapat ring/cincin karet yang berguna mengatur

saluran gas melalui regulator untuk mengamankan gas.

Perlengkapan tambahan yang harus ada agar LPG dapat digunakan adalah regulator. Regulator berfungsi untuk mengatur tekanan gas yang keluar dari tabung. Dalam keadaan terpasang, gas bertekanan tinggi dalam tabung sudah berhubungan langsung dengan regulator. Bila katup dibuka, gas akan mengalir keluar dengan tekanan rendah (Pertamina, 2007).

2.2 Konversi Minyak Tanah Menjadi LPG

Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG 3 kg beserta isinya, satu set kompor gas satu pit berikut selang dan regulator (Pertamina, 2007).

Target program konversi minyak tanah ke LPG adalah rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Persyaratan rumah tangga dan usaha mikro yang berhak menerima paket konversi adalah sebagai berikut :

1. Rumah tangga, persyaratannya yaitu pengguna minyak tanah murni, kelas sosial C1 ke bawah (<1.5 juta/bulan), penduduk legal setempat dengan


(28)

dibuktikan dan melampirkan KTP atau KK atau surat keterangan dari kelurahan setempat.

2. Usaha mikro, persyaratannya adalah merupakan pengguna minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya, penduduk legal setempat dengan dibuktikan dan melampirkan KTP atau KK atau surat keterangan dari kelurahan setempat, serta melampirkan keterangan usaha dari kelurahan setempat.

Adapun landasan hukum yang digunakan untuk program ini adalah : 1. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan LPG Bumi, yang

menyatakan bahwa Menteri (yang bertanggung jawab di bidang minyak dan LPG bumi) bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan di bidang minyak dan LPG.

2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. a. Bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan

pasokan energi dalam negeri.

b. Mengurangi ketergantungan penggunaan energi yang berasal dari minyak bumi, salah satunya dengan mengalihkan ke energi lainnya.

c. Terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu

peranan minyak bumi menjadi 20 persen dan peranan LPG bumi menjadi lebih dari 30 persen terhadap konsumsi energi nasional.

3. UU No.18 Tahun 2006 tentang APBN yang memuat anggaran untuk subsidi LPG 3 kg pada tahun 2007 sebesar Rp 1.9 triliun.

4. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan TuLPG Eselon I Kementerian Republik Indonesia.


(29)

Tujuan dari kebijakan konversi minyak tanah menjadi LPG adalah dalam rangka :

1. Melakukan diversifikasi pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya minyak tanah.

2. Melakukan efisiensi anggaran pemerintah karena penggunaan LPG lebih efisien dan subsidinya relatif lebih kecil daripada subsidi minyak tanah. 3. Menyediakan bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien untuk rumah

tangga dan usaha mikro.

Program konversi minyak tanah menjadi LPG dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2007-2010 dengan jumlah total Kepala Keluarga (KK) terkonversi adalah 42 020 000 KK (Pertamina, 2007). Program konversi minyak

tanah menjadi LPG dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Program Konversi Minyak Tanah menjadi LPG di Indonesia Tahun 2007-2010

Tahun KK terkonversi (tahun berjalan) Wilayah

2007 3 500 000 Jawa-Bali & Palembang

2008 12 500 000 Medan, Pekanbaru, Sumsel, Jawa-Bali, Balikpapan, Makassar

2009 13 251 516 Seluruh Jawa-Bali

2010 12 768 484 Luar Jawa

Sumber : PERTAMINA (2007)

2.3 Usaha Mikro

Badan Pusat Statistik (1999) membagi usaha industri pengolahan di Indonesia menjadi empat kategori berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki, yaitu:

1. Industri dan Dagang Mikro (ID-Mikro), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja antara satu sampai empat orang.


(30)

2. Industri dan Dagang Kecil (ID-Kecil), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja antara lima sampai 19 orang.

3. Industri dan Dagang Menengah (ID-Menengah), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang.

4. Industri dan Dagang Besar (ID-Besar), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja 100 orang lebih.

Menurut Bank Indonesia (2003), usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 000 000.00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 000 000.00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Kementerian Koperasi, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100 000 000.00 (seratus juta rupiah) per tahun, dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp 50 000 000.00 (lima puluh juta rupiah). Adapun ciri-ciri usaha mikro adalah sebagai berikut:

1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;

2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat; 3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak

memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;

4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;


(31)

6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank;

7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.

Beberapa contoh usaha mikro adalah sebagai berikut :

1. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya;

2. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;

3. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dan lain-lain; 4. Peternak ayam, itik dan perikanan;

5. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi).

2.4 Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 23/MPP/Kep/1/1998 Pasal 4 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan terdiri dari: (1) Termasuk pedagang informal adalah pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang kelontong, pedagang asongan, bakul gendong, kedai, warung, depot, los pasar, jasa reparasi, jasa pertukangan, dan

jasa-jasa informal lainnya, dan (2) Pedagang informal harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: memiliki modal usaha diluar tanah dan bangunan tempat usaha tidak lebih dari lima juta rupiah, dikerjakan sendiri oleh beberapa orang, jenis usaha yang dijalankan umumnya tidak tetap.


(32)

Pedagang kaki lima yang biasanya disingkat menjadi PKL adalah penjual barang dan jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha mikro atau kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara atau tidak menetap dengan menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang (Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2005).

PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara

tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan dan menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal (Mulyanto, 2007).

2.5 Martabak Kaki Lima

Martabak adalah salah satu makanan ringan yang sangat pesat perkembangannya di Kota Bogor. Pelaku usaha ini sangat beragam, dari pelaku pinggir jalan sampai dengan pelaku usaha yang mempunyai tempat yang tetap, bagus dan mewah. Menurut Dean (2005), martabak adalah makanan khas dari India yang terbuat dari telur. Bahan dasar martabak adalah campuran telur bebek (atau telur ayam) dengan irisan daun bawang dan daging cincang (daging sapi atau daging kambing) yang sebelumnya sudah diberi bumbu, yang dibungkus dengan adonan kulit yang dibuat dari tepung terigu, air dan minyak goreng. Martabak digoreng di atas penggorengan datar dengan minyak yang banyak sambil dibolak-balik, sehingga adonan kulit menjadi garing dan renyah. Martabak


(33)

dimakan dengan saus encer berwarna coklat tua yang merupakan campuran air dengan cuka, gula jawa dan gula pasir, sebagai pelengkap biasanya juga disertakan acar mentimun dan cabe rawit.

Di Indonesia ada dua jenis martabak, pertama adalah martabak telur, yang kedua adalah martabak terang bulan atau biasa disebut martabak manis (Dean, 2005). Martabak terang bulan/martabak manis merupakan jenis martabak khas Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Martabak terang bulan atau martabak manis disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama. Martabak manis ini dibuat dengan berbahan dasar adonan tepung terigu, gula, telur, dan lain-lain. Adonan tersebut dicetak dengan menggunakan cetakan piring seng dengan ukuran kurang lebih 20 cm dan dipasang tangkai pipa besi. Dipanggang dan digoyangkan diatas bara api, arang kayu, atau kompor minyak. Isi atau topping yang terdapat pada martabak manis adalah olesan

mentega/margarine, susu, selai stroberi, selai nanas, meises, kacang, keju, ketan

dan lain-lain.

Pedagang martabak di dalam menjajakan dagangannya memerlukan beberapa peralatan pokok untuk mendukung keberhasilan usahanya. Beberapa peralatan penting tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Dean, 2005) : 1. Gerobak

Gerobak atau counter apapun bisa digunakan. Gerobak sebagai meja kerja

harus nyaman digunakan. Meja gerobak sebaiknya tidak terlalu tinggi dan sempit atau sebaliknya terlalu pendek, lebar dan panjang. Gerobak biasanya terbuat dari bahan alumunium dan kaca, atap atau bagian atasnya memakai kanopi tebal.


(34)

2. Loyang

Loyang terbuat dari besi cor dan memiliki berbagai macam ukuran. Ukuran loyang martabak sangat beragam, mulai ukuran 18/20 cm, 20/22 cm, 22/24 cm, 24/26 cm, 26/28 cm, 28/30 cm. Loyang harus selalu bersih dan kering agar tidak berkarat dan selalu halus.

3. Kompor

Pedagang menggunakan kompor sebagai alat untuk memanggang martabak. Ada tiga jenis kompor yang biasanya digunakan pedagang yaitu : kompor minyak tanah, kompor gas dan kompor tungku dari arang. Bagi yang belum terbiasa menggunakan kompor minyak tanah, resiko martabak berbau minyak tanah dan berbau asap kemungkinan besar bisa terjadi. Sebaliknya jika menggunakan tungku arang, aroma kue sangat alami dan enak, bagi yang belum terbiasa resikonya adalah abu kayu yang masuk ke dalam martabak. Kompor yang baik adalah kompor yang bisa memberikan panas secara merata dengan api yang tidak terlalu besar tetapi stabil.

4. Gerobak Kompor

Gerobak kompor sangat sulit dibeli dalam keadaan siap pakai. Pedagang biasanya memesan gerobak kompor pada tukang las. Fungsi alat ini adalah menjaga api kompor agar tidak tertiup angin sehingga api dan panas loyang tetap stabil. Posisi gerobak harus benar-benar datar. Gerobak harus dibuat sedemikian rupa sehingga jarak ujung api kompor tidak terlalu dekat atau terlalu jauh dengan bagian bawah loyang. Jika terlalu dekat, loyang terlalu cepat panas. Jika terlalu jauh loyang akan lama panas dan butuh api yang lebih besar sehingga akan memboroskan bahan bakar.


(35)

5. Tabung Gas

Sebagai bahan bakar, gas adalah pilihan kebanyakan pedagang martabak. Gas tidak menyebabkan bau asap, tidak menimbulkan bau minyak tanah seperti minyak tanah. Gas juga tidak menyebabkan abu seperti tungku arang. Untuk memastikan keamanannya, regulator harus terpasang dengan benar pada tabung gas dan tabung gas dijauhkan atau diberi jarak aman dari kompor panggang.

Pedagang martabak kaki lima adalah orang yang melakukan usaha martabak yang berada di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak. Mereka berjualan dari sore hari hingga malam hari. Kebanyakan orang menyebutnya pedagang kaki lima (Hardian, 2011).

2.6 Warung Tenda Pecel Lele

Pecel lele merupakan produk olahan perikanan berupa ikan lele yang digoreng dan disajikan bersama nasi, sambal dan lalapan. Warung tenda merupakan salah satu usaha perdagangan di bidang makanan dengan menggunakan tenda yang terdapat di sepanjang jalan dan lokasi. Warung tenda memiliki ciri khas tertentu seperti menu yang unik (tradisional), suasana santai, harga yang lebih murah, tempat strategis, pelayanan yang lebih cepat dan penjualannya dilakukan pada malam hari. Ciri khas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang berasal dari berbagai golongan. Warung tenda menurut Astuti 2002 merupakan salah satu wirausaha bidang pangan yang dikelola untuk mencari terobosan baru yang menjadi trend atau suatu mode.


(36)

goreng, burung dara goreng, soto, tahu dan tempe, makanan laut (Seafood),

masakan khas Cina, Jepang, dan sebagainya.

Warung tenda menggunakan atap terpal yang terbuat dari plastik anti bocor sehingga bila saat hujan turun tidak membasahi konsumen. Setiap sisi warung tenda tertutup oleh kain spanduk yang salah satu sisinya bertuliskan dan bergambar produk yang dihidangkan di warung tenda tersebut yaitu pada bagian yang terlihat dari sisi jalan (Idris, 2004).

Warung tenda pecel lele membuka usaha menjelang sore hingga malam hari. Persiapan dimulai dengan mendirikan tenda yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pekerja. Lokasi yang banyak digunakan sebagai tempat beroperasinya warung tenda adalah sebuah pelataran di depan perumahan atau perkantoran. Peralatan untuk mendirikan tenda biasanya dibawa dari rumah menggunakan gerobak atau ada yang menitipkannya di dekat lokasi (Anggraini, 2006).

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan pada penelitian ini antara lain penelitian Nurlianti (2002), Kakisina (2003), Anggraini (2006), Yugustya (2006), Fauzan (2007), Novita (2008), Maulidyawati (2011), Hardian (2011), dan Bhakti (2011). Hasil-hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.


(37)

2. Judul : Analisis Permintaan Telur Ayam Ras oleh Pedagang Martabak Telur di Kota Bogor.

ayam ras oleh pedagang martabak telur di Kota Bogor.

2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi permintaan telur ayam ras oleh pedagang martabak telur di Kota Bogor.

3. Mengukur pendapatan pedagang martabak telur di Kota Bogor. 4. Menganalisis respon permintaan

telur ayam ras terhadap harga dan pendapatan.

dengan metode pengambilan contoh kelompok bertingkat atau bertahap. 2. Analisis data dengan

analisis

deskriptif,analisis pendapatan, analisis respon (elastisitas), dan analisis regresi linear berganda

pedagang martabak telur kios adalah 160 kg/bln dan 75.11kg.bln oleh pedagang martabak telur gerobak.

2. Berdasarkan uji-t, variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap permintaan telur ayam ras adalah volume usaha unit B dan volume unit usaha D ( = 0.01),dummy lokasi ( = 0.05), harga minyak goreng ( = 0.1). 3. Pendapatan bersih pedagang martabak telur

kios adalah Rp 4 959 056/bulan dan pedagang martabak telur gerobak adalah sebesar Rp 1 134 291.12/bulan.

4. Elastisitas permintaan telur ayam ras oleh pedagang martabak telur bersifat inelastis (0.166).

2 1. Nama : Yonanthan Kakisina (2003)

2. Judul : Analisis Permintaan Minyak Tanah Sektor Rumah Tangga di Kota Salatiga

1. Menganalisis permintaan minyak tanah di Kota Salatiga. 2. Membuat model permintaan

minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga

1. Analisis regresi linear berganda

1. Harga minyak tanah dan harga kayu bakar berpengaruh negatif terhadap jumlah minyak tanah yang diminta sektor rumah tangga di Kota Salatiga.

2. Pendapatan dan harga LPG berpengaruh positif terhadap permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga

3. 1. Nama : Dian Anggraini (2006) 2. Judul : Analisis Pendapatan dan

Strategi Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor

1. Mengidentifikasi profil dan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele.

2. Menganalisis pendapatan usaha warung tenda pecel lele. 3. Memformulasi strategi

pemasaran yang dapat

1. Pengambilan sampel dengan

nonprobability sampling dengan

metode judgment sampling.

2. Tabulasi deskriptif,

1. Usaha warung tenda pecellele menguntungkan dimana nilai R/C lebbih dari satu.

2. Strategi yang sesuai adalah hold and maintain,

strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk.


(38)

2. Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia.

mempengaruhi permintaan listrik industri TPT di Indonesia.

2. Mengkaji hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan permintaan listrik pada industri TPT.

berganda terhadap permintaan listrik di industri TPT. 2. Harga solar dan krisis ekonomi berpengaruh

negatif terhadap permintaan listrik industri TPT.

3. Harga listrik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan listrik industri TPT.

5 1. Nama : Yuniko Fauzan (2007) 2. Judul : Faktor-faktor yang

MempengaruhiPermintaan Liquid Petroleum Gas di Indonesia

Periode 1980-2003

1. Menganalisis pengaruh harga LPG terhadap permintaan LPG di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh perubahan harga barang substitusi LPG (minyak tanah dan tarif listrik), pengaruh perubahan pendapatan per kapita dan dampak krisis ekonomi terhadap permintaan LPG di Indonesia.

1. Analisis kuantitatif dengan

menggunakan model ekonometrika.

2. Harga LPG berpengaruh negatif, signifikan. 3. Harga minyak tanah berpengaruh positif,

signifikan.

4. Pendapatan per kapita berpengaruh positif,signifikan.

5. Dummy krisis ekonomi berpengaruh signifikan.

6. Tarif dasar listrik berpengaruh positif namun tidak signifikan

6. 1. Nama : Sri Diah Novita (2008) 2. Judul : Analisis Sosial Ekonomi

Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.

1. Mengetahui profil pedagang, konsumen, dan usaha warung tenda pecel lele.

2. Menganalisis pendapatan usaha warung tenda.

3. Menganalisis permintaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pecel lele.

4. Mengetahui elastisitas harga, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

1. Analisis deskriptif, analisis pendapatan, analisis rasio penerimaandan biaya, analisis regresi

1. Profil pedagang warung tenda pecel lele sebagian besar adalah laki-laki.

2. Permintaan pecel lele berkisar antara 1 246-2 520 porsi per bulan.

3. Pendapatan bersih pedagang warung tenda pecel lele rata-rata Rp 18 169 300 per bulan, R/C 1.55.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pecel lele pada warung tenda adalah harga pecel lele, harga pecel ayam, pendapatan

disposible, umur, dan dummy lokasi.


(39)

Subsidi APBN dan Efisien Usaha Mikro di Kota Bogor (Periode 2005-2010)

2. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro.

3. Adanya program konversi minyak tanah ke LPG berdampak pada efisiensi usaha mikro.

8. 1. Nama : Widodo Hardian (2011) 2. Judul : Analisis Karakteristik dan

Perilaku Wirausaha Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor

1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor.

2. Menganalisis perilaku wirausaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor. 3. Menganalisis hubungan antara

karakteristik pedagang martabak manis dengan perilaku wirausaha pedagang martabak manis.

1. Analisis statistika deskriptif, analisis korelasi.

2. Sebagian besar pedagang martabak manis kaki lima berumur di bawah 33 tahun,berasal dari Jawa Barat, lulusan SMP, jumlah tanggungan 1-3 orang.

3. Sebagian besar usaha adalah milik sendiri,pengalaman berdagang 1-157 bulan, penerimaan usaha Rp 1 833 000.

4. Unsur-unsur perilaku usaha yang dominan terhadap perilaku wirausaha pedagang adalah pengetahuan dan sikap wirausaha pedagang martabak manis.

5. Karakteristik pedagang yang mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang martabak manisadalah jumlah tanggungan keluarga dan lama berdagang.

9. 1. Nama : Diana Bhakti (2011) 2. Judul : Permintaan Energi Rumah

Tangga di Pulau Jawa

1. Menganalisis perilaku rumah tangga di Pulau Jawa dalam mengkonsumsi energi.

2. Mendapatkan parameter permintaan energi seperti elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas silang komoditi-komoditi energi.

1. Analisis deskriptif, analisis

ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS.

2. Harga komoditi dan pendapatan (pengeluaran) mempengaruhi secara signifikan proporsi pengeluaran setiap kelompok komoditi. 3. Komoditi energi (selain listrik) bersifat elastis,

sehingga peningkatan harga komoditi energi akan cukup efektif untuk menurunkan tingkat konsumsi energi.


(40)

Tabel 10 menunjukkan bahwa Nurlianti (2002) melakukan penelitian tentang Analisis Permintaan Telur Ayam Ras oleh Pedagang Martabak Telur di Kota Bogor. Penelitian dilakukan di enam kecamatan di Kota Bogor dan jenis pedagang martabak telur dibagi menjadi dua jenis yaitu pedagang kios dan pedagang gerobak. Kakisina (2003) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga. Penelitian oleh Kakisina (2003) ini menggunakan data primer dan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda

ordinary least square (OLS). Penelitian Anggraini (2006) tentang analisis

pendapatan dan strategi pemasaran usaha warung tenda pecel lele di sepanjang Jalan Pajajaran Bogor, menggunakan metode analisis tabulasi dan deskriptif, analisis biaya, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya, serta analisis SWOT. Yugustya (2006) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu (time series) dari tahun 1982-2004 yang hanya mencakup dua

golongan sektor yaitu industri tekstil dan industri pakaian jadi.

Fauzan (2007) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan liquid petroleum gas di Indonesia periode 1980-2003 dengan

menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Penelitian yang dilakukan oleh Diah (2008) tentang analisis sosial ekonomi usaha warung tenda pecel lele di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan bertujuan untuk mengetahui profil pedagang, konsumen, dan usaha warung tenda, menganalisis permintaan dan faktor-faktor yang


(41)

mempengaruhi permintaan pecel lele, serta mengetahui elastisitas harga, elastisitas silang dan elastisitas pendapatan.

Maulidyawati (2011) meneliti tentang dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN dan efisiensi usaha mikro di Kota Bogor periode 2005-2010. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner kepada usaha mikro dengan metode purposive sampling. Penelitian Hardian (2011) bertujuan untuk

mendeskripsikan karakteristik individu dan usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, menganalisis perilaku wirausaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, dan menganalisis hubungan antara karakteristik pedagang martabak manis dengan perilaku usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor. Responden penelitiannya berjumlah 106 orang dengan metode sensus. Bhakti (2011) melakukan penelitian tentang permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS

(Linear approximation – Almost Ideal Demand System).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dalam hal spesifikasi komoditas, sumber data, jenis data yang digunakan, lokasi penelitian dan metode pengolahan data. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Nurlianti (2002) adalah dalam hal komoditi. Pada penelitian Nurlianti komoditi yang digunakan adalah telur ayam ras oleh pedagang martabak telur. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Kakisina, Yugustya, dan Bhakti adalah dalam hal komoditi yang dikaji, lokasi penelitian, dan cakupan penelitian. Pada penelitian Kakisina yang dikaji adalah faktor-faktor yang mempengaruhi


(42)

permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga, penelitian Yugustya mengkaji analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia, dan penelitian Bhakti mengkaji tentang permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa sedangkan penelitian ini mengkaji tentang permintaan LPG oleh pedagang makanan di Kota Bogor.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fauzan (2007) adalah dalam hal jenis data yang digunakan dan cakupan penelitian. Fauzan menggunakan data sekunder time series periode tahun 1980-2003, sedangkan penelitian ini

menggunakan data cross section. Tujuan penggunaan data primer pada penelitian

ini adalah lebih kepada menjelaskan permintaan LPG oleh pedagang martabak kaki lima dan pecel lele. Objek penelitian Anggraini (2006) dan Diah (2008) adalah pedagang warung tenda pecel lele. Maulidyawati (2011) meneliti pedagang mikro di Kota Bogor dan Hardian (2011) menjadikan pedagang martabak manis kaki lima sebagai objek penelitiannya, sedangkan objek penelitian pada penelitian ini adalah pedagang martabak kaki lima dan pedagang warung tenda pecel lele. Anggraini (2006) mengkaji tentang pendapatan dan strategi pemasaran usaha, Diah (2008) mengkaji tentang sosial ekonomi warung tenda pecel lele, (2011) mengkaji tentang efisiensi usaha mikro, dan Hardian (2011) mengkaji tentang karakteristik dan perilaku wirausaha pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor, sedangkan penelitian ini mengkaji tentang permintaan LPG pedagang makanan dalam hal ini pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele.


(1)

Lampiran 23. Lanjutan

No PLLE QLLE CLLE PAYM QAYM CAYM PMGR QMGR CMGR PL01 16 000 240 3 840 000 28 000 240 6 720 000 10 000 90 900 000 PL02 16 000 120 1 920 000 31 000 300 9 300 000 10 000 150 1 500 000 PL03 16 000 120 1 920 000 31 000 180 5 580 000 10 000 90 900 000 PL04 16 000 90 1 440 000 30 000 150 4 500 000 10 000 80 800 000 PL05 16 000 90 1 440 000 30 000 180 5 400 000 10 000 90 900 000 PL06 15 000 90 1 350 000 28 000 180 5 040 000 10 000 90 900 000 PL07 15 000 180 2 700 000 24 000 600 14 400 000 9 500 180 1 710 000 PL08 15 000 150 2 250 000 28 000 420 11 760 000 9 500 160 1 520 000 PL09 15 000 150 2 250 000 28 000 210 5 880 000 10 000 90 900 000 PL10 16 000 210 3 360 000 28 000 210 5 880 000 10 000 80 800 000 PL11 16 000 150 2 400 000 30 000 180 5 400 000 10 000 60 600 000 PL12 16 000 180 2 880 000 30 000 210 6 300 000 10 000 120 1 200 000 PL13 15 000 210 3 150 000 28 000 300 8 400 000 10 000 150 1 500 000 PL14 16 000 210 3 360 000 30 000 210 6 300 000 10 000 150 1 500 000 PL15 16 000 150 2 400 000 28 000 210 5 880 000 10 000 90 900 000 PL16 16 000 150 2 400 000 30 000 210 6 300 000 10 000 60 600 000 PL17 15 000 180 2 700 000 28 000 180 5 040 000 10 000 60 600 000 PL18 16 000 180 2 880 000 30 000 150 4 500 000 10 000 60 600 000 PL19 16 000 150 2 400 000 28 000 150 4 200 000 10 000 60 600 000 PL20 16 000 180 2 880 000 28 000 180 5 040 000 10 000 90 900 000 PL21 15 000 180 2 700 000 28 000 150 4 200 000 10 000 90 900 000 PL22 12 000 180 2 160 000 27 000 150 4 050 000 10 000 90 900 000 PL23 14 000 180 2 520 000 28 000 210 5 880 000 10 000 90 900 000 PL24 16 000 180 2 880 000 28 000 180 5 040 000 10 000 90 900 000 PL25 15 000 180 2 700 000 28 000 180 5 040 000 10 000 90 900 000 PL26 16 000 150 2 400 000 31 000 240 7 440 000 10 000 90 900 000 PL27 16 000 210 3 360 000 30 000 270 8 100 000 10 000 90 900 000 PL28 16 000 120 1 920 000 30 000 180 5 400 000 10 000 60 600 000 PL29 15 000 180 2 700 000 28 000 240 6 720 000 10 000 90 900 000 PL30 14 000 180 2 520 000 28 000 240 6 720 000 10 000 90 900 000 PL31 15 000 180 2 700 000 28 000 180 5 040 000 10 000 90 900 000 PL32 15 000 150 2 250 000 30 000 210 6 300 000 10 000 90 900 000 PL33 16 000 90 1 440 000 30 000 180 5 400 000 10 000 60 600 000 PL34 12 000 180 2 160 000 27 000 150 4 050 000 10 000 90 900 000 PL35 16 000 180 2 880 000 30 000 210 6 300 000 10 000 120 1 200 000 PL36 15 000 210 3 150 000 28 000 210 5 880 000 10 000 60 600 000 PL37 16 000 210 3 360 000 28 000 210 5 880 000 10 000 60 600 000 PL38 15 000 240 3 600 000 28 000 240 6 720 000 10 000 90 900 000 PL39 15 000 210 3 150 000 28 000 300 8 400 000 10 000 150 1 500 000 PL40 15 000 150 2 250 000 28 000 210 5 880 000 10 000 80 800 000

Rata-rata

15 325 168 2 574 600 28 675 21975 6 301 331 9 975 94 937 650 Sumber : Data diolah (2011 )


(2)

Lampiran 23. Lanjutan

No JTK Upah Tenaga Kerja

Biaya Tenaga Kerja

Biaya Lain-lain

Total Biaya Tunai PL01 2 450 000 900 000 4 800 000 22 849 800 PL02 2 400 000 800 000 7 500 000 23 732 000 PL03 1 600 000 600 000 1 500 000 11 916 000 PL04 1 600 000 600 000 3 750 000 12 560 000 PL05 1 1 500 000 1 500 000 6 300 000 16 752 000 PL06 1 300 000 300 000 1 500 000 10 759 200 PL07 2 450 000 900 000 15 000 000 39 814 800 PL08 2 1 000 000 2 000 000 15 000 000 42 114 400 PL09 5 1 150 000 5 750 000 30 000 000 48 702 200 PL10 2 900 000 1 800 000 7 500 000 23 660 000 PL11 2 900 000 1 800 000 9 000 000 21 586 800 PL12 1 900 000 900 000 13 500 000 28 141 800 PL13 1 1 500 000 1 500 000 15 000 000 34 050 000 PL14 2 900 000 1 800 000 13 500 000 29 956 800 PL15 1 1 000 000 1 000 000 10 500 000 23 200 000 PL16 1 900 000 900 000 10 500 000 23 070 000 PL17 2 1 000 000 2 000 000 9 000 000 22 982 000 PL18 2 1 200 000 2 400 000 3 000 000 16 712 400 PL19 2 450 000 900 000 3 000 000 14 237 400 PL20 1 600 000 600 000 10 500 000 23 265 000 PL21 2 500 000 1 000 000 6 000 000 17 260 000 PL22 3 800 000 2 400 000 10 500 000 22 750 200 PL23 5 1 050 000 5 250 000 27 000 000 44 614 800 PL24 1 900 000 900 000 12 000 000 24 227 400 PL25 1 750 000 750 000 12 000 000 24 060 000 PL26 2 450 000 900 000 7 500 000 21 300 000 PL27 1 450 000 450 000 10 500 000 26 035 200 PL28 2 600 000 1 200 000 6 000 000 16 927 800 PL29 2 450 000 900 000 9 000 000 22 369 200 PL30 1 450 000 450 000 13 500 000 26 597 400 PL31 1 450 000 450 000 9 000 000 20 447 400 PL32 2 500 000 1 000 000 7 500 000 20 099 200 PL33 1 1 500 000 1 500 000 6 300 000 16 452 000 PL34 3 800 000 2 400 000 12 000 000 24 270 000 PL35 1 900 000 900 000 12 000 000 26 641 800 PL36 2 900 000 1 800 000 7 500 000 23 266 800 PL37 2 900 000 1 800 000 9 000 000 24 976 800 PL38 1 450 000 450 000 9 300 000 26 659 800 PL39 2 500 000 1 000 000 18 000 000 36 532 000 PL40 5 1 150 000 5 750 000 30 000 000 48 194 800 Rata-rata 1.85 778 750 1 562 162 10 623 750 25 216 492.1 Sumber : Data diolah (2011)


(3)

Lampiran 24. Total Biaya Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

No Total Biaya Non Tunai Total Biaya Tunai Total Biaya PL01 148 333.33 22 849 800.00 22 998 133.33 PL02 130 333.33 23 732 000.00 23 862 333.33 PL03 192 083.33 11 916 000.00 12 108 083.33 PL04 170 416.67 12 560 000.00 12 730 416.67 PL05 225 000.00 16 752 000.00 16 977 000.00 PL06 140 416.67 10 759 200.00 10 899 616.67 PL07 106 666.67 39 814 800.00 39 921 466.67 PL08 116 250.00 42 114 400.00 42 230 650.00 PL09 127 166.67 48 702 200.00 48 829 366.67 PL10 151 666.67 23 660 000.00 23 811 666.67 PL11 152 500.00 21 586 800.00 21 739 300.00 PL12 151 666.67 28 141 800.00 28 293 466.67 PL13 111 666.67 34 050 000.00 34 161 666.67 PL14 132 500.00 29 956 800.00 30 089 300.00 PL15 141 250.00 23 200 000.00 23 341 250.00 PL16 133 333.33 23 070 000.00 23 203 333.33 PL17 148 333.33 22 982 000.00 23 130 333.33 PL18 169 166.67 16 712 400.00 16 881 566.67 PL19 137 916.67 14 237 400.00 14 375 316.67 PL20 138 750.00 23 265 000.00 23 403 750.00 PL21 147 500.00 17 260 000.00 17 407 500.00 PL22 150 000.00 22 750 200.00 22 900 200.00 PL23 128 333.33 44 614 800.00 44 743 133.33 PL24 210 833.33 24 227 400.00 24 438 233.33 PL25 179 250.00 24 060 000.00 24 239 250.00 PL26 150 000.00 21 300 000.00 21 450 000.00 PL27 150 000.00 26 035 200.00 26 185 200.00 PL28 179 583.33 16 927 800.00 17 107 383.33 PL29 168 666.67 22 369 200.00 22 537 866.67 PL30 107 500.00 26 597 400.00 26 704 900.00 PL31 107 500.00 20 447 400.00 20 554 900.00 PL32 96 250.00 20 099 200.00 20 195 450.00 PL33 193 750.00 16 452 000.00 16 645 750.00 PL34 129 166.67 24 270 000.00 24 399 166.67 PL35 130 833.33 26 641 800.00 26 772 633.33 PL36 141 250.00 23 266 800.00 23 408 050.00 PL37 130 833.33 24 976 800.00 25 107 633.33 PL38 169 166.67 26 659 800.00 26 828 966.67 PL39 205 416.67 36 532 000.00 36 737 416.67 PL40 189 666.67 48 194 800.00 48 384 466.67 Rata-rata 149 772.92 25 216 492.11 25 366 265.03 Sumber : Data diolah (2011)


(4)

Lampiran 25. Perhitungan Pendapatan Usaha Pedagang Warung Tenda

Pecel Lele di Kota Bogor

No Total Penerimaan

Total Biaya Tunai

Total Biaya Pendapatan Atas Biaya

Tunai

Pendapatan atas Biaya

Total

R/C atas Biaya Tunai

R/C atas Biaya Total PL01 29 325 000.00 22 849 800.00 22 998 133.33 6 475 200.00 6 326 866.67 1.28 1.28 PL02 28 500 000.00 23 732 000.00 23 862 333.33 4 768 000.00 4 637 666.67 1.20 1.19 PL03 14 250 000.00 11 916 000.00 12 108 083.33 2 334 000.00 2 141 916.67 1.20 1.18 PL04 16 500 000.00 12 560 000.00 12 730 416.67 3 940 000.00 3 769 583.33 1.31 1.30 PL05 28 125 000.00 16 752 000.00 16 977 000.00 11 373 000.00 11 148 000.00 1.68 1.66 PL06 17 850 000.00 10 759 200.00 10 899 616.67 7 090 800.00 6 950 383.33 1.66 1.64 PL07 50 760 000.00 39 814 800.00 39 921 466.67 10 945 200.00 10 838 533.33 1.27 1.27 PL08 51 000 000.00 42 114 400.00 42 230 650.00 8 885 600.00 8 769 350.00 1.21 1.21 PL09 84 000 000.00 48 702 200.00 48 829 366.67 35 297 800.00 35 170 633.33 1.72 1.72 PL10 30 000 000.00 23 660 000.00 23 811 666.67 6 340 000.00 6 188 333.33 1.27 1.26 PL11 33 150 000.00 21 586 800.00 21 739 300.00 11 563 200.00 11 410 700.00 1.54 1.52 PL12 39 000 000.00 28 141 800.00 28 293 466.67 10 858 200.00 10 706 533.33 1.39 1.38 PL13 48 600 000.00 34 050 000.00 34 161 666.67 14 550 000.00 14 438 333.33 1.43 1.42 PL14 42 000 000.00 29 956 800.00 30 089 300.00 12 043 200.00 11 910 700.00 1.40 1.40 PL15 36 450 000.00 23 200 000.00 23 341 250.00 13 250 000.00 13 108 750.00 1.57 1.56 PL16 35 100 000.00 23 070 000.00 23 203 333.33 12 030 000.00 11 896 666.67 1.52 1.51 PL17 33 000 000.00 22 982 000.00 23 130 333.33 10 018 000.00 9 869 666.67 1.44 1.43 PL18 22 800 000.00 16 712 400.00 16 881 566.67 6 087 600.00 5 918 433.33 1.36 1.35 PL19 21 375 000.00 14 237 400.00 14 375 316.67 7 137 600.00 6 999 683.33 1.50 1.49 PL20 28 350 000.00 23 265 000.00 23 403 750.00 5 085 000.00 4 946 250.00 1.22 1.21 PL21 28 500 000.00 17 260 000.00 17 407 500.00 11 240 000.00 11 092 500.00 1.65 1.64 PL22 39 000 000.00 22 750 200.00 22 900 200.00 16 249 800.00 16 099 800.00 1.71 1.70 PL23 90 000 000.00 44 614 800.00 44 743 133.33 45 385 200.00 45 256 866.67 2.02 2.01 PL24 33 000 000.00 24 227 400.00 24 438 233.33 8 772 600.00 8 561 766.67 1.36 1.35 PL25 39 000 000.00 24 060 000.00 24 239 250.00 14 940 000.00 14 760 750.00 1.62 1.61 PL26 32 400 000.00 21 300 000.00 21 450 000.00 11 100 000.00 10 950 000.00 1.52 1.51 PL27 36 000 000.00 26 035 200.00 26 185 200.00 9 964 800.00 9 814 800.00 1.38 1.37 PL28 25 200 000.00 16 927 800.00 17 107 383.33 8 272 200.00 8 092 616.67 1.49 1.47 PL29 36 000 000.00 22 369 200.00 22 537 866.67 13 630 800.00 13 462 133.33 1.61 1.60 PL30 40 500 000.00 26 597 400.00 26 704 900.00 13 902 600.00 13 795 100.00 1.52 1.52 PL31 28 800 000.00 20 447 400.00 20 554 900.00 8 352 600.00 8 245 100.00 1.41 1.40 PL32 28 800 000.00 20 099 200.00 20 195 450.00 8 700 800.00 8 604 550.00 1.43 1.43 PL33 28 125 000.00 16 452 000.00 16 645 750.00 11 673 000.00 11 479 250.00 1.71 1.69 PL34 39 000 000.00 24 270 000.00 24 399 166.67 14 730 000.00 14 600 833.33 1.61 1.60 PL35 39 000 000.00 26 641 800.00 26 772 633.33 12 358 200.00 12 227 366.67 1.46 1.46 PL36 30 000 000.00 23 266 800.00 23 408 050.00 6 733 200.00 6 591 950.00 1.29 1.28 PL37 30 000 000.00 24 976 800.00 25 107 633.33 5 023 200.00 4 892 366.67 1.20 1.19 PL38 29 325 000.00 26 659 800.00 26 828 966.67 2 665 200.00 2 496 033.33 1.10 1.09 PL39 48 600 000.00 36 532 000.00 36 737 416.67 12 068 000.00 11 862 583.33 1.33 1.32 PL40 84 000 000.00 48 194 800.00 48 384 466.67 35 805 200.00 35 615 533.33 1.74 1.74

Rata-rata

36 884 625.00 25 216 492.11 25 366 265.03 11 668 132.89 11 518 359.97 1.46 1.45 Sumber : Data diolah (2011)


(5)

RIWAYAT HIDUP

Tiurmaida K. Sitompul. Lahir di Medan, 2 Mei 1987 sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Anggiat Sahat Sitompul dan Dornala

Hutapea. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1993 di TK Swasta

Santa Maria Tarutung. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD

Swasta Santa Maria Tarutung pada tahun 1999. Pendidikan SLTP diselesaikan di

SLTP Negeri 4 Tarutung pada tahun 2002 dan pada tahun 2005 penulis

dinyatakan lulus SMU dari SMU Negeri 1 Tarutung. Penulis memasuki Institut

Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

Institut Pertanian Bogor (USMI), diterima sebagai mahasiswa di Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama di bangku kuliah, penulis aktif melayani dalam organisasi Komisi

Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (2006-sekarang). Penulis juga

merupakan anggota Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara, dan pernah menjabat

sebagai wakil ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Parsadaan Anak

Rantau Tarutung.


(6)

TIURMAIDA K. SITOMPUL.

Permintaan LPG (

Liquefied Petroleum Gas

)

Pedagang Martabak Kaki Lima dan Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor.

Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan HASTUTI.

Kenaikan harga minyak mentah dunia dan menipisnya cadangan minyak

bumi dalam negeri memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi

BBM dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Salah satu upaya

pemerintah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah melalui

kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG 3 kg. Program konversi

minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun

memberikan pengaruh pada pola konsumsi energi pada rumah tangga dan usaha

mikro. Usaha mikro yang banyak menggunakan bahan bakar dalam proses

produksinya diantaranya adalah pedagang makanan kaki lima. Penelitian ini

dilakukan untuk mengkaji tentang permintaan LPG pedagang makanan dalam hal

ini pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Tujuan penelitian

ini secara khusus yaitu : (1) mengidentifikasi karakteristik pedagang martabak

kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG

sebagai bahan bakarnya, (2) menganalisis permintaan LPG pedagang martabak

kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya, dan (3) menganalisis pendapatan usaha pedagang martabak

kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, selama bulan Oktober 2011 sampai

dengan Juni 2012. Karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda

pecel lele di Kota Bogor dianalisis dengan analisis deskriptif dengan tabulasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima

dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor dianalisis dengan analisis

explanatory

dengan

menggunakan model regresi linear berganda dengan metode estimasi

Ordinary Least Squares

(OLS). Pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima

dan warung tenda pecel lele dianalisis dengan analisis deskriptif dengan

menggunakan analisis pendapatan usaha.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen terhadap

permintaan LPG pedagang martabak kaki lima yaitu harga LPG, harga telur ayam,

jumlah tenaga kerja, dan

dummy

jenis martabak, sedangkan pada fungsi

permintaan LPG oleh pedagang warung tenda pecel lele variabel yang

berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen adalah harga minyak goreng, jumlah

tenaga kerja, dan

dummy

masakan bebek. Analisis pendapatan usaha

menunjukkan usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele adalah usaha

yang cukup menguntungkan untuk dijalankan. Nilai R/C ratio atas biaya total

rata-rata pada pedagang martabak kaki lima adalah 1.42 sedangkan pada pedagang

warung tenda pecel lele adalah 1.45.